Bekerja paruh waktu di sebuah cafe yang terbilang baru dibuka rasanya suatu hal yang cukup menyenangkan bagi Sian.
Bukan tanpa alasan. Pertama, Sian adalah pegawai yang pertama kali mendaftar dan tentu saja peluang dia diterima cukup besar. Kedua, letak Cafe Cafeuno ini cukup stategis, mengingat tidak begitu dekat dengan cafe - cafe lainnya.
Lalu ketiga, sepertinya Sian memiliki daya tarik magnet yang cukup besar bagi pelanggan kaum hawa.
"Sian! Coba layani pelanggan remaja di meja nomor 11," titah seorang pria berumur tiga puluh tahunan dengan kaca mata yang bertengger di ujung hidung dan perut buncitnya seolah lebih menonjol--itu dengan setengah berteriak. Pasalnya Sian sedang sibuk dengan meja nomor 5, yang sedari tadi menahannya untuk berlalu dari sana.
Sian meringis menatap tiga perempuan seumuran dengannya yang kini sibuk rebutan mengajaknya bicara.
Andai Sian tak berpikir panjang, sudah pasti ia akan bersikap dingin dan beranjak dari meja nomor 5 itu dengan mudah.
"Sian!" Lagi - lagi pria buncit itu memanggilnya dengan berteriak dengan geram. Tak tahukah bahwa Sian lebih geram dengan kelakuan pelanggan yang makin hari makin aneh.
Lelaki itu memejamkan matanya sebentar seraya mengembuskan nafas kasar.
"Saya permisi ingin melayani meja nomor 11," pamit lelaki itu dengan begitu sopan, agar para perempuan yang sedang tertawa renyah di hadapannya itu tak merasa tersinggung.
Sian cukup tau kalau perasaan makhluk yang namanya perempuan itu cukup atau sangat sensitif dan Sian mempelajarinya dari ibu dan adik - adik perempuannya.
"Kita kasih tip yang lebih gede kalo gitu! Biar abang bisa lama - lama ngobrol sama kita - kita," tawar oleh salah satu perempuan yang rambutnya dikuncir seperti kuda.
Apa - apaan! Mereka pikir Sian bisa dibayar begitu saja?! Pikir lelaki itu geram.
"Sian! Kamu mau saya pecat?! Saya sudah teriak dari tadi, ka-," omelan dari bos Sian terpotong saat mendapati tatapan tajam dari ketiga pelanggan di hadapannya.
"Bapak kan punya pegawai lain? Kenapa harus abang ini yang melayani meja nomor 11 itu? Kami berani bayar dua kali lipat jika bapak membiarkan abang tampan ini di sini," Rasanya Sian benar - benar akan stress dalam waktu dekat jika kaum hawa mendominasi pelanggan cafe Cafeuno ini.
"Baiklah, saya teriwa tawan mba - mba sekalian. Kalau begitu," Kemudian pria perut buncit yang Sian panggil bos itu menatapnya,
"Sian, kamu jangan ke mana - mana! Tetap di sini," ujarnya seraya menggelengkan kepala lalu melangkah dan memanghil pegawainya yang lain untuk melayani meja nomor 11.
Entah Sian harus senang atau malah sedih. Pasalnya lelaki itu kini hanya bisa duduk diam dan terpaksa mengangkat kedua sudut bibirnya. Tersenyum dengan nanar karena pekerjaannya melayani pesanan pelanggan cafe malah beralih menjadi lelaki yang dibayar untuk menemani perempuan - perempuan yang kesepian seperti yang ada di hadapannya kini.
Ketiga perempuan itu saling berbisik satu sama lain. Mengungkapkan kegaguman mereka pada lelaki tampan yang ada di hadapan mereka saat ini.
Penampilan Sian begitu sederhana. Kameja berwarna netral membalut tubuh bagian atasnya serta celana jeans dengan warna yang sama dan sepatu kets yang biasa ia kenakan ke kampus.
Salah satu dari ketiga perempuan itu mengetikkan pesan singkat di kolom chat grup di layar ponselnya.
"Alisnya tebel banget!!!?"
Tak lama setelah itu, kedua sahabatnya membalas dengan kekaguman yang berbeda.
"Jidatnya woy!!! Kalian tau kan, gue paling gak bisa liat jidat cowok sebening ini!"
"Kalau aku sih, lebih suka karena attitudenya. Kayaknya dia sopan dan menghargai perempuan banget."
Saat mereka sibuk dengan obrolam di grup yang membicarakan Sian, saat itu juga lelaki itu menarik atensi mereka untuk menatap ke arah Sian dengan mata yang berbinar.
Bagaimana tidak, lelaki itu kini tengah mengaitkan jemarinya dan mengangkat lengan, lalu meletakkannya di belakang leher seraya menggerakkan tubuhnya ke samping kanan dan kiri.
Sian benar - benar lelah memilih melemaskan otot - ototnya yang kian merenggang setelah semalaman bekerja.
Sian sengaja mengambil jadwal kerja malam, karena saat di pagi dan siang hari ia akan disibukkan dengan aktivitas kuliah dan melanjutkan naskah tulisannya yang belum rampung hingga kini.
"Kak Sian?!!! Ngapain duduk di dekat cewek - cewek di sini?!!!" teriak gadis yang entah datang dari mana, wajahnya sudah merah padam saat menyaksikan sang pujaan hati duduk bersama perempuan lain.
Mana ceweknya tiga, lagi! Sejak kapan lelaki itu jadi fakboy seperti ini? Pikir si gadis nyentrik yang tak lain dan tak bukan adalan Tri.
Kepala lelaki itu berdenyut - denyut kuat dan tak lama kemudian sensasi pusing sekaligus berat itu menjalar di kepalanya dengan cepat.
Belum juga selesai urusannya dengan ketiga perempuan di kursi yang menghadapnya, kini ia harus menghadapi satu gadis kecil yang bar - bar yang sedang menatapnya kesal saat ini.
Cukup sudah! Sian merasa dirinya tak secasanova seperti tokoh lelaki yang ada di telenovela, tapi kenapa perempuan - perempuan dan satu gadis ini seolah menganggapnya sebagai pangeran berkuda putih yang mengenakan baju kerajaan.
Jangankan kuda putih, bisa memiliki satu motor vespa antik berwarna abu - abu itu saja lelaki itu sudah sangat bersyukur.
Rasanya Sian ingin menghilang saat ini juga. Layaknya jin yang bisa menghilang dan berpindah - pindah tempat sesuka hati.
_______
"Nanti kakaknya gak mau nampung Tri, gimana?" lirih gadis itu dengan wajah cemberut.
Lelaki yang memboncengnya saat ini hanya diam tak berniat menjawab.
Harus berboncengan dengan gadis bar - bar seperti ini saja sudah membuat Sian geram. Untungnya Sian membawa tas hitam berukuran yang cukup besar saat ini. Tas itulah yang menjadi penghalang antara mereka.
Sekitar lima belas menit kemudian, mereka sampai di sebuah kos - kosan cukup besar dan elite yang berada di jantung kota.
Awalnya gadis itu enggan turun dari motor yang membawanya ke sini. Tak bisakah ia menginap satu malam lagi di rumah lelaki itu? Pintanya dalam hati.
Lelaki itu berjalan begitu saja tanpa mempedulikan gadis yang gemar menyusahkan seperti Tri yang kini mengekorinya dengan langkah yang enggan - engganan.
Setelah melepaskan helm yang mereka gunakan, Sian menyerahkan kartu identitas dan alasannya datang ke kosan itu pada satpam penjaga. Lalu barulah mereka diperbolehkan menemui penghuni kos yang mereka maksud.
Menaiki beberapa anak tangga lalu mereka sampai di seoan sebuah pintu berwarna keemasan dengan pintu yang bertuliskan 01.
Sian mengetuk pintu dengan pelan, takut membangunkan pengghuni lain di sebelah. Ini bahkan sudah hampir larut malam, untungnya Nisa, sahabat Sian di kampus itu masih bisa dihubungi dan dimintai bantuannya.
Pintu di hadapan mereka terbuka sekalgus menampilkan sosok perempuan manis bergigi ginsul yang keluar dari sana.
"Nis, maaf ya jadi ngerepotin lo malam - malam ginin," Ringis lelaki itu karen tak enak hati pada sahabatnya.
"Gapa-pa kok Sian, lagian gue juga sendirian di kosan. Malah senang, jadi punya temen," jawab Nisa dengan santai seraya tersenyum tipis saat matanya menatap gadis yang ada di samping Sian saat ini.
"Syukurlah. Kalau gitu, gue balik ya. Udah malam banget soalnya," pamit Sian seraya mengenakan helm di kepalanya.
"Sini, helmnya gue bawa!" pinta lelaki itu pada Tri yang kini memegang helm berwarna pink itu dengan kuat. Rasanya ia tak rela menyerahkannya pada Sian.
Padahal, gadis itu sangat berharap kalau ia dapat menginap di rumah Sian untuk kesekian kalinya. Bukan apa. Hanya saja, suasana di rumah Sian membuatnya nyaman. Ada ibu yang perhatian dan hangat. Ada adik - adik Sian yang juga sangat bersahabat dan welcome terhadapnya.
Tri merasa menemukan rumah seperti yang orang - orang punya. Rumah yang menjadi tempat pulang paling nyaman. Rumah yang menjadi tempat di mana kasih sayang dan kehangatan dapat ia rasakan.
"Assalamu'alaikum." Sian menuruni anak tangga setelah mengucapkan salam. Kemudian dijawb oleh kedua perempuan itu dengan kompak seraya menatap punggung Sian yang menghilang di balik anak tangga.
_______