GM-5-Harapan?

1091 Kata
Sebenarnya, apa yang membuat manusia bisa bertahan hidup. Karena adanya makanan dan minuman? Tentu saja. Bukan, maksudnya di sini, bukan itu. Maksudnya, apakah manusia bisa bertahan hidup tanpa harapan dan tujuan yang pasti? Manusia hidup dengan sejumlah list harapan dan dengan satu tujuan yang pasti. Harapan akan hari esok yang lebih baik akan membuat orang - orang berusaha tetap hidup hari ini. Harapan akan menemukan sosok teman hidup yang setia akan membuat orang - orang berusaha mencari dan menjadi orang yang setia. Sebab ia berkeyakinan bahwa jodoh adalah cerminan diri. Harapan akan kesuksesan di masa depan membuat orang - orang berlomba - lomba bekerja keras membanting tulang dan memeras keringat, hingga kesuksesan tercapai. Manusia yang hidup tentulah memiliki harapan - harapan dan goals yang mendorong mereka untuk tetap bertahan hidup hingga harapan - harapan dan goals yang mereka bangun menjadi nyata. Dreams will come true. Bagi seorang Tri, harapan akan menjadi pedamping hidup seorang pria seperti Sian adalah salah satu harapan yang membuatnya kini tetap menjalani hidup meski ketidakadilan dan kesedihan seolah menempeli hidupnya. "Kakak mohon, adek pulang ya?" bujukan dengan begitu lemah lembut dan penuh harap itu berasal dari seorang perempuan cantik dengan wajah sendu. "Apa mereka mencari keberadaan Tri? Apa mereka merasa kehilangan seorang anak?" Gadis dengan perawakan keras kepala itu bertanya pada perempuan yang ada di hadapannya saat ini. Sejurus kemudian dia tertawa. Tawa yang hambar dan terasa mengejek dirinya sendiri. "Naif banget aku berpikir seperti itu. Jangankan untuk mencari atau merasa khawatir, bahkan sepertinya mereka tak pernah ingat jika mereka mempunyai anak seperti aku," sarkasnya dengan tatapan mata getir. "Dek, dengerin kakak! Papa dan mama tentu saja khawatir, mereka hanya tidak bisa menghubungi adek langsung karena sibuk,-" kalimat itu terjeda ketika Tri menyela dengan begitu cepat, "Sibuk bertengkar serta sibuk bekerja, kerja dan kerja?! Hahahaha... sudah berapa kali Tri bilang, mereka itu gila kerja dan gila harta!" Rasanya Tri sudah muak dengan alasan bekerja yang selalu dielu - elukan mereka. "Cukup Tri!!!" bentak Mono--kakak perempuan Tri--dengan nada suara yang meninggi. Perempuan itu seolah tak habis pikir, kenapa gadis yang ada di hadapannya ini begitu keras kepala dan tak beretika seperti ini. "Mereka itu orang tua kamu! Orang yang membuat kamu ada di dunia ini! Papa dan mama bekerja juga untuk kamu, untuk kita semua. Kamu pikir dari mana pakaian yang kamu pakai sekarang? Segala fasilitas yang kamu nikmati? Dari mana kalau bukan mereka yang ngasih?!" Air muka gadis itu sama sekali tak berubah. Layaknya air yang tenang tanpa riak sedikitpun. Tepat seperti yang ia duga, perempuan yang ada di hadapannya kini lagi - lagi mengelu - elukan figur seorang ayah dan ibu dari kedua orang yang tak pernah melakukan hal yang seharusnya mereka lakukan untuknya. Bagaimana bisa dikatakan sebagai seorang ayah dan ibu, saat yang mereka lakukan hanya bekerja, bekerja dan bekerja. Tanpa peduli dan bertanya mengenai apa - apa yang yang dirasakan oleh seorang anak saat mereka meninggalkannya. Apa yang yang dilalui oleh seorang anak saat di sekolah. Keluh kesah apa yang ditanggung seorang anak yang seharusnya mereka dengarkan. Rasanya menjadi orang tua bukan hanya sekadar bekerja agar dapat memberi nafkah, tetapi juga mencurahkan kasih sayang kepada sang anak. Bukan malah mempercayakan mereka pada orang asing bernama baby siter. "Kalau kak Mon ngajak ketemu cuma buat membela mereka dan menyalahkan Tri, lebih baik dari awal kita gak ketemu kak." Gadis itu bangkit dari posisi duduknya saat ini. Meraih tas sandang yang ia bawa dan menyampirkannya di bahu kanan. "Sepertinya kak Mon gak jauh berbeda dari mereka. Menyalahkan aku dan membuatku seolah - olah aku adalah anak dan adik durhaka." Mono--kakak pertama Tri--menarik dan mengembuskan nafas dengan kasar. Bagaimana bisa adik kecilnya yang ia sayangi dulu, kini menjelma menjadi seorang gadis keras kepala dan kasar seperti ini. "Gak usah cari Tri atau ngajak Tri ketemu lagi, kalau yang ingin kakak sampaikan hanya pembenaran akan kesalahan - kesahalan mereka." Gadis itu berlalu melangkahkan kaki meninggalkan cafe dengan mata yang memanas. Perempuan--dengan kaca mata bulat yang bertengger di batang hidung mancungnya--itu menatap kepergian sang adik dengan tatapan nanar. Mendengkus keras seraya menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi dari material besi yang saat ini ia duduki. Mona tidak bisa menyalakan siapa - siapa. Sikap keras kepala Tri jelas saja menurun dari sifat sang papa. Meminta orang tua mereka meluangkan waktu untuk sekadar makan malam bersama saja, itu, bisa jadi suatu keajaiban. Bisa - bisa masuk daftar keajaiban dunia. _______ Sian pikir, tubuhnya akan merasa lebih baik setelah beristirahat sebelum waktu zuhur tiba. Nyatanya, denyutan yang semua mengusik kepalanya kini masih setia berkedut - kedut di sana. Menimbulkan sensari nyeri sekaligus berat di kepala. Jam beker yang ia setel sebelum ia berbaring dan istirhat, kini bergetar dan meraung - raung. Bersamaan dengan itu, muncul kepala seseorang di balik cela pintu kamar Sian yang sedikit dibuka. "Bang, udah jam sebelah lewat tiga puluh menit," seru seorang gadis yang tak lain adalah Alkuna, adik ketiga Sian. "Iya. Thanks sister, abang udah bangun nih," sahut pria itu seraya berjalan mendekati lemari. Pintu ditutup oleh Alkuna dengan pelan. Kini Sian membuka lemari kayu berwarna kecokelatan itu dan mengambil satu lembar baju dengan asal. Mengenakannya tanpa melepas kaus oblong yang tertempel di tubuhnya. Hari ini tidak ada jadwal bertemu dengan dosen. Sian hanya perlu ke kampus untuk menemui teman - temannya dan mengisi beberapa berkas yang nantinya berguna untuk pengajuan penelitian. Sesai dengan penampilan, pria itu melangkah ke samping lemari dan meraih tas berwarna hitam yang tergantung bebas di sebuah gantungan besi yang tertempel di dinding. Melangkah keluar kamar dan mencari keberadaan orang rumah. Pasalnya suasana rumah begitu hening. Tak seperti biasanya. Ketiga adik perempuannya itu entah ke mana. "Abang mau berangkat ke kampus?" Sian menoleh ke arah dapur dan mendapati ibunya ada di sana sedang memilah batang - batang kankung berwarna hijau segar itu dengan telaten. Pria itu tersenyum lalu melangkah mendekati sosok wanita cantik itu. "Iya bu, ibu nanti gak usah kerja dulu, ya?" pinta pria itu pada sang ibu. Wanita itu mengerutkan keningnya. "Loh, kenapa memangnya bang?" tanya ibu Sian dengan heran. "Insyaallah abang hari ini gajian. Sementara, ibu jangan kerja dulu. Biar abang saja." ungkap anak lelakinya. Membuat Amina--ibu Sian--tersenyum bangga dengan anak lelakinya itu. "Makan siang dulu kalau gitu, ibu udah masak sambal tempe sama ikan goreng tadi." Sian menggeleng pelan. "Nanti abang makan siang di kampus aja, bu. Abang pamit ya." Seraya meraih dan menyalami tangan ibunya, Sian mengucapkan salam. "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Ibu Amina kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat terjeda tadi. Membersihkan batang - batang dan daun - daun kangkung, lalu mengecilkan ukurannya agar lebih mudah matang saat ditumis. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN