bc

ARKANA: THE FIRST

book_age18+
0
IKUTI
1K
BACA
dark
witch/wizard
drama
tragedy
no-couple
scary
witty
vampire
detective
campus
city
highschool
mythology
magical world
high-tech world
superpower
surrender
like
intro-logo
Uraian

Kisah Arkana Aditama. Remaja yang baru menginjak SMA yang terlahir dengan keistimewaan. Tak seperti remaja-remaja pada umumnya, ia bisa melihat sesuatu yang tidak terlihat, merasakan sesuatu yang tidak ada, dan mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh siapa pun. Dihadapkan dengan kasus-kasus di luar nalar, petualangan dan kisah hidup Arkana dimulai. Hidup dan mati jadi taruhan.

Hingga sebuah kasus yang terkubur selama belasan tahun perlahan muncul ke permukaan. Rahasia demi rahasia terbongkar. Sosok yang menyimpan dendam dan amarah bangkit. Siap menuntut balas pada orang-orang yang telah membuatnya menderita, pun pada mereka yang tidak bersalah.

“Aku tak bisa membiarkan ini,” ucap Arkana.

Dengan terpaksa Arkana turun tangan. Dengan keistimewaannya ia melawan sosok yang selama ini telah ia anggap teman. Lantas, apa yang akan ia lakukan? Bisakah ia mengatasi semuanya seorang diri?

chap-preview
Pratinjau gratis
BAB 1: ARKANA
Hai, namaku Arkana Aditama, panggil saja Arka. Aku sudah selesai sarapan dan kini bergegas untuk pergi ke sekolah. Hanya dengan sekali jentikan jari, piring, sendok, garpu dan gelas kotor sudah kembali dalam keadaan bersih. Jika ibuku tahu, aku pasti akan kena semprot. Bukan, bukan disemprot air, melainkan dakwah. “Gunakan kedua tanganmu untuk mencuci! Jangan malas!” Itu yang akan beliau katakan. Beliau sangat membatasiku dalam menggunakan keistimewaan yang diturunkan turun temurun di keluargaku ini. Kekuatan sihir. Yup! Aku adalah seorang penyihir muda, tampan, pemberani dan jago balet. Bercanda. Aku tidak bisa balet. Orang-orang di kampungku memanggilku dengan sebutan Dukun Cilik. Saat ini aku ngekos di wilayah Jakarta Barat. Hal ini kulakukan karena aku mendapatkan beasiswa di salah satu sekolah perhotelan dan pariwisata terbaik di Jakarta. Aku suka jalan-jalan, melihat pemandangan yang indah dan luar biasa. Jadi, aku memutuskan untuk meneruskan jenjang pendidikanku ke sekolah pariwisata. Beruntung, aku mendapatkan sekolah terbaik dan Ibunda Ratu—panggilan untuk ibuku—menyetujui aku bersekolah ke luar daerah. Walau setuju, beliau tetap memberikan wejangan dan nasihat yang sangat banyak. Benar, sangat banyak. Uang korupsi proyek MRT saja kalah. Jangan main sampai malam! Bahaya, takut ada apa-apa di jalan. Jangan pacaran kelewat batas! Nanti anak orang bisa melendung! (Dikira balon kali ah.) Jangan bandel! Kalau mau bandel, konsultasi dulu sama Ibu. Jangan sering bolos, kecuali kalau kepepet. Kalau mau bolos pun harus ke tempat yang jauh dari sekolah. (Maaf, ini maksudnya bagaimana?) Jangan aneh-aneh! Kamu sudah aneh! Jangan pakai beha ke mana-mana! Kamu anak laki! Jangan sok-sok-an jadi anak gaul metropolitan! Ingat! Sarapan pagi kita singkong dan ubi! Masih banyak lagi larangan yang beliau berikan padaku. Pusing? Memang! Tapi, ini adalah bukti kasih sayang orang tua kepada anaknya. Dan, aku sama sekali tidak merasa keberatan. Apalagi, beliau adalah orang tua tunggal. Jadi, wajar kalau beliau sangat mengkhawatirkanku, sang anak satu-satunya. Sebelum berangkat sekolah, aku terlebih dahulu menelepon Ibunda Ratu, meminta restunya, berharap agar MOS—Masa Orientasi Siswa—yang akan kujalani selama 3 hari di sekolah dan 2 hari di luar sekolah berjalan lancar. “Doakan agar kegiatan Arka lancar ya, Bu,” kataku. “Iya, Nak. Ngomong-ngomong, sisir serit yang ada di atas kulkas di mana, ya? Ibu mau pakai buat garuk bibir tetangga sebelah. Gibah terus. Ibu capek.” “Eeee … mana Arka tahu. Gak Arka cemilin, Bu.” Setelah sambungan telepon berakhir, aku segera berangkat ke sekolah. Tak ada motor, aku menaiki Busway. Ibunda Ratu tidak mengizinkanku membawa motor, sebelum aku menginjak kelas 11. Jadi, selama satu tahun ke depan aku harus bersabar dengan menaiki Busway yang ternyata seramai ini. Masih terjebak macet pula. Padahal sudah memiliki jalurnya sendiri. Akademi Jakarta Wisata, akhirnya aku tiba di sini. Sebelumnya aku sudah pernah ke sini untuk pendaftaran ulang. Sekolah ini benar-benar besar dan megah. Fasilitasnya lengkap. Aku yang berasal dari kampung, melihat semua ini merasa begitu norak. Bak itik empang yang ditaruh di kebun binatang, semuanya terasa baru dan luar biasa. “Hei! Murid baru! Cepat masuk ke kelas! Jangan plonga-plongo!” teriak seorang senior yang mengenakan almamater berwarna merah marun. Ia cantik, bertubuh tinggi semampai bak model. Tapi sayang, ia galak bak Meriam Belina di serial televisi Kisah Sedih di Hari Minggu. Ini apa? Sendok. Guoblok! Cangkul! Tiba-tiba saja dialog itu terputar dalam benakku. Aku berlari sampai ke kelas. Cukup ngos-ngos-an. Aku tak menyangka ketegangannya akan melebihi Master Chef Indonesia yang sering nenekku tonton. Senior-seniornya jauh lebih galak dan judes. Mendekati iblis! Apakah mereka sebenarnya iblis yang menjelma menjadi manusia? Mungkin iya. Semua mata kini tertuju padaku. Para murid baru hingga para senior yang ada di kelas melihatku seakan-akan aku adalah hewan punah yang kembali hidup. Aku tahu aku tampan, tapi tidak sebegitunya juga kali. Biasa saja. Seorang senior laki-laki berambut ijuk menghampiri. Ia menarik lenganku kasar. “Kenapa diam saja!? Cepat duduk!” Kemudian mendorongku ke arah meja. Sedikit kesal, aku duduk di kursi yang berada di barisan tengah. Kutatap senior yang mendorongku tadi. Tampangnya terlihat belagu. Tipikal-tipikal orang yang jago kandang. Aku yakin, di luar sana dia takkan berani bertindak seperti tadi. “Kapan kegiatan seperti ini dihentikan? Menurutku sangat tidak berguna,” batinku. Diomeli dan dipermalukan oleh para senior sebagai bentuk latihan mental. Ini namanya perundungan. Lagi pula apa faedahnya kami—murid-murid baru direndahkan seperti ini? Bukankah masa-masa SMA adalah transisi dari fase anak-anak/bocah ingusan ke remaja menuju dewasa? Seharusnya hal-hal seperti MOS yang tidak berguna ini dihapuskan dan digantikan dengan kegiatan yang lebih bermanfaat. Misal, menanam saham crypto. MOS hari pertama berlangsung sangat tegang. Para senior kelas 11 dan 12 membuat drama pertengkaran. Sangat heboh. Aksi saling teriak dan aksi saling bentak terjadi di hadapan kami. Hal ini membuat beberapa murid baru yang ketakutan sampai menangis. Untuk mereka lucu, tapi buatku, tidak. Aku ingin mengerjai mereka menggunakan kekuatan sihirku, tapi aku langsung teringat akan pesan Ibunda Ratu: kalau beli gorengan 3, bayarnya 3. Jangan beli 3, bayarnya 2. Tidak, bukan itu. Ibunda Ratu berpesan: jangan gunakan kekuatanmu untuk hal yang remeh temeh. Nah, itu baru benar. Akhirnya, aku memilih untuk diam. Di hari pertama MOS aku sudah mendapatkan beberapa teman baru. Tiga di antaranya bernama Divya, Baskara dan Citra. Mereka adalah yang paling dekat dan paling terkoneksi denganku. Pemikiran dan sifat kami sama-sama aneh—maksudnya unik, sehingga kami bisa cepat akrab. “Rasanya ingin kujambak senior yang tinggi itu! Mana wajahnya sok cantik!” kata Divya. Maksudnya senior bernama Ina, senior yang di awal meneriakiku agar cepat masuk ke dalam kelas. Tampaknya ia memiliki dendam kesumat pada Ina. “Tapi, dia memang cantik sih,” sahut Baskara, yang seketika bibirnya dijambak oleh Divya. “Coba ngomong lagi!” kata Divya. Melotot. Baskara menggeleng takut. Wajahnya terlihat trauma. Sangat mengerikan. Aku sampai merinding, Citra sampai gemetaran, hampir kejang. Tidak, aku hanya melebih-lebihkan. Tidak terjadi apa-apa pada Citra. Aku tak menyangka gadis secantik Divya memiliki sifat se-harimau itu. Benar-benar ganas. Curiga, jangan-jangan di rumah ia makan orok. MOS hari kedua berjalan lancar dan sangat melelahkan. Panasnya Jakarta membuatku sangat menderita. Rasanya, aku ingin berdiam diri di dalam kulkas, sebelahan dengan pindang yang aku beli kemarin sore, untuk waktu yang sangat lama. Aku tidak kuat. MOS hari ketiga. Hubunganku, Divya, Baskara dan Citra semakin dekat. Hal ini membuat para senior memperhatikan kami. Menjadikan kami sebagai target yang harus mereka ganggu. “Hei, ABCD! Pindah tempat duduk! Kalian tidak boleh disatukan!” ucap Ina. Tegas. ABCD: Arkana, Baskara, Citra, Divya. Itu julukan yang para senior berikan untuk kami. Ia menyeretku untuk duduk di kursi paling depan sebelah kiri, dekat dengan meja guru, tempat ia dan seorang senior lain bernama Ara duduk. Sedangkan Divya, Baskara dan Citra diletakkan di tempat-tempat yang jauh dariku. Sial! Orang-orangan sawah ini menyebalkan! Maksudku si Ina-Ina ini. Eh, tunggu sebentar. Tanpa sengaja aku membaca isi pikiran Ina dan Ara. Apa?! Mereka tertarik padaku! Inilah alasan di balik aku yang dipindahkan ke sini. Dekat mereka. Hal ini sontak membuatku terdiam dan pucat, seperti orang yang menahan buang air besar. Benar-benar di luar ekspektasi. Bukan, aku bukan takut karena disukai oleh Ina dan Ara yang galak. Mereka berdua memiliki paras yang menarik, satunya cantik bak model, satunya lagi manis dengan senyum yang khas. Tapi, aku takut pada isi pikiran mereka yang begitu c***l. Pikiran mereka sangat kotor! Mereka memikirkan hal-hal tidak senonoh yang ingin mereka lakukan kepadaku. Tidak! Aku tidak bisa membiarkan ini! Aku tak mau keperjakaanku diambil oleh dua kuyang ini! Maaf, ibunda Ratu. Tapi, aku akan menggunakan sihirku untuk menjauhkan mereka. MOS hari ketiga sekaligus MOS terakhir di sekolah berjalan lancar. Aku benar-benar menggunakan kekuatan sihirku pada Ina dan Ara. Kubuat mereka tertarik pada murid lain, sehingga mengabaikanku. Fyuh! Aku selamat. Aku tak menyangka kaum hawa bisa memiliki pikiran yang sekotor itu. Apakah hal ini biasa untuk remaja-remaja ibukota? Aku, Divya, Baskara dan Citra kembali nongkrong di tempat kemarin, sebuah kafe. Lagi, Divya kembali mengeluh, dan diiyakan oleh Baskara dan Citra. Kali ini emosinya sudah di ubun-ubun. Jika kemarin dia ingin menjambak Ina, hari ini dia mau merebus wanita c***l itu di dalam kuali hidup-hidup. Fix! Divya di rumahnya makan orok! Tapi eh tapi, ada kisah lain yang datang dari Divya. Di balik amarahnya yang meledak-ledak pada Ina, ia ternyata didekati oleh seorang senior kelas 11, namanya Bagas. Wajahnya tampan, anak orang kaya, tapi menurut rumor yang beredar, dia adalah seorang playboy. “Saranku, lebih baik kau jaga jarak,” kataku. “Benar,” sahut Baskara dan Citra. “Tapi, dia terlihat sangat perhatian padaku,” kata Divya. Dia sudah kepincut. Aku lantas berusaha menyadarkannya. “Divy, semua buaya seperti itu. Kau bukan perempuan pertama yang mendapatkan perhatian itu. Kau tidak spesial di matanya,” kataku, berusaha meyakinkannya. Baskara dan Citra hanya mengangguk-ngangguk seperti mainan anjing yang ada di dashboard mobil. Saking miripnya, aku hampir mengira mereka mainan tersebut. “Iya, ya?” Divya mulai goyah. “Lagi pula ya, daripada sama Kak Bagas, mending kau sama Ogi,” saran Baskara yang langsung disambut tawa oleh Citra. Divya menggeleng ganas. Ia tak mau. “Ogi cocoknya dengan Citra. Mereka mirip,” katanya. Diikuti tawa. Kedua mata Citra membelalak. Baskara tertawa terbahak-bahak sembari sikap lilin. “Enak saja! Aku tak mau! Aku tak mau dengan lelaki yang jiwanya setengah-setengah seperti Ogi,” ujar Citra. Ya, Ogi memang terlihat seperti manusia yang tidak niat untuk hidup. Tatapan mata, gestur tubuh, caranya berbicara, benar-benar menggambarkan orang yang tidak memiliki hasrat untuk hidup di dunia. Apakah dia ada kelainan sehingga bersikap seperti itu? Sampai akhirnya, tibalah kami di hari MOS yang dilaksanakan di luar sekolah. Bumi Perkemahan dan Graha Wisata (Buperta) Wiladatika, Cibubur menjadi tempat kami berada saat ini. Tidak sendiri, kami melakukan MOS gabungan dengan Akademi Global Indonesia. Masih berada di bawah naungan yayasan yang sama dengan Akademi Jakarta Wisata. Di sini, aku mendapatkan banyak teman baru, sedangkan Divya mendapatkan senior baru yang ia benci, sama seperti Ina. Senior dari Global Indonesia yang bernama Mimi. “Rasanya ingin kutarik susunya!” ujar Divya yang membuat kedua mataku langsung membelalak. Dikira Mimi adalah sapi, susunya bisa ditarik-tarik? Ada-ada saja memang manusia pemakan orok satu ini. Hari pertama MOS berjalan sangat lancar. Aku kini akrab dengan tiga murid dari Global Indonesia, yaitu Akka, Bahrudin dan Berto. Mereka lucu dan aneh, sangat cocok dengan kepribadianku. Selain itu, mereka sangat humoris, khususnya Bahrudin. Sama-sama dari tanah Pasundan, tak butuh waktu lama bagi kami untuk saling cocok dan akur seperti saudara. “Din,” kataku. Memanggil Bahrudin. “Uy?” Bahrudin menoleh dengan sangat dramatis. Seperti model iklan shampo, padahal rambutnya cepak dan tak mungkin terkibas. “Kau tak pakai sempak, ya?” Bahrudin mengangguk. Aku tersenyum nakal. “Sama dong, hihihi.” Kami tertawa terbahak-bahak. Lalu berteriak, “Hidup kebebasan!” Semua orang memperhatikan, tapi kami tidak peduli. Saat jurit malam, aku, Divya, Baskara dan Citra dipersatukan dalam satu kelompok, plus Akka, Bahrudin dan Berto ada di dalamnya. Yes! Kami satu tim! Ada satu lagi murid perempuan bernama Avinna, yang kupanggil Avi. Dia cantik, tapi tomboy. Dan yang terpenting, dia sama anehnya denganku, juga yang lain. Kami langsung terkoneksi. Tapi, ada yang aneh. Hatiku selalu saja berdebar tiap kali berinteraksi dengan Avi. Apakah ini yang dinamakan tanda-tanda serangan jantung? Semoga saja tidak. Tim kami paling heboh dan paling berani. Hantu, jumpscare, teriakan para senior, tak ada yang membuat kami takut. Kami benar-benar menikmati acara jurit malam yang seru ini. Bahkan, saat kami dihukum untuk push up karena menertawakan Bahrudin yang kentut, kami melakukannya dengan riang gembira. Namun, semuanya berubah saat suara jeritan seorang murid terdengar, menggelegar memecah malam. Beberapa senior dan guru berlarian panik menuju sumber suara. Apa yang terjadi? Apakah ini gimmick? Jika iya, tapi jeritan tadi terdengar sangat nyata bagiku. Sesaat kemudian, kurasakan bulu kudukku berdiri. Merinding. Ada yang tidak beres. Ini bukan gimmick. Benar saja, seorang siswi peserta MOS dari Global Indonesia datang digendong oleh Pak Nanda—guru olahraga dari Jakarta Wisata—dan seorang senior bernama Abril—ketua OSIS dari Global Indonesia. Ia terus menjerit dan mengamuk, tubuhnya mengejang hebat. Ia kesurupan. Kedua matanya memutih. Dari penglihatanku, sesosok jin tengah merasukinya. Makhluk itu sangat marah. Apa yang terjadi? “Berikan kami air!” pinta Pak Nanda. Belum sampai botol air di tangan Pak Nanda, suara jeritan kembali terdengar. Disusul dengan suara jeritan-jeritan lain. Belasan siswi peserta MOS dan bahkan beberapa senior perempuan baik dari Jakarta Wisata, maupun Global Indonesia mulai kesurupan. Gila! Ini pertama kalinya dalam hidupku. Kesurupan masal terjadi. Ini benar-benar gawat. Kegiatan jurit malam dihentikan. Para peserta MOS diminta untuk kembali ke tendanya masing-masing. Aku tak ikut, aku memutuskan untuk membantu. Awalnya, Pak Husein melarang. Ia mengusirku. “Sangat berbahaya! Pergi ke tendamu!” katanya sedikit membentak. Enggan menurut. Aku tak mau pergi. Setelah kujelaskan padanya bahwa aku paham dan mengerti dengan hal-hal seperti ini, beliau lantas mengizinkanku untuk tinggal. Aku diperbolehkan membantu. Seluruh siswi peserta MOS dan senior anggota OSIS yang kesurupan dikumpulkan di satu tempat yang sama. Kondisi mereka sama, ada jin yang marah di dalam tubuh mereka. Lantas, aku mencoba untuk berkomunikasi dengan salah satunya. “Dasar manusia berengsek! Berani-beraninya kalian mengotori tempat kami,” ucap jin itu menggunakan bahasanya. Hanya aku yang mengerti. Pak Husein yang bisa melakukan proses pengusiran jin dan roh jahat pun tak paham. “Ada apa? Siapa yang telah mengotori tempat kalian?” tanyaku. Setelah itu, jin tersebut menjelaskan kronologi yang terjadi, lengkap dengan nama orang-orang yang terlibat di baliknya. Mengetahui hal itu, sontak membuatku merasa kesal. “Panggil Lucinta ke sini, sekarang!” pintaku. Pak Husein tampak bingung. Sedangkan, beberapa senior berlari menghampiri tenda tempat Lucinta berada. Setelah Lucinta datang, aku langsung meninju wajah Kak Bagas di depan semua orang. Semuanya tampak terkejut, pun dengan Kak Bagas. “Apa-apaan kau—“ Belum sempat Kak Bagas menyelesaikan perkataannya, aku kembali meninjunya tepat di pipi satunya. Imbang, pipi sebelah kanan dan kirinya memar. Sebentar lagi wajahnya akan mengembang seperti bakpao. Pak Nanda berusaha menghentikanku, tapi aku langsung mengatakan pada semua orang tentang apa yang sebenarnya terjadi. “Si b******k ini.” Kutunjuk Kak Bagas. “Telah berhubungan badan dengan dia.” Lalu kutunjuk Bu Marpuah, guru seni budaya di Jakarta Wisata. Loh? Kenapa beliau?! “Eh, maaf, Bu. Salah tunjuk,” kataku. Lalu mengoreksi dengan menunjuk Lucinta. “Di salah satu bilik toilet yang ada di sini! Mereka melakukannya beberapa kali! Hal inilah yang mengganggu para penunggu di sini!” Semua orang tampak terkejut. Mereka tidak percaya dengan ucapanku. Mereka pikir aku mengada-ngada. Bahkan, Kak Bagas berusaha untuk membela diri. Ia menyangkal semuanya. “Dasar orang gila!” kata Kak Bagas emosional. Aku menyeringai. Buaya satu ini menyebalkan sekali. Jika kulitnya bisa dijual, mungkin sudah kukuliti dia sekarang menggunakan gunting kuku. Kutatap Lucinta yang kini menunduk. Dari dalam pikirannya, aku bisa melihat betapa menyesalnya ia dan juga betapa takutnya ia akan janin yang mungkin saja akan terbentuk di dalam rahimnya. Ya, si buaya buntung ini bermain dan membuang ampasnya di dalam sana. Dasar orang sinting! Merasa tak ada pilihan lain, akhirnya aku menekan Lucinta untuk berbicara jujur. Kupojokkan terus, hingga akhirnya, gadis berbodi aduhai itu—eh! Aku harus fokus! Sampai akhirnya, Lucinta berbicara yang sejujur-jujurnya di depan semua orang bahwa ia sudah digauli oleh Kak Bagas. Semua itu atas dasar cinta—suka sama suka. “Dia bilang, dia akan bertanggung jawab,” ujar Lucinta dengan tubuh yang bergetar. Mendengar penuturan tersebut, kini gantian Kak Bagas yang diinterogasi. Awalnya ia terus mengelak, tapi setelah beberapa kali didesak, akhirnya ia mengaku. Satu tinjuan pun melayang di wajahnya. Tinju dari kepala sekolah kami, Pak Ernan. “Dasar b******n! Ulahmu bisa membuat jelek nama sekolah!” Kak Bagas hanya bisa menunduk mendengar perkataan Pak Ernan. Hidungnya mengeluarkan cairan berwarna merah. Bukan sirup, tapi darah. “Mulai hari ini kamu dikeluarkan dari sekolah, pun dengan kamu.” Pak Ernan menunjuk ke arah Bu Marpuah. Lagi-lagi salah tunjuk. Lalu dikoreksi dengan menunjuk Lucinta. Gadis itu menangis histeris. Meminta maaf. Sebab musabab dari kasus kesurupan masal ini sudah diketahui. Para pelakunya pun sudah mendapatkan hukuman yang setimpal. Kini, tinggal menenangkan kembali para jin yang marah. Mau tidak mau aku harus mencari jin penguasa yang menguasai daerah ini. Aku harus bernegosiasi. Benar-benar merepotkan. Beberapa saat berlalu, aku yang berhasil bernegosiasi dengan jin penguasa, lantas membuatkan ramuan sihir untuk diminumkan kepada orang-orang yang kesurupan. Ramuan yang terbuat dari campuran tanaman, bunga, tanah tempat ini dan liur dari jin penguasa itu berhasil mengeluarkan para jin yang marah. Orang-orang yang kesurupan berhasil tersadar. Masalah terselesaikan. Sangat lelah. Itu yang aku rasakan. Pak Husein sangat berterima kasih atas bantuanku. Guru-guru yang lain memuji kehebatanku. Para senior yang tahu bahwa aku memiliki kelebihan di bidang ilmu pergaiban, lantas mulai membicarakanku. Okay, sepertinya aku akan menjadi bahan perbincangan orang-orang di sekolah nanti. Tidak, bukan hanya satu sekolah, tapi dua sekolah, Jakarta Wisata dan Global Indonesia. Kalau sampai Ibunda Ratu tahu bahwa anaknya terkenal sebagai dukun di sini, bisa gawat. Bersambung …

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
307.8K
bc

Too Late for Regret

read
273.6K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.6M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
136.0K
bc

The Lost Pack

read
377.0K
bc

Revenge, served in a black dress

read
144.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook