Aku suka bernyanyi dan bermain alat musik. Buktinya, aku memiliki chopper di dapurku untuk menghaluskan bahan-bahan masakan, oven untuk memanggang, dan catokan untuk mencatok s**u wanita-wanita gatal di luar sana. Oke, ini tidak nyambung sama sekali. Tapi kumohon, jangan lempar cangkul ke kepalaku, karena cangkul adalah senjata keramatnya Divya.
Aku punya gitar. Aku suka bernyanyi sembari bermain gitar, dan hal ini selalu kurekam di ponsel jadulku. Bukan untuk diunggah, tapi hanya untuk dinikmati sendiri. Aku suka mendengar suaraku sendiri.
Ponsel jadulku mulai menampilkan tanda-tanda akan rusak. Huft, sepertinya aku harus membeli ponsel yang baru. Kucek tabunganku, dan ada uangnya. Tapi, aku tak rela untuk mengeluarkannya. Sepelit inikah diriku? Rasanya lebih worth it membeli kue tete segerobak, ketimbang membeli ponsel baru.
Seperti biasa aku datang ke sekolah bersama Baskara. Tapi, kali ini aku yang mengemudikan motor. Tampak jelas di wajah Baskara kalau ia mengantuk. Mungkin karena cara mengendarai motorku yang taat aturan, sehingga membuatnya bosan di perjalanan.
“Arka,” panggil seseorang.
“Eh, Nara,” sapaku balik.
Dia adalah Naraya, teman sekelasku. Siswi tercantik nomor 2 di kelasku dan juga di seantero sekolah. Kecantikan wajahnya tidak perlu diragukan lagi. Jika Maya cantik dan seksi bak model, Naraya ini cantik, imut, lucu dan manis seperti idol-idol Jepang yang kawai. Tapi, wajahnya tidak seperti orang Jepang ya. Wajahnya pribumi, tapi sangat putih dan bersih. Setahuku dia ada keturunan Minang.
“Tumben kau datang sepagi ini?” tanyaku.
“Iya, sedang ingin,” jawab Naraya. Tersenyum.
Semesta! Dia cantik sekali. Benar-benar tipeku. Okay, keep calm, Arka. Kau harus tetap terlihat cool, walau aslinya kau sedikit gila.
Aku lantas mencari-cari keberadaan Maya dan Arsy. Mereka selalu datang bersama Naraya, rombongan. Arah rumah mereka sama. Satu jalur. Tapi batang hidung mereka sama sekali tidak terlihat.
“Kau tidak bareng Maya dan Arsy?”
Naraya yang sedang melepas sarung tangan polkadotnya menggeleng. Sepertinya dia memang ingin berangkat pagi, sehingga tidak mengabari kedua temannya itu.
“Ayo, ke kelas bersama,” ajakku, dan diiyakan olehnya.
Kami berjalan bersama meninggalkan area parkir. Mengobrol biasa layaknya teman satu kelas. Awalnya semua normal-normal saja. Sebelum akhirnya, Baskara datang dan meneleding tackle kakiku. Aku terjungkal, terlempar bolak-balik, terpontang panting, akrobatik di udara, berputar bak torpedo, menari saman sembari melawan gravitasi, sebelum akhirnya terkapar tidak berdaya. Lemah, tak memiliki tenaga. Aku terluka. Tolong. Okay, aku terlalu lebay. Aku hanya terkapar dengan Baskara yang tertawa puas.
“Bisa-bisanya kau melupakan bro-mu ini. Benar-benar bestie yang tidak punya hati,” kata Baskara.
Benar juga. Aku lupa kalau ada dia.
“Maaf, maaf. Aku kira yang berdiri di dekatku tadi tong sampah. Makanya, aku langsung pergi begitu saja,” kataku. Melakukan pembelaan.
Itu karena jaket yang dikenakan Baskara warnanya sama dengan tong sampah yang ada di sekolah ini.
“Sialan kau! Jaket distro nih!” Baskara membanggakan jaket mahal itu. Tapi, bagiku itu hanya jaket. Ya, jaket. Benda yang digunakan untuk menangkal dingin.
Akhirnya, kami bertiga pergi ke kelas bersama.
Di jam istirahat pertama aku memutuskan untuk jajan bersama ketiga bestie-ku. Siapa lagi kalau bukan Divya, Baskara dan Bu Marpuah—eits, bukan dong. Tapi, Citra.
“Hah?!” Aku terkejut. Tercengang. Menganga. Mulutku berbusa. Dari kedua lubang hidungku keluar dana bansos. Tidak, tidak begitu. Aku hanya tercengang. Kenapa? Baterai ponselku yang sebelumnya 80 persen, kini hanya tersisa 5 persen. Wah, sepertinya benda elektronik, kecil, sekeras kristal ini memang minta diganti.
“Nara, titip ya,” kataku pada Naraya. Aku me-charging ponselku di meja guru yang berada di depan meja Naraya.
“Okay,” katanya.
“Aku mau ke kantin. Mau titip beli sesuatu, tidak?” Mungkin saja ia mau membeli sesuatu. Jadi, biar sekalian saja.
Naraya berpikir sejenak.
Oh, s**t! Bagaimana bisa hanya dengan berpikir saja dia terlihat sangat cantik, imut dan lucu. Tidak seperti Citra, yang bernapas saja sudah membuatku merinding dan trauma. Aku butuh psikolog. Tolong! Bawa aku ke psikiater sekarang juga!
“Tidak deh. Aku masih kenyang,” ujar Naraya.
Aku pun pergi meninggalkan kelas bersama dengan bestie-bestie-ku. Sekembalinya aku ke kelas, aku langsung terkejut saat mendapati Naraya sedang mendengarkan lagu dari ponselku.
“Pinjam ya, Ka,” kata Naraya. Aku pun tak keberatan. Toh, Divya juga sering kok meminjam ponselku untuk mendengarkan ayat ruqiyah.
Saat bel tanda jam istirahat pertama usai berbunyi, Naraya menghampiriku dan lalu memberikan ponselku beserta charger-nya. Aku lantas mengucapkan terima kasih. Tapi, hal yang tidak terduga terjadi setelahnya. Naraya tersenyum dan lalu memuji suaraku. Tunggu sebentar … jangan-jangan dia mendengar seluruh rekaman suaraku. Tidak! Aku malu!
Hari-hari berlalu. Sejak hari itu, Naraya jadi sering meminjam ponselku. Bukan untuk mendengarkan lagu, melainkan untuk mendengarkan ayat ruqiyah. No, no, no, dia ingin mendengarkan rekaman suaraku. Dia ketagihan. Katanya, suaraku benar-benar bagus dan menghipnotis. Setiap lagu yang aku bawakan penuh dengan penghayatan. Bahkan, lagu favoritnya yaitu, Sekali Ini Saja milik Glenn Fredly, ia lebih suka versiku, ketimbang versi aslinya. Ya, aku meng-cover lagu itu. Playlist rekaman suaraku kini menjadi playlist favoritnya.
“Kenapa kau tidak ikut Indonesian Mencari Zakat saja, Ka?” tanya Naraya.
“Indonesian Idol dong, Nara. Kan aku jago menyanyi,” sanggahku.
“Oh, iya ya. Maaf, aku memang suka benar.” Dia tertawa kikuk.
“Salah dong. Kan kamu salah ucap,” sanggahku lagi.
“Oh, iya ya. Maaf lagi.”
Apakah kekurangan dari wanita berwajah cantik semuanya sama, yaitu agak oon? Entahlah. Tapi, baik Maya dan Naraya, keduanya memang agak sedikit lola—loading lama.
Aku memang pandai bernyanyi, tapi entah mengapa aku merasa tidak percaya diri jika harus bernyanyi di depan banyak orang. Aku takut suaraku crack, gagal mencapai nada tinggi, atau ada nada yang false. Tapi, berkat pujian yang diberikan Naraya, entah kenapa aku jadi memiliki sedikit keberanian. Sepertinya aku harus mencoba bernyanyi di depan banyak orang.
“Aduh, celana dalamku sepertinya bolong,” ucap Citra tiba-tiba. Aku dan Baskara yang duduk di belakang sontak membulatkan mata.
“Kenapa memangnya?” tanya Divya.
“Rasanya adem, semeriwing,” jawab Citra asal.
Aku dan Baskara langsung tertawa terbahak-bahak, sedangkan Divya bersiap melempar meja. Sepertinya ia akan memasuki mode awakening. Tingkah Citra memang suka di luar nalar. Tidak terprediksi, tidak terdeteksi. Dia adalah sebuah anomali.
“Eh, nanti pulang sekolah ke PIM yuk,” ajak Baskara.
PIM, Pondok Indah Mall, salah satu mal elite yang lokasinya tidak jauh dari sekolah kami, dekat juga dengan rumah Divya. Kita sudah beberapa kali ke sana, dan aku selalu saja bersikap norak setiap kali aku menginjakkan kakiku di tempat megah itu. Maklum, di kampung halamanku tak ada mal sebesar PIM. Jadi, wajar kalau tiba-tiba saja aku ingin rebahan dan guling-gulingan di dalam sana. Tolong maklumi anak desa yang masih lugu, polos dan hijau ini.
“Ayo!” sahut Divya dan Citra semangat. Mereka ingin membeli pernak-pernik di tempat yang bernama Stroberi.
“Kalian mau ke PIM?” tanya Naraya tiba-tiba. Ikut nimbrung.
“Iya, Ra. Kamu mau ikut?” tanya Divya. Naraya mengiyakan.
Teman-teman kami yang lain pun ikut nimbrung. Mereka juga ingin ikut. Alhasil, dari yang awalnya berempat, kami akan pergi ke mal besar itu secara rombongan. Belum berangkat, tapi aku sudah membayangkan akan seberisik apa rombongan kami nanti. Ya, kelas kami memang terkenal sebagai kelas yang paling gaduh, berisik dan heboh. Maklum, setengah dari murid-muridnya memang jelmaan setan. Aku hanya bercanda.
Dan benar seperti dugaanku, setibanya kami di PIM, kegaduhan dan kehebohan langsung terjadi. Tidak hanya para gadis, tapi juga para lelaki yang seperti cacing kepanasan. Dari awal pintu masuk, hingga ke dalam mal yang ramai. Kami benar-benar berisik. Orang-orang memperhatikan kami. Apakah kami merasa malu? Tentu tidak! Urat malu kami sudah putus, apalagi Yoga dan Zain. Mereka benar-benar out of the box. Padahal dari segi visual, Zain bisa dibilang tampan. Tapi, tingkahnya benar-benar seperti anak punk yang kebanyakan nge-lem.
“Everybody shuffling. Tet-tet-tet-tet, tet, tet, tet-tet-tet-tet, tet, tet,” ucap Baskara. Ia, Yoga dan Zain lanjut shuffle dance. Ya, di depan keramaian. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Setidaknya mereka tidak buang air besar di pojokan mal.
Kami berkeliling mal cukup lama. Tak ada yang kami beli. Hanya window shopping—melihat-lihat. Selama berkeliling ini, entah hanya aku yang sadar atau Naraya juga, tapi kami selalu jalan berduaan. Mepet, seperti anak kembar siam. Mengobrol dan bercanda, seakan-akan dunia milik berdua. Jujur, aku merasa nyaman.
Apakah ini adalah tanda tumbuhnya benih-benih cabai di antara kami?
Sampai akhirnya kami lelah dan lapar. Waktunya untuk makan malam. Kami cukup bingung memilih tempat makan. Sebelum akhirnya, menjatuhkan pilihan pada tempat makan steak yang terkenal. Harganya memang cukup mahal. Tapi, tak apalah. Hitung-hitung pengalaman.
Awalnya, aku duduk bersama dengan ketiga bestie-ku. Tapi, entah bagaimana, formasinya jadi berubah. Aku jadi duduk sebelahan dengan Naraya. Padahal sebelumnya, Naraya terus dipepet oleh temanku yang bernama Ibra. Akhirnya, sepanjang sesi makan malam itulah hubunganku dan Naraya semakin dekat. Bahkan, percakapan kami berlanjut hingga kami pulang ke rumah.
“Aku mau request lagu, boleh?” tanya Naraya. Kami sedang teleponan.
“Boleh. Mau request lagu apa?” tanyaku.
“Lebih Indah dari Adera,” jawabnya.
“Okay, siap, Bosku.”
Setelah itu sambungan telepon terputus dan aku mulai mendengarkan lagu Adera, Lebih Indah. Ternyata lagunya enak. Kekinian. Aku akan membawakan versi akustiknya, yang kujamin akan terdengar jauh lebih enak, ketimbang versi aslinya.
Seperti perkiraanku, lagunya memang jauh lebih enak saat dibawakan dengan gitar akustik. Terbukti dari respons Naraya yang begitu menikmatinya. Ia bahkan meminta lagu itu untuk disimpan di ponselnya. Untuk teman saat berkendara. Aku mengizinkannya.
Hal yang tidak terduga pun terjadi. Hampir satu sekolah menyetel lagu Adera yang aku cover. Aku terkejut. Bagaimana bisa mereka mendapatkan lagu itu?
Aku kira semua ini karena ulah Naraya. Ia yang menyebarkannya, tapi ternyata tidak. Ini semua adalah ulah Mia, sahabat Naraya yang ternyata tak sengaja mendengarkan lagu itu di ponsel Naraya, dan lalu menyimpannya di ponselnya, kemudian menyebarkannya ke murid-murid lain. Karena hal inilah aku jadi semakin terkenal.
Naraya meminta maaf, tapi aku tidak mempermasalahkannya. Toh, bubur sudah menjadi lasagna, kita bisa apa?
Respons positif datang dari orang-orang. Mereka memuji suara dan caraku memainkan gitar. Bagus, rapi, dan penuh penjiwaan. Para guru—ya, lagu yang kunyanyikan sampai ke telinga mereka—bahkan memintaku untuk mengisi acara, jika ada acara yang diadakan sekolah. Aku pun mengiyakan. Namun, ada satu kritik yang datang menghampiriku. Kritik yang selalu sama. Yaitu, kualitas rekamanku yang kurang bagus. Mereka menyarankanku untuk merekam menggunakan perekam suara yang bagus.
Mendengar kritik itu, sepertinya aku harus membeli ponsel baru. Maaf tabungan, tapi aku harus menggunakanmu.
Ponsel baru sudah di tangan. Atas saran teman-teman dan senior, aku membuat akun di aplikasi Soundcloud, sebuah aplikasi berbagi suara, tempat di mana orang-orang mengunggah suara-suara mereka saat sedang bernyanyi—cover lagu, atau podcast. Tak kusangka, pendengarku langsung melesat, pun dengan pengikutnya. Hal ini membuatku semakin percaya diri dengan suaraku.
Hubunganku dan Naraya semakin dekat. Tapi, pada suatu hari, tiba-tiba saja sikapnya berubah. Ia seakan-akan kehilangan minat padaku. Tak merespons seramah biasanya, hampir tak pernah membalas chat atau komentar di sosial media. Tak lagi tergila-gila dengan suaraku, bahkan ia tak seperti Naraya yang aku kenal—riang, seorang happy virus.
Awalnya, aku pikir dia sedang ada masalah di rumah. Teman-teman yang lain juga berpikir begitu. Tapi, alasan sebenarnya di balik sikapnya terkuak saat ia tiba-tiba saja menghampiriku dan lalu memintaku memeriksa kondisinya.
“Aku merasa ada yang tidak beres dengan diriku. Apakah ada sesuatu yang menempel di tubuhku?” katanya.
Atas permintaannya, aku memeriksanya. Eh? Apa ini? Sebuah mantra pengikat aktif di dalam otaknya. Membuat pandangan, pendengaran dan suasana hatinya terpengaruh, sehingga sikapnya berubah. Ini guna-guna. Seseorang sengaja mengirimkannya.
Seakan tidak terkejut, Naraya meminta padaku untuk menghancurkan guna-guna tersebut. Aku bisa melakukannya. Tapi, sebelum itu aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa ia bisa diguna-guna? Apakah ada seseorang yang menyukainya, tapi cintanya tak terbalas?
“Mantan pacarku, Iky. Dia tidak ingin mengakhiri hubungannya denganku. Tempo hari, dia bilang padaku, aku akan membuatmu tetap jatuh cinta padaku bagaimanapun caranya. Karena perkataannya itulah, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan diriku. Apalagi setelah Mia mengatakan, jika aku bertingkah aneh, tidak seperti aku yang biasanya,” ujarnya.
Jleb! Itu yang aku rasakan saat mendengar tentang mantan pacar Naraya. Entahlah, aku seakan tidak suka ia membicarakan tentang mantan pacarnya. Tunggu sebentar … apakah aku cemburu?
“Aku bisa membantumu. Tapi, aku butuh waktu. Aku harus membuat ramuan untuk menghancurkan mantra guna-guna ini. Mantra ini sangat kuat. Bukan sekedar mantra biasa,” kataku.
Naraya mengangguk. Ia bersedia menunggu.
“Aku percaya padamu, Ka.”
Satu minggu kulalui hanya untuk membuat ramuan penghilang dan penangkal guna-guna terampuh. Aku bahkan sampai menghubungi Ibunda Ratu dan Abah—kakekku di kampung agar ramuan yang kubuat berhasil seratus persen. Kujelaskan semuanya pada mereka, dan akhirnya mereka mau membantu.
Untuk membuat ramuan ini tidak sulit. Yang sulit adalah mencari bahan-bahannya. Tanaman yang hanya mekar sekali selama bertahun-tahun tumbuh merupakan bahan utamanya. Aku harus memetik bunga tersebut tepat saat bunga tersebut mekar.
Setelah satu bulan berlalu, akhirnya aku berhasil menciptakan ramuan tersebut. Kuberikan langsung pada Naraya yang kondisinya sudah semakin parah. Saking parahnya, kata Mia, Naraya sudah balikan dengan mantannya dan sering menghabiskan waktu berduaan.
Kuminumkan ramuan tersebut pada Naraya. Awalnya dia menolak, efek dari mantra guna-guna yang memerintahkannya untuk melawan. Tapi, berkat bantuan Mia, Divya, Citra, Maya dan Arsy, akhirnya ramuan itu berhasil terminum. Naraya sempat mengejang hebat beberapa saat, sebelum akhirnya pingsan. Semua orang panik, tapi kukatakan pada mereka bahwa semuanya akan baik-baik saja. Semuanya berada di bawah kendali.
Dua minggu berlalu, kondisi Naraya kian membaik. Ia sudah kembali ke sosok Naraya yang aku kenal. Ceria, riang gembira. Senyum dan sapaan ramah itu kembali datang menghampiriku. Kami kembali menjalin hubungan seperti sebelumnya. Naraya pun sudah putus dengan mantannya yang gila itu. Aku puas saat Mia mengatakan, bahwa Naraya memberikan lelaki itu tamparan keras di wajahnya. Hal yang tidak pernah Naraya lakukan pada siapa pun sebelumnya. Akhirnya, hari-hariku kembali berwarna. Dari sinilah, aku tersadar, jika aku jatuh cinta pada Naraya. Haruskah kuungkapkan perasaanku ini padanya?
“Kamu benar-benar teman baikku, Ka. Terima kasih atas segalanya,” ucap Naraya yang seketika membuatku merasa sedih.
Tidak, aku tidak mengungkapkan perasaanku. Naraya tiba-tiba saja berbicara seperti itu saat kita sedang ke kantin berdua. Ternyata, dia hanya menganggapku sebagai teman baik. Sama seperti dia menganggap Mia. Tidak lebih. Hal ini pun kubuktikan dengan membaca isi pikirannya tentangku—tanpa izin. Memang tidak sopan, tapi aku harus memastikannya.
Dan ya … benar. Dia hanya menganggapku sebagai teman baik. Tidak lebih. Sikap baiknya, ramahnya, senyumnya, itu semua adalah wujud rasa sayang antara teman baik. Cintaku bertepuk sebelah tangan. Rasanya sakit sekali. Semesta, aku ingin menangis. Tapi, aku baru ingat, kalau uang tabunganku yang berkurang karena harus membeli ponsel baru, jauh lebih membuatku sedih, ketimbang cintaku yang bertepuk sebelah tangan ini.
Huft, tak apa lah. Setidaknya kami masih menjadi teman baik. Aku takkan mempermasalahkan cintaku yang tak terbalas ini. Toh, cinta itu tak harus memiliki. Bisa melihat orang yang dicintai tersenyum bahagia, walau bersama orang lain, itu saja sudah cukup.
Iya, kan?
Bersambung …