7. Es Krim Hangat

2636 Kata
 Citra ikut berkelung selimut setelah menutupi tubuh Panji sangat baik menggunakan selimut yang sama. Dia sampai mengitari tubuh Panji dengan bantal. Dirinya sendiri tidak dapat bantal. Panji diam saja malas menanggapi. Terserah Citra mau berbuat apa, yang penting dia pura-pura tidur saja.  "Panji udah tidur manis. Hih, gemes banget pengen meluk. Eh, jangan ntar dia ngamuk," terkikik seraya tidur memandang punggung Panji.  Panji masih bisa mendengarnya. Dia menggerutu dalam hati berdoa agar gilanya Citra hari ini cepat hilang.  'Mimpi apa dia pengen meluk aku? Astaga, Citra bahaya ini!' batinnya.  Selagi jarum jam terus berputar, selama itu Citra tidur nyenyak bahkan sambil tersenyum. Panji meliriknya sesekali membuatnya heran lagi. Sebahagia itu perasaan Citra sampai tidur pun tersenyum. Pasti memimpikan sesuatu yang indah. Panji jadi ikut mengurai senyum.  Terkadang memaksakan diri itu baik. Pagi tiba dengan begitu cerahnya menyalurkan hawa positif bagi siapapun yang ingin berjemur atau sekadar berolahraga ringan. Panji sedang olahraga di halaman belakang. Namun, yang sibuk justru Citra dengan segala hal yang dia buat di dapur. Mulai dari sarapan, jus, s**u, minuman hangat dan dingin, katanya semuanya untuk Panji. Panji sudah bersiap-siap untuk lari dan mencari seribu alasan agar menghindari semua yang sudah tertata rapi di meja makan.  "Panji, aku bawain sarapan spesial buat kamu pagi ini. Dimakan, ya, sebelum keburu dingin... Loh, Panji ke mana?"  Setelah meletakkan hidangan terakhirnya di meja dia tidak mendapati Panji di halaman belakang lagi. Sekarang kebingungan mencari suaminya di sekitar rumah. Tak kunjung menemukannya dia memilih bertanya pada tetangga. Ibu-ibu yang pernah marah-marah ketika mati listrik dan berhasil membuat Panji terhibur itu menunjukkan jika Panji pergi lari pagi menuju taman kompleks. Citra mendengkus karena harus mengikutinya.  'Bukan soal aku mulai menaruh rasa padanya, tetapi aku menilai perjuangan Panji hingga ke titik saat ini terlalu berat sampai dirinya tidak layak diremehkan lagi. Pekerjaan rahasia tanpa pamrih juga bisa menguras otaknya kapan saja. Mungkin kemarin dia terkihat bodoh dan aku tahu kalau dia sengaja membiarkanku melakukan itu semua. Pikiran Panji tidak sesederhana itu. Dia cenderung menyembunyikan kerumitannya. Aku juga sadar kalau kemarin dia mengujiku diam-diam apakah aku bisa memecahkan kasus mendadak dari restorannya. Ternyata aku bisa, lalu dia panik mencariku saat nomorku tidak bisa dihubungi. Karena itu aku gemas menggodanya dengan makanan ketika pulang. Sampai sekarang pun aku masih gemas. Apa mungkin masih ada rahasia lagi yang Panji sembunyikan? Ah, aku lupa untuk menindaklanjuti masalah pundak Panji,' batin Citra seiring berlari menuju taman kompleks.  Setidaknya di sana dia tidak melihat Panji. Hanya orang-orang yang juga sedang berolahraga ringan mengitari taman kompleks. Citra memegang lututnya capek. Mengamati satu per satu orang demi mencari Panji. Tiba-tiba sebuah es krim datang di hadapannya membuat Citra menoleh.  "Satu es krim hangat untukmu yang kelelahan, Nona."  Citra sedikit ternganga, "Panji! Ih, dicariin kemana-mana juga. Ini apa?" mengangkat tangannya ingin memukul Panji justru membuat Panji terkekeh. Kemudian, dia menerima es krim itu.  "Namanya es krim hangat. Cobain, deh. Pasti ketagihan!" Panji merenggangkan otot-otot tangannya lagi.  "Es krim hangat? Gimana bisa dibilang hangat kalau namanya aja es? Ada-ada aja, deh." menelitit bentuk es krim itu yang mengerucut sudah hampir cair. Memang sedikit hangat jika dipegang. Ternyata setelah Citra memakannya es krim itu memiliki cone yang hangat dan es krim-nya dingin. Jadi menimbulkan sensasi berbeda di dalam mulut.  "Wow, kok gini? Kamu dapat dari mana?" Citra menghabiskan semuanya.  "Hehe, rebut punya adek yang di sana. Tuh, dia masih nangis." dengan polosnya Panji menunjuk ke arah seorang anak kecil yang menangis dan sedang dibujuk orang tuanya.  "Apa? Yang bener aja. Gila kamu, ya?" pekik Citra.  "Hahaha, ya jelas enggak lah. Kamu tuh ngapain nyusul kemari? Pasti tadi bingung nyariin aku, 'kan?" Panji mendorong wajah Citra yang sedikit cemberut.  "Apa, sih? Iya jelas nyariin orang kamu ilang. Dari halaman belakang kok bisa ada di taman kompleks. Aku udah capek-capek masakin banyak buat kamu malah kamu tinggal pergi," jawabnya dengan sekali tarikan napas.  "Hiiii, pemborosan. Kamu kenapa kok jadi aneh sejak kemarin? Ngaku!" tuntut Panji.  "Hmm? Aneh gimana?" Citra mengernyit.  "Lakuin ini dan itu ganggu aku terus ada apa? Sok perhatian! Aku bisa rawat diri sendiri!"  "Emmm, jawab nggak, ya?" Citra mengulur-ulur waktu. Panji memutar bola mata malas sambil memasukkan tangan ke saku celana. "Pokoknya aku pengen ganggu kamu aja. Harusnya bilang makasih udah aku perhatiin. Temen yang baik, 'kan aku? Ntar malam jadi nonton film layar lebar, ya. Kalah nggak jadi aku acak-acak restoranmu!"  Panji mendelik karena Citra mengancamnya.  "Yaudah, silahkan olahraga lagi. Aku tungguin di sini." mempersilahkan dengan amat sopan.  Panji bergidik, "Ih, ngeri kalau kamu kayak gini tiap hari. Hus-hus, pulang aja!" lari kecil-kecil mengitari taman kompleks dan Citra melambaikan tangan masih enggan untuk pulang.  Saat matahari mulai naik, Citra buru-buru pulang. Dia lupa kalau masih ada pekerjaan yang menantinya. Panji memang sengaja berlama-lama di taman kompleks untuk melihat seberapa paniknya Citra ketika ingat pekerjaan. Dia tertawa terbahak-bahak, Citra lari tunggang-langgang setelah menepuk dahinya dan sibuk celingukan mencari dirinya. Panji yakin sekali jika Citra ingin berteriak meminta izin untuk pulang. Setelah itu baru dia bisa pulang dengan santai tanpa takut paksaan memakan semua hidangan di meja makan.  Di rumah pun Citra sangat terburu-buru sampai tidak sempat memakan sarapannya. Kalau jalanan macet pasti dia akan terlambat. Panji bisa santai untuk datang ke restoran miliknya sendiri.  Kurang lebihnya lima menit untuknya bisa masuk ke kantor. Dia harus menghirup udara banyak-banyak setelah duduk di kursinya. Mengipasi wajah cepat padahal ada pendingin ruangan. Dua teman dekatnya langsung mendekat mencari harum-harum keringat pengantin baru di pagi hari.  "Kamu nyium sesuatu nggak?" tanya Kalisa pada Nuri berhasil membuat Citra menoleh.  "Ada harum semerbak udara pagi di tiga tempat sekaligus," jawab Nuri serius.  "Ha?" Citra menyahut.  "Ini harum lebih dari sekadar itu, Nur. Tapi harum bunga-bunga bermekaran di malam hari yang indah nan gelap sampai parfum pun kalah," Kalisa mulai mendrama.  "Kalian ngomong apa, sih?" Citra meringis.  "Jangan-jangan ada yang lagi main tolak ulur mode pertama, nih," sambung Kalisa lagi.  "Tolak ulur? Sudah masuk satu tahap dalam dunia percintaan benar?" Nuri ikut mendrama.  'Tolak ulur? Apa yang ditolak apa yang diulur?' pikir Citra.  Sedikit mendongak memikirkan ucapan kedua temannya membuat Kalisa berdecak mengetuk meja kerja Citra. "Maksudnya kalian berdua ada main semalam. Hayo... Udah berani maju duluan, nih." menaik-turunkan alisnya.  "Cieee, tahap kayak layangan segala ditarik terus diukur segala," goda Nuri.  Citra memandang mereka heran, "Eh, nggak jelas banget. Apa coba yang kalian maksud? Tiap hari mainku juga sam Panji kali. Orang tinggalnya serumah." berpikir positif saja sambil mulai bekerja.  "Yahh, nggak mau ngaku yaudah. Kita mah cuma penonton setia, iya nggak, Nur?" Kalisa melirik Nuri setelah itu kembali bekerja.  "Bener banget! Dari senyum, buru-buru, sama auranya Citra itu kentara banget kalau habis ada main sama Panji. Jangan bilang itu main yang hanya boleh dimainkan sama pasutri, ya?" dengan polosnya bertanya pada Kalisa membuat Citra melotot.  "Maksud kalian apa? Nggak ada, ya, hubungan kayak gitu-gitu nggak ada. Kami seratus persen teman. Hilangkan jauh-jauh pemikiran kayak gitu apalagi kamu, Nuri. Nggak usah dengerin mulut cerewetnya Kalisa tuh. Dia nggak beres!"  "Ho-ho, kalau aku nggak beres kamu apa dong? Nggak jelas? Hubungan kok gitu-gitu aja. Maju lagi dong!" Kalisa semakin gencar menggoda.  Nuri hanya terkikik membuat Citra malas melayaninya. Dia berpikir kenapa dua temannya bisa berpikiran seperti itu.  'Emangnya kentara banget kalau aku lagi sering dekat-dekat Panji semalam? Nuri lagi tuh, hawa tiga tempat apaan? Di rumah, taman kompleks, sama kantor gitu? Aneh-aneh,' batinnya.  Pulangnya membawa nasi kotak karena perusahaan telah berhasil membeli mesin baru pencetak kertas agar dapat meningkatkan kualitas produksi. Setibanya di rumah semua makanan yang dia buat tadi pagi hilang. Sudah jelas jika Panji yang membawanya bukan berarti menghabiskannya. Mungkin diberikan pada para karyawannya.  Nasi kotak andalan dengan isi yang sama setiap kali perusahaan memberikan nasi kotak. Nasi putih bercampur kuning, tempe orek, ayam bakar bumbu rujak, dan terlur rebus. Sudah bisa membuat senyum Citra secerah mentari setelah memakannya. Tidak ada yang dia lakukan lagi selain menunggu Panji pulang dan jam film layar lebar dimulai.  ~~~  Tepatnya pukul sembilan malam. Film itu akan diputar. Setengah sembilan pasangan suami-istri yang sangat akur nan manis itu sudah tiba. Tau bagaimana Citra mendandani Panji? Seperti artis yang enggan dilihat banyak orang. Topi, masker, jaket, semuanya warna hitam. Citra justru sebaliknya. Tidak terlalu mementingkan pakaian dan hanya menggunakan bedak bayi seadanya. Rambutnya dibiarkan tergerai. Anak rambutnya berterbangan diterpa angin. Ternyata ramai orang. Ada pedagang kaki lima juga yang ikut memeriahkan suasana. Deru kendaraan di jalan raya sedikit tidak terdengar karena tempatnya di pojok terapit tribun.  Citra kagum sampai mulutnya tak berhenti menganga. Tangannya tak mau melepaskan Panji yang sedari tadi menatapnya malas dari belakang.  "Woaahhh!!! Ini lebih meriah dari bioskop! Ramai banget kayak pasar malam. Kalau tiap minggu ada beginian pasti seru! Iya nggak, Panji?" pertanyaan yang sangat jelas dari ekspresinya.  "Hmm," jawab Panji cuek.  Citra tak peduli dengan kecuekan suaminya. Mulanya ingin duduk bersama orang-orang, tetapi mendadak berbelok ke jajaran pedagang kaki lima yang menjajakan aneka ragam camilan dan makanan hangat.  "Es krim hangat kok nggak ada, ya?" Citra celingukan mengobati isi gerobak.  "Mana ada orang jualan es krim malam-malam? Dingin tau!" balas Panji sedikit menggerutu.  "Itu jualan es tebu banyak. Kalau es dijual kenapa es krim enggak, weeekk!" Citra menjulurkan lidahnya membuat Panji berdecak.  "Mas, pesan batagor dua porsi, ya." Citra menunjukkan dua jarinya pada penjual batagor.  "Mas-mas, aku mau cireng lima ribu, ya." beralih pada tukang cireng.  "Mbak, beli manisan mangga tiga."  Panji pasrah saja di ajak menjelajahi aneka makanan ringan itu. Tangan Citra sudah penuh kantung keresek berisi makanan. Ketika hendak memesan lagi Panji menghentikannya dan mengajak Citra duduk.  "Udah, ngabisin duit aja. Kamu makan semuanya nggak? Kalau gendut jangan ngeluh ntar!"  Mereka duduk di paling pojok berada di belakang orang-orang yang juga bersama pasangannya. Semuanya seperti terpisah. Mereka yang datang bersama keluarga atau teman duduk di sisi lain. Sedangkan yang bersama pasangannya berkumpul di sisi lain pula. Citra merasa sedang berkencan sekarang.  "Jelas aku makan lah, tapi kamu juga ikut makan. Aku beli banyak banget ini. Perutku bisa buncit kalau makan semuanya. Nanti dikira hamil gimana?" jawabnya spontan sambil mengelus perutnya.  Panji tersedak ludahnya sendiri, "Ehm, hamil gimana caranya? Udah nggak usah jawab. Makan aja itu, makan semuanya! Aku minta manisannya aja." merebut manisan mangga dengan cepat dan memakannya sampai matanya mengernyit karena merasa asam.  "Hati-hati dong. Itu manisan mangga bukan gulali. Mau cireng? Enak loh!" Citra menawarkan cireng-nya dan Panji menggeleng seketika.  'Bisa-bisanya dia ngomong gitu. Hamil dari mana? Aku sentuh aja nggak pernah! Dia sadar nggak sih asal ngomong aja?' batin Panji.  Film mulai diputar. Film jadul alias Jan dulu yang masih bisa dia ingat siapa pemainnya. Suasana menjadi aneh tak terkendali. Film itu lucu, banyak mengandung unsur humoris disertai kehidupan sehari-hari. Namun, para penontonnya yang memberi tanggapan lain. Apa mungkin karena udara malam hari yang begitu dingin membuat mereka saling mengeratkan pelukan? Atau karena kelelahan menonton hingga mereka ketiduran? Duduknya pun berdempetan membuat Panji sedikit heran. Hanya dia dan Citra yang asik menonton dengan jarak duduk mereka setengah meter dari lengan. Citra tak henti-hentinya makan. Pandangannya fokus ke layar lebar. Sesekali ikut tertawa ketika adegannya lucu. Panji tidak sadar mengembangkan senyumnya saat melihat Citra tertawa.  "Lucu banget! Gila kali jatuh tiga kali berturut-turut. Kalau Panji yang jatuh pasti seru, hahaha!" ujar Citra sambil menyumpali mulutnya dengan cireng.  Panji melotot melunturkan senyumnya. Tidak jadi senang kalau Citra tersenyum. Ujung-ujungnya yang Citra pikirkan adalah dirinya yang terlihat buruk. Sengaja Panji menggeser duduknya, tetapi Citra mengetahuinya. Mereka saling pandang sejenak.  "Kamu kenapa? Oh, mau minta cireng, ya? Atau batagor? Ini ambil aja nggak usah malu-malu." tawar Citra.  'Dasar cewek rakus! Yang dipikirin malah makanan. Syukur deh nggak mikir macam-macam. Kalau dikit aku mau deketin dia, 'kan jadi bahaya,' batin Panji.  Karena Panji tak menjawab, Citra kembali bicara. "Kok diam? Ah, aku tau. Mau aku suapi, 'kan? Bilang dong dari tadi. Kepingin juga lihat aku makan, tapi gengsi mau minta. Minta aja aku nggak pelit kok. Aaaa, buka mulutnya..." mencocol cireng ke saus pedas dan menyuapinya ke Panji.  Panji menatap Citra sebentar, berdecak pelan baru mau menerima suapan dari Citra.  "Enak, 'kan? Nih, aku suapi lagi!" Citra sangat semangat atau mendadak semangat karena perhatiannya teralihkan dari film berubah ke Panji. Panji juga menerima setiap suapan itu dengan senang hati.  Kalau sudah begini hati Panji menjadi luluh. Dia berpikir Citra mulai baik padanya seperti dulu tanpa memikirkan adanya ikatan pernikahan. Mereka paling asik sendiri di antara yang lain. Di saat semuanya asik bermesraan dan menikmati film, mereka hanya makan dan terus makan. Jika makanannya habis tinggal memesan lagi sampai para pedagang kaki lima senang saat mereka datang. Pulang-pulang perut mereka begah. Rasanya kembung bercampur kenyang. Mereka berebut kamar mandi sampai dorong-mendorong di depan pintu kamar mandi.  "Aduh, aku duluan dong. Kamu ngalah, 'kan cowok. Cewek itu harus didahulukan!" kata Citra tak mau kalah mendorong Panji.  "Harusnya kamu yang ngalah sama tuan rumah. Udah diujung tanduk ini, Cit. Mules banget! Kamu minggir!" Panji juga tidak mau mengalah.  Hingga akhirnya mereka lelah dan melerai diri sendiri. Saling mempersilahkan masuk terlebih dahulu. Namun, tidak ada yang masuk. Ketika salah satu dari mereka ingin masuk, dua-duanya justru masuk bersamaan. Mereka tergelak dan melakukan suit karena kebodohan mereka yang kekanakan. Panji menang dan dia menguasai kamar mandi. Citra harus mengalah. Dia menyibukkan diri dengan membersihkan rumah dan menutup semua tirai karena sudah larut malam. Sebentar lagi lewat tengah malam. Dia harus tidur sesegera mungkin karena besok harus kerja pagi.  Setelah Panji selesai, Citra buru-buru memakai kamar mandinya. Dia mandi sangat lama sampai hampir setengah jam membuat Panji berpikir negatif. Dia memukul-mukul pintu kamar mandi berharap Citra tidak tidur di dalam.  "Citra, kamu ngapain aja? Nanti kedinginan, buruan keluar! Apa terjadi sesuatu?" tanya Panji risau.  Citra langsung keluar hanya memakai jubah mandi membuat Panji tersentak dalam hati.  "Sshhh, dingin banget, Panji. Aku duduk diem aja di dalam sampai dinginnya rada hilang. Emangnya kenapa muluk-muluk pintu? Kamu ngira aku ketiduran, ya?" Citra menggigil sambil memeluk dirinya sendiri.  Sadar atau tidak sadar jakun Panji turun naik. Dia menelan ludah berkali-kali. Segera mengerjap dan berbalik badan. Kondisi Citra yang basah kuyup dari rambut sampai kaki apalagi hanya memakai jubah mandi berhasil membuat sisi lelakinya bangkit. Itu tidak boleh terjadi.  "Eee, aku kira kamu pingsan. Buruan ganti baju hangat biar nggak masuk angin!" kata Panji berusaha menahan keinginannya susah payah.  "Emm." Citra mengangguk dan pergi ke kamar.  Baru Panji bisa bernapas lega. Menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Seperti itu terus sampai berhasil mengontrol dirinya.  "Citra mau bikin aku jantungan apa gimana? Dia nggak sadar kau udah gila kali," gumamnya sambil mengipasi wajahnya yang sedikit memerah.  Setelah beberapa menit Panji memberanikan diri untuk masuk ke kamar. Citra duduk berjongkok di atas ranjang sambil memaki jaket dan berkelung selimut. Panji menepuk dahinya karena kebodohan Citra.  "Udah tau tengah malam kenapa mandi? Cuci muka doang, 'kan bisa." mendekati Citra dan memeriksa dahinya.  Citra masih menggigil, "Aku pengen mandi jadi, ya, mandi lah. Ssshhh, kok dinginnya kebangetan, ya?" menatap Panji polos.  Panji berdeham berkali-kali meredakan suaranya yang sudah akan berat lagi.  "Kamu aja yang kedinginan, aku enggak tuh," jawab Panji seadanya.  "Masa? Coba aku periksa!"  Panji segera menjauh, tetapi Citra tetap berhasil mendapatkan dahinya.  "Kamu hangat banget malah menjurus ke panas. Coba pegang pipi aku! Aku yang dingin atau kamu yang panas?" Citra membawa tangan Panji paksa untuk memegang kedua pipinya.  "Kamu yang dingin," kata Panji kaku. Dirinya memang panas sejak melihat Citra keluar dari kamar mandi.  "Enggak tau mana yang benar, tapi aku butuh kehangatan. Panji, jangan jauh-jauh sini aja sama aku. Beneran dingin banget ini. Jendela udah aku tutup semua kenapa rasanya ada angin yang nerpa aku." Citra memaksa Panji untuk masuk ke dalam selimutnya. Karena Panji menolak alhasil mereka terjatuh terbaring saling berhadapan. Panji memang terkejut dan enggak satu selimut dengan Citra, tetapi melihat wajah Citra yang begitu pucat dan matanya tidak bisa melihat dengan benar karena kedinginan membuatnya merasa kasihan. Dia menyelimuti Citra dan mengapitnya dengan bantal. Napas Citra sudah sedikit lebih tenang, tetapi badannya masih dingin. Panji menepuk-nepuk lengan Citra berusaha membuat Citra tidur. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN