8. Ikan Bakar Saus Tomat

2607 Kata
 Deru napas yang tenang disertai sapuan tangan sehalus bulu melayang di udara. Selimut dan jaket tebal tak mampu menghilangkan hawa dingin yang menggerogoti Citra. Bukan Citra yang tidur, melainkan Panji. Dia kelelahan menepuk-nepuk lengan Citra atau karena memang sudah mengantuk sehingga tertidur. Namun, Citra masih tidak mendapatkan hangatnya kembali. Dia menatap Panji dalam berpikir apa yang akan dilakukan itu baik untuknya, tapi Panji pasti akan marah jika tahu. Dia ingin memeluk Panji.  'Dingin banget. Cuma dia yang hangat. Aku udah nggak bisa nahan dingin lagi. Panji, maaf ya kamu aku peluk. Bentar aja sampai pagi doang kok,' batin Citra  Susah payah dia mencoba menyingkirkan semua bantal yang mengganggunya. Dia langsung terjun memeluk Panji. Berbaring di atas Panji dan menutupi tubuhnya dengan selimut sampai rambut Panji tidak terlihat. Seketika Panji bangun dan kaget merasakan Citra sangat berat di tubuhnya.  "Astaga! Citra! Kamu ngapain di atasku? Aduh, cepetan turun!" Panji kelagapan bingung bagaimana caranya menurunkan Citra.  "Ssttt, kamu diam aja. Aku mau serap semua suhu hangatmu biar aku cepat-cepat hangat. Nggak ada cara lain. Jangan protes atau gerak. Beneran nggak ada cara lain lagi." napas Citra memburu di atas Panji. Tangannya membekap Panji tidak memberikan kesempatan Panji untuk meronta.  "Huft, sampai kapan aku harus ditindih begini?" ucap Panji lirih. Menatap mata Citra yang bahkan enggan terbuka.  Citra menggeleng tidak tahu. Panji hanya bisa mendesah dan menerima detak jantungnya berdegup kencang. Citra juga sama, tetapi Panji tidak tahu itu karena akibat dingin atau bersentuhan dengannya. Sampai tak terasa satu menit berlalu. Panji tidak bisa tertidur. Dia sudah cukup berat menahan Citra. Namun, Citra perlahan mulai tenang dari menggigilnya.  "Citra? Kamu tidur?" lirih Panji.  Kepala Citra mengangguk-angguk. Bukan berarti menjawab, tetapi dia berusaha tetap terjaga walaupun sudah mengantuk berat. Panji hanya bisa mendesah. Tidak menduga jika Citra tidur sungguhan dan bibirnya jatuh tepat mengenai bibirnya. Panji melotot sempurna. Ciuman pertama yang tidak disengaja, Citra juga tidak sadar, tetapi bibir mereka saking menempel seperti jeli lembab yang tidak mau dipisahkan.  Panji menahan napasnya. Tangannya juga tidak bisa bergerak karena Citra memeluknya. Syukurlah Citra sadar lagi dan menjauhkan wajahnya. Panji masih diam terpaku. Citra ternyata tidak sadar sepenuhnya. Dia kembali tidur, tetapi meletakkan kepalanya di d**a Panji. Detak jantung Panji semakin berdetak cepat. Iramanya mampu membuat dirinya gemetar. Susah payah menutup mata rapat-rapat melupakan ciuman tak disengaja itu.  'Citra... Ciuman pertama... Astaga!' pekik hati Panji.  Sampai Citra sudah sedikit menghangat, Panji bisa menggulingkannya ke samping karena tubuhnya lemas. Setelah itu dia duduk kaku mengipasi wajah dan menarik napas sebanyak yang dia mau. Menggeleng kuat karena terus mengingat ciumannya.  "Bukan-bukan! Itu bukan masuk ke golongan ciuman. Itu cuma... Bersentuhan biasa,' dalam hati pun rasanya bergetar membicarakannya.  Dia yang tidak pernah dekat dengan perempuan berhasil direnggut ciuman pertamanya oleh Citra tanpa disengaja.  ~~~  Pagi datang dengan begitu cerahnya. Saat Citra terbangun dia tidak melihat Panji ada di sampingnya. Tubuhnya terlilit selimut rasanya sulit sekali bergerak.  "Panji? Kamu udah berangkat apa masih di rumah?!" teriak Citra setelah selesai bergulat dengan selimut.  Berhasil bebas dan keluar kamar. Tidak ada jawaban dari Panji berarti dia sudah pergi ke restoran. Ketika membuka kulkas ad secarik kertas tertempel di pintu kulkas. Citra mengambilnya sambil menggaruk kepala.  "Untuk cewek jelek yang udah renggut bibirku semalam. Kamu dihukum nggak boleh makan seharian! Puasa tiga hari berturut-turut kalau diperlukan. Salam dari Panji yang paling tampan sejagad raya." Citra mengeja tulisan di kertas itu.  Matanya masih mengerjap-ngerjap kemudian sadar sepenuhnya.  "Tunggu-tunggu, nggak masalah kalau dia kepedean setinggi langit, tapi kalimatnya yang depan itu apa maksudnya? Gue renggut bibir dia begitu? Dia nggak punya bibir dong?" gumam Citra berpikir menatap langit-langit rumah.  Membuka kulkas dan ternyata tidak ada isinya. Kosong bahkan es batu pun tidak ada.  "Loh, ke mana semua isinya? Padahal penuh ada sayuran, daging, air, soda, sirup, jajananku! Aaaaa, ini pasti kerjaannya Panji! Ngeselin banget, sih!"  Kakinya berjingkrak-jingkrak kesal. Menutup pintu kulkas kasar dan mencoba melihat lemari apakah masih ada bahan makanan atau bumbu dapur lainnya dan ternyata nihil. Citra berteriak sampai seisi dapur rasanya ingin jatuh. Dengan kepala berapi-api, tangan mengepal, dan memasang raut permusuhan Citra menuju ke restoran Panji. Hanya mencuci juka, tidak mandi.  Ketika pintu restoran dibuka oleh-nya, rasanya tanduk sudah keluar dari kepala. Semua karyawan Panji meringis takut memberi salam. Citra tidak bicara sepatah kata pun langsung masuk ke ruangan Panji. Namun, Panji tidak ada di tempat.  "Mana bos kalian?! Kalau nggak ada yang jawab aku obrak-abrik semua yang ada di sini!" ancam Citra.  "Ssttt! Mbak Citra mohon tenang dulu, ya. Udah ada pelanggan di depan. Nanti kalau marah-marah dipandangnya enggak enak," kata salah satu juru masak.  "Nggak peduli!" bentak Citra.  Mereka semua meringis ngilu.  "Bos belum datang. Tadi saya buka restoran pakai kunci cadangan," jawab salah satu pelayan.  Napas memburu dari Citra seolah keluar asap dari hidungnya. Tidak bicara lagi dan langsung keluar lewat pintu belakang. Melirik wallpaper dinding kemudian membuatnya curiga jika Panji ada di dalam sana tanpa sepengetahuan karyawannya.  'Bener juga. Semua orang nggak tau ruangan ini. Si kurang ajar itu pasti ada di sana!' batin Citra murka.  "Kalian kembali kerja. Aku akan pulang," kata Citra sedikit tenang. Mereka mengangguk dan kembali bekerja.  Citra langsung membuka pintu itu setelah tidak ada orang di sekitarnya. Sayang seribu sayang Panji juga tidak ada di sana. Geram sudah dia tidak bisa berpikir dengan jernih lagi. Tidak peduli ke mana hilangnya Panji, Citra kembali pulang dan memilih bekerja. Perutnya dibiarkan keroncongan. Bodohnya Citra yang tidak berpikir jika Panji berada di rumah dongeng milik Rama.  Laki-laki santai penyayang anak dan hobi berkeliling ke manapun itu sudah pulang dari luar kota. Tentu saja anak dan istrinya juga ikut. Panji bercerita banyak tentang hubungannya dengan Citra. Dia tertawa puas karena menghukum gadis itu untuk tidak diberi makan tiga hari. Rama juga tertawa menanggapinya.  "Hahaha, pasti sekarang dia marah besar ngamuk di restoran. Ini aja panggilannya banyak banget!" Panji menunjukkan handphone-nya menunjukkan banyak panggilan dari Citra yang tidak dia jawab.  "Ah, parah!" jawab Rama sambil mengelus dagu.  "Ha? Apanya yang parah?" bingung Panji.  "Ciumannya lah. Apalagi?" Rama senagaja mengedipkan sebelah matanya genit.  Panji langsung menganga dan memukulnya membuat Rama tergelak. "Apa, sih? Udah kubilang itu nggak disengaja. Salah sendiri tidur di atasku!"  "Harusnya kamu yang di atasnya, ya?" Rama semakin gencar menggoda.  Wajah Panji merah padam. Dia menunjuk-nunjuk Rama untuk berjaga-jaga. "Awas aja, ya. Aku pastiin kamu nggak bisa show di balai manapun setelah ini!"  "Aku nggak takut tuh. Rumah dongeng udah ramai tiap hari dikunjungi anak-anak. Bilang aja kamu sepaneng, 'kan? Aku nggak bisa bayangin gimana ekspresimu semalam. Pasti kaku banget nggak bisa gerak. Bener, 'kan?" Rama menaikkan sedikit dagunya sambil tersenyum miring.  Panji gemas ingin meraup wajah Rama. Rama menambah volume tawanya sampai beberapa anggota tim-nya menoleh.  "Hahh, salahku cerita ini sama kamu." Panji berdecak.  "Daripada sama Indra. Paling-paling kamu nggak bisa nahan malu sama dia. Kalau ngejek habis-habisan." balas Rama seraya meminum secangkir kopi yang sejak tadi dibiarkan.  Panji menatap Rama dari atas sampai bawah, "Ada rencana nggak minggu ini?"  Rama menoleh, "Kenapa mendadak nanya begitu?"  "Aku mau ikut. Nggak mau serumah sama cewek gila itu. Astaga, aku bisa gila beneran lama-lama!" menjambak rambutnya frustasi.  "Hahahaha, Panji-Panji. Udah setua ini masih nggak bisa berpikir jernih? Cewek itu bukan musibah, Bro! Dia kelembutan di setiap kehangatan yang ada. Kita temenan sama Citra udah berapa lama? Biarpun dia kayak orang nggak waras tapi hatinya baik. Kalau kita ada apa-apa juga yang ngurus dia, 'kan? Sekarang aku tanya... Waktu kamu sakit kemarin aja Citra ngapain? Panik sendiri, 'kan? Aku dapat kabar dari Indra. Biasalah, di melebih-lebihkan keadaan, haha. Kalau kamu pergi dari rumah aku yakin seratus persen tanpa diragukan lagi kamu bakalan rindu sama dia." Rama menatap Panji penuh telisik.  "Oh, ya? Sayang banget kata rindu jauh-jauh dari otakku!" Panji masih mengelak.  "Rindu kok dari otak. Kurang peduli kasih sayang perempuan begini, nih. Rindu itu dari hati, Panji Sasena. Itu mutlak dan nggak ada yang bisa menghentikannya. Manusiawi lah. Sekarang akui aja kalau udah mulai nyaman tinggal seatap sama Citra. Lagian nggak ada bedanya, 'kan sama waktu tetanggaan? Beda seranjang doang." Rama kembali memberi kedipan jahil.  "Ck, mau muntah kalau ekspresimu begitu terus." kilah Panji.  "Susah, sih, kalau ngomong sama orang nggak peduli cinta kayak kamu. Aku yakin Citra bakalan curhat sama Indra habis ini. Lihat aja ntar." Rama tersenyum miring.  Panji meliriknya heran, "Kamu itu hobi banget menebak-nebak pikiran orang. Anehnya selalu bener sejak dulu. Oke, kita tunggu aja kabar dari Indra kalau Citra beneran curhat sama dia."  Tepat pukul tiga sore di mana perkuliahan jam pagi selesai Indra ditarik paksa oleh Citra dari ruang dosen menuju parkiran. Semua mahasiswa dan dosen melihatnya heran. Terlebih lagi nama baik Indra sebagai dosen profesional diragukan mahasiswanya.  "Eh-eh, apaan, sih, datang-datang main tarik aja. Kasih aku harga diri dikit dong!" desis Indra seraya mengikuti langkah Citra.  "Masuk mobil ajak aku muter-muter. Cepat!" titah Citra dengan niat sebulat lingkaran.  Indra mendelik, "Wow! Merah!"  "Apa yang merah?!" sewot Citra menoleh ke belakang menatap Indra.  "Ehehe, pipi kamu, wajah, tanduk dua di kepala." Indra menyentil pelipis Citra.  "Tanduk banteng aku pakai sekarang! Buruan ajak aku muter-muter kota! Nggak mau pulang kalau belum puas!" rajuknya.  "Sembarangan aja! Istri aku kalau nyariin gimana?" protes Indra.  "Bodoh amat!" Citra masih kekeh dengan keinginannya.  Indra hanya bisa berdecak dan pasrah. Dia paham betul kalau sudah begini pasti ingin mencurahkan isi hatinya. Tepatnya Indra seperti tempat untuk menampung semua kekesalan Citra.  Pendingin mobil sudah menyala dengan suhu paling kecil. Dingin sekali sampai Indra meringis. Sudah memperingatkan Citra berkali-kali untuk jangan mengaturnya begitu dingin, tetapi Citra tidak peduli. Kalau rusak disuruh minta ganti rugi sama Panji. Indra langsung menelan ludahnya.  "Iya-iya, ini udah jalan, nih. Mau ke mana? Malang? Jogja? Atau Jakarta? Aku siap mengantar, Tuan Putri!" ratu Indra.  Citra mendengkus kesal. Melepas tas selempangnya dan dipangku. Mobil melaju santai di jalan raya. Indra berulang kali melirik Citra yang masih tak mau membuka suara.  "Ehm, sebenarnya mau apa, sih?" tanyanya penasaran.  Citra memberikan sebuah kertas yang sudah lecek karena dia remas-remas seharian kerja tadi. Kertas dari Panji dengan tulisan menyebalkan yang membuatnya naik darah. Indra melotot membacanya. Seketika otaknya langsung memunculkan cahaya lampu yang begitu terang.  'Wah-wah, kayaknya ada kemajuan yang begitu pesat. Panji sekarang pasti gelisah. Ciuman pertama, haha!' batin Indra.  Melirik Citra yang mungkin masih tak mengerti maksud dari kertas itu. Indra mencari cara bagaimana caranya menjelaskan pada Citra.  "Dia itu kelewatan tau nggak, Ndra? Masa seisi kulkas dikosongin sama dia? Satu pun bumbu dapur nggak ada! Sekalian aja semua perabotan rumahnya dibuang sana! Aku nggak boleh makan seharian katanya? Ck, aku bisa makan di luar. Disuruh puasa tiga hari? Dia sana yang puasa. Salahku apa coba? Ngasih hukuman nggak jelas. Satu lagi yang aku nggak ngerti. Itu kalimat pertama maksudnya gimana? Nggak ada bibir dikira bibirnya hilang kali, ah!" lega sudah Citra menuangkan isi hatinya dengan sekali tarikan napas.  Indra mengerjap. 'Haha, udah kuduga,' batinnya.  "Jadi perkara itu doang? Biasanya kamu buat ulah, nih, kalau lagi kesel. Ngapain coba?" tanya Indra.  Citra menatapnya ragu-ragu. "Aku ubah semua menu di restorannya jadi ikan bakar saus tomat. Semua ya kosong termasuk minumannya cuma air putih doang. Paling enggak itu berlaku tiga hari," jawabnya jujur.  "Apa?! Citra, kamu nekat banget, sih? Itu bisa timbul kerugian besar! Pasti geger lagi sekarang." Indra buru-buru membuka handphone mencari kabar terbaru dari restorannya Panji. Ternyata niat Citra tidak main-main. Sekarang dia yakin Panji sedang membereskan kekacauan yang dibuat Citra.  "Huft, sejak pagi loh, Cit. Kasihan banget si Panji." Indra sampai menggeleng pelan.  "Habisnya dia begitu tanpa alasan. Salahku dimana?" Citra memeluk tas-nya erat.  "Kalau aku kasih tau dimana salahmu jangan marah, jangan teriak, ya!" pinta Indra.  Citra menoleh lagi, "Emang kamu tau?"   "Jelas tau, lah. Masalah kecil ini. Dia cuma lagi kesentil hatinya doang." Indra memberikan gambaran sebesar apa yang dirasakan Panji saat ini.  "Masa? Apa dong?" mendengarkan dengan baik.  "Nih, baca baik-baik. Artinya kamu bisa dah nyuri ciuman darinya. Coba ingat-ingat kemarin kalian ngapain aja." menyerahkan kembali kertas buruk itu.  Citra jelas-jelas kaget. Tidak percaya, tetapi tidak mau berteriak karena Indra melarangnya tadi. Dia membaca ulang kalimat utama itu dan mengingat apa yang dia lakukan semalaman.  "Masa, sih? Semalam aku cuma kedinginan. Dingin banget sampai susah tidur. Terus aku...," Citra menggantung ucapannya.  Terlintas momen ketika dia naik ke tubuh Panji dan memeluknya erat sampai tidak sadar tertidur. Citra terbelalak sambil menutup mulutnya.  "Jangan-jangan waktu aku ketiduran di atas dia!" pekiknya menimbulkan Indra ikut kaget.  "Apa?! Kamu tidur di atasnya Panji?! Di tubuh Panji? Ha!!!" dosen itu juga menutup mulutnya dengan satu tangan.  Mereka saling pandang. "Tidaaakk!!!" teriaknya bersamaan.  "Ini nggak mungkin! Aku nggak mungkin ngelakuin itu! Aku cuma... Khilaf soalnya dia panas jadi aku mau serep panasnya biar aku juga nggak dingin lagi. Kok, malah jadi gini, sih?!" heboh Citra.  Indra sampai sedikit tidak fokus menyetir. "Aku lebih syok tau nggak? Kamu berani banget?!"  "Ih, bukan kayak yang kamu pikirin kejadiannya! Aduh, berarti bibirku udah terkontaminasi dong? Harus mandi kembang tujuh rupa tiap malam kalau begini mah!" Citra menggosok bibirnya kuat sampai pelembab bibir yang dia pakai hilang.  "Yahh, segala diusap nih anak. Eh, Citra, kalian udah sah wajar-wajar aja lah. Berarti kamu nyium dia itu nggak sadar? Ketiduran gitu?" tanya Indra antara fokus ke jalanan atau Citra.  "Kenapa aku yang nyium dia duluan, sih? Gengsi dong habis ini!" bukannya menjawab justru mengusap bibirnya lebih kuat.  "Ck, sekarang mendingan kita ke restorannya Panji. Paling dia udah bisa ganti menunya seperti semula. Orang ini udah sore pasti dari tadi lah kalau selesai gantinya," kata Indra.  "Aaaa, nggak mau! Ntar mukaku ditaruh di mana?" Citra memelas.  "Taruh aja di muka Panji lagi, haha!" Indra justru meledek.  "Aaaaaa, pokoknya aku nggak mau, titik!" Citra heboh di dalam mobil.  "Tapi aku bakalan tetep bawa kamu ke sana. Udah santai aja. Panji palingan bakal marahin kamu habis ini. Bukannya sibuk mikirin ciuman pertama kalian, hehe. Cieee, yang udah mulai...," Citra membungkam mulut Indra paksa. "Diam, kamu diam! Aku nggak mau denger lagi!"  Indra terkekeh dalam hati. Langsung mengabari Rama kalau Citra curhat dengannya. Setibanya di restoran Panji semuanya baik-baik saja. Restoran berjalan dengan semestinya dan di ruangan Panji sudah asa Rama yang setia bermain boneka dongeng menemani Panji sejak pagi sampai sekarang. Indra memaksa Citra untuk masuk. Citra menutupi wajahnya dengan masker. Dia terkejut melihat Rama ada di sana. Menyapanya dengan boneka di tangan.  "Hai, Citra! Lama nggak jumpa. Selamat, ya, atas pernikahannya. Sama siapa nikahnya? Kok, aku lupa?" canda Rama yang langsung dapat lemparan sebuah majalah dari Panji.  Citra melirik Panji yang tidak mau menatapnya. Citra sendiri juga melengos. Dia langsung lari berhamburan ke pelukan Rama. Indra, Rama, dan Panji melotot.  "Ramaaaaa, Panji jelek! Aku nggak mau temenan sama dia! Kamu kemana aja aku cariin nggak ketemu mulu. Mana di nikahan nggak datang. Cuma lihat muka sok si Indra doang sama istrinya, 'kan aku jadi gimana gitu. Bawa oleh-oleh nggak? Habis dari luar kota."  Cerewetnya Citra memenuhi ruangan itu. Indra yang berdiri di ambang pintu sampai ngilu mendengarnya dan langsung menutup pintu. Dia menghampiri Panji yang memasang wajah masam melihat Citra enggan melepaskan pelukannya pada Rama. Rama justru tersenyum lebar menanggapi Citra.  "Kenapa, Bro? Cemburu, ya? Wajar aja, Rama ganteng kok walau udah punya anak cewek satu." Indra mengangguk-angguk seraya memegang pundak Panji.  "Cewek sialan! Ngapain meluk-meluk Rama? Ntar dia kena virus gara-gara kamu!" Panji ingin sekali menarik Citra.  "Nggak mau! Rama aja diam kok aku peluk. Kamu siapa nyuruh-nyuruh?" balas Citra dengan suara melengking. Panji semakin naik darah. Indra terkekeh mengelus pundaknya menyuruh sabar.  "Sshhh, Citra. Kamu berisik banget. Telingaku sampai panas ini," kata Rama meringis. Barulah Citra mau melepas pelukannya.  "Ih, boneka lucu! Ada boneka santet nggak? Cocok buat Panji!" Citra memainkan boneka yang masih masuk ke tangan Rama.  Senyum Rama masih mengambang sempurna. Sedangkan Indra tak sanggup menahan tawanya lagi. Dia tergelak habis-habisan mentertawakan mereka. Panji meremas tangannya kuat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN