Mereka bersiap-siap di dekat pintu. Saling lirik, saling menunggu saat-saat ibunya Naina datang membawa makanan. Kaki rasanya sudah gatal ingin segera lari dan kabur sejauh mungkin.
'Kapan ibu datang, sih? Ayo, cepetan dong, Bu. Udah pasang kuda-kuda, nih!' batin Citra.
Dia mendesis membuat Panji meliriknya.
"Kenapa? Kebelet pipis?" tanya Panji berbisik.
"Ngawur aja!" Citra memukul pundak Panji.
Panji berdecak dan kembali fokus ke pintu. Citra mencebikkan bibirnya kembali mendesis. Lalu, terdengar suara langkah kaki yang semakin dekat. Mereka antusias memasang telinga.
Ceklekk!
"Citra, Panji, makanannya udah datang. Eh-eh, jangan lari! Aduh, kok bisa kabur! Hei, tunggu! Balik lagi jangan kabur!"
Panji segera menarik pintu lebih lebar ketika ibu mertuanya membuka pintu. Dia dan Citra lari sampai membuat ibunya Citra terdorong sedikit tanpa menerima rantang makanannya. Wanita paruh baya itu segera mengejar mereka yang sudah keluar dari rumah. Orang tuanya Panji dan ayahnya Citra juga tidak bisa menangkap mereka, justru bengong di ruang tamu dan tersadar setelah mendengar teriakan ibunya Citra.
"Cepat-cepat! Buruan, pakai helm!" Citra menginterupsi Panji yang sudah menaiki motornya di halaman rumah orang tuanya.
Dia sendiri langsung manancap gas melaju kencang hingga ke jalan raya. Panji sebelum mengendarai motornya sempat berteriak.
"Kita pergi dulu, ya! Sampai jumpa lain hari, haha!" tawanya tepat saat ibunya Citra keluar rumah. Dia melajukan motornya tak kalah kencang dari Citra.
"Yahh, mereka terlepas, deh!" ibunya Citra menghentakkan kaki.
Sepanjang jalan raya Citra tersenyum di balik helm. Tidak tahu apakah Panji mengikutinya atau tidak, yang jelas dia asal melaju saja tanpa tujuan. Sebenarnya Panji langsung menuju ke restoran. Ingin mengikuti Rama juga sudah terlambat. Citra yang kemudian datang ke rumah dongeng milik Rama. Butuh waktu setengah jam untuk tiba di sana, tetapi rumah dongeng itu tutup. Akhirnya dia hanya duduk di teras rumah dongeng sambil bermain handphone.
"Haha, asik juga kabur dari ibu. Lagian mereka sok ngurung aku segala. Dikira bikin anak semudah bikin laporan keuangan bulanan? Mendingan aku dihadapkan sama nominal-nominal yang bikin pusing tujuh hari dari pada punya anak sama Panji. Ihh, bayanginnya aja ngeri." Citra bergidik.
Jalan raya cukup padat hari ini. Asik berselancar di sosial media sampai lupa waktu. Tidak sadar Indra menatapnya dari tepi jalan raya. Karena heran Indra menghampiri Citra.
"Citra?" panggil Indra membuat Citra terjingkat kaget.
"Astaga! Indra? Ngagetin aja! Ngapain kamu di sini?"
"Ck, dipanggil santai gitu aja kaget. Reaksimu berlebihan. Harusnya aku yang nanya, kamu ngapain di sini? Kayak nggak punya rumah aja," decak Indra.
Mematikan handphone dan memasukkannya dalam saku, "Tadinya main doang, taunya tutup."
"Kan udah kubilang Rama ke luar kota," Indra masih mengerutkan dahi.
"Iya, tau. Panji juga nggak jadi ikut kok," cuek Citra.
Indra menjadi antusias, "Beneran? Terus dia di mana sekarang?"
Citra mendelik, "Nggak tau. Restorannya mungkin." mengendikkan bahu.
"Mau ajak main, ah! Kalau Panji belum pulang ntar malam berarti lagi sama aku. Duluan, ya!" Indra bergegas menaiki motornya dan kembali bergabung ke jalanan.
"Ih, siapa juga yang peduli?" Citra juga beranjak untuk pulang. Dia baru sadar jika seperti penunggu di rumah dongeng.
Di rumah juga tidak ada yang dikerjakan. Sampai bosan menatap layar handphone. Mondar-mandir dari halaman depan sampai belakang. Menyiram tanaman, menanam bunga-bunga kecil, mencabut rumput liar, dan memasak mie instan. Jika sudah bosan lagi tinggallah dia berguling-guling di kamar sampai kepalanya hampir terbentur tepian ranjang. Tidak sengaja dia melihat foto Panji yang tertempel di dinding. Citra duduk malas menatap foto itu terus.
"Dasar narsis!"
Berdecak mengejek, tetapi mencoba menggapai foto tersebut. Tingginya yang semampai tidak bisa untuk mengambilnya. Sampai berjinjit-jinjit tetap tidak bisa. Sebuah tangan terulur menggapai foto itu dari belakang. Citra terkejut langsung berbalik badan. Dia melotot seketika.
"Panji?!"
Menutup mulutnya yang ternganga. Setelah berhasil mengambil foto tersebut Panji menunduk menatap Citra cuek seraya menaikkan sebelah alisnya.
"Ini, mau lihat, 'kan?" memberikan foto itu tanpa menjauh dari Citra.
Citra sedikit gugup bicara. "Eee, apa sih dekat-dekat? Jauhan dikit!" menarik figura itu dan mendorong Panji sampai Panji mundur dua langkah.
"Biasa aja kali." Panji menepuk pakaiannya seolah menghilangkan bekas tangan Citra. Dia hendak keluar kamar, tetapi Citra menghentikannya. "Eh, tunggu. Bukannya lagi main sama Indra? Kok udah pulang?"
Panji berbalik badan, "Indra mau ajak aku ke acara kampusnya sampai malam. Emangnya kamu mau ditinggal malam-malam? Tinggal sendirian kalau takut dimakan cicak gimana?
"Wah, ngejek ceritanya?" Citra berkacak pinggang.
Panji tidak menghiraukannya. Dia keluar kamar begitu saja membuat Citra semakin kesal. Namun, dia kembali bingung karena merasakan aura Panji yang berada dekat di belakangnya begitu kuat. Sampai sekarang masih terasa.
"Kenapa begini, ya?" gumamnya heran.
Malam pun datang seperti kemarin. Udaranya dingin dan langit sangat gelap. Mendung mengusir bintang yang cantik. Alhasil Citra tidak bisa menggambar untuk halaman terakhir buku gambarnya lantaran tidak mendapatkan ide. Dia suka melamun memandang luas di luar ruangan. Seperti saat ini, teras begitu dingin samapi tubuhnya menggigil. Buku gambar itu sudah ditutup, tetapi Citra masih enggan masuk. Jaket tidak bisa menyembunyikannya dari dingin.
"Kalau di sini terus yang ada besok flu. Terus nggak bisa fokus sama kerjaan."
Citra menoleh ke pintu. Panji sedang bersandar di sana. "Ngapain kamu?"
"Lihat-lihat doang. Tetangga nggak ada yang buka pintu apalagi di luar. Cuma kamu doang yang bengong di teras. Buruan masuk!" Panji menunjuk rumah-rumah di dekatnya dengan mata.
Citra cemberut, "Aku bosen di kamar. Niatnya mau nyari referensi dari bintang. Eh, adanya awan hitam." menengadahkan kepalanya.
"Cari referensi lewat aku nggak bisa?" Panji melipat tangannya.
"Ha?" Citra mendelik.
Panji memajukan sedikit wajahnya. Jarak pandang mereka hanya tiga jengkal.
"Wajah aku, 'kan ganteng. Nih, kamu bisa lihat cerita dari mata aku. Mungkin aja di dalam sana ada banyak kisah yang bisa mengalirkan ide buat kamu gambar. Pastinya gambarannya yang bagus, bukan jelek kayak biasanya. Soalnya aku ini luar biasa. Iya, 'kan?" sangat meyakinkan sampai melebarkan matanya tanpa berkedip sekali saja.
Citra mengangguk-angguk cepat. "Bener banget! Saking benernya sampai aku nggak lihat apa-apa di sorot mata jelekmu itu! Buram!" memekik di akhir ucapannya.
Panji memundurkan wajahnya, "Ck, jahat banget! Aku kurang ganteng gimana coba? Masih kelihatan kayak umur dua puluhan gini." menyisir anak rambutnya dengan jari.
Citra nyengir, "Ih, tingkat percaya dirinya tolong direndahin dikit, Pak Pengusaha! Kamu terlihat lebih tua dua puluh tahun malahan!" gemas Citra membawa peralatan menggambarnya lalu masuk rumah.
"Masa? Wah, berarti lima puluh tahun dong? Kamu nikah sama kakek-kakek ganteng kayak aku?" Panji meraba wajahnya syok.
Hujan terjadi lagi. Citra tidak tahu bagaimana Panji bisa terus bersin di ruang tamu. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Dia sendiri tidak bisa tidur di kamar. Berguling sana-sini sambil mendengarkan Panji yang bersin setiap selang satu menit. Karena tidak tahan, Citra menuju dapur dan membuat wedang jahe dan memberikannya pada Panji.
Tidak tahu hujan di luar deras atau tidak, karena Panji menyalakan televisi dengan suara keras. Dia juga berkelung seiimut. Bantal di kanan-kiri dan kaki naik ke sofa. Citra menggeleng melihatnya.
Hachiimm!!!
Untuk kesekian kalinya bersinnya Panji mengejutkan Citra yang sedang mengaduk wedang jahe. Sedikit perhatian membuat laki-laki di balik selimut itu memunculkan kepalanya. Tangan Citra berada di pundaknya. Panji melirik tangan dan wajah Citra bergantian. Kemudian, Citra memukul pundak Panji keras.
"Aww! Kok di pukul, sih? Aku salah apa?" ringis Panji.
"Nih, minum wedang jahe biar hangat dikit. Bersinmu mengganggu tau nggak!" Citra menyerahkan gelas panas itu perlahan.
"Kirain mau ngomong baik-baik. Jadi cewek perhatian kayak di film." Panji berdecak.
"Nggak mau? Yaudah." Citra hendak membawa wedang jahe itu ke dapur.
"Ah, mau-mau! Jarang-jarang kamu perhatian gini. Ada apa? Lagian mubazir kalau nggak diminum." tangan Panji sedikit gemetar saat menerimanya.
Citra mencebikkan bibirnya, "Bilang makasih kek." melirik sekitar.
"Makasih!" kata Panji tanpa menoleh karena sedang meniupi wedang jahe.
Citra melotot. Mendengkus sabar lalu mematikan televisi. "Hujan begini jangan nonton. Gimana bisa bersin gini, sih? Yang dari teras, 'kan aku. Kok, kamu yang meriang. Coba aku cek suhu badanmu. Panas nggak?"
Mendadak Panji ingin menyemburkan wedang jahe panas ketika Citra langsung memegang dahinya. Begitu polos sampai tak sadar kalau dia meneleng kesana-kemari melihat wajah dan leher Panji. Untung saja Panji menahan wedang jahenya bahkan tidak ditelan sampai Citra menarik dirinya kembali.
"Kayaknya besok kamu demam, deh. Minum obat terus tidur di kamar aja. Biar aku yang di ruang tamu," ucap Citra tenang.
Panji menelan wedang jahenya susah payah, "Nggak perlu. Ntar juga sembuh. Kamu balik aja ke kamar. Kalau sakit juga bahaya." sedikit mengulas senyum.
"Beneran? Aku udah baik nawarin loh ini." menunjuk Panji.
"Iya, bawel!"
"Huh, yaudah kalau gitu. Selamat menikmati dingin di sofa! Jangan panggil aku kalau bersinmu tambah parah!" Citra berdiri tegas dan melenggang ke kamar sebelum Panji menjawab.
"Tumben baik tuh anak." Panji menggeleng heran. Melanjutkan menghabiskan wedang jahenya.
Citra mencoba tetap terjaga sampai pukul dua belas malam. Dia tidak mendengar Panji bersin lagi. Dia bingung jika wedang jahenya bisa seampuh itu sampai bisa meredakan bersin. Namun, sebenarnya Panji meredam bersinnya di balik selimut dan bantal, jadi tidak bisa terdengar sampai kamar. Citra memutuskan untuk tidur hingga pagi dia terbangun sudah tidak melihat Panji di rumah. Motornya juga tidak ada. Tandanya Panji pergi ke restoran lebih awal.
Dia sendiri harus buru-buru pergi bekerja. Pasti laporan keuangan menumpuk perlu dipegang olehnya. Belum lagi persoalan perusahaan yang membutuhkan biaya harus dia catat secara detai. Gara-gara pernikahan dia harus bekerja ekstra. Lupakan sarapan dan melaju sekencang mungkin di jalanan.
~~~
Gedung tinggi nan luas penuh dengan mesin-mesin pencetak kertas. Citra segera berlari ke arah kantor setelah memarkirkan motornya. Setidaknya masih ada waktu lima menit untuk tepat waktu. Sekali dorongan pintu terbuka menampakkan rekan-rekan kerjanya yang awal mula serius berubah menatapnya tanpa ekspresi. Citra meringis sambil melambaikan tangan.
"Hai, semuanya! Selamat pagi!"
Hanya senyuman dan lambaian tangan yang mereka jawab. Citra melunturkan ringisannya menuju meja kerja paling pojok. Ada dua teman dekatnya yang bekerja dekat dengan kubikelnya. Mereka menyapa Citra riang membuat semangat Citra kembali membuncah.
"Hai, Citra! Ciee yang pengantin baru wajahnya berseri... Duduk dulu, minum dulu, bernapas dulu!"
Di samping kubikel kerja Citra ada seorang wanita cerewet dan fasih dalam urusan cinta. Dia sudah menikah dan berumur sama dengan Citra. Namanya Kalisa Noer. Rambut sebahu, bibir merah merona, dan sering ganti model sepatu. Meskipun cenderung bergaya hidup mewah dan menghambur-hamburkan uang, Kalisa sangat perhatian pada teman.
"Hehe, terim kasih banyak! Terima kasih sambutan yang membahana, haha. Kenapa mereka semua berwajah masam?" tanya Citra setelah duduk dengan suara kecil.
"Ihh, kamu nggak tau, ya?"
Citra dan Kalisa kompak menoleh. Gadis lucu nan lugu itu bernama Nuri Zefara. Berusia lima tahun lebih muda dari Citra. Dia sangat polos apalagi ketika Kalisa menceritakan keharmonisan rumah tangganya. Nuri bahkan belum pernah pacaran. Dia dekat dengan Citra karena Citra selalu baik dan membantunya dalam bekerja.
"Memangnya kenapa?" Citra berbisik.
"Gara-gara kelalaian anak magang waktu buat laporan, kita semua jadi dimarahi sama bos. Jadinya mereka diam-diam deh." Nuri mengangkat bahunya.
"Oh, gitu. Kasihan tuh anak magang. Tapi nggak kelihatan. Mana dia?" Citra celingukan.
"Udah pergi, Cit. Magangnya udah kelar." jawab Kalisa sambil berbalik ke depan.
Citra hanya mengangguk saja. Lalu, mulai menggaruk kepala karena pekerjaannya benar-benar menumpuk.
"Kalian berdua, makasih ya udah bantuin ngerjain tugasku. Aduh, jadi enak di aku, haha." Citra terkekeh seraya mengotak-atik data di laptop.
"Emm, sama-sama. Asal habis ini traktir kita es krim! Iya nggak, Nur?" Kalisa semangat bertanya pada Nuri.
"Betul tuh betul! Uangku udah mau habis buat jajan. Baru nikah pasti duitnya banyak. Kita rampok aja sekalian?" sahut Nuri dibalas anggukan sama Kalisa.
"Haha, nggak lucu. Ntar pulang kerja aku traktir es krim. Sepuasnya!" Citra membentangkan tangan tak sengaja bicara agak keras. Kalisa dan Nuri tak jadi ingin bertepuk tangan lantaran teguran beberapa rekan kerjanya sudah datang menyuruh mereka diam. Citra menurunkan tangannya kembali sambil meringis minta maaf.
'Aduh, capek banget. Kalau begini terus kapan selesainya?' batin Citra.
Pukul dua siang masih ada yang Citra kerjakan. Dia harus menyerahkan laporannya pada manajer keuangan. Sampai melewatkan jam makan siang. Perutnya lapar sejak pagi dan sebotol air di meja pun tidak tersentuh. Berulang kali Nuri menyuruhnya untuk istirahat sejenak, tetapi Citra kekeh bekerja. Sampai akhirnya pekerjaan selesai dan Citra baru bisa bernapas lega.
"Hahh, pegel semua rasanya!" Citra bersandar punggung kursi lemas. Menekuk kepalanya ke kanan-kiri dan meretukkan jari-jarinya.
"Hmm," jawaban dari Kalisa.
Dia sedang berdandan dan mencoba membentuk gaya rambut baru yang ujung-ujungnya hanya dijepit. Nuri pergi ke kamar mandi dan belum kembali. Setidaknya ruang kerja mereka kosong.
"Jadi beli es krim?" tanya Citra seperti tak bertenaga.
Kalisa cepat-cepat menoleh, "Ya jadi dong! Nggak boleh dilanggar, ya! Udah bilang tadi!"
"Iya-iya, cuma nanya doang." Citra mengibaskan tangan menyuruh Kalisa santai sejenak. Sadar jika Nuri terlalu lama di kamar mandi, Citra bertanya pada Kalisa, "Nuri lama banget, ya?"
"Belakangan ini dia emang gitu. Di kamar mandi kayak di rumah sendiri. Betah banget!" Kalisa masih asik membedaki pipinya.
"Ha? Kok aneh?" Citra duduk dengan benar.
Mereka memutuskan untuk menunggu Nuri di parkiran. Nuri baru datang setelah setengah jam kemudian. Tentu saja dapat cercaan dari Kalisa. Citra hanya memaklumi dan kembali ceria mentraktir es krim. Kedai es krim yang cukup ramai. Pengunjung selalu datang tidak peduli itu hari libur atau di jam kerja. Banyak juga remaja dan anak-anak yang sekadar bercanda di sana. Memeriahkan suasana, tidak ada yang cemberut termasuk pegawainya. Itu yang membuat Citra sangat betah dan duduk di bagian paling dekat pintu.
Kedai es krim itu tutup ketika matahari terbenam. Citra berjalan gontai menuju motornya. Menepuk perut pelan karena kebanyakan makan es krim. Kedua temannya melambaikan tangan untuk pulang duluan. Saat hendak memakai helm, handphone-nya bergetar. Citra merengut enggan menerima panggilan itu. Namun, handphone-nya terus bergetar. Dia berdecak tak jadi menyalakan motornya. Menerima telepon itu tanpa melihat nomor yang tertera.
"Halo? Siapa, sih?!" sewotnya.
"Citra, Panji pingsan di restoran!" di seberang sana ada Indra yang melaporkan kondisi Panji. Dari suaranya terdengar sangat panik.
Citra terbelalak. "APA?!"
Segera menuju restoran milik Panji. Berbagai asumsi buruk terlintas di benaknya. Dia khawatir sekaligus takut hujan akan turun lagi malam ini. Langit sudah mendung. Tidak menunggu lagi setelah dia sampai di restoran langsung membuka pintu ruang kerja Panji. Dia terpaku. Ada Indra yang duduk di samping sofa sambil bicara dengan Panji. Kedua laki-laki itu menatap Citra bersamaan.
"Astaga, kamu kenapa lagi? Katanya pingsan, kok sekarang duduk?" berjalan sedikit berlari menghampiri sofa yang diduduki Panji. Dia meneliti wajah Panji yang sangat pucat, matanya sayu, dahinya berkerut seolah bertanya kenapa Citra datang. Lalu, Panji melirik Indra yang menggaruk tengkuknya.
"Udah sadar lima menit sebelum kamu datang. Tanya aja dia kenapa bisa pingsan. Seharian nggak makan kali." Indra mengendikkan bahu.
Citra mendesah panjang. Tangannya dengan ringan menyentuh dahi dan leher Panji mencoba merasakan suhu laki-laki itu. Panji menjadi menegang sebentar lalu mendesah menepiskan tangan Citra.
"Biar kulihat seberapa suhumu," kekeh Citra ingin kembali mengulurkan tangannya.
"Nggak usah. Mungkin darahku drop," tolak Panji.
Citra berdecak, "Mau ke klinik? Ayo sebelum hujan. Langitnya udah mendung banget tuh." menunjuk jendela yang tirai-nya terbuka. Menampakkan pemandangan jalan raya dan langit malam. Panji dan Indra menatap jendela itu.
"Wah, akhir-akhir ini kalau malam hujan. Jangan bilang kalau kamu pingsan juga gara-gara main hujan!" Indra menunjuk wajah Panji.
"Ck, nggak lucu! Kalian pulang dulu sana. Aku nggak apa-apa. Alay banget sampai dijagain segala. Bikin risih malah!" Panji melipat tangan acuh pada Indra sama Citra.
Citra hendak menajwab, tetapi Indra menarik tangannya sampai berdiri. "Nggak tau terima kasih, nih orang. Yaudah, Cit, ayo balik ke rumah aku. Ngapain nemenin dia? Diperhatiin malah kita diusir. Rasain aja tuh pusing sama dingin!"
Citra melepaskan diri dari Indra. "Hiiii, apaan, deh? Ngapain balik ke rumah kamu? Yang ada kamu balik sendiri sana! Istri udah nunggu buat marah-marah, tuh, di rumah!"
"Terus kamu jagain dia begitu?" Indra menunjuk Panji lagi. Kali ini dengan tangan lentik dan gerakannya sangat lemah gemulai.
Citra dan Panji bergidik bersamaan. "Dosen gila!" maki mereka kompak.
Indra melotot, "Hei-hei-hei, kalian ini..."
"Citra, pulang dulu ntar kehujanan. Indra, masih mau nemenin aku di sini apa pulang?" suara Panji sedikit serak.
Dahi Citra berkerut. 'Hmm, kayaknya dia lagi flu beneran. Semalam bersin sekarang pingsan. Harus dibawa ke klinik. Aku, 'kan nggak bisa nanganin orang sakit," batinnya.
"Ahaha, kalau ngomong gitu berarti minta ditemenin, nih. Oke, siap selalu, Kawan!" Indra menepuk pundak Panji dua kali.
Citra melengos acuh, "Yaudah kalau lebih milih Indra. Lagian aku lihat kamu udah baik-baik aja. Kalau ada apa-apa jangan minta tolong sama aku! Nggak usah pulang sekalian!"
Melenggang pergi menutup pintu kasar sampai membuat Indra dan Panji terjingkat.
"Huh, dasar nggak peka! Aku baik, 'kan khawatir sama dia? Eh, malah diusir!" gerutunya seraya keluar restoran. Namun, ketika hendak keluar restoran, dia terdiam. "Ck, kenapa aku masih kasihan, sih, sama dia? Tau, ah!" kesalnya kembali menuju ke ruangan Panji.
Brakk!!!
Citra mengagetkan Panji dan Indra yang sedang bercengkrama. Pintunya dibuka dengan sangat keras.
"Panji, pokoknya kamu harus pulang malam ini!" seru Citra geram.
"Hah?!" Panji dan Indra melotot tidak paham.
Niat baiknya sebelum pulang Citra akan membawa Panji pergi ke klinik.