Apapun keadaannya Citra harus bisa memaksa Panji untuk pergi ke klinik. Biarpun gerimis sudah datang, Citra tetap kekeh mendorong Panji keluar restoran. Indra sampai menggaruk kepalanya berulang kali menatap mereka dari belakang. Bukannya tidak mau membantu, tetapi percuma saja kalau membantu. Panji memegang tepian pintu sangat kuat. Citra sudah kelelahan mendorongnya.
"Ck, sudahlah sudah. Biar aku telepon dokter panggilan ke sini. Kalian tuh kayak anak kecil, ya. Main dorong-dorongan di pintu. Nggak manis tau nggak! Bikin mataku sepet aja!" decak Indra sambil mengeluarkan handphone dalam saku celana.
"Hahh, bagus deh kalau gitu. Panji, jangan sok kuat, deh! Kamu sebenarnya takut disuntik, 'kan? Nggak bakal disuntik, cuma diperiksa doang! Cemen banget!" Citra menghela napasnya yang terengah setelah berhenti mendorong Panji.
"Huft, capek. Nggak usah ditelepon, Ndra. Aku pulang aja. Males ketemu dokter." kata Panji.
"Gimana-gimana? Bilang aja kamu takut!" Citra semakin gencar mengejek. Bibirnya sampai memoncong sana-sini.
"Cuma pingsan sama flu biasa kok dibikin ribet. Kalian yang alay bukan aku!" Panji membalas cukup geram.
Citra melipat tangannya dan berdecak acuh.
"Oh, nggak jadi manggil dokter, ya, nggak apa-apa. Terus gimana? Pulang?" Indra kembali memasukkan handphone ke saku celana.
"Pulang lah!" Panji nekat keluar restoran dan menghampiri motornya. Dia kehujanan. Citra segera menyusulnya. "Panji, tunggu! Kamu basah kuyup! Kalau sakitmu makin parah gimana?!" teriaknya.
"Hei-hei, aku juga pulang kehujanan gitu? Teman macam apa kalian!" Indra mengejar hanya sampai teras saja. Dia mendesah menyaksikan kedua temannya yang beradu pendapat di sela motor mereka.
"Entah apa jadinya..." sekarang kebingungan bagaimana caranya bisa kembali ke rumah.
Usaha Citra untuk memaksa Panji pergi ke klinik tidak berhasil. Panji justru menerobos hujan dengan sangat cepat sampai Citra kualahan mengejarnya. Ditambah kedinginan sampai giginya menggigil.
'Panji sialaaaan!!! Kalau kayak gini aku juga bisa sakit tau! Dia nekatnya terlalu nekat, 'kan nyebelin! Dasar sok kuat!' maki batin Citra.
Setibanya mereka di rumah Panji bersin lagi, tapi anehnya baik-baik saja. Citra heran kenapa daya tahan Panji begitu lemah. Dia selalu mengejek Panji yang mulai masuk kamar mencari baju ganti sampai masuk ke kamar mandi.
"Apa? Berisik tau nggak? Mau ikut mandi juga? Hachimm!" Panji bersin lagi di ambang pintu.
Citra langsung mundur membuat Panji menutup pintu keras. Sebelum air dinyalakan sampai terdengar suaranya dari luar Panji bersin lagi dan itu membuat Citra jengkel. Dia menghentak-hentakkan kaki masuk ke dapur dan mengganti pakaian pakaiannya. Setelah itu merebus air dan membuatkan teh jahe beserta menyiapkan obat pereda rasa sakit. Sering kali Panji selalu minum obat itu dan langsung sembuh jika ada yang tidak beres dengan tubuhnya, seperti sekarang.
Dia menunggu Panji di ruang tamu setelah air panasnya siap. Asa handuk kecil juga di sana. Mendesah berkali-kali karena bersedia merepotkan diri demi tidak mendengar bersinnya Panji lagi. Pintu kamar mandi terbuka, Citra langsung menoleh.
"Heh, mau kemana? Sini bentar!" memberi kode lewat tangan agar Panji mendekat.
"Mau jemur handuk." jawab Panji cuek seraya terus berjalan ke tempat menjemur pakaian.
Citra terus mengamatinya sampai Panji benar-benar duduk di sampingnya.
"Huft, apa lagi? Nggak lihat badanku capek apa? Masih mau ganggu?" dari suaranya terdengar sangat lemas. Pandangan Citra jadi tidak melotot lagi, melainkan prihatin.
"Tadi udah makan belum? Mumpung aku masih mau baik nih, aku bawain obat sama teh jahe. Diminum biar hangat dikit. Dikunyah sekalian itu jahenya. Ada air panas sama handuk, kompres sendiri di dahi." Citra menunjuk semua yang dia taruh di atas meja.
Panji menatapnya datar. Menggosok hidungnya yang sedikit memerah, "Itu jahe lagi? Pedes tau, Cit. Lagian air panas buat ngompres dahi? Bukannya sakitnya hilang yang ada dahiku lecet. Nggak ada air hangat apa. Terus aku nggak mau minum obatnya. Orang dari pagi belum makan." melengos sambil melipat tangan. Menghirup udara saja rasanya sudah. Hidungnya sudah gatal lagi ingin bersin.
"Ribet banget, sih. Pokoknya itu teh jahe habisin. Tunggu sampai aku buatin makanan baru minum obat. Huuu, badan doang gede, tapi kesehatan nggak dijaga. Aku juga nerobos hujan kayak kamu, tapi nggak demam apalagi flu, tuh." Citra kembali ke dapur setelah menjulurkan lidahnya mengejek Panji.
"Eh-eh, makin berani aja, ya. Kau nggak gara-gara tiap malam aku tidur di sofa, nggak bakalan juga sakit, cewek gila! Siapa yang baik coba sekarang? Aku apa kamu?" balas Panji sedikit berteriak agar Citra dengar.
Citra memang mendengarnya, akan tetapi dia terus melanjutkan kegiatan memasaknya seraya berpikir jika ucapan Panji benar. Setiap malam turun hujan dan sekarang pun sama. Panji harus terus mengalah padanya untuk tidur di ruang tamu. Selimut saja tidak cukup. Citra merenungkan hal itu sambil memasak.
Sepiring nasi goreng pedas level sedang sudah ada di meja. Panji merasa tidak berselera makan. Teh jahe bahkan belum diminum sedikitpun. Dia hanya duduk sambil memeluk bantal dan terus menggosok hidungnya menahan bersin.
"Ck, udah nggak usah ditahan. Ntar malah nggak sembuh-sembuh. Ini makan dulu, habis itu minum obat." Citra menunjuk piring.
Panji menatapnya sebentar lalu ke nasi goreng itu, "Nggak selera, Cit. Rasanya pahit semua. Besok juga sembuh, biarin aja lah."
Citra berdecak. Mengambil nasi goreng itu dan memaksa Panji makan dengan menyuapinya. Panji melotot tak mau mengunyah nasi goreng di mulutnya.
"Apa melotot segala? Cepat telan! Ini perintah!" Citra ikut melotot.
Dahi Panji jadi berkerut. Dia terpaksa memakan nasi goreng itu agar bisa membalas Citra. "Kamu..."
Citra memotong ucapan Panji dengan menjejali Panji nasi goreng lagi. Dia tergelak karena Panji terlihat sangat bodoh dan menurut.
"Hahaha, makan lagi yang banyak biar sembuh terus dapat bonus gemuk, hehe." Citra tak henti-hentinya menjejali Panji padahal mulut Panji penuh sehingga tersedak. Citra justru tertawa melihat kepanikan Panji mengambil air dingin di kulkas, "Haha, bodoh banget dia."
Panji kembali dengan kesal. Citra masih tertawa puas melihatnya. "Oh, bagus ya, udah ada rencana nyelakain suami sendiri. Aku bakal...," Citra memotong ucapan Panji lagi.
"Bakal apa? Nggak usah protes berlebihan! Duduk lagi terus habisin ini. Mau aku suapi lagi?" Citra menyodorkan sepiring nasi goreng yang masih banyak itu.
"Aku bisa sendiri! Dasar jadi cewek nggak bisa lembut dikit! Mana ada bentuk perhatian kayak gini?" Panji merebut piring itu kasar dan memakannya kesal.
"Heheh, kalau nggak dipaksa mana mau? " Citra melipat kakinya manis. Panji hanya memutar bola matanya sebagai jawaban.
Suara hujan di luar sana masih terdengar menyita perhatian Citra. Gadis itu menatap jendela yan yang tirainya belum ditutup. Dia menghampiri jendela itu dan Panji melihatnya tanpa menegur.
"Hujannya... Deras banget," gumamnya lemas.
Menutup tirai, menghela napas berat dan kembali duduk bersama Panji. "Bagaimana kalau malam ini kamu tidur di kamar aja? Masih hujan kalau tidur di sini takutnya sakitmu makin parah," ucapnya terus terang.
Panji berhenti mengunyah tanpa menelan. Mengerjap dua kali menatap Citra. Dipandang seperti itu Citra jadi mengerang sebal.
"Mau nggak? Aku nggak mau, ya, dibilang istri durhaka sama suami. Cuma perkara tidur di sofa jadi sakit. Siapa suruh tiap malam turun hujan." menarik bantal dan menatap langit-langit rumah. "Huft, ini rumahmu, udah harusnya kamu yang nempatin. Makasih udah mau menghargai aku buat tidur di kamar. Sekarang... Kita tidur bersama aja," sambungnya.
Panji menyemburkan beberapa butir nasi yang sedari tadi masih belum dikunyah. Citra kaget, dia menjauh sampai ke pinggiran sofa.
"Iihhh, kamu apa apaan, sih? Jorok!" Citra mengernyit.
"Aduh, maaf-maaf. Kamu ngomong apa tadi?" Panji membersihkan sisa keberantakannya dengan cepat.
Citra memutar bola mata malas, "Tidur bareng di kamar. Aku nggak mau kalau kamu di kamar terus aku di ruang tamu, tapi kita cuma tidur doang. Jaga jarak pojok sama pojok. Jadi tengah-tengah isinya cuma bantal sama guling." menunjuk Panji seolah memperingati.
"Kenapa cewek selalu nggak mau ngalah? Harusnya kamu tidur di kamar mandi dan aku di kamar. Itu baru bener." Panji meminum obatnya. Tidak menghabiskan nasi goreng yang pahit di mulutnya.
"Karena cewek itu spesial. Udah pokoknya mulai sekarang gitu. Ntar kalau sakit terus malah aku yang ngerasa bersalah. Ogah!" Citra melengos memeluk bantal.
Panji mengecap rasa obat yang justru tidak terasa apapun. "Bilang aja mau tidur sama aku? Awas ntar suka. Jangan ambil kesempatan loh, ya? Siapa tau aja kamu grepe-grepe aku tengah malam," godanya sengaja.
Citra menoleh menganga. Memukul Panji sampai Panji tak jadi mengambil teh jahe. "Kamu nyebelin banget jadi orang! Kalau nggak mau, ya, udah. Sekalian tidur di teras sana! Lain kali aku nggak mau kasih penawaran ke dua apalagi kasihan sama kamu! Panji jeleekkkk!!!"
Membuang bantal yang dipeluknya tepat ke wajah Panji, lalu marah pergi ke kamar.
"Aduh! Bantalnya bau habis kamu peluk."
Panji terkekeh karena Citra lucu saat marah. Mendesah dan minum teh jahe sedikit demi sedikit sampai habis. Tidak masalah kalau dia tidur sekamar satu ranjang dengan Citra. Jika dulu dia tidak berani maka sekarang lebih dari sekadar berani untuk tidur bersama Citra, karena sudah sah. Dia senang karena bisa menggoda Citra di kamar sepuasnya. Pipi gadis itu terlihat merah kerap kali Panji menggodanya.
Ketika dia masuk ke kamar ternyata Citra sudah tertidur. Untuk apa mengganggunya? Panji lebih baik ikut tidur sebelum dingin menggerogoti tubuhnya lebih lama.
~~~
Aktifitas pagi yang sama. Dua orang itu sibuk berlarian ke sana kemari dan ujung-ujungnya tidak sarapan langsung berangkat kerja. Citra harus menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin karena setelah pulang kerja dia akan ke restoran Panji. Ada pertemuan dengan pihak produksi karena mereka tidak bisa hadir di kantor. Jadi, harus rela menambah waktu untuk bekerja. Sekalian makan siang.
Di kubikel-nya Citra sedikit longgar. Pekerjaannya tidak terlalu menumpuk seperti kemarin, karena laporan dari pihak produksi belum dia dapatkan. Jadi, itu sebabnya dia bisa bersantai bermain handphone sekarang. Kalisa meliriknya sebentar, berdecak sambil terus mengetik di keyboard komputer.
"Ehm, santai banget kayaknya. Bulan ini nggak dapat gaji baru tau rasa."
Citra menoleh, "Ciee, iri."
"Ck, iri sama kamu? Yang ada kamu harusnya iri sama aku," balas Kalisa tanpa menoleh.
"Kenapa juga harus iri?" Citra mengerutkan dahi.
"Soalnya hidupku sangat spesial nan istimewa. Kalau nggak dapat gaji, ya, dapat uang dari suami, hehehe. Kamu sama Panji gimana? Sama-sama nol besar alias hambar. Nggak ada rasa berarti nggak ada perubahan." Kalisa tersenyum miring.
Citra menganga, "Wah, mainnya udah ngejek nih orang. Nuri, bantu aku mutilasi mulut dia, Nur!"
Namun, Nuri tidak menjawab. Pekerjaan dia justru jauh lebih banyak dari Kalisa. Citra meringis melihatnya. Berbalik ke belakang untuk melihat seberapa jauh progres Nuri menyelesaikan pekerjaannya.
"Ada yang bisa aku bantu?" mencicit menawari jasa.
Nuri mendongak, "Hahaha, nggak usah nawari kalau nada suaranya nggak rela. Lagian ini simpel kok. Cuma banyak doang." lanjut bekerja.
"Hehehe, oke deh. Kerja yang rajin, ya." Citra mengedipkan sebelah matanya sambil mengacungkan ibu jari.
"Aku nggak dikasih semangat?" Kalisa nyeletuk.
Citra kembali menghadap ke depan dan bermain handphone. "Buat apa? Bukannya ngejek tadi?" sindirnya.
Kalisa menatapnya sedikit penasaran, "Beneran kalian nggak ngapa-ngapain di rumah? Secara sekarang seatap loh. Halal lagi."
"Ngomong apa, sih? Nggak jelas." Citra tetap bermain handphone.
"Hahh, mulai deh. Kalisa yang dibahas begituan mulu. Awas tercemar otak kotornya, Cit." Nuri menyahut tanpa berhenti fokus.
"Anak kecil diam aja. Ini urusan orang yang udah punya pasangan. Kamu cari pacar aja sana." Kalisa memukul pelan meja Nuri.
"Oke, aku kecil. Aku diam." Nuri memasukkan bibirnya ke dalam mulut.
Citra terkekeh, "Kalisa kepo! Aku sama Panji biasa-biasa aja kayak temen. Pikiranmu yang terlalu jauh."
"Hey, jaman gini dikasih yang enak-enak enggak mau? Panji kurang ganteng gimana? Jujur aja, nih. Dia malah lebih ganteng dari suamiku. Hiks, kalau mau kita tukeran dong." mengerjakan matanya pura-pura memohon.
"Hiii, geli lah. Dikira Panji barang bekas pakai ditukar segala." Citra masih enggan menatap Kalisa.
"Citra, rumah tangga nggak bakal hidup tanpa adanya cinta. Biasa bersama cuma menimbulkan rasa nyaman. Iya, emang itu yang kamu rasain selama ini sama Panji, tapi cinta lebih indah dari sekadar nyaman, Cit. Kasih sayang itu lebih penting lagi. Percuma kalau kamu kasihan tapi nggak sayang. Disayang itu enak banget loh. Semua cowok butuh kasih sayang dan semua cewek butuh perhatian. Sama-sama saling membutuhkan. Kalian harus bisa beradaptasi dengan status baru kalian. Dengan begitu pasti cinta datang dengan sendirinya."
Kalisa sudah mulai berceramah. Citra memang menceritakan tentang Panji yang sakit kemarin malam dan itu membuat Kalisa menasehatinya lagi.
"Tuh, dengerin kata Nenek Kalisa. Dia udah pengalaman seratus tahun lebih soal percintaan," sindir Nuri dan Citra tergelak pelan.
"Ih, nyahut aja nih anak. Kalau nggak berpengalaman gimana bisa ngomong panjang kali lebar, hah?" balas Kalisa.
"Iya-iya," jawab Nuri singkat.
"Hahaha, kamu yang polos diam aja, Nur. Biarin Nenekmu ini ngoceh sendiri," tawa Citra.
Kalisa semakin tidak terima. "Kalian dibilangin malah nggak percaya. Sekarang aku tanya, kamu pernah dicium sama Panji nggak?" sedikit mendekatkan kursinya ke kubikel Citra.
"Ha?" Citra langsung terbelalak menatapnya. Nuri pun mendongak. Kalisa mengangguk semangat.
"Pertanyaan macam apa itu? Mana mungkin Panji nyium aku? Dia jijiknya setengah mati sama aku." hampir saja memekik sambil bergidik.
"Terus, kamu pernah nyium Panji?" Kalisa masih kekeh bertanya.
"Haishhh, ya enggak lah. Gila kali, ya?" Citra sangat sewot.
"Tuh, 'kan? Kaku kalian. Ini yang salah Panji atau kamu? Kayaknya dua-duanya deh. Sama nggak peka-nya. Atau jangan-jangan Panji nggak tau caranya nyium cewek?" Kalisa mulai berkeliaran dengan asumsi aneh di otaknya.
Citra mendengkus sabar, "Panji? Deket cewek aja jarang. Pegang tangan aja dia langsung kaget kok, apalagi jauh sampai nyium."
"Eh? Emang ada cowok yang nggak deket-deket sama cewek?" Nuri menyahut lagi.
"Ada, tuh. Si Panji," jawab Citra santai.
"Masa? Berarti dia deketnya cuma sama kamu?" Kalisa bertanya lagi.
"Iya." Citra mengangguk pasti.
Kalisa menjentikkan jarinya, "Fix, udah diputuskan kalau hubungan kalian lebih dari teman. Buktinya Panji cuma deketin kamu, haha. Nggak lama lagi pasti kalian menempuh ke jalan selanjutnya menuju cinta." membentuk pelangi di udara.
Citra nyengir ngilu, "Jangan mimpi! Aku dama Panji... Bagaimana laut yang memisahkan dua pulau. Nggak mungkin itu terjadi." menyilangkan tangannya pada Kalisa.
"Ck, kita lihat aja ntar. Aku malah penasaran siapa yang bakal nyatain perasaan duluan. Kamu atau Panji, ya?" Kalisa mengetuk-ngetuk dagunya dan itu membuat Citra semakin gemas.
"Hiihh, jangan menggodaku terus! Sana lanjut kerja! Kayak Nuri yang rajin nan waras itu loh, bukannya cinta aja yang dipikirin." Citra sedikit mendorong dahi Kalisa.
Kalisa tetap saja terkekeh. Nuri hanya menggeleng menatap mereka dan terus saja bekerja. Citra mengaktifkan handphone-nya lagi dan membuka aplikasi menggambar. Bibirnya cemberut karena memikirkan saran dari Kalisa. Sebenarnya itu saran sekaligus ejekan karena dia yabg buta akan cinta.
'Ck, dasar sok tau! Memangnya apa pentingnya cinta? Sehebat apa kata cinta sampai membuat semua orang tergila-gila? Aku nggak merasakan tanda-tanda cinta, tuh. Apalagi sama Panji, malahan hawanya setiap hari kesel sama dia,' batin Citra.
Dia mulai menggambar sesuai isi hatinya. Sebuah pohon yang daunnya berbentuk hati dan diberi warna hitam. Kemudian, di bawah pohon itu ada dua orang yang saling berhadapan dengan jarak jauh. Seolah mereka sedang bermusuhan. Kemudian dia menggambar awan mendung yang menurunkan hujan. Tanpa sadar tangannya terus menggambar sampai imajinasinya memutar memori kemarin malam.
Pohon itu dia ubah jadi sebuah ranjang. Ranjang yang sangat mirip dengan miliknya. Kemudian awan-awan mendung itu berubah menjadi sebuah dinding dan tirai. Ada jendela yang menampilkan hujan di luar sana. Ranjang itu masuk ke dalamnya. Lalu, sebuah selimut menutupi kedua orang yang meraih bermusuhan itu. Citra memberinya berbagai jenis warna sampai tangannya tak bisa untuk menggambar lagi. Akhirnya dia mencoret-coret gambaran itu.
'Huft, sampai menggambar pun teringat Panji. Ngeselin, pokoknya ngeseliiinnn!!!' teriak Citra dalam hati.
Jam kerja sudah selesai. Citra langsung pergi ke restoran Panji. Ternyata pihak produksi sudah datang. Hanya ada satu orang yang datang dan langsung menyerahkan laporannya ketika Citra sampai. Orang itu pergi terlihat sangat terburu-buru. Jadinya mereka membatalkan makan siang bersama. Citra mengeluh dalam hati. Jika hanya menyerahkan laporan seharusnya di kantor juga bisa. Apa mereka sibuk sekali sampai memberikan beberapa lembar kertas saja harus di restoran dan menunggu jam kerja selesai?
Sudah datang maka jangan pergi dulu. Citra mendapat akses bebas masuk kapan saja karena secara resmi semua karyawan di sana tahu kalau Citra istri dari Panji. Citra memilih datang sendiri ke dapur dan melihat proses masak di sana. Dia sangat kagum seraya menyapa semua karyawannya Panji. Memesan satu spaghetti porsi besar untuknya dan tagihannya diberikan pada Panji. Mereka hanya bisa menurut dan membiarkan Citra berkeliaran di restoran.
Pintu ruangan Panji tertutup. Citra rasa suaminya masih sibuk di dalam sana. Alhasil dia memilih mondar-mandir dari meja kasir sampai ke pintu belakang. Dia sudah hapal seluk-beluk restoran itu, tetapi ada yang mengganjal berhasil menarik perhatian Citra di dekat pintu belakang.