4. Rahasia

2521 Kata
 Sebuah cat yang mengelupas yang membuatnya penasaran itu dia tarik. Niatnya ingin dilepas sekalian, tetapi justru cat itu tak kunjung lepas. Teksturnya pun terasa sangat berbeda. Citra heran dan terus menarik cat itu. Sudah sebesar telapak tangan Citra sadar kalau itu bukanlah cat biasa. Mungkin juga memang bukan cat. Jika cat terkelupas dari tembok pasti dia akan hancur ditekan jari, tetapi itu justru terbuka seperti kertas yang menempel di dinding.  "Ini wallpaper dinding!" pekik Citra langsung membekap mulutnya sendiri.  Melirik sana-sini takut orang-orang mengira terjadi sesuatu padanya. Ternyata dugaan Citra memang benar. Wallpaper yang sangat sempurna menyerupai cat tertempel rapi dan selama ini dia tidak tahu. Kemudian dahinya berkerut lebih mengkerut dari sebelumnya. Di balik wallpaper itu bukanlah dinding, melainkan kayu yang bentuknya seperti pintu. Dari garis wallpaper itu terpasang memang benar jika itu adalah pintu.  "Jadi, maksudnya ini buat nutupin pintu di sini? Pintu apa sampai dipasang beginian? Kenapa Panji nggak pernah cerita? Terus ini gimana bukanya?" gumamnya bingung.  Mencoba membenarkan wallpaper itu, tetapi tidak bisa. Sekalian saja Citra lepas dan nampaklah sebuah pintu kayu tanpa engsel. Mengangguk-angguk yakin jika Panji menyembunyikan sesuatu di dalam sana. Dia mendesis berpikir bagaimana caranya agar pintu itu bisa terbuka. Meraba pjngu itu dari atas sampai bawah tidak menemukan celah sedikitpun. Tiba-tiba kakinya tersandung karena salah posisi berdiri membuat tangannya mendorong pintu itu ke samping. Alhasil pintu pun terbuka.  "Ha! Kena!" menahan pekikan sebisa mungkin. Dia terlalu syok untuk hal sebesar ini.  Perlahan tangannya mendorong pintu itu terus ke sampaing hingga terbuka sepenuhnya. Mulutnya melebar sempurna. Matanya yang lebar tak mampu melihat isi ruangan itu karena gelap. Sedikit gemetar, penuh penasaran, dan sedikit meyakinkan diri dia masuk ke ruangan itu. Meraba dinding mencari sakelar lampu dan akhirnya ditemukan. Lampu pun menyala. Nampaklah ruangan kecil berisi meja dan kursi kerja, lalu rak buku yang berisi penuh buku. Juga banyak tumpukan kardus yang tersusun rapi. Citra terkejut ketika melihat buku-buku berserakan di dekat meja kerja itu. Sangat tidak rapi dan banyak dari mereka yang halamannya terbuka.  Citra jongkok meneliti buku-buku itu. "Sebenarnya ini apa? Jangan-jangan ruangan rahasia?"  Mengambil salah satu buku di depannya yang sudah terbuka. Semuanya penuh dengan tulisan tangan. Tanpa judul, dan coretan-coretan yang tidak Citra mengerti.  "Semua tulisan tangan... Panji? Nggak salah lagi ini emang tulisannya Panji. Kok, bahasanya aneh gini? Kasus-kasus, tanggal, rangkaian kejadian... Apaan, sih, ini?"  Membolak-balik tiap halaman buku itu yang semua penuh berisi dengan jenis kasus yang berbeda. Karena sudah penasaran Citra mempelajari semuanya. Dalam waktu singkat dia bisa membacanya sampai habis. Kemudian, dia mendapat sebuah titik terang. Kebenaran yang tersembunyi selama ini darinya. Buku itu dia tutup seraya matanya tak bisa terpejam.  "Panji... Menyelesaikan ini semua?" gumamnya masih dengan pandangan kosong.  Lalu, berdiri tergopoh-gopoh membawa buku itu dan keluar ruangan. Menutup pintunya serapi mungkin walau memang sudah terlihat jika itu bukanlah dinding. Dia nekat membuka pintu ruangan Panji paksa membuat Panji yang sedang mengerjakan sesuatu di laptop-nya terjingkat.  "Astaga! Citra?! Ngagetin aja! Nggak bisa ketuk pintu terus senyum manis gitu dulu apa?" kaget Panji.  Bibir Citra berkedut sedikit lalu mendekati Panji dengan tidak santai.  "Heh? Kenapa nih anak?" Panji mengernyit heran.  Bughh!!!  Panji mengerjap kala huku tanpa judul itu dibanting di mejanya.  "Cepet bilang buku apaan ini! Terus pintu apa yang kamu tempeli wallpaper dinding kayak cat?!"  Tanpa tedeng aling-aling Citra membuat Panji sukses terbelalak. Merebut buku itu langsung dan melihat isinya. Dia menganga menatap Citra dan buku itu bergantian.  Citra tersenyum miring, "Ck, gayamu makin kelihatan kalau nyembunyiin sesuatu. Hayo ngaku!" semakin keras dia memaksa Panji.  "Sssttt! Diam, berisik! Nanti kalau pegawai tau!" desis Panji menutup mulutnya dengan telunjuk.  Citra melengis sebentar. Menarik kursi yang berhadapan dengan Panji hanya berjarak satu meja di depannya. "Yaudah, kalau gitu buruan cerita. Kalau enggak keburu orang-orang lihat pintu itu yang udah aku lepas wallpaper-nya!" paksanya lagi.  "Apa?! Kok dilepas, sih? Masangnya susah!" Panji sedikit menggebrak meja.  Citra juga ikut memukul meja, "Malah mikir masangnya yang susah. Udah nggak usah ngelak. Kenapa banyak kasus aneh-aneh di situ? Ruangan apa kok penuh buku? Kenapa kamu sembunyiin di restoran? Kenapa juga....," ucapannya dipotong Panji.  "Suka-suka aku dong. Ini restoranku. Mau kubuat pintu rasasia, jendela rahasia, kamar mandi rahasia, sampai lemari rahasia juga terserah aku!"  "Nah, ketahuan! Jadi bener, 'kan itu ruangan rahasia?!" Citra menggebrak meja lebih keras dari sebelumnya sampai berhasil membuat Panji mendelik mundur.  "Eee, itu..." Panji menggaruk kepala bingung. Citra terus memandangnya penuh selidik. Bibir bawahnya digigit-gigit menimbulkan sensasi ngeri untuk Panji. Akhirnya Panji mendesah menyuruh Citra duduk tenang. "Udah lama banget dan ternyata harus hari ini, ya, ketahuan sama kamu. Itu ruangan emang aku yang buat dan nggak berniat sembunyiin dari siapapun karena pada dasarnya sengaja biar jadi ruangan rahasia. Kalau aku nggak pulang berarti aku ada di ruangan itu dengan buku-buku dan kasus yang tidak terpecahkan. Aku punya sisi kehidupan lain daripada sekadar pengusaha restoran, Citra," jelas Panji santai dan berubah serius ketika di akhir ucapannya.  Citra semakin mengerutkan dahi, "Apa? Coba lebih jelas lagi. Aku nggak paham." mendekatkan telinganya.  "Haishhh, kamu tau paman Lim Kanoe?" pasrah Panji.  Citra langsung terbelalak, "Jangan bilang paman gilamu itu yang sibuk bantu orang sana-sini tanpa dapat duit!" pekiknya seraya menunjuk Panji.  "Benar! Aku ikut jejaknya buat jadi detektif amatir." tersenyum semanis mungkin sedangkan Citra menutup mulutnya yang ternganga.  "Astaga, kebenaran woww apakah ini?! Kamu... Kamu main detektif amatir? Serius?!" pekiknya semakin menjadi.  "Iya, Citra. Biasa aja nggak usah kaget gitu. Kamu orang kedua selain paman Lim yang tau hal ini. Kalau sampai bocor kemana-mana aku bakal gantung kamu ke tiang lampu jalan raya!" Panji menodong Citra dengan telunjuknya.  Citra masih menganga, mengerjap-ngerjap, dan mulai bernapas lega. "Aku masih nggak percaya ini terjadi. Orang payah kayak kamu bisa mecahin banyak misi? Yang bener aja! Apalagi paman Lim itu orangnya nggak main-main. Sekalinya terjun ke dunia berbahaya nggak bakal mau berhenti sebelum kasusnya tuntas. Nah, kamu malah ikut-ikutan? Sumpah, beneran aku syok, Panji! Iya kalau kasus dia cuma sekelas pencuri ayam yang misterius, nah ini enggak!!! Jangan bilang juga kamu terus ngadepin hal-hal berbahaya kayak gitu?! Jangan bilang juga kalau sakitmu yang kemarin gara-gara pusing kebanyakan mikirin gimana biar kasusmu selesai? Wah, parah-parah!"  Mondar-mandir di depan Panji sambil memegang dahinya. Menggeleng masih tidak bisa menduga jika temannya itu berani berbuat nekat.  "Kalau iya emang kenapa? Aku suka kok. Jadi detektif amatir itu kayak lagi main sembunyi-sembunyi ngelakuin hal baik. Orang kebanyakan dosa kayak kamu itu harusnya ngikutin jejak aku biar ketularan jadi orang baik." Panji menepuk dadanya berbangga diri.  Citra berhenti mondar-mandir, "Kamu baik dilihat dari mana? Nggak ada baik-baiknya sama sekali! Aku malah curiga kalau caramu nyelesaiin kasus itu berantakan. Bukannya ngebantu justru memperburuk suasana. Kamu, 'kan ngeselin. Mana ada orang yang mau nerima bantuan kamu? Kalau sama paman Lim baru aku percaya." melipat tangan di d**a.  Panji berdiri sambil berdecak. "Oh, ngeremehin, ya? Kalau gitu nggak usah langkahkan kaki masuk ke restoran ini lagi! Ada kamu justru memperjelek suasana!"  Citra menghentakkan kaki tidak terima, "Kau terbaik, Panji! Bukannya apa, ya. Cuma kalau mecahin kasus itu, 'kan harus mikir, ya? Otak di jamin panas tiap hari kalau kamu nggak pandai-pandai nguasain situasi. Tapi kamu nggak dapat hasil dari kerja kerasmu itu. Ucapan terima kasih sama di sanjung sana-sini nggak bakalan bisa bikin perut kenyang. Kamu nggak dapat upah apa-apa."  "Citra, aku ngambil jalan ini tulus dari lubuk hatiku yang terdalam. Nggak peduli cuma amatiran, tapi aku lakuinnya seprofesional mungkin. Detektif amatir itu udah kayak menyatu ke sanubariku. Bukan soal uang atau upah, tapi kepuasan hati saat jadi penyelamat tanpa pamrih. Aku nggak butuh uang dari hasil menolong orang. Lagian rasanya menyenangkan tau, Cit. Kamu nggak berhak menjelek-jelekkan pekerjaan rahasiaku ini!" terang Panji menekan kata terakhirnya.  Citra terdiam hanya matanya yang melirik sekitar.  "Kalau gitu... Aku juga mau ikutan dong!" mendadak berseru semangat.  Panji melotot kaget, "Enggak bisa!!!"  "Loh, kenapa? Katamu aku banyak dosa terus harus ngikutin kamu melakukan kebaikan pakai proses pusing kepala, ya, aku mau ikutan!" Citra semangat penuh kemerdekaan  Sudut bibir Panji berkedut, "Aduh! Kok, malah ngikut, sih? Ini bukan main-main!" menggaruk kepalanya.  "Tapi ini permainan. Pokoknya aku mau ikut nggak boleh nolak! Kalau nolak aku bakal kasih tau semua orang, seluruh keluarga, kerabat, teman, sampai pelanggan di depan kalau kamu detektif rahasia yang amatiran!" ancam Citra.  "Eh-eh, jangan! Jangan bikin aku bingung, deh. Kamu duduk baik-baik di rumah, buat laporan keuangan di perusahaan kertas, nggak usah mikirin apa yang aku lakuin di luar. Lupakan ruangan rahasia, paman Lim, dan detektif amatir tadi. Jadi anak baik, ya..." bujuk Panji seperti membujuk anak kecil.  "Dahimu panas, ya?" Citra mengernyit memeriksa dahi Panji dengan telapak tangannya. Sekarang giliran Panji yang terdiam. "Nnggak panas, tuh. Ngomongnya kok ngelantur? Gimanapun juga aku mau ikut kamu! Yeeyyy, Panji setuju! Aku jadi detektif amatir yang siap membela kebenaran dan memecahkan kasus misteri di segala penjuru dunia! Citra Mayangsari dengan wajah baru akan datang, haha!" sorak ceria Citra berhasil membuat Panji ingin menangis. Bibirnya sudah melengkung ke bawah. Menutup wajahnya yang enggan melihat Citra sesenang itu.  "Ini di luar kendali. Aku pengen kamu pergi bukannya ikut," gumam Panji frustasi.  "Panji, misi pertamaku apa?" melebarkan matanya mendadak sudah ada tepat di depan Panji lagi.  "Ha?" Panji pura-pura bodoh.  "Ck, aku siap membantu dalam hal apapun tanpa dapat imbalan sepeserpun! Tadi aku udah baca semuanya di buku itu dan isinya menarik! Kamu hebat! Aku juga mau hebat!"  'Citra kalau begini mengerikan. Dia kira mainan beneran apa? Makin repot jadinya kalau ada dia,' batin Panji nelangsa.  "Aku nggak bakal ngerepotin, yang ada malah bantuin kamu. Ayolah... Masa sama temen sendiri dari dulu nggak percaya, sih? Ini aku... Citra yang nggak kenal takut. Otakku juga lumayan pinter, kok. Tenang aja." menepuk pundak Panji dua kali.  Panji melirik pundaknya yang ditepuk Citra, "Berani nggak?"  "Berani dong!" jawab Citra langsung.  "Kadang ada jalan yang berbahaya loh, ya," kata Panji memastikan.  "Akan aku jalani walau rintangan sebesar apapun nantinya." membuat ekspresi semeyakinkan mungkin.  Sekali lagi Panji mendesah pasrah. "Baiklah. Jangan bikin aku kecewa apalagi kesusahan. Kamu boleh ikut, asal harus tau waktu dan serius. Aku bakal ngomong sama paman Lim kalau kamu ikutan, tapi aku nggak ikut tim-nya paman Lim, asal kamu tau aja. Aku berdiri sendiri dan kamu harus nurut apapun yang aku katakan!"  "Siap, Bos!" Citra memberi hormat penuh dengan senyuman dan kilatan puas di binar matanya.  Panji terkekeh membuatnya ikut terkekeh.  'Nggak ada salahnya mungkin kalau Citra ikut. Sejauh ini dia teman yang bisa diandalkan,' batin Panji.  "Jadinya apa tugas pertamaku?" tanya Citra lagi membuyarkan lamunan dan senyuman Panji.  "Ah, itu masalah kecil. Karena kamu baru mulai jadi urusin yang kecil-kecil aja dan nggak perlu jauh-jauh. Misimu adalah aku." Panji menunjuk dirinya sendiri.  "Hah? Gimana-gimana?" Citra mengernyit.  "Luka bakar di pundakku yang sampai sekarang masih jadi misteri." Panji membuka dua kancing bajunya yang teratas dan menunjukkan bekas luka itu.  Citra mengamatinya, "Jelas aku masih ingat gimana bekas luka ini tiba-tiba ada di pundakmu. Sepuluh tahun yang lalu." hampir saja tangannya akan menyentuh bekas luka itu. Namun, Panji segera menutuoi pundaknya lagi membuat Citra sedikit tersentak. Dia mengerjap dan berdeham selagi Panji memasang kancing bajunya lagi.  "Gimana? Bersedia? Sanggup?" tanya Panji.  Citra mengangguk pasti, "Gimanapun caranya masalah di pundakmu itu pasti bakalan terungkap di tanganku. Jangan risau, Panji. Percayakan tugas ini pada teman setiamu. Udah, ah, aku mau makan spaghetti dulu. Kamu yang bayar, ya. Aku pesan porsi besar tadi. Jangan lupa juga pasang balik wallpaper dindingnya kalau nggak mau ketahuan sama orang-orang. Sampai ketemu di rumah!" menepuk dadanya sebentar lalu melambaikan tangan keluar dari ruang kerja Panji.  Panji hanya menggeleng merasakan tingkah Citra yang berubah-ubah, "Emangnya dia bisa diandelin? Makan aja minta gratisan. Dasar nggak modal!" kembali melakukan pekerjaannya.  Di rumah pukul delapan malam. Citra sibuk menggambar di teras halaman belakang dengan berbekal satu toples kerupuk pedas. Dia sedang membiarkan awan mendung hilang berharap bisa melihat bintang. Rasanya sudah lama sekali dia tidak melihat bintang. Kenapa hujan selalu datang malam hari? Kenapa juga kalau siang terik? Citra sampai berulang kali menyanyakan hal itu pada buku gambarnya.  Panji sedang mandi dan setelah itu Citra sangat yakin kalau Panji akan berkutat dengan laptopnya. Ternyata dugaannya benar, tetapi Panji tidak menyendiri melainkan menyusulnya dan duduk di sampingnya sambil memangku laptop yang sudah menyala.  "Hmmm, dinginnya lumayan nggak kayak kemarin. Mungkin nggak bakalan hujan malam ini." kata Panji setelah duduk dan memakan kerupuk pedas tanpa ijin.  Citra memindahkan toples kerupuk pedasnya ke sisi yang tidak bisa digapai Panji. "Nggak lihat langitnya mendung? Bentar lagi pasti juga hujan," sewotnya.  "Pelit banget, sih. Bagi dong!" Panji mencoba merebut toples kerupuk pedas itu. Citra menjauhkannya dari Panji sebisa mungkin.  "Aduh, jangan deket-dekat dong! Bukan muhrim! Lagian ini kerupuk yang beli aku. Enak aja main minta!" Citra mendorong Panji sampai Panji mengalah dan duduk dengan baik.  "Kalau gitu bayar uang spaghetti tadi? Mainnya perhitungan banget, sih! Mentang-mentang pegawai keuangan!" ejek Panji.  "Suka-suka aku lah. Kamu ngapain di sini?"  "Mencari kehangatan," jawab Panji asal.  "Yahh, ngawur dia. Kehangatan adanya di kompor sana. Bukannya di halaman belakang. Ntar masuk angin lagi baru tau rasa," balas Citra.  "Kan ada kamu. Jadinya hangat." jawab Panji dengan santainya sambil fokus membuka dokumen di laptop.  "Gimana?" Citra mengerjap satu kali.  Panji menoleh, "Suhu tubuh manusia itu hangat. Kamu hantu apa manusia? Kalau manusia berarti hangat. Nggak salah juga aku pengen dekat-dekat kamu biar hangat." lanjut fokus ke layar laptop.  Mulut Citra sedikit terbuka. Dia berpikir keras untuk mengekspresikan sesuatu yang mengganjal di dalam dirinya. "Hangat? Emangnya nggak percuma kalau dekat aku hangat tapi di luar ruangan? Ini halaman belakang anginnya lumayan semilir kayak di pantai. Sama aja bohong dong hangatnya?"  Panji menggeleng, "Enggak. Kan kita dekat banget." sedang mengetik sesuatu di sebuah diagram dari dokumen yang dia buka. Sepertinya itu adalah tingkatan penjualan dari restoran Panji.  Citra baru menyadari jika lengannya hampir saja bersentuhan dengan lengan Panji. Seketika dia berdiri mengambil buku gambar dan alat tulisnya. Panji mendongak heran.  "Aku mau ke kamar aja. Nyari udara dingin." buru-buru masuk rumah sebelum Panji menjawab. Dia benar-benar hangat walau berdekatan dengan Panji. Sekarang Panji yang kebingungan dengan ucapan Citra yang berbanding terbalik darinya.  "Dingin? Kok nyarinya di kamar? Emangnya di sini kurang dingin?" gumanya bodoh.  Pintu kamar sedikit ditutup keras. Citra mendesah panjang dan merebahkan dirinya di ranjang. Menengok seisi kamar tidak ada yang menarik untuk menjadi objek gambarannya. Setidaknya ada yang bisa dia gambar untuk menghibur pikirannya malam ini. Berbaring tengkurap dan mencoba menggambar dengan pola sembarangan. Sangat tidak beraturan dan akhirnya menjadi sebuah gambaran abstrak.  "Nggak jelas kayak luka bakarnya Panji Sasena," gumam Citra setelah penanya diletakkan.  Dia berubah terlentang memandang langit-langit kamar. Mencoba memasuki ingatan sepuluh tahun silam dimana ketika Panji terbangun sudah terdapat luka bakar di pundaknya dan semua orang tidak tahu apa penyebabnya.  'Ke mana Panji waktu itu? Kayaknya ada yang hilang dari ingatan ini. Bukan ingatanku yang hilang, tapi peristiwa di masa itu yang hilang. Seenggaknya luka itu nggak sakit lagi walau masih jadi misteri. Siapapun nggak ada yang mengungkitnya lagi. Aku juga nggak ngira kalau Panji masih memikirkan bekas lukanya itu,' kata Citra dalam hati.  Setelah itu perlahan dia terlelap. Tak butuh waktu lama untuknya hanyut ke alam mimpi sampai tidak sadar ketika Panji memasuki kamar dan membangunkannya. Hanya untuk membantu Citra mendapatkan posisi tidur yang nyaman membuat Panji harus menggendong Citra dan membantingnya sedikit kasar. Nyatanya Citra tak kunjung bangun. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN