Chapter 02

4331 Kata
Dua orang laki-laki berjalan dengan cool nya di sepanjang koridor sekolah. Teriakkan demi teriakkan menggema di koridor tersebut. Seluruh siswi yang melihat kehadiran mereka tidak bisa mengalihkan pandangan kemanapun kecuali ke dua orang laki-laki itu. Ada yang memanggil mereka, seperti; Ardhan? Liat sini sayang! Nathan? Please, touch me babe! Twins? I really-really need you! Dan bagaimana ekspresi kedua cowok itu? Hanya menoleh dan tersenyum, mengedipkan mata, mengerucutkan bibir seolah-olah ingin mencium salah satu diantara sekian banyaknya cewek-cewek, ya hal yang bisa membuat seluruh siswi membeku di tempat. "UPIN? IPIN??" Mendengar teriakan itu, sontak saja seluruh siswa-siswi menoleh. Mendadak suasana menjadi hening dan pandangan mereka fokus ke arah ketiga laki-laki tersebut. "Anjing! Rusak pasaran gue jadi nya!" "Mana lagi enak-enak nya tebar pesona, malah di panggil kayak gitu! Oncom!" Kedua laki-laki yang sedang mengumpat menatap tajam ke arah tiga orang teman mereka. Ardhan dan Nathan langsung masuk ke kelas saat melihat ketiga temannya tengah berjalan menghampiri mereka. "Yah, baper dah! Lu sih, ngapain panggil kayak gitu? Tu dua curut gak suka, anying!" Kata Rio, teman Ardhan dan Nathan sambil menjitak kepala Adit. Ardhan menaruh tasnya di meja dan di ikuti dengan Nathan. Ketika mereka sudah duduk, mata keduanya menyapu seisi kelas. Seluruh tatapan tengah tertuju kepada mereka. Sudah biasa! "Ngeliatin muluk lo semua! Gak pernah liat cowok ganteng yee? Bintitan syukurin lo pada!" Kata Nathan sambil mengeluarkan ponsel dari kantong celananya. Brak!! Semua pandangan terarah kepada tiga orang cowok yang sedang cengengesan seraya masuk ke dalam kelas dan duduk di bangku masing-masing. Nathan membuang muka dengan dibuat-buat saat Adit menatapnya. "Kamu marah sama aku?" Tanya Adit, Ardhan yang sedang asyik bermain games melalui ponsel langsung menatap Nathan dan Adit secara bergantian. "Mulai lagi!" Gumam Ardhan. "Menurut situ??" Tanya Nathan mengalihkan pandangan ke Ardhan. Rio duduk di meja Ardhan dan Nathan sambil memperhatikan drama antara Nathan dan Adit dengan serius. "Sudahlah, nak, jangan berantem terus. Emak capek liat kalian!" Ucap Nino sembari mengelus kepala Nathan dan Adit. "Ih, najis No! Lu bikin anak-anak jadi takut, tau gak!?" Adit menjauhkan tangan Nino dari kepalanya, begitu juga dengan Nathan. "Hehe, abisnya lo berdua drama muluk. Woy!" Nino melempar kulit kacang ke arah Arfan yang sedari tadi hanya diam saja. "Ape? Butuh belaian kasih sayang lo?" Tanya Ardhan sedikit malas tanpa mengalihkan tatapan dari ponselnya. Nino hanya terkekeh dan fokus memakan kacang yang sudah ia beli. "Eh, gue kasi tau ya sama lo bertiga. Satu, dua, tiga!." Nathan menunjuk satu persatu temannya. "Jangan panggil gue sama Ardhan, Upin-Ipin! Rusak pasaran kita berdua!" Ardhan mengangguk setuju dengan ucapan adiknya. "Lah? Kenapa? Oh, gue ngerti." "Ngerti apa?" Tanya Rio kepada Adit. "Ngerti kalo si kembar gak mau di panggil Upin-Ipin!" "Naah! Cakep, pinter!" Ucap Ardhan. Adit mengangkat wajahnya dengan angkuh sambil tersenyum. "Ardhan sama Nathan mau nya di panggil Rizky-Ridho!" Kata Adit yang kontan saja membuat Ardhan dan Nathan terbelalak. Pletak! Satu jitakan melayang ke kepala Adit. "Atit mas!" Rengek Adit setelah mendapat jitakan dari Nathan. "Pokoknya jangan panggil Upin-Ipin ato Rizky-Ridho! Titik!" "Tete?" Tanya Rio dengan polosnya, keempat laki-laki itu langsung mantap Rio. "Eh, titik ya? Bukan tete?" Tanya Rio dengan cengiran. "Maafin teman kita yang satu ini kawan-kawan, mungkin dia khilaf! Jangan di ulangi ya adik manis!" Kata Nino, Ardhan hanya menggelengkan kepala, sementara Adit dan Nathan tertawa keras. Bel masuk pun sudah berbunyi sehingga membuat seluruh murid masuk ataupun duduk di bangku masing-masing. "Kita belom ke kantin, Ar." Bisik Nathan saat melihat guru sudah masuk ke kelas mereka. Ya, setiap pagi mereka memang selalu pergi ke kantin, entah untuk makan atau sekedar mengajak ngobrol para penjual yang ada di kantin padahal setiap pagi mereka sudah sarapan di rumah. "Elo sih, maen drama muluk. Besok cepetan dikit kita datengnya, biar bisa ke kantin." Balas Ardhan seraya mengeluarkan buku matematika. Nathan melirik buku paket tersebut dengan kening berkerut. "Emang ada pelajaran matematika, Ar?" Tanya Nathan, Ardhan langsung menatap buku paket nya dan memukul keningnya sendiri. "Mampus, gue salah bawa buku, Nat. Pak Mamat lagi guru nya." Balas Ardhan sambil melirik guru yang sudah membuka buku bahasa Indonesia. Nathan tersenyum dan memasukkan buku yang sudah ia keluarkan ke dalam tas. Ardhan menatap Nathan yang tengah tersenyum dengan menaik turunkan alis. "Lo bener-bener pengertian!" Kata Ardhan sambil menepuk-nepuk pundak Nathan. "Kembar! Ada masalah apa lagi kalian di sana?" Tanya Pak Mamat dengan suara menggelegar. Ardhan dan Nathan langsung duduk tegap sambil menatap guru tersebut. "Kita berdua gak bawa buku Pak!" Jawab Ardhan dengan lantang sehingga membuat semua mata yang ada di kelas itu terarah kepada Ardhan. "Tapi, tadi Nathan bawa buku kok, Pak." Ardhan mengusap kasar wajahnya, sementara Nathan menatap kesal cewek yang duduk di depannya. "Dasar, gibellll!!!" Geram Nathan sembari mengambil buku tulis untuk menutupi tangannya dan mengacungkan jari tengahnya di hadapan cewek itu. Rara, cewek yang duduk di depan Ardhan dan Nathan tidak mau kalah, gadis itu juga mengacungkan jari tengahnya. "Tangan lo, Nat." Tegur Ardhan. Nathan menurunkan tangan nya dengan tatapan masih tertuju kepada Rara. "Jadi, siapa yang tidak bawa buku di antara kalian. Kamu Ardhan?" Ardhan menatap guru tersebut dan mengangguk. "Keluar kamu!" "Bapak gak mau denger alasan dari saya dulu?" Tanya Ardhan. "Alasan apa? Kamu pasti mau bilang kalau kamu bangun kesiangan dan tidak sempat menyusun roster? Kamu mau bilang kalau tadi malam kepala kamu pusing dan tidak sempat lagi untuk menyusun roster? Atau mungkin kamu mau bilang kalau kamu salah membawa buku? Saya sudah hafal apa yang akan kamu ucapkan kepada saya, Ardhan!" "Keluar lah gue, alasan gue udah di pake semua sama Pak Mamat." Bisik Ardhan. Nathan memperhatikan Ardhan yang sudah berjalan keluar kelas. Ketika jam pelajaran sudah dimulai, Nathan menoleh kebelakang di mana teman-temannya berada. "Gue mau keluar!" Kata Nathan pelan dengan wajah yang sengaja di buat sesedih mungkin. "Kasian anak gue, ya udah. Keluar deh lo tong." Balas Nino. "Mau di dalem atau di luar?" Tanya Adit, Rio yang sebangku dengan Adit langsung mendaratkan jitakan di kelapa temannya itu. Nathan, Nino, dan Rio terkekeh kecil melihat ekspresi Adit. "Tiga kali anjing pagi ini." Gerutu Adit sambil mengelus sendiri kepalanya. "Jangan lupa, sisain siomay nya nona Asep." Bisik Nino, Nathan berbicara oke tanpa mengeluarkan suara. "Pak?" Panggil Nathan. "Ada apa Nathan?" Tanya Pak Mamat dengan malas karena ia sudah yakin jika murid satu itu akan mengucapkan hal yang tidak penting menurutnya. "Saya mau izin ke toilet." "Tunggu sampai jam pelajaran saya selesai!" Nathan langsung menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Elah, dua jam lagi!" Gumamnya. "Pak? Saya udah gak tahan, udah di ujung tanduk nih." "Kamu pikir saya percaya jika kamu ingin pergi ke toilet?" Tanya Pak Mamat sambil menunjuk Nathan menggunakan rol kayu. "Ya Bapak harus percayalah! Kalo Bapak gak percaya, gimana hubungan kita mau bertahan lama?" Sontak saja seluruh murid yang mendengar ucapan Nathan langsung tertawa geli. "Kamu-" "Maksud saya Pak, kalo Bapak gak percaya sama murid sendiri, gimana hubungan murid sama guru bisa berjalan dengan baik?" Nathan menoleh ke arah teman-temannya seraya berkomat-kamit. Bantuin gue!!! "Pak, gini deh. Kalo misalnya Bapak ngelarang Nathan untuk gak boleh ke toilet sedangkan dia udah gak bisa nahan lagi Pak? Bapak mau kalo anu nya Nathan bermasalah? Itu aset paling berharga dan udah rusak di masa muda? Gimana sama istrinya nanti Pak? Gak bisa naena ntar Nathan, Pak." Nathan yang sedari tadi mengangguk mendengar ucapan Rio, terbelalak lebar ketika temannya itu berbicara membawa-bawa aset berharganya. Seluruh murid terus saja tertawa riuh mendengar ucapan Rio. "Kenapa anu gue dibawa-bawa?" Tanya Nathan dengan gumaman. Ia melirik cewek yang duduk di depannya. "Apa lo? Gibel?" Tanya Nathan dengan melotot. Rara hanya diam saja dengan memasang wajah datarnya. Mungkin kalian ingin bertanya, bagaimana sosok Rara? Mengapa gadis itu tidak menyukai Nathan? Rara mempunyai wajah yang cantik, kulit putih, rambut lurus panjang, dan cukup tinggi, mempunyai otak yang cerdas, dan Rara juga sekretaris di kelas mereka. Nathan dan Rara memang tidak akur sejak gadis itu memakai kawat gigi atau behel, dan dari situlah Nathan mulai mengganggu bahkan mengejek gadis itu dengan sebutan Gibel (gigi behel), perlu kalian ketahui, Nathan tidak suka melihat cewek yang memakai kawat gigi. Tentu saja Rara tidak menyukai panggilan itu walaupun orang yang sudah mengejeknya adalah cowok paling populer di sekolah. Dulu Rara memang mengagumi Nathan, namun tidak lagi untuk sekarang. Rara hanya mengagumi sosok Ardhan yang mempunyai sifat lebih dewasa walaupun kadang penyakit gilanya Ardhan kambuh, seenggaknya tidak separah Nathan, Rio, Adit, dan Nino. "Gimana Pak? Bapak mau kalo murid Bapak sampe kenapa-napa karna nahan kencing?" Tanya Adit. Pak Mamat yang sedari tadi menatap Adit dan Rio, beralih menatap Nathan yang sedang ribut kecil dengan Rara. "Nathan?" Panggil Pak Mamat. "Awas lu, pulang lewat mana lu? Awas!!" Kata Nathan kepada Rara lalu menatap Pak Mamat. "Iya Pak Mamat yang ganteng?" "3 menit!" "3 menit Pak? Baru juga jalan itu mah, lagian kamar mandi di sekolah ini kenapa jauh banget sih? Makanya kalo bangun sekolah itu gak usah besar-besar! Gak usah lebar-lebar! Toh kalo malem penghuninya bukan manusia lagi, kalo sekolah terlalu besar yang ada cuma bikin susah murid-murid. Lagian gak kasian apa sama orang yang ngepel lantai sekolah ini? Sama penjaga sekolah yang harus jalan kesana-kemari untuk ngecek keadaan sekolah?" Oceh Nathan sambil berjalan keluar kelas. Pak Mamat dan seluruh murid menatap Nathan. Ketika laki-laki itu sudah tidak terlihat, mereka semua saling pandang. "Baiklah, kita lanjutkan!" Ucap Pak Mamat memecah keheningan. "Gak bapak! Gak anak, sama aja!" Gumam pak Mamat seraya menggelengkan kepala. "Bebeb? Aku datang untukmu!" Teriak Nathan menggema di kantin, Ardhan yang sedang makan langsung menoleh dan tersenyum. "Pake alasan apa lo?" Tanya Ardhan sambil mengunyah siomay nya. "Rio sama Adit yang ngomong, gue cuma ngangguk-ngangguk aja. Aset gue dibawa-bawa masa?" Ardhan terkekeh mendengar cerita adiknya. Di kantin tentu saja masih sepi karena ini jam pelajaran, tetapi kedua laki-laki itu malah enak makan bahkan tertawa keras di kantin sehingga membuat para penjual menggeleng-gelengkan kepala. Pemandangan Ardhan dan Nathan keluar dan makan di kantin saat jam pelajaran masih berlangsung, tentu saja bukan sekali atau dua kali, melainkan hampir setiap hari. Jadi mereka tidak terkejut melihat kedua laki-laki itu datang ke kantin saat jam pelajaran. "Tambah lagi, Ar. Gue masih laper!" Ujar Nathan seraya meminum es jeruk milik Ardhan. "Lo di kasih waktu berapa menit sama Pak Mamat?" "3 menit." Ardhan menatap jam yang melingkar dipergelangan tangannya. "Lo udah 15 menit b**o di luar kelas, Pak Mamat pasti kangen sama lo nanti, masuk gih!" "Mampus sana, gak peduli gue. Gue kan mau nemenin lo." Ardhan menatap Nathan lalu menepuk bahu adiknya dan berjalan menuju penjual siomay sambil membawa piringnya. "We home!!" Teriak Ardhan dan Nathan saat sudah memasuki rumah berukuran besar dan mewah. Seperti biasa, rumah itu selalu saja sepi, sibuk dengan kegiatan masing-masing mungkin. "Nat? Tas gue sekalian!" Ardhan melemparkan tasnya ke Nathan ketika adiknya ingin menaiki tangga. Nathan menangkap tas Ardhan dan membawa nya menuju kamar sambil bersenandung kecil. Ketika melewati kamar orangtuanya, Nathan berhenti dan membuka pintu putih berukuran besar. Kosong! Kalimat itu lah yang sering mereka ucapkan ketika melihat kamar tersebut. Nathan menghela napas dan kembali menutup pintu itu. Sudah tiga hari lamanya Ardhan dan Nathan tidak melihat wajah kedua orangtua mereka. "Ini s**u sama kue nya den," Ardhan dan Nathan menoleh dan tersenyum. "Makasih Bi, Bibi sama yang lainnya udah makan?" Tanya Ardhan. Bi Siti mengangguk sambil tersenyum. "Udah den. Bibi mau balik ke dapur dulu ya, kalo ada apa-apa panggil aja, Bibi permisi." Ardhan dan Nathan tersenyum dan kembali fokus dengan layar TV. "Ar?" Panggil Nathan. "Hmm?" "Di kamar mami sama papi kosong, gak ada orang." "Lo kayak gak tau mereka aja." Nathan mengambil bantal sofa dan memainkan ujung bantal tersebut. "Gue kangen sama mami sama papi." Ardhan melirik Nathan yang sedang menunduk. "Kita bukan anak kecil lagi, Nat. Mereka pergi juga buat kita kok." Ucap Ardhan berusaha memberi pengertian kepada adiknya, walaupun sebenarnya ia juga merasakan hal yang sama. "Apa kita ngomong terus terang aja sama mereka?" "Keadaan pasti gak bakal berubah, Nat. Kan ada gue, ada Bibi, lagian mami juga gak sesibuk papi kok. Pasti hari ini mami pulang." Nathan menyandarkan tubuh di sofa dan mengusap wajahnya dengan gerakan perlahan. Ardhan yang sedang fokus menonton TV menoleh dan menepuk-nepuk bahu Nathan. "Bi Ijah?" Panggil Ardhan saat melihat wanita paruh baya itu baru saja masuk ke dalam rumah. "Iya den, den Ardhan mau apa?" Tanya Bi Ijah tanpa perlu meyakini jika yang memanggilnya tadi adalah Ardhan atau Nathan. Hampir semua orang yang bekerja di rumah tersebut, sudah bisa mengenali yang mana Ardhan dan yang mana Nathan tanpa perlu termenung dahulu. "Mami kapan pulang? Terus Cheara pulangnya dijemput siapa, bi?" Tanya Ardhan, Nathan langsung menoleh ke arah Bi Ijah. "Kemarin Nyonya telfon dan bilang kalo sore ini nyonya pulang. Terus kalo non Che pulangnya sekalian dijemput sama tuan sama nyonya, den." Jawab Bi Ijah sambil tersenyum, lebih tepatnya lagi tersenyum miris melihat kedua anak majikannya. Walaupun Ardhan dan Nathan bukan anak kecil lagi, tetap saja mereka masih membutuhkan perhatian dari sosok orangtua mereka bukan? "Oh, ya udah. Makasih ya, bi." Ucap Ardhan, Bi Ijah mengangguk seraya tersenyum dan kembali melanjutkan pekerjaannya. "Tuh, mami bakal pulang hari ini. Ntar gue telfon mami perlu di jemput di bandara apa enggak, lo jangan cemen dong." "Gue gak cemen! Telfon mami dong." Ardhan menghela napas dan mengambil ponsel yang ia letak di meja. Tak lama panggilan telepon nya pun di jawab. "Halo mi?" Ardhan sengaja meloudspeaker agar Nathan dapat mendengar suara Ibu mereka. "Halo sayang, kalian udah pulang sekolah? Lagi apa sekarang? Udah makan?" "Udah, Ardhan sama Nathan udah pulang sekolah dan udah makan juga kok. Kita lagi nonton TV. Emm, mami bakal pulang kan hari ini?" "Iya, mami bakal pulang kok. Kenapa sayang?" "Perlu Ardhan sama Nathan jemput di bandara gak, mi?" "Enggak, gak usah. Mami pulangnya bareng papi kok." Ardhan dan Nathan saling tatap dengan mata yang berbinar. "Oh, oke. Hati-hati mi, Ardhan sama Nathan tunggu kalian di rumah." "Iya, iya. Kalian jangan kemana-mana kalo mami sama papi belum pulang. Udah dulu ya, pesawat mami udah mau take off." "Take care, mom." Ardhan kembali meletakkan ponselnya di meja setelah sambungan terputus. "See, mereka bakal pulang hari ini. Secara bersamaan." Nathan beruntung bisa memiliki Ardhan, begitu juga sebaliknya. Jika salah satu diantara mereka sedih, maka yang satunya lagi berusaha untuk mencari cara agar tidak ada lagi kesedihan yang melanda. Jika ada yang tersakiti, maka salah satu diantara mereka terus berusaha untuk menghilangkan rasa sakit itu. Intinya mereka saling membutuhkan dan saling menguntungkan satu sama lain, bisa di bilang simbiosis mutualisme. Ardhan dan Nathan menoleh ke arah 3 orang asisten rumahnya dengan menaikan sebelah alis. Napas para asisten itu juga memburu, ada apa? "Bibi kenapa? Kok kayak lagi ketakutan gitu?" Tanya Nathan. "Anu, di-di depan banyak orang, den." Ucap Bi Ijah dengan gugup, Ardhan dan Nathan langsung bangkit dari duduknya. "Orang? Siapa? Kok bisa?" Tanya Ardhan seraya mengecek keluar rumah. Ardhan mematung di dekat jendela besar sambil menatap orang-orang yang sudah ribut di teras rumahnya. "NAT?" Panggil Ardhan, Nathan langsung berlari dan berdiri di samping abangnya. "Mereka ngapain? Pasti elo nih yang mulai!" Nathan mengangkat kedua tangannya dan menggeleng. "Bukan, sumpah bukan gue. Gue juga gak tau kenapa cabe-cabean sekolah bisa tau rumah kita." Sekelompok perempuan tengah ribut di teras rumah Ardhan dan Nathan sambil membawa buah tangan. Ada yang membawa cokelat, pizza, es krim, donat, buah-buahan, dan bahkan ada yang membawa barang branded dari luar negeri pastinya. Kedua laki-laki tampan itu tengah bersembunyi di dalam rumah seraya memikirkan bagaimana caranya mengusir sekelompok perempuan tersebut. 4 orang penjaga rumah sudah mengatasi, namun tidak membuat para perempuan itu jengah. Bahkan mereka semakin gencar memanggil dengan berteriak ingin bertemu dengan Ardhan dan Nathan "Usir lagi, Pak." Kata Ardhan kepada penjaga rumah. "Maaf den, mereka gak mau pergi. Malah tadi saya sama yang lainnya dipukul, dicakar sama mereka." "Ntar kalo kita berdua keluar, bisa heboh lagi suasananya." Ucap Nathan. "KAK ARDHAAAN? KELUAR DONG!!" "NATHAN? GUE DATENG BAWA ES KRIM NIIH!!" "ARDHAN? GUE BAWA PIZZA YANG BANYAK BUAT LO! KELUAR DONG!!!!" "TWINS? KELUAR DONG!!!" Ardhan dan Nathan menutup telinga ketika mendengar berbagai teriakkan dari luar rumah. Nathan menatap Ardhan yang sedang termenung. "Ar, lo kan jago tuh bikin cewek klepek-klepek. Nah, gimana kalo lo aja yang ngatasin mereka?" "Gue? Enggak, gue gak bisa. Gak tega gue ngusir mereka secara langsung." "Lo gak denger, di luar lebih banyak yang manggil nama lo. Keluar gih!" Ardhan menggelengkan kepala sambil menutup telinganya. Ardhan dan Nathan berdiri di depan pintu seraya mendengarkan berbagai teriakan yang cempreng dari luar rumah, sesekali mereka tertawa mendengar teriakan yang begitu dramatis. Keduanya saling tatap saat tidak mendengar suara teriakan lagi. "Udah pada K.O? Kok diem?" Tanya Ardhan. "Ya ampun, ada apa ini?" Seluruh pandangan yang tadinya tertuju ke arah pintu besar, langsung menoleh kebelakang ketika mendengar seruan dari seorang wanita. Pria yang masih mengenakan seragam putih yang melekat pas di tubuh atletisnya dengan empat garis emas di bahu, terbengong melihat sekumpulan cewek-cewek yang pastinya masih muda tengah berkumpul di depan rumahnya. Arkan, memundurkan langkah sehingga menabrak badan mobil ketika cewek-cewek itu menatapnya. Sementara Nesya, hanya diam saja karena masih bingung dengan semua ini. "AAAAAA!!!!" "GAK ADA ANAK! BAPAKNYA PUN JADI!!!" "YA ALLAH, MASIH MUDA TERNYATA." "OM GANTENG BANGET!!" "GAK MUNGKIN INI BOKAP TWINS." "BOLEH PELUK GAK, OM PILOT?" "CIUM BOLEH GAK?" Nesya terbelalak lebar melihat suaminya diserang oleh cewek-cewek tersebut. Ada yang memeluk, ada yang berusaha untuk mencium, dan hal nekat lainnya terus mereka lakukan untuk Pilot tampan tersebut. "Miii? Papiii!" Ucap Cheara sedikit takut ketika melihat cewek-cewek itu mengerumuni Arkan, ia hanya takut jika Arkan kenapa-napa. "Yah! Bapak gue!" Ucap Nathan dari jendela. "Keluar Nat, keluar!" Ardhan menatap risih saat melihat ayahnya dikerumuni oleh banyak perempuan. "HAII LADIESSS?" Seluruh pandangan langsung tertuju ke asal suara. Ardhan dan Nathan di ambang pintu dengan melipat kedua tangan di depan d**a sambil tersenyum menghanyutkan. "ARDHAN? NATHAN?" "AAAAA!! KAK ARDHAN!" "GILA, GANTENG BANGET. BAPAKNYA AJA AWET MUDA!" "KAK AKU BAWA ES KRIM UNTUK KAKAK!!" Yaaa, ternyata kebanyakan yang datang adalah adik kelas! Ardhan dan Nathan hanya pasrah saat sekumpulan perempuan itu menyerang mereka, menarik tangan mereka, menarik baju, hingga mencubit pipi mereka dengan gemasnya. "Kamu gak papa?" Tanya Nesya kepada Arkan. Arkan menggeleng sembari membenarkan topi Pilot dan seragamnya yang sudah tidak teratur. Nesya menoleh ke arah cewek-cewek yang sedang mengerumuni anaknya. Arkan menutup kedua telinga saat menyadari apa yang akan istrinya lakukan. "DIIAAMMMM!!!" Hening! Suasana yang begitu riuh tadinya, mendadak sepi. Ardhan dan Nathan mengusap-usap pipi mereka yang habis di cubit, sementara para cewek-cewek itu menunduk takut melihat tatapan tajam Nesya. Sedangkan Arkan menahan senyum agar tidak mengembang di situasi yang mencekam ini. Pria itu hanya memainkan kunci mobil sambil melirik Nesya, Ardhan dan Nathan, dan sekumpulan cewek-cewek yang tengah mematung. "Kalian siapa?" Tanya Nesya dengan nada cukup tinggi. "Calon pacar Ardhan dan Nathan, Tante." Jawab mereka dengan kompaknya. "What the hell?" Tanya Ardhan dan Nathan bersamaan. "Siapa yang ngasih tau kalo rumah kita disini?" Tanya Ardhan. "Eng- kak, kak Rio, kak Adit, sama kak Nino." "s****n trio bebek!" Maki Nathan dengan pelan. Nesya memijat kepalanya. "Kalian boleh pulang! Kalau mau ketemu sama mereka. Satu-satu, jangan sekali semua gini, kalau kalian datengnya rame-rame, Ardhan sama Nathan ya gak bakal mau ketemu kalian, coba kalau datengnya sendiri atau berdua sama temen, pasti mereka mau ketemu sama kalian." Ucap Nesya memberi pengertian. Secara satu persatu, mereka mulai meletakkan barang bawaan mereka ke meja teras dan permisi untuk pulang. Arkan tersenyum kepada cewek-cewek tersebut ketika menyapa sambil melewatinya, laki-laki itu bergedik saat seorang cewek mengedipkan sebelah mata. "Woy! Mata woy!" Tegur Nathan sengaja memperhatikan cewek tersebut yang sudah memberikan gerak-gerik mencurigakan. Apakah sekelompok perempuan itu pulang begitu saja? Tentu tidak, mereka memperhatikan keluarga fenomenal itu dari gerbang yang kebetulan sedang tidak ada penjaganya. "Uuuuuh, so sweet!" Ucap salah satu perempuan ketika melihat keluarga itu saling berpelukan dengan eratnya. Bahkan mereka menahan napas saat melihat Ardhan dan Nathan mencium sekilas bibir Nesya! Mungkin banyak orang yang terkejut jika mereka melihat itu dari sisi negatif! "Selama mami pergi, kalian gak nakal kan di rumah atau di sekolah? Che gak kan sayang?" Tanya Nesya ketika mereka berempat sudah berkumpul di ruang keluarga. "Gak dong mi," kata Nathan seraya menyenggol Cheara agar tidak berbicara apa-apa, padahal gadis itu masih ingat jika semalam tetangga mereka datang ke rumah akibat ulah kedua kakaknya. "Bagus!" Nesya mengangguk. "Punya gue, Nat. Jelas-jelas ada tulisannya pun." Ardhan mengambil sebuah kotak kecil dari tangan Nathan. "Ya udah sih biasa ajaa." Ardhan dan Nathan menoleh ke arah Arkan saat kotak yang berada di tangan Ardhan di rebut oleh pria itu. Ardhan terbelalak ketika melihat isi kotak tersebut, sebuah jam tangan mewah, dan sudah melingkar di pergelangan tangan Arkan. "Give the watch to me, Dad!" Pinta Ardhan. Arkan memperhatikan jam tangan kulit berwarna hitam tersebut dan duduk di samping Nesya. "Jam tangan kamu udah banyak sayang, kasih ke Ardhan." Ucap Nesya dengan lembut. "Papi bakal flight ke Amerika, ntar bakal papi beliin jam tangan untuk kamu di sana sebagai gantinya." Ardhan mengerucutkan bibir mendengar ucapan ayahnya. Percaya atau tidak, ketika Arkan dan Nesya sudah kembali ke rumah, sikap Nathan lah yang lebih dewasa dari pada Ardhan, dan sebaliknya, jika Arkan dan Nesya tidak berada di rumah, Ardhan lah yang akan bersikap dewasa. "I don't believe!" Kata Ardhan. "Terserah." Balas Arkan sambil memasukan cemilan ke dalam mulutnya. Nathan tertawa mendengar balasan dari Arkan dan semakin terbahak-bahak melihat ekspresi Ardhan. "I like your style, Dad!" Kata Nathan seraya memberikan tos kepada ayahnya, Arkan hanya tertawa dan terus memakan cemilan. "Help me please, Mom!" Pinta Ardhan kepada Nesya dengan manja. "Keep calm darling! Ntar bakal mami ambil jam nya dari papi." Ucap Nesya sambil melirik suaminya. Arkan mengambil tisu untuk membersihkan tangan dan merangkul Nesya. Mereka berdua saling tatap, Arkan tidak mulai berbicara karena ia masih mengunyah. Ardhan dan Nathan terus fokus memperhatikan Arkan dan Nesya. "Bakal aku kasih jam tangannya, asal kamu mau..." Arkan menaik turunkan alis tebalnya sambil tersenyum. Cheara menatap kedua orangtuanya berusaha mendengar lanjutan dari Arkan walaupun ia tidak mengerti apa maksud kedua orangtuanya. Nesya melirik ketiga anaknya yang sedang memperhatikan mereka. "Mereka ngeliatin kita." Bisik Nesya lalu tersenyum kearah Cheara yang ada di sebelahnya. "Biarin, mereka juga gak ngerti kita ngomong apa." Balas Arkan tanpa memelankan suaranya sehingga dapat di dengar oleh Ardhan dan Nathan. "Cih, dikira kita masih polos apa. Kalo si Che iya, lah kita?" Gumam Nathan sambil menatap Ardhan. "Di kamar deh, mi, pi. Gak malu apa diliatin sama anak sendiri? Apalagi Che ada di sebelah mami tuh." Kata Ardhan ketika melihat wajah kedua orangtuanya sudah berdekatan. "Ck, biarin aja, Ar. Tinggal nonton aja ribet dah!" Arkan tersenyum geli mendengar ucapan Nathan. Ardhan mempunyai sifat yang sama dengan Nesya, yaitu masih tau malu! Masih tau mana yang baik, dan mana yang buruk. Sementara Nathan? Tentu saja sifat laki-laki itu sama dengan Arkan. Tidak tau malu! Dan tidak mau membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, prinsip anak dan ayah tersebut yaitu. Yang penting happy! Makanya Ardhan lebih manja kepada Nesya, sedangkan Nathan lebih memilih untuk gila bersama ayahnya, namun tak jarang juga Ardhan ikut bersama adik dan ayahnya untuk melakukan hal yang cukup gila. "Wajar dong Ardhan, papi sama mami udah lama gak ketemu." Kata Arkan. "Lama gak ketemu? Cuma 3 hari, Pi, dan itu gak lama menurut Ardhan." Ardhan mengulurkan tangannya di hadapan Arkan bermaksud untuk meminta jam tangan. "Mau minta duit? Kok cepet banget duit kamu abis? Mau minta berapa?" Tanya Arkan. "Wiiih, songong nanya nya. Mau minta berapa? Baru gajian pasti?" Arkan terkekeh mendengar ucapan Nathan dan mengeluarkan dompet nya. "Tebel, minta berapa lembar lo?" Tanya Nathan kepada Ardhan. "Pi? Jangan duit deh, itu yang kartu warna emas aja." Kata Nathan sambil menunjuk isi dari dompet Arkan. Melihat Arkan mengangguk, mata Ardhan dan Nathan langsung berbinar. Nesya tersenyum geli melihat apa yang Arkan keluarkan dari dompet sedangkan Cheara sudah tertawa. "2000?" Tanya Ardhan dan Nathan bersamaan dengan melotot. Arkan menaruh uang dua ribu rupiah di meja seraya menatap kedua anaknya. "Gih sana, beli permen. Abisin aja duitnya, jangan disisain ya!" Kata Arkan dengan santainya, Nesya tertawa melihat ekspresi kedua anaknya, begitu juga dengan Arkan. "Ya Allah, perasaan merah-merah semua tadi warnanya, kok ada yang warna kayak gini?" Tanya Ardan sembari membolak-balik uang dua ribu tersebut. "Gue kira papi gak pernah nyimpen uang 2000." Bisik Nathan. "Gak papa cuma 2000, ini juga berharga, ntar ada pengemis di jalan, kita kasi, Nat. Pasti mereka seneng walaupun jumlahnya gak besar-besar amat." Arkan, Nesya, Nathan, dan Cheara bertepuk tangan mendengar ucapan Ardhan. "Terima kasih, terima kasih!" Ujar Ardhan sambil membungkukkan badan dan menaruh tangan di perut. Mereka berlima tertawa melihat kekonyolan keluarga tersebut. Nathan berhenti tertawa ketika ponselnya berbunyi dan tertera nama Rio di sana. "Elo! Kutu bacem! Ngapain lo ngasih tau ke cabe-cabean sekolah tentang alamat rumah gue?" Tanya Nathan saat menerima sambungan telepon dari Adit. "Eitsss, sabar pak bro. Kasian anak-anak itu mohon-mohon sama gue, sama Rio, sama Nino juga." "Banyak banget kata sama lo. Udah deh, mau ape nelpon gue?" "Ntar malem jadi kan ke club? Serius nih? Gue udah minta izin ke nyokap kalo mau keluar ntar malem." "Oh, ke club? Jadi dong." Ucap Nathan entah sengaja atau tidak, yang jelas satu kata itu membuat Nesya menoleh tajam. "NATHAN?" "Eh, emak lo udah pulang yak. Mati lo!" Nathan mengumpat ketika sambungan terputus begitu saja. "Awas kalian berdua ke club ntar malem, mami potong uang jajan kalian, dan jangan harap kalian bisa bawa mobil lagi!" Ardhan dan Nathan meringis mendengar ancaman Nesya. "Eng-enggak, mi, kita gak ke club kok. Paling nongkrong di Starbucks aja." Ucap Nathan seraya menyikut Ardhan. Nesya menyipitkan mata seraya menunjuk Ardhan dan Nathan secara bergantian. "Awas kalian!" Kata Nesya, Arkan beranjak dari duduknya ketika Nesya sudah beranjak. "Udah, pergi aja. Asal besoknya jangan ada keluarga orang yang dateng ke rumah gara-gara kalian atau salah satu diantara kalian." Bisik Arkan, Ardhan dan Nathan terkekeh mendengar maksud dari ucapan ayah mereka. Ardhan dan Nathan memperhatikan kedua orangtua dan adik mereka yang sudah berjalan di tangga untuk ke naik ke lantai atas. "Gue gak mau minum banyak-banyak, ntar kayak waktu itu!" Ucap Nathan. "Gue juga, lebih enak itu nyari cewek b**o. Bukan minum!" Balas Ardhan dengan senyuman nakal nya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN