4

1537 Kata
"Yang ini diminum setengah jam sebelum makan ya, Mbak," ujar Kinta memberi petunjuk. Pembeli di depannya mengangguk, kemudian membawa barang yang dia beli keluar dari apotek. "Duh serem banget. Senyum lo bertahan pas ada pembeli doang, abis itu langsung kabur deh tuh senyum." Dengan wajah masam, Kinta menoleh malas pada Kaila yang berdecak sambil menggelengkan kepalanya ke arahnya. "Jangan komentarin apapun dong, Bos. Gue lagu malas dengerin ocehan lo," tukasnya setengah lemas. Kaila mencibir, tangannya menyerahkan satu botol minuman vitamin C ke arah Kinta. "Minum dulu, siapa tahu asem ditambah asem jadinya manis," katanya asal. Meski kesal dengan omongan ngawur bosnya, namun Kinta tetap membuka botol itu dan meminumnya. Hari masih pagi, jadi pembeli tidak seramai saat sore atau malam hari. Dan tugas jaga Kinta hanya sampai jam lima saja, setelahnya akan berganti dengan keponakan Kaila yang baru bekerja selama beberapa bulan. "Masalah apa lagi kali ini? Kakak lo lagi?" tanya Kaila. Kinta menggeleng. Memang biasanya dia tidak akan berkurang durja jika masalahnya biasa saja dan tidak terlalu membebaninya. Namun masalah yang ada tadi pagi begitu membuat dirinya terus kepikiran. "Katanya bokap sempet janji sama temannya buat jodohin anak mereka," cetusnya kemudian. Kaila tercengang, kepalanya menggeleng dengan takjub. "Waw!" serunya dengan nada datar. Hampir saja terjadi pembunuhan di apotek itu jika saja Kinta lupa beristighfar sambil menganggap bahwa yang ada di sampingnya bukanlah manusia, melainkan gedebog pisang. Kelakuan bosnya kadang-kadang memang di luar akal sehat. "Dan pasti Kakak lo langsung nolak kan? Secara dia sok-sokan takut disakitin." ...tapi otak bosnya itu sedikit encer dan sedikit bisa berguna di waktu waktu tertentu. Kinta mengangguk, helaan napas berat keluar dari mulutnya. Kaila tertawa, menepuk bahu adik kelasnya itu. "Yaudah, tinggal mau aja. Kan biasanya juga lo emang gitu, selalu ngalah sama kakak lo yang kayak bocah itu," sindirnya. Kinta kesal, namun dia tidak bisa menyangkal karena Kaila sangat paham betul tentangnya. "Kali ini engga bisa semudah itu dong, Kai. Ini bukan cuma ngalah buat engga bawa pacar ke rumah, atau engga ngomongin soal pacar pas ada Kada. Tapi ini buat seumur hidup, nikah yang gue harepin adalah dengan orang yang emang gue suka. Yang gue engga akan bosan sekalipun harus hidup sama dia sampai mati. Gue engga mau dijodohin begini," keluh Kinta frustasi. "Gue ngerti," balas Kaila. Matanya menerawang ke arah luar apotek yang tampak panas. "Kalau gitu ini waktunya lo ngomong jujur ke nyokap lo, bilang kalau lo engga bisa. Kada aja bisa nolak terang-terangan tanpa berpikir, masa lo engga bisa," lanjutnya. Ucapan Kaila mendorongnya untuk berpikir dan melakukan hal seperti itu juga. Namun Kinta adalah yang paling tahu jika hatinya tidak akan sanggup melihat Maminya kecewa. Jika dia dan Kada menolak, itu berarti amanat Papinya terbuang sia-sia, tidak bisa dilaksanakan oleh Maminya. Kinta menjatuhkan kepalanya ke atas etalase. "Gue pusing, Kai. Kenapa sih gue engga bisa bahagia kayak lo yang walaupun jomblo tapi seneng karena punya Pavlov? Gue capek banget, kadang disini udah capek dan sampe rumah tambah capek. Kalau aja gue bisa pindah ke rumah gue sendiri kayak lo," gerutunya. Kaila tertawa geli, menepuk pundak adik kelasnya beberapa kali sambil bergumam, "Sabar..sabar. Orang sabar jodohnya CEO." Yang malah membuat Kinta ikut tertawa tapi juga kemudian mengumpat dengan orang kesal. Sayang aksi saling lemparnya itu terhenti saat datang dua orang pembeli. Kinta kembali memasang senyumnya, melayani dengan ramah. Sedangkan Kaila sudah bersiap berdiri di meja kasir. Setidaknya masalah yang membuat kepala Kinta hampir terbelah itu bisa ditunda untuk sementara waktu. * "Mas!" Agni tersenyum, berjalan menghampiri adiknya yang duduk di meja yang dekat dengan jendela. Sudah menjadi kebiasaan dari adiknya itu, akan datang bersama dengan sahabat lelakinya ke Cafe seusai kelas mereka selesai. "Hai, Mas!" sapa Irham, sahabat adiknya itu. Agni hanya melambai kecil kemudian bergabung duduk bersama mereka. "Sudah pesan?" tanya Agni. Ayu mengangguk, "Udah. Menunya hari ini Kalasan ya? Padahal aku lagi mau makan gurame asam manis yang waktu itu, Mas," keluh nya kemudian. Agni menggeleng pelan, "Itu kan cuma menu utama. Kamu bisa pesan yang lain juga, tapi buat gurame sekarang lagi kosong. Adanya Nila," jawabnya. Ayu merengut, mengeluh jika dia tidak begitu menyukai Nila karena terlalu gurih. "Lagian kamu banyak maunya, Yu. Makan gratis padahal," cibir Irham. Agni tertawa kecil saat adiknya dengan bar-bar menabok Irham sampai lelaki itu mengeluh dan berusaha menghindar dengan bangun dari kursi. Katanya mereka cuma sahabatan karena teman dari jaman SMA. Tapi anehnya, Ayu selalu kelihatan sebal setiap Irham memiliki janji temu dengan teman perempuan lainnya. Dan Irham akan berkali-kali menanyakan keberadaan Ayu setiap adik Agni keluar bersama teman lelakinya. Agni bahkan sampai bingung harus percaya pada penglihatannya atau pendengarannya. Karena dari penglihatannya, ia dapat melihat hubungan keduanya lebih dari teman. Namun jika dari pendengarannya, Ayu selalu membantah keras setiap kali Agni menanyakan perihal hubungannya dengan Irham, dan kemudian adiknya akan melarikan diri jika Agni terus bertanya hal yang sama. "Ini pesanannya." Agni mendongak, mendapati salah satu karyawannya membawakan pesanan kedua orang yang kini saling mengejek. "Mas Agni mau dibuatkan sesuatu?" tanya karyawannya. Agni menggeleng, dia sudah makan cemilan tadi. Dia hanya minta dibawakan jeruk hangat dengan sedikit gula, minuman kesukaannya. "Mas, Ibu tadi minta aku bilangin supaya Mas datang nanti malam," ujar Ayu dengan tangan yang kini sibuk menyendok nasi kuningnya. Agni hanya tersenyum tipis. Tidak menambahkan dengan jawaban apapun. "Lagian Mas sih, pakai setuju segala. Tolak aja, lagian keliatannya ibu juga engga terlalu senang dengan amanat Ayah ini," ujar Ayu kemudian. Menggeleng, Agni melipat tangannya di atas meja. "Mas kan sudah janji, dan janji harus selalu ditepati. Apalagi ini amanat Ayah, meski mungkin dulu dibicarakan dengan bercanda, tapi sudah disepakati kedua belah pihak," sanggahnya kalem. Adiknya itu berdecak, tidak menghendaki keputusan kakaknya yang menerima perjodohan dengan wanita yang bahkan tidak kakakku kenal. "Katanya anak sahabat Ayah itu dua duanya perempuan, Mas sudah tahu anak yang mana yang akan Mas nikahi?" "Mas Agni mau nikah?" sela Irham, menatap bergantian antara kakak adik yang sedang bersamanya. Ayu yang menjawab, "Dijodohkan," katanya. Irham sempat terkejut, namun dia memilih diam dan tidak ingin ikut terlalu dalam dalam urusan keluarga orang lain. "Belum tahu. Fotonya juga masih di map yang waktu itu dikasih Ibu, Mas belum buka," jawab Agni. Ayu tertawa kecil, melahap nasi kuning yang rasanya pas dan tidak terlalu gurih. Resep buatan kakaknya yang memang jago masak sejak dulu. "Bahkan Mas sendiri juga engga siap toh buat nerima calon jodoh Mas? Walaupun kata ibu anaknya memang cantik-cantik, tapi kelakuannya siapa yang tahu?" "Hus!" tegur Agni. Rasanya tidak tepat membicarakan seseorang di belakang seperti ini. Apalagi kemungkinan salah satu dari mereka yang sedang dibicarakan akan jadi istrinya nanti. Obrolan mereka sempat terhenti saat jeruk hangat milik Agni dihantarkan. Juga Ayu yang menambah pesanan dengan memesan cumi asam manis padahal nasi kuning di piringnya masih tersisa. "Aku sih cuma mau nyaranin Mas buat cari tahu soal calon yang dijodohkan dengan Mas itu. Pernikahan kan engga main-main, Mas. Ayu engga mau juga punya kakak ipar yang kelakuannya engga baik," sarannya. Mengulum senyum, Agni kemudian mengangguk. Dirinya memang belum sempat melihat data diri yang diberikan oleh ibunya. Amplop yang berisi foto kedua wanita yang salah satunya akan menjadi istri Agni di kemudian hari. Kata ibunya, profil tentang dua wanita itu juga sudah ada, termasuk nomor ponsel yang bisa dihubungi. Namun Agni belum sempat untuk melihat secara langsung, karena sejujurnya, seperti yang dikatakan oleh Ayodhya, Agni belum merasa siap. Jika dipikir, ini lebih mirip seperti proses ta'aruf yang sering kali Agni dengan dari beberapa temannya. Tangan besar dan gelapnya, mengukung gelas panjang yang masih terasa hangat itu. Mengangkatnya kemudian menyesap air jeruk perlahan tanpa sedotan. "Kalau gitu kalian lanjut makannya ya, Mas mau balik ke ruang kerja," ujarnya pamit. Ayu dan Irham mengangguk, masih sibuk dengan makanan di piring mereka. Agni beranjak, memastikan sekali lagi jika makanan yang dipesan oleh adik dan temannya itu tidak dimasukan ke dalam tagihan. Barulah setelah itu dia berjalan masuk ke dalam ruangannya. Ruangan yang hanya terisi satu meja kayu yang satu set dengan kursi putarnya. Juga ada lemari kecil yang berisi beberapa pakaian ganti miliknya karena dulu sebelum punya rumah, Agni sering kali menginap di resto berbekal matras tiup yang dia simpan di restonya. Agni duduk di kursinya, menyalakan laptop tapi kemudian hanya memandanginya dengan tatapan kosong. Ucapan Ayu masih berputar di kepalanya, tentang mencari tahu calon jodohnya lebih dulu sebelum benar-benar bertemu nantinya, jika pihak wanita juga setuju dengan perjodohan ini. Maka berbekal Bismillah yang dia ucap pelan di bibirnya, ia membuka laci meja kerjanya dan mengeluarkan amplop coklat dari dalam sana. Amplop itu tertutup dengan tali yang terikat di satu kancing, Agni membukanya perlahan. Dengan gerakan pelan dia membalik posisi amplop hingga berkas di dalamnya keluar dengan sendirinya. Yang pertama kali terlihat adalah Nama Kadarsih. Wajahnya cantik dan terlihat dewasa, ada lesung pipi samar di bawah matanya. Senyumnya cantik, namun tidak lepas. Usianya 27 tahun, hanya berbeda satu tahun darinya. Lalu nama kedua adalah Kintamani. Nama yang langsung mengingatkan Agni pada Bali yang memukau. Gadis ini juga sama, senyumnya lebih ceria. Rambutnya lumayan panjang menyentuh pundak. Yang Agni suka dari gadis ini adalah karena hanya dari melihat fotonya, Agni merasa gadis ini memang seorang periang, mengingatkannya pada Ayodhya. Namun jika dilihat dari usianya, sepertinya gadis pertama yang akan menjadi pasangan Agni, karena usianya yang sudah tidak muda lagi pastilah dia yang akan didahulukan untuk menikah. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN