"Assalamu'alaikum, Kinta pulang, Mi!"
Melepas flatshoes yang dia kenakan, Kita kemudian menaruhnya di tempat sepatu yang terletak di belakang pintu masuk.
Ia mengerutkan keningnya bingung, harusnya ibunya sudah berada di dapur di jam-jam segini. Karena sebentar lagi akan masuk waktu makan malam, dan dirinya serta Maminya sudah terbiasa makan bersama di rumah.
"Mamiiiii!" panggil Kinta sedikit lebih keras, namun Maminya tetap muncul juga.
Perasaan Kinta menjadi tidak tenang, dia meletakan tas slempang miliknya sejenak kemudian berjalan ke arah kamar maminya yang tertutup.
Ia mengetuk pintu, beberapa saat menunggu pintu terbuka atau mendengar sahutan dari dalam. Namun tidak ada dari keduanya yang terjadi, maka dengan penuh perasaan berdebar, Kinta memutar kenop. Sedikit terkejut karena pintu tidak terkunci dari dalam.
Langkahnya agak sedikit ragu, dia tidak ingin mendapati sesuatu yang buruk. Namun kemudian melihat Maminya yang tertidur di atas tempat tidur, dengan keringat yang mengisi wajah tuanya, membuat Kinta dengan segera menghampiri. Dia panik.
"Mami.. Mami..." panggilnya sedikit bergetar.
Jika saja Maminya tidak terbangun, maka Kinta pasti sudah menangis meraung. Untungnya kemudian Maminya itu menggeliat, membuka mata perlahan sebelum kemudian tersenyum kecil.
"Kinta udah pulang ya? Maaf ya, tadi Mami sedikit pusing jadi engga masak. Terus niatnya mau istirahat sebentar, tahunya malah ketiduran," ujarnya sambil mencoba untuk bangun.
Kinta menggeleng pelan, meminta Maminya kembali berbaring.
"Engga apa-apa. Biar Kinta bikinin makanan buat Mami sama ambil obat ya?"
Pertanyaannya hanya basa-basi, karena setelahnya Kinta langsung berbalik meninggalkan Maminya di kamar.
Di bergerak cepat ke arah dapur, mengambil beras dalam jumlah yang sedikit ke dalam panci dan memasukan air dua kali lebih banyak dari jumlah beras. Dia akan membuatkan bubur untuk Maminya.
Di kompor sebelahnya, ia merebus ayam yang sudah dicuci, memberi sedikit garam ke dalamnya. Ayam itu akan dia gunakan sebagai toping untuk bubur yang sedang dia masak agar ibunya bisa menikmati bubur dengan lebih baik.
Ketika buburnya sudah hampir jadi, Kinta mengaduknya pelan. Menambahkan penyedap rasa dan sedikit bubuk ebi yang ada di dalam kulkas. Barulah kemudian dia memindahkan bubur ke dalam mangkuk bersama dengan ayam yang sudah dia suwir.
Meletakan nya sebentar di atas meja dapur, Kinta beralih pada gelas dan mengisinya dengan air putih hangat.
Perutnya terasa lapar, namun yang lebih penting saat ini adalah ibunya. Dia bisa makan setelah memberikan ibunya makanan dan juga obat.
Saat dia kembali ke kamar Maminya, wanita yang menjadi pahlawan setangguh Ibu Kartini itu tengah duduk bersandar di kepala ranjang. Tersenyum ketika melihat Kinta kembali memasuki kamar.
"Mau Kinta suapin, Mi?" tanya Kinta sambil meniup bubur dalam mangkuk yang masih panas.
Maminya menggeleng, mengambil alih mangkuk yang dibawa oleh putri bungsunya itu.
"Mami cuma pusing sedikit, masih bisa makan sendiri," sanggahnya dengan wajah sedikit cemberut.
Kinta tertawa kecil, dia menaikan kedua kalinya hingga kini bersila di atas tempat tidur Maminya itu.
"Kin, coba deh ambilin amplop coklat di dalam laci sana," pinta Maminya.
Tanpa membantah, Kinta langsung turun dari tempat tidur menuju ke laci yang sebenarnya letaknya lebih dekat dari Maminya. Namun karena dia anak berbakti dan Maminya tengah sakit, maka Kinta menurut saja.
"Buka deh. Di dalamnya ada foto sama biodata lelaki yang mau Papi jodohin sana salah satu diantara kamu sama Kada."
Kinta sudah akan membantah kali ini, namun kalimatnya tertelan saat Maminya memotong lebih dulu.
"Lihat aja dulu. Harapan Mami cuma kamu, makanya fotonya cuma Mami tunjukan ke kamu aja. Mami engga kasih lihat ke Kada karena Mami tahu dia bakalan marah sebelum sempat lihat fotonya. Kalau semisal setelah lihat kamu tetap engga tertarik, Mami akan langsung hubungi keluarga sana dan bilang kalau keluarga kita engga bisa menuruti amanat yang sudah dibuat sebelumnya," ujar Maminya panjang lebar.
Yang bisa Kinta lakukan hanya menarik napas berat kemudian menghembuskan dengan sama beratnya. Tangannya dengan lemas membuka tutup amplop itu, menarik kertas yang ada di dalamnya hingga benar-benar keluar.
Beberapa saat, Kinta terdiam. Tangannya memegangi kertas itu dengan erat, matanya hampir tidak berkedip sedikitpun.
"Katanya dia anak yang baik, punya usaha Resto kekinian di Jogja. Dia itu anak ketiga, dua kakaknya lelaki semua dan kerja di perusahaan keluarga. Punya adik cewek yang masih kuliah. Kalau misal kamu memang engga bisa nerima perjodohan ini, ya apa boleh buat? Mami akan--"
"Mau."
Maminya mengangguk, "Iya. Mami udah tahu kalau kamu engga akan--Apaa?? Kamu bilang apa tadi?" Puji terkejut. Tidak perduli bubur yang dimasak oleh anaknya memang enak, dia lebih memilih menaruhnya di atas nakas.
"Kamu tadi bilang engga mau kan? Mami yang salah denger ya?" desaknya.
Kinta menggeleng pelan. Tangannya mengangkat kertas yang ada di tangannya, menunjukan pada Maminya.
"Cowok ini," tunjuknya pada foto pria yang katanya akan dijodohkan dengannya. "Kinta mau nikah kalau sama cowok ini, Mi," lanjutnya, Wajahnya menyengir lebar.
*
"Selamat malam semuanya!" sapa Agni.
Ini adalah akhir pekan, dimana semua keluarga Andaru diharuskan berkumpul di Umah Eyang. Rumah yang merupakan peninggalan kakeknya.
Kakek Neneknya memiliki empat anak, dua lelaki yang merupakan Ayah Agni, Galuh Andaru sebagai anak pertama, anak kedua adalah Pakdenya yang bernama Kaisar, yang ketiga bukdenya bernama Tulip, dan yang bungsu adalah Bukdenya yang bernama Larasati.
Dari semua anak Kakek Neneknya, hanya orang tua Agni yang memilih anak lebih dari dua. Yang lainnya hanya memiliki dua anak yang hampir semuanya yang sudah dewasa bekerja di perusahaan keluarga. Itulah mengapa Ibunya kerap kali meminta Agni untuk ikut bergabung di perusahaan keluarga seperti apa yang dilakukan oleh kedua kakaknya.
Setiap anggota keluarga Andaru diharuskan datang saat akhir pekan, menyempatkan diri untuk makan malam setelahnya mereka semua dibebaskan untuk memilih pulang ke rumah mereka, atau menginap disana. Kumpul-kumpul ini bertujuan untuk membuat Neneknya tidak kesepian walaupun sudah lama ditinggal pergi oleh suaminya.
"Cucu Eyang datang, sini duduk dekat Eyang."
Agni tersenyum, mengangguk kecil kemudian berjalan menuju kursi yang tepat ada di samping kursi Eyang nya.
"Gimana kabar Eyang? Engga sakit lagi kan pinggangnya?" tanya Agni lembut.
Neneknya balas tersenyum, tangannya mengusap lengan Agni dengan pelan.
"Eyang baik-baik saja. Sehat selalu," jawabnya kemudian tertawa pelan.
Obrolan antara nenek dan cucunya itu diinterupsi oleh Rani, yang merupakan istri dari Pakde Kaisar. Wanita yang selalu menatap sinis ke arah Agni itu, membawa mangkuk sayur yahh masih mengepul.
"Ibu, ayo makan. Nanti Rani yang ambilkan," ajaknya pada Eyang dengan senyum lembut.
Namun Eyang nya justru menggeleng, meminta Agni yang mengambilkannya makanan saja.
Agni menurut, meskipun dia sadar bahwa perhatian yang ditujukan oleh Eyang nya membuat beberapa orang tidak senang.
"Bukannya Agni mau menikah?"
Sebuah pertanyaan yang datang dari Pakdenya itu, mengundang atensi semua orang.
Agni membalasnya dengan senyum, "Do'ain saja ya, Pakde," katanya kalem.
Meski jawaban yang dia berikan adalah jawaban yang baik, namun Pakdenya justru tersenyum sinis usai mendengar jawaban darinya.
Padahal mereka masih di tengah makan malam, namun setelah pertanyaan pertama tadi, semua orang tampak ingin mengulik juga tentang kabar pernikahan Agni yang bahkan belum pasti.
"Maaf semuanya, tapi Agni sedang makan. Lebih baik pertanyaannya dilanjut nanti setelah selesai makan," sela Argabrata Andaru, kakak tertua dari Agni.
Semua orang langsung terdiam. Tidak bisa membantah ucapan dari seseorang yang memegang kuasa paling tinggi di perusahaan. Arga didapuk menjadi pemimpin tertinggi menggantikan Galuh, Ayahnya, yang sudah banyak berjasa pada perusahaan. Juga karena Arga memiliki kompetensi sebesar ayahnya.
"Lanjutkan makannya," ujarnya pada Agni.
Agni mengangguk, "Iya, Mas."
Lalu suasana kembali tenang walaupun sesekali obrolan tentang pekerjaan sengaja dibahas. Tujuannya adalah untuk membuat Agni tidak berdaya karena satu-satunya yang tidak bergabung dalam perusahaan.
"Bukannya kamu sudah mulai mau buka cabang, Ni? Bagaimana progresnya?" Kali ini Arbibatara Andaru yang bertanya, Kakak kedua Agni.
Pria berusia tiga puluh satu tahun yang merupakan ayah dari sepasang anak kembar itu, melirik ke arah semua orang yang tampak membuang muka karena dirinya sengaja mengangkat tentang keberhasilan Agni yang sering kali dipandang sebelah mata.
"Alhamdulillah, Mas. Tinggal beli barang-barang aja minggu depan. Renovasinya sudah selesai," jawab Agni.
Lalu obrolan terhenti saat telepon di ruang tengah berdering begitu nyaring.
Mereka tidak terganggu karena ada pembantu rumah tangga yang akan mengangkat telepon itu.
"Maaf menggangu, ada yang mau bicara dengan Bu Astari," ujar pembantu rumah tangga, menyebut nama ibu dari Agni.
Astari langsung meletakan sendoknya, mengelap mulutnya sebelum kemudian bangun.
Beberapa saat ruang makan itu ditinggal satu orang menantu tertua, sampai kemudian Astari kembali dengan senyum merekah di wajahnya.
"Kebetulan kita semua sedang berkumpul disini, sekalian ada yang mau saya beritahu," kata Astari tanpa duduk kembali di kursinya.
Semua orang tampan menyimak, membiarkan makanan mereka tidak tersentuh untuk beberapa saat.
"Ini soal rencana perjodohan Agnibrata Andaru, pihak wanita sudah menyetujui rencana itu. Dan wanita yang akan menikah dengan Agni adalah Kintamani, putri kedua dari keluarga itu."
Agni tidak bisa untuk tidak terkejut. Dia memang tahu jika dirinya akan menikah dengan salah seorang wanita di keluarga itu, namun dia menduga jika yang akan menikah dengannya adalah Kadarsih yang merupakan anak sulung dari keluarga itu yang juga belum menikah.
Namun ternyata yang disebut oleh ibunya adalah Kintamani yang berwajah riang.
"Selamat ya, Agni."
"Selamat ya."
Bahkan ucapan selamat dari semua anggota keluarganya tidak bisa Agni dengar dengan baik. Sejujurnya yang saat ini ingin dia lakukan adalah membuka kembali map coklat yang tadi siang dia buka, kemudian mengambil nomor ponsel Kintamani dsn menghubungi nya.
Bukan dirinya keberatan menikah dengan gadis yang terlihat menyenangkan dan memiliki kepribadian mirip Ayodhya itu, hanya saja dirinya ingin tahu apa alasannya harus melangkahi kakak tertua gadis itu yang juga belum menikah?
**