Luciavy diam dan mengingat semua hal yang Arovis katakan. Hellcrack, nama kerajaan itu terus berputar di otaknya. Entah sejak kapan, Hellcrack mampu mengusik pikiran Luciavy hingga membuatnya resah.
"Kau tak keluar?" tanya Carrion pelan. Ia menatap gadis di sampingnya yang duduk tenang tanpa menoleh padanya.
"Dia akan keluar bersamaku," jawab Vion cuek lalu meraih tangan Luciavy.
Luciavy menoleh. "Apa?" tanyanya tak mengerti.
"Ada hal yang harus kita bicarakan." Vion menarik tangan Luciavy, namun Carrion menahannya.
"Aku ikut,"
Vion dan Luciavy menatap Carrion.
"Aku tak mengajakmu!" putus Vion.
Firlea yang melihat itu kian jengah. "Apa yang mereka lakukan! Memalukan!"
"Tapi aku ingin ikut," ucap Carrion lagi.
Luciavy mendesah. "Tapi aku tak ingin ikut kalian berdua. Jadi, kalian bisa pergi bersama tanpaku."
Luciavy melepaskan tangan Vion dari tangannya. Melangkah keluar kelas dan menyusuri lorong-lorong panjang. Gelap. Hanya itu yang Luciavy dapatkan. Luciavy terus melangkah mengikuti pikirannya tanpa tahu tujuannya. Hingga sebuah tangan membekap mulutnya tiba-tiba dan memeluk tubuh Luciavy erat dari belakang. Luciavy membeku dan menurut saat tangan itu membawanya menyelinap di balik tembok.
"Jangan bersuara,"
Luciavy mengangguk saat suara berat yang terdengar dingin itu mengintruksinya.
Luciavy diam dan tak berani bergerak. Melihat tangan kekar yang terasa hangat di perutnya. Melingkar rapi di pinggangnya dengan deruan napas berat di tengkuknya. Lolongan kesakitan terdengar samar. Luciavy mencoba mengintip dari balik tembok tempatnya bersembunyi. Matanya terbelalak lebar saat melihat dua sayap hitam besar terkembang lebar. Luciavy beralih menatap pemilik sayap tersebut. Terlihat samar namun Luciavy berbalik menatap pada seseorang yang berada di bawah orang tersebut. Melihat buliran-buliran yang terangkat dari mulutnya dan di serap oleh lawannya. Lalu sayap gelap itu di kelilingi buliran yang sama dari yang ia serap.
"A-apa itu?" tanya Luciavy kaget.
"Penyerapan inti sari kehidupan."
Luciavy bergidik takut. "Itu mengerikan."
"Lebih buruk dari kata mengerikan. Dia memangsa yang lemah untuk bertambah kuat."
"La-lalu sayap hitam it-"
"Kau akan tahu semuanya. Waktu akan membuatmu mengerti."
Luciavy diam. Ia menurut saat tangan hangat itu memutar tubuhnya dan membuatnya berhadapan dengan pemiliknya. Lagi-lagi Luciavy terpaku. Tatapan mata tajam yang jernih itu, wajah dingin yang terlihat kaku. Luciavy mengenalnya. Tidak, ia pernah bertemu dengannya.
"Erzraviel," ucap Luciavy dalam hati.
"Aku Arzraviel Kevant." ucap pria itu pelan.
Deg!
Luciavy diam saat menyadari dia orang yang berbeda dari orang yang ia kenal. Wajah dan semua sekilas terlihat sama. Namun jika di perhatikan lebih seksama, mereka berbeda. Dan itu membuat Luciavy tak bergerak.
"Kenapa rasanya berbeda dengan pertemuanku yang lain. Erzraviel Kevant, dia tak memiliki aura sekelam ini."
"Apa kau membawa loncengmu?" tanya Arzraviel.
Luciavy mengangguk. Mengambil barang yang Arzraviel tanyakan dalam sakunya. Lalu menunjukkan pada Arzraviel. Arzraviel tersenyum.
"Kau benar-benar bayi itu? Kau tumbuh dengan baik."
Luciavy mengernyit. "Mak-"
"Tunjukkan padaku, siapa dirimu dan dari mana asalmu."
Luciavy kian tak mengerti arah pembicaraan Arzraviel. "Aku berasal dari ruma-"
"Kau sama seperti kami, Luciavy Agnasia."
Luciavy menatap manik mata Arzaviel.
"Siapa dirimu dan dari mana asalmu. Itulah tugas pertama yang harus kau selesaikan."
Diam. Lagi-lagi Luciavy seakan terbius saat bibir tipis mengucapkan kata-kata seperti mantra.
"Dan aku, akan menjemputmu saat itu tiba."
Cup!
Arzraviel mengecup kening Luciavy lalu berjalan keluar dari persembunyian. Luciavy yang masih terpaku menyentuh keningnya.
"Hebat! Orang tampan baru saja mengecup keningku,"
Pikiran yang baru saja melintas itu membuat Luciavy tersadar. Luciavy menoleh dan tak menemukan Arzraviel di sana. Hal yang membuat Luciavy enggan untuk bersuara.
"s**l! Dia mengecup keningku lalu menghilang begitu saja? Dan yang parah aku terpesona! Huaaaaa...! Bodoh! Kau sangat bodoh hari ini, Luciavy!"
Luciavy berjalan kembali ke lorong dengan mengumpat kesal pada dirinya sendiri. Langkah kakinya terhenti saat melihat deretan kelas iblis bawah yang tengah berlangsung. Menatap nanar pada deretan bangsawan iblis yang berlagak seperti dewa untuk memperbudak iblis kelas bawah.
"p********n," ucap Luciavy pelan.
Tanpa sadar langkahnya telah memasuki kelas tersebut. Ia menatap seorang gadis cantik yang mirip dengan Firlea tengah duduk dan tertawa puas. Di bawahnya seoarang gadis iblis lemah tengah membersihkan kakinya.
"Hentikan!" ucap Luciavy tanpa sadar.
Seluruh iblis yang berada di kelas itu menoleh. Menatap Luciavy dan mereka cukup ingat siapa Luciavy.
"Ah, kini manusia pun ikut campur dalam urusanku?!"
Luciavy diam saat gadis yang mirip Firlea itu bangun dan mendekat.
"Tunjukkan hormatmu pada Putri kerajaan Blackhell, Raelle Delora."
Luciavy tersenyum tipis. "Konyol! Aku manusia! Bukan golongan iblis seperti kalian! Lalu kenapa aku harus tunduk padamu!"
Raelle diam sesaat. "Oh, oh, oh, aku baru tahu, kau sangat bernyali."
"Lalu apa aku juga harus takut padamu? Aku bahkan tak tahu siapa dirimu!"
Raelle yang tak pernah menerima bantahan selama berada dalam kerajaan kian tersulut akan keberanian Luciavy. "Kau...! Aku katakan, tunjukkan hormatmu padaku! Itu artinya kau harus menundukkan kepalamu!"
"Tapi aku tak ingin tunduk padamu atau pada siapapun itu! Sekalipun itu pada Ratu kerajaanmu!" bantah Luciavy tak kalah keras.
Suasana memanas. Para iblis tingkat lemah mulai berkumpul dan melihat pertikaian yang tengah terjadi. Luciavy menatap sekitarnya yang mulai ramai. Rasa tak nyamannya timbul dan ia membalikkan badannya.
"Ah s**l! Kenapa aku membuat keributan," ucap Luciavy pelan.
"Berhenti di sana!" ucap Raelle keras.
Luciavy berbalik. "Kau bicara padaku?"
Raelle benar-benar naik pitam. Baru kali ini ia meresa dilecehkan. "Beraninya seorang anak manusia melakukan ini padaku! Aku akan membakarmu!"
Luciavy menghembuskan napas bosan. "Beraninya kaum iblis sepertimu memerintahku!"
Raelle melangkah lalu menarik tangan Luciavy. Tangan satunya menekan kepala Luciavy dalam agar menunduk di hadapannya.
"Inilah yang harus kau lakukan jika bertemu dengan bangsawan iblis. Terlebih Putri kerajaan Blackhell."
"Lepaskan!" kata Luciavy penuh penekanan.
"Kau masih saja betontak! Kau memang harus diberi pelajaran!"
Raelle menggenggamkan tangannya. Mengumpulkan kekuatan yang ia miliki lalu mengarahkan pada wajah Luciavy yang menunduk. Kilatan api merah bercampur aura hitam melekat hingga mengenai wajah Luciavy.
"Ahkkk...!" teriak Luciavy keras.
Tubuh Luciavy terpelanting beberapa meter. Namun sesuatu dalam saku Luciavy bersinar terang. Melindungi tubuh Luciavy dari kekuatan Raelle hingga tubuh Luciavy tak menyentuh tanah. Bayangan seorang pria perlahan muncul dan telah menggendong Luciavy dalam dekapan tangannya.
Riuhnya dekacakan dan kekuatan yang Raelle keluarkan, membuat seluruh iblis bangsawan turun. Vion, Carrion, Firlea dan yang lainnya berkumpul. Menyaksikan tubuh Luciavy yang melayang karena kekuatan Raelle. Vion gusar dan mulai maju, namun Firlea menahan tangannya hingga sinar terang itu menyelimuti tubuh Luciavy.
Erzraviel mendekap tubuh Luciavy dan menatap Raelle tajam. Raelle terpaku akan semua hal di depan matanya.
"Bagiamana mungkin seorang manusia memiliki seorang pelindung dari bangsawan iblis. Di lihat dari pakaian yang ia kenakan, sudah dipastikan bahwa dia juga seorang Pangeran." batin Raelle khawatir.
"Apa yang kau lakukan pada Nona Luci!" tanya Erzraviel penuh penekanan. "Kenapa kau melukainya!" teriak Erzraviel membahana hingga para guru datang melihat.
Raelle membeku. Tidak, ia bisa merasakan bahwa umur Erzraviel lebih besar dari umurnya. "Dia tak menunjukkan hormatnya padaku!"
"Kau...!" ancam Erzraviel marah.
Semua mata kembali terpana saat kening Luciavy bersinar. Erzraviel melepaskan tangannya karena merasakan hawa panas luar biasa dari tubuh Luciavy. Tubuh Luciavy terangkat ke atas seiring sinar putih yang terus bersinar hingga sinar merah keluar dari kening Luciavy. Sebuah tanda merah di kening Luciavy terlihat jelas hingga semua iblis terpaku. Untuk sesaat seluruh kekuatan yang para iblis miliki sirna. Seluruh kerajaan neraka terguncang. Segel yang mengekang kekuatan Luciavy terbuka.
Arovis yang menyaksikan itu membeku. Mulutnya terlihat kelu saat ia bisa melihat jelas tanda di kening Luciavy. "Di-dia-"
Grep! Vion berlari dan menangkap tubuh Luciavy. Entah kenapa, ia merasa bahwa Luciavy butuh dirinya. Perlahan asap putih mengepul saat Vion mengeluarkan kekuatannya. Hawa dingin begitu terasa hingga benda-benda di sekitar mereka berubah menjadi es. Perlahan sinar di kening Luciavy menghilang. Vion menatap tanda itu, menyentuhnya sesaat hingga tanda itu kembali hilang.
"Inikah alasannya? Alasan kenapa aku begitu ingin menyentuhmu. Kau ... memiliki sesuatu yang iblis kelam inginkan. Dan aku, telah ditakdirkan untuk menjadi pendampingmu." Vion memejamkan matanya dan mendekap tubuh Luciavy erat.
"Apakah sudah saatnya kau mengingat semuanya? Jika begitu kau bisa meluruskan permasalahanku dengan kembaranku. Luciavy, sampai kapanpun aku akan di sampingmu meski Arzraviel akan membunuhku!" Erzraviel memungut lonceng Luciavy yang terjatuh.
Raelle terpaku. Matanya terbelalak lebar karena mulai merasakan kekuatan luar biasa dari Luciavy. "Ka-kau, siapa dirimu sebenarnya?"
***