04

1543 Kata
Kilas Balik — 04 # Keluarga yang Bahagia __________________________ BENUA melepaskan kacamatanya perlahan dan meletakkannya di atas meja belajarnya. Telinganya masih berdengung, membuatnya sedikit pusing. Andaikan alat pendengaran itu tidak jatuh. Andaikan Laut tidak menghancurkannya. Andaikan saja dia bisa menolong dirinya sendiri. Andaikan mereka tidak melakukan tindakan bully kepadanya. Semua hanyalah andaikan. Kata yang selalu dia mulai dengan penuh harapan. Benua berharap, dia bisa menjadi laki-laki yang kuat seperti Samudra. Bisa berkelahi, pintar dalam semua pelajaran, jago olahraga, disukai banyak orang, tampan, punya badan yang bagus, dan semua yang ada di dalam diri Samudra. Benua selalu berharap kepada kesempurnaan agar hidupnya tidak malang. Tetapi yang selalu Benua tanamkan di dalam dirinya adalah tentang bagaimana mensyukuri keadaan. Alih-alih untuk protes, hidup dan bisa mempunyai keluarga serta teman yang baik saja sudah jauh lebih dari sempurna. Terkadang dia merasa iri, namun lama-kelamaan Benua lebih memilih untuk menerima keadaan yang serba kekurangan. Karena kekurangan itu lah yang membuatnya pantas untuk mendapatkan semua kebahagiaan ini. Benua cukup senang saat masuk ke sekolah formal dan mendapatkan teman-teman yang baik padanya. Ya, walaupun masih ada segelintir orang seperti Laut yang melukainya. Tetapi lebih banyak kebahagiaan lebih dari sekedar ketakutan di-bully esok paginya. Klek. Pintu terbuka menampakkan seorang perempuan yang masih cantik di usianya yang sekarang. Sarah, perempuan itu duduk di depan sang anak yang terdiam sambil menunjukkan senyumnya. "Kenapa enggak jawab panggilan Ibuk tadi?" Tanya Sarah dengan menatap Benua yang menatapnya dengan tatapan sedih. Tidak ada jawaban! Ben berusaha untuk menebak apa yang dikatakan Sarah, Ibunya. Namun selalu gagal, dia tidak menemukan titik terang dengan gerakan bibir Sarah yang sangat cepat. Semenjak mempunyai alat bantu pendengaran, Benua jadi terbiasa mendengar ketimbang mengamati gerak bibir seseorang untuk berkomunikasi. "Maafin Benua, Buk." Ucap Benua lirih sambil menundukkan kepalanya dengan sedih. Sarah yang mengerti langsung mencari keberadaan alat itu di telinga Benua. Tetapi nihil, dua alat itu tidak ada di lubang telinga Benua. Sarah akhirnya tahu mengapa Benua tidak menyahut panggilannya tadi. Sarah mengambil sebuah kertas dan pulpen yang ada di atas meja belajar Benua. Menuliskan beberapa kata dan memberikannya kepada Benua yang tampak menunduk. Enggak pa-pa, Ben. Besok Ibuk beli yang baru. Alatnya 'kan juga sudah jelek. Alih-alih bertanya tentang kejadian yang sebenarnya, Sarah memilih untuk langsung mengatakan itu. Sarah tentu saja tahu apa yang terjadi kepada anaknya. Bahkan tanpa Benua mengatakannya sama sekali. Benua selalu menerima perlakuan tidak baik dari orang-orang, 'kan? "Benua sebenarnya enggak terlalu cacat 'kan, Buk?" Tanya Benua yang membuat Sarah tertegun. "Buktinya Benua masih bisa mendengarkan walaupun menggunakan alat bantu. Padahal banyak orang yang enggak bisa mendengar walaupun sudah memakai alat bantu dengar. Jadi, Benua tetap harus bersyukur." Sambungnya dengan senyuman lebar agar Ibunya tidak sedih. Sarah mengangguk pelan dan menuliskan sesuatu di kertasnya tadi. Lalu memberikannya kepada Benua kembali. Besok siang, Ibuk beliin kamu alat bantu lagi. Jadi, kamu besok enggak usah sekolah dulu. Kamu enggak pa-pa 'kan, kalau enggak bisa dengan beberapa jam? Benua mengangguk pelan, "Ibuk enggak perlu khawatir. Benua 'kan pernah melewati saat yang lebih buruk daripada hari ini. Benua bisa tahan kok. Malah enggak ada suara yang berisik." Sarah ingin sekali menangis, tetapi dia tahan. Dia tidak mau Benua merasa bahwa dirinya menjadi beban keluarga. Sarah tidak mau anaknya tumbuh dengan penuh ketakutan. Benua sudah jauh lebih kuat dari sebelumnya. Dia bahkan sangat percaya diri dan tidak pernah sama sekali menangis tentang sesuatu. Benua benar-benar sudah dewasa. Setelah itu, Sarah keluar dari kamar Benua. Dan dari sanalah air matanya mulai jatuh membasahi pipinya. Dia benar-benar sangat lelah dengan keadaan dirinya dan keluarganya sekarang. Namun Sarah tidak bisa berbuat banyak. Dia harus tetap berjuang walaupun lelah. Dia harus ingat tentang dua anaknya yang begitu sangat gigih berjuang untuk kehidupan masing-masing. Sarah bangga menjadi orang tua dari anak-anak yang begitu kuat. Maka dari itu, dia pun harus tetap kuat. "Kenapa?" Tanya Agung, suami Sarah yang berjalan terpincang-pincang ke arahnya. Sarah menghapus air matanya dan tersenyum ke arah Agung. Dengan cepat, Sarah memeluk Agung untuk meredakan rasa mengganjal di dalam hatinya. Untunglah keluarganya sangat hangat, untunglah dia mempunyai suami seperti Agung, mempunyai anak seperti Benua dan Samudra. Dia benar-benar sangat beruntung. "Aku capek, Yang. Pesanan besok banyak banget." Ucap Sarah yang tidak sepenuhnya bohong. Agung membalas pelukan Sarah dan mengelus punggung perempuan itu dengan pelan, "iya ... aku lihat kertas box makanan yang belum disusun. Nanti biar aku sama Benua yang selesain. Kamu istirahat aja." "Kamu 'kan capek habis kerja," lirih Sarah yang menghapus air matanya. Agung mengelus kepala Sarah sambil tersenyum, "enggak pa-pa, aku sama Benua 'kan laki-laki. Tenaganya jauh lebih kuat daripada kamu. Jadi, biar aku sama Benua yang selesain untuk Ratu kami." "Makasih ya, Yang." "Iya, sama-sama." Sarah mengelus pipi Agung, "aku enggak percaya kata orang yang bilang kalau laki-laki akan berubah setelah menikah. Dari yang dulunya romantis jadi dingin. Tapi setelah aku menikah sama kamu, kamunya malah semakin romantis. Jadi, teori orang-orang salah 'kan?" "Bisa aja kamu..." Ucap Agung yang mengajak Sarah untuk duduk di kursi. "Hm ... aku dapat telepon dari Pak Antoni tadi. Katanya, alat bantu dengarnya Ben rusak. Kamu enggak perlu mikirin itu. Besok biarin aku yang beli." Sambung Agung dengan memegang kedua tangan Sarah. "Aku—" "Kamu sudah berjuang dengan sebisa mungkin sebagai orang tua. Jangan pernah merasa bersalah karena kamu melahirkan mereka berdua. Jangan merasa kalau kamu yang membuat keadaan mereka seperti ini. Benua dan Samudra, tidak pernah meminta apapun dari kita dan protes tentang apapun. Mereka anak yang baik dan lahir dari Ibu yang baik." Ucap Agung dengan sungguh-sungguh. "Bahkan, kamu istri yang baik karena masih mau menerima orang yang penuh kekurangan kaya aku. Yang kakinya pincang, yang cuma pekerja biasa di percetakan, gajinya kecil, enggak bisa beliin kamu perhiasan dan rumah yang bagus." Sambungnya. Sarah tersenyum, "aku yang senang bisa diberikan keluarga seperti kamu, Sam, Ben, yang selalu menerima aku apapun keadaannya. Yang membuat aku merasa menjadi seorang Ratu di rumahku sendiri." "Iya ... maka dari itu, kami semua manggil kamu Ibunda Ratu." Canda Agung yang membuat Sarah malu. Mereka berdua saling tertawa dan kadangkala Rania mencubit Agung yang usil padanya. "Wah~ ternyata ada orang-orang yang tidak menghormati manusia jomblo dimuka bumi ini." Ucap Benua yang keluar dari kamarnya. Agung tertawa pelan ketika Sarah berjalan meninggalkan mereka. Lalu laki-laki itu berjalan mendekat ke arah Benua. Menatap anaknya yang kehilangan alat bantu mendengar. "Ban-tu I-buk su-sun kar-dus na-si," ucap Agung dengan patah-patah agar Benua bisa membaca gerakan bibirnya. Benua tersenyum dan mengangkat jempolnya ke udara, "oke, Yah. Aku bakalan selesaikan semuanya. Kita challenge seperti kemarin, ya. Siapa yang paling banyak duduk kardus nasinya, dia bakalan ditraktir makan nasi kucing di depan gang. Gimana?" Agung tertawa mendengar tawaran Benua, "se-tu-ju!" Mereka bersalaman untuk menandai bahwa mereka sudah sepakat untuk bertanding menyusun kardus nasi yang akan digunakan Rania untuk membungkus nasi box pesanan dari salah satu koperasi simpan-pinjam yang dekat di daerah mereka. Benua mengambil kardus-kardus itu dari depan. Menyiapkan Staples dan isinya. Ada dua ukuran kardus yang harus mereka pasang. Satu kardus untuk makanan dan satu kardus kecil untuk Snack. Membayangkan isi kardus-kardus itu saja sudah membuat Benua menelan salivanya. Pasti sangat enak masakannya Ibunya. Apalagi jika sudah membuat rendang atau ayam goreng kremes. Tidak ada tandingannya. "Siap?" Tanya Benua yang hanya diangguki Ayahnya. "Mulai..." Seru Benua keras-keras dan mereka berdua mulai bertanding untuk menyusun kardus-kardus itu. Diam-diam Sarah menatap kedua laki-laki kesayangannya itu dari arah dapur. Betapa beruntungnya dia memiliki ketiga laki-laki yang begitu mencintainya. Walaupun mereka miskin, kekurangan uang, kadang makan pun harus berbagi, tetapi mereka bahagia. Jika boleh berpendapat, Sarah tidak menyesal menggadaikan segalanya untuk membangun kebahagiaan seperti ini. Dia tidak akan pernah menyesal karena memilih Agung dan mempunyai kedua anak yang menjadikannya seorang Ibu yang beruntung. Terlihat Benua dan Agung yang sedang tertawa-tawa sambil sesekali mengambil kardus yang sudah jadi satu sama lain. Kadangkala mereka akan berebut menggunakan Staples baru. Lalu mereka akan tertawa, seakan-akan Benua bisa mendengar dengan baik apa yang dibicarakan Agung. Padahal Agung hanya melakukan dengan tindakan, tidak bicara apapun. Karena menurut Agung membuat Benua bahagia bisa dilakukan dengan berbagai cara. Sarah membawa nampan berisi dua gelas lemon tea hangat yang baru saja dibuatnya, "minum-minum..." "Wah~ lemon tea buatan Ibuk." Ucap keduanya heboh. Saling berebut untuk mengambil gelas lebih dulu. Sarah hanya menggelengkan kepalanya heran. Mereka bahkan tidak mirip seperti Bapak dan Anak. Tetapi lebih mirip anak kecil yang masih seumuran. Kadangkala Sarah lupa, bahwa keluarga mereka mempunyai banyak sekali kekurangan. "Tebak deh, Buk. Ayah kalau kalau mau beliin aku apa?" Tanya Benua dengan senyuman sumringah. Sarah menatap Benua, "a-pa?" "Nraktir nasi kucing di angkringan depan gang." Jawab Benua dengan senang. "Itu kalau dia yang menang. Kamu tahu lah, siapa yang bakalan menang sekarang." Ucap Agung kepada Sarah dengan cepat. "Aku tahu Ayah ngomong apaan. Kelihatan dari gerakan bibir Ayah, tuh." Sindir Benua. Drt Drt Getar ponsel milik Agung terdengar. Mereka menghentikan sendau gurau mereka sejenak. Agung menghela napas panjang dan memperlihatkan layar ponselnya yang menampakkan sebuah nama; Istriku. Itu artinya, Samudra menelepon mereka. Benua beranjak dari duduknya, "tolong jangan bilang apa-apa sama Sam ya, Ayah, Ibuk. Ben enggak mau bikin Sam kena masalah di sekolah lagi. Ben enggak mau Sam jadi susah. Bilang aja kalau Ben udah tidur." Sarah terdiam ketika melihat Benua masuk ke dalam kamarnya untuk menghindari panggilan dari Samudra. Apa yang harus dikatakannya kepada Samudra? ••••••••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN