Kilas Balik — 05
# Hukum III Newton
__________________________
SAMUDRA membuka pintu balkon kamar hotelnya. Dari sana, dia bisa melihat pantai yang dikunjunginya tadi dengan lebih leluasa. Hotel ini memang sempurna, baik dari segi pelayanan dan juga tempatnya yang sangat strategis—berada tidak jauh dari pantai. Suasananya pun tenang, tidak terlalu bising seperti di kota padat penduduk. Di sini memang cocok digunakan untuk orang yang ingin refreshing dan meninggalkan sejenak pekerjaan mereka. Tetapi sayangnya, dia datang kesini bukan untuk menikmati liburan seperti yang dia harapkan. Melainkan belajar dan bertarung di olimpiade melawan siswa sekolah lain.
Tetapi untunglah olimpiade tahun ini berada disalah satu SMA yang tidak jauh dari hotel ini. Sehingga, para tim olimpiade dari SMA Lencana Puri ditempatkan di sini—menjadi tempat istirahat dan juga basecamp untuk belajar selama olimpiade beberapa hari yang lalu. Rasanya akan sangat kurang jika besok pagi sudah harus kembali ke sekolah. Pemandangan seperti ini memang jarang dia lihat. Apalagi daerah rumahnya adalah perkotaan yang lumayan kumuh. Ah, jangan berpikir bahwa hidupnya sama dengan teman-temannya yang lain.
Samudra berbeda! Sangat berbeda! Dia bukan dari kalangan atas seperti yang selalu terlihat pada semua siswa SMA Lencana Puri. Kebanyakan dari siswa di sana, mayoritas mempunyai orang tua yang kaya. Mereka masuk kesana pun dengan uang sumbangan yang tidak main-main. Terkadang bisa mengalahkan uang sumbangan untuk satuan perguruan tinggi. Sebuah harga yang fantastis untuk ukuran sekolah menengah atas. Walaupun begitu, mereka-mereka yang tidak terlalu pintar pun berusaha untuk masuk dengan uang. Menjadikan sekolah sebagai ajang berpolitik. Memuakkan!
Tidak jarang pihak sekolah pun menyingkirkan mereka-mereka yang pintar hanya untuk memberikan kursi kepada para pejabat yang menawarkan harga yang pas. Ya, awalnya Samudra tidak percaya. Namun seiring berjalannya waktu, semuanya terlihat sangat jelas. Dia bisa kapan saja didepak dari sekolah hanya karena bermodalkan banyak sertifikat kejuaraan, bukan uang. Terkadang prestasi itu tidak terlalu penting, yang penting adalah uang pelicinnya. Ya ... boleh percaya atau tidak. Dan itu juga tidak berlaku untuk semua sekolah.
Rumornya, sekolah melakukan sistem pembelian kursi itu secara diam-diam. Menyembunyikan dari sang pemilik sekolah yang mendirikan sekolah ini. Mereka benar-benar bertangan kotor. Dengan teganya mengotori hasil kerja orang lain yang sudah bersusah payah untuk membangun satuan pendidikan yang paling bergengsi menjadi ladang uang dengan alasan memperkaya diri sendiri.
Tok... Tok... Tok...
Samudra menatap ke arah pintu kamarnya. Lamunannya menjadi buyar begitu saja, padahal masih enak-enaknya mengumpati dalang dari tidak bermutunya sekolahnya saat ini—orang yang patut untuk disalahkan dalam semua masalah yang terjadi.
Suara ketukan itu semakin keras, membuat Samudra mau tidak mau mengintip dari lubang kecil yang ada di pintu. Melihat siapakah orang yang berada di depan sana. Beberapa saat kemudian, Samudra membukakan pintu kamarnya dan membiarkan orang di depan pintu masuk ke dalam.
"Ada apa?" Tanya Samudra begitu Brandon masuk ke dalam kamarnya sambil menenteng plastik berlogo salah satu minimarket.
Brandon meletakkan plastik itu di atas meja dan duduk di kasur kamar Samudra, "kenapa enggak ikut ke aula tadi? Padahal acaranya seru lho."
"Seru?" Tanya Samudra yang langsung diangguki oleh Brandon.
"Kamu tadi dicariin sama Pak Hadi. Tahun ini kamu jarang keluar dari kamar selain makan. Enggak pengen jalan-jalan? Besok 'kan kita harus pulang. Datang kesini juga belum tahu kapan lagi. Mendingan dimanfaatkan liburan singkatnya." Ucap Brandon yang tidak sepenuhnya salah.
Samudra mengambil satu minuman soda dari dalam plastik yang Brandon bawa tadi, "gue udah sempat jalan di pantai tadi. Lagipula gue sama sekali enggak tertarik untuk ikutan acara semacam mereka. Keakraban? Halah, palingan juga cuma buat ajang caper doang."
"Enggak boleh gitu," lirih Brandon.
"Kenapa? Memang gitu, 'kan? Orang-orang akan lebih mudah mengakrabkan diri kalau memang orang itu adalah orang yang suka caper di depan orang lain." Tandas Samudra sambil tersenyum. "Kenapa jadi kebanyakan ngomong orang? Sampai belibet lidah gue," sambung Samudra.
Brandon tersenyum tipis, "tapi aku tetap merasa heran sama kamu."
"Kenapa emang?" Tanya Samudra dengan menatap Brandon.
"Kamu itu ganteng, pinter, punya banyak bakat, suka olahraga, punya badan bagus, dan ... punya potensi untuk disukai banyak orang. Kenapa kamu memilih berteman dengan orang-orang biasa seperti aku dan lainnya?"
Samudra menatap Brandon heran, "supaya gue kelihatan lebih ganteng kalau berteman dengan kalian. Iya, 'kan? Biasanya orang akan memberi urutan kegantengan berdasarkan suatu kelompok yang dia masuki. Kalau gue gabung sama cowok-cowok hits, gue akan kalah pesona. Kalau gue gabung dengan kalian yang biasa-biasa aja, tentu saja gue yang akan mendapatkan perhatian. Itulah namanya caper yang mainnya bersih."
Brandon menggelengkan kepalanya pelan. Tentu saja dia tahu bahwa Samudra tidak serius menjawabnya. Padahal Samudra bisa mengatakan opsi lain, seperti tulus misalnya. Tetapi Samudra tidak pernah menjawab hal itu. Samudra selalu menjawab dengan hal-hal yang sebenarnya masuk akal, namun sangat lucu dikatakan oleh orang yang seluruh tubuhnya berisi otak. Sebuah kiasan yang mengerikan untuk Samudra sendiri. Itu karena dia terlalu pintar atau semacam sindiran keras dari teman-teman sekolahnya? Samudra tidak bisa memahaminya.
"Ben pasti senang punya saudara kembar kaya kamu." Jujur Brandon.
Samudra terdiam sejenak, "gue lebih senang punya saudara kembar kaya dia. Lebih senang lagi kalau dia bisa hidup normal seperti yang lainnya. Dia cuma punya satu kekurangan yang langsung dicap cacat. Padahal mulut-mulut jahat orang-orang yang menyakiti banyak hati, memangnya itu tidak bisa disebut sebagai cacat? Ben hanya tidak bisa mendengar tanpa alat bantu. Tapi mulut-mulut yang dari lahir sudah kotor, susah untuk dibersihkan dengan alat bantu apapun."
"Terkadang ... orang-orang seperti kami, hanya bisa diam atau menurut semua perintah orang lain karena merasa mempunyai kekurangan. Sehingga kami memutuskan untuk tidak berani bersaing dengan orang-orang yang lebih sempurna dibandingkan kami. Alih-alih untuk membela diri, kami lebih senang berdamai. Tidak mau menyakiti diri sendiri atau orang lain. Berdamai akan memudahkan semuanya—untuk orang yang di-bully dan pem-bully." Ucap Brandon panjang lebar.
Samudra berpikir sejenak, apakah Benua merasakan hal yang sama? Maksudnya, Benua selalu melarang dirinya untuk melakukan kekerasan. Benua berulangkali mengatakan bahwa dia suka kedamaian. Apa itu artinya, Benua juga merasakan apa yang Brandon rasakan? Atau bisa jadi, semua orang merasakan hal yang sama?
"Ke kamar sana, udah malam." Ucap Samudra yang buru-buru membuka pintu kamarnya.
Brandon yang kaget karena tiba-tiba Samudra menyuruhnya untuk tidur hanya bisa menatapnya dengan tatapan bingung.
"Hah?" Hanya itu yang keluar dari mulut Brandon setelahnya.
Samudra menarik Brandon pelan dan mengeluarkannya dari kamarnya begitu saja, "selamat malam!"
"Eh ... Sam,"
Klek. Pintu kamarnya langsung tertutup setelah tersenyum ke arah Brandon. Sekarang Samudra memilih untuk duduk di kasurnya kembali dan mengeluarkan ponselnya. Mengapa tidak terpikir sejak tadi? Melakukan video call tidak buruk juga. Selama ini dia jarang menggunakan fitur itu karena memang tidak pernah kepikiran akan melakukannya. Namun, dia rindu dengan suara Ibunya, Ayahnya, dan Benua. Dia ingin mendengar apa yang mereka lakukan hari ini. Apakah Ibunya mendapatkan banyak pesanan, apakah Ayahnya pulang larut karena lembur lagi, atau apakah Benua di-bully karena tidak ada dirinya?
Dengan ragu, Samudra menekan ikon untuk melakukan video call. Terlihat ada tulisan berdering di sana. Berarti sudah masuk tetapi belum diangkat. Samudra menunggu beberapa saat, namun tidak ada yang mengangkat. Apakah mereka sudah tidur semua? Samudra menatap jam yang ada di ponselnya, memang sudah larut malam. Tapi, bisa jadi mereka sedang menyusun kardus makanan jika Ibunya sedang ada pesanan. Ah, mungkin tidak ada pesanan.
Samudra mematikan sambungan video call itu dan meletakkan ponsel miliknya di atas meja. Besok mereka 'kan akan bertemu lagi? Walaupun ingin sekali mendengar suara mereka sekarang. Samudra ingin memastikan bahwa tidak ada yang perlu dirinya khawatirkan. Tetapi ya sudahlah, orang tuanya juga butuh istirahat.
Sekarang hampir tengah malam, Samudra mengambil sepatunya dan mengenakannya. Ucapan Brandon seperti berputar-putar di kepalanya. Dia harus menikmati liburan singkat ini karena dia tidak tahu kapan akan datang kesini lagi. Jadi, Samudra memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan berjalan-jalan disekitaran hotel.
"Auw~"
Samudra mencari sumber suara di mana suara 'auw' itu berasal. Dan akhirnya dia menemukan seorang perempuan yang mungkin dia tahu siapa. Walaupun tidak pernah bicara sama sekali, namun Samudra pernah berada di ruangan yang sama.
"Apa kaki Lo luka?" Tanya Samudra dengan menatap ke bawah, melihat perempuan itu dengan jelas.
Perempuan itu begitu kaget dan beranjak begitu saja. Kakinya padahal terlihat terluka karena jatuh, tetapi dia berusaha untuk menjauh dari Samudra.
"Ada apa?" Tanya Samudra heran.
Perempuan itu menggeleng pelan dengan kebingungan, "e-enggak ada apa-apa kok."
"Ayo gue bantu," ucap Samudra menawarkan.
"Eh ... tidak perlu! Aku bisa. Auw~" rintih perempuan itu karena kakinya yang sakit.
Samudra menghela napas panjang dengan menatap perempuan itu, "kalau kamu memang bersikeras, aku tidak akan memaksa menolong. Itu terserahmu."
Samudra berjalan menjauh, namun perempuan itu menahannya.
"Tolong," lirihnya dengan takut.
Samudra menatap perempuan itu dengan lekat, "jadi, Lo jatuh sendiri atau karena dijatuhkan? Luka Lo enggak wajar."
"J-jatuh sendiri." Jawabnya takut-takut.
"Hah ... masa bodo! Sini gue bantu," ucap Samudra yang mengajak perempuan itu untuk duduk disalah satu tempat yang tidak jauh dari sana.
Setelah itu Samudra pergi sebentar untuk membeli obat merah dan juga penutup lukanya. Samudra juga yang mengobati luka perempuan itu.
"Seharusnya Lo melawan jika ada orang yang menginjak-injak harga diri Lo. Kalau dia menjatuhkan Lo sekali, maka jatuhkan balik sekali juga, supaya impas. Orang itu tidak akan paham rasa sakitnya kalau dia tidak merasakan secara langsung rasa sakit itu. Jangan menunggu karma, terlalu lama. Jika memang bisa ditangani, tangani lah sesekali. Manusia mempunyai tangan untuk memukul balik jika ada orang yang memukulnya. Seperti hukum III Newton, aksi-reaksi. Semudah gue mengartikan bahwa, jika ada aksi, maka gue akan bereaksi." Tandas Samudra setelah selesai mengobati luka perempuan itu.
"Jika aku tidak bisa begitu?" Tanya perempuan itu dengan lirih.
Samudra tersenyum, "gue mau jalan-jalan. Masuk ke kamar sana, ini sudah larut malam."
"Aku boleh ikut?" Tanya perempuan itu yang menghentikkan langkah Samudra.
Samudra menggeleng, "me time!"
Setelah itu Samudra berjalan menjauh dari perempuan itu. Menghilang begitu saja dari pandangannya. Jadi, disebut apa Samudra itu? Setan atau malaikat? Membantunya namun memintanya untuk berbuat jahat juga.
••••••••