06

1614 Kata
Kilas Balik — 06 # Bercerita Sejenak _____________________ PENUTUPAN Olimpiade tahun ini dilakukan dengan berfoto bersama di depan hotel yang menjadi basecamp mereka selama beberapa hari ini. Samudra yang terlihat ogah-ogahan hanya memasang wajah datar dan pandangannya pun kosong. Tidak seperti teman-temannya yang lain, meminta foto berulang-ulang karena ingin memasukkannya ke sosmed masing-masing. Setelah serangkaian sesi berfoto selesai, satu-persatu naik ke dalam bus. Samudra mendapat urutan terakhir masuk ke dalam bus dan satu-satunya kursi yang kosong ada di disamping seorang perempuan yang sedang memalingkan wajahnya ke arah jendela samping. Samudra melepaskan tasnya dan menatap Brandon yang duduk di kursi yang berseberangan dengannya. Brandon menampakkan wajahnya yang sedih karena tidak bisa duduk dengan Samudra. Padahal Brandon berencana untuk membahas soal yang belum dia pahami, agar tahun depan bisa mengikuti olimpiade lagi dengan baik—itu jika dirinya ikut. Tetapi yang paling penting adalah semangat untuk belajar, bukan? Sayangnya, kursi yang kosong tinggal dua. Dan Brandon tidak mungkin duduk dengan perempuan yang saat ini duduk dengan Samudra. Perempuan itu menoleh ke arah Samudra yang sedang memejamkan matanya, "kamu ... ngapain duduk di sini?" "Terus, gue suruh duduk di mana? Semua kursi penuh," jawab Samudra tanpa membuka matanya. Perempuan itu terdiam sejenak dan menatap sekelilingnya. Memang tidak ada satu pun kursi yang kosong selain kursinya. Ya, tidak ada yang mau duduk dengannya, makanya ada Samudra di sini. Mungkin teman duduknya kemarin pindah untuk duduk bersama dengan temannya. Sekarang Samudra yang menjadi kambing hitam untuk duduk di sini. "Kaki Lo sudah enggak pa-pa?" Tanya Samudra kemudian sambil menatap perempuan itu. "Malah bengong..." Sambung Samudra menggelengkan kepalanya heran. Perempuan itu mengalihkan pandangan matanya, "sudah! Sudah enggak pa-pa. Terimakasih sudah bantuin." "Sama-sama," jawab Samudra seadanya. "Nama Lo siapa? Gue enggak tahu," sambungnya dengan nada serius. Perempuan itu menyodorkan sebuah name tag peserta yang dipakainya ke arah Samudra. Laki-laki itu menerima name tag itu dan membacanya. "La-vi-na," ucap Samudra mengeja nama perempuan itu. "Nama Lo bagus." Jujur Samudra dan kembali menyodorkan name tag itu kepada pemiliknya, sebut saja namanya Lavina. Lavina, nama yang bagus untuk perempuan secantik ini, sebetulnya. Sayangnya, perempuan itu terlalu pendiam. Menurut Samudra, Lavina cenderung suka menyendiri. Pasti karena ada masalah atau memang karena dia dijauhi. Entahlah apa masalahnya, karena Samudra hanya mengenalnya sebagai teman satu tim Olimpiade. Lavina memegang mata pelajaran biologi, katanya dia jago. Kata beberapa pembimbing mereka, bukan kata teman-teman yang lain. Samudra pun tidak tahu tentang kemampuan perempuan itu. Baginya, semua orang yang masuk tim ini, orang-orang hebat. Lavina mengeluarkan sebuah bungkus jajanan dari dalam tasnya, "mau?" "Enggak! Makasih," tolaknya secara halus. "Sepertinya gue mau tidur aja. Jangan ganggu ya! Nanti kalau udah sampai tolong bangunin." Pinta Samudra yang memejamkan matanya perlahan. Lavina hanya mengangguk pelan dan mulai memakan jajanannya. Terlihat Samudra yang memejamkan matanya dan benar-benar tidur beberapa saat kemudian. Lavina menggelengkan kepalanya heran, dengan mudahnya Samudra tertidur dengan kondisi jalanan yang cukup rusak, membuat bus yang merek tumpangi sedikit berguncang. Terdengar suara bisik-bisik dari beberapa orang di dalam bus yang sedang menggunjingkan tentang dirinya dan Samudra yang terlihat mengobrol. Lavina menghela napas panjang karena mendengar semua bisik-bisik mereka dengan sangat jelas. Tentang dirinya yang katanya keganjenan atau kegatelan karena mengobrol dengan Samudra. Padahal mereka hanya membicarakan tentang hal umum. Menanyakan nama dan ... lukanya, itu saja. Memangnya hal itu salah? Tetapi, apapun masalahnya. Lavina akan disalahkan. Dia sudah biasa diperlakukan tidak adil seperti itu. Apalagi dua perempuan yang duduk di paling depan, mereka menatapnya sinis sambil menatapnya dengan mengejek. "Sudah biasa?" Tanya Samudra yang sama seperti tadi, tidak membuka matanya sama sekali. "Biasa?" Samudra mengangguk kecil, "menjadi pembahasan orang lain yang tidak tahu apa-apa." "Ya ... begitulah! Bukannya kamu pahlawan?" Tanya Lavina sambil melebarkan senyumnya. "Pahlawan?" Ulang Samudra yang melirik ke arah Lavina. Lavina mengangguk dengan cepat, "semua orang di sekolah tahu itu! Kamu sering membantu orang yang lemah agar tidak di-bully lagi. Kamu akan mengalahkan orang-orang itu walaupun harus mendapatkan surat peringatan berulangkali. Kamu tidak takut dikeluarkan?" "Enggak," jawab Samudra mantap sambil tertawa kecil. "Kalau memang sekolah berniat untuk mengeluarkan gue, pasti sudah dilakukan sejak dulu. Tapi mereka tetap mempertahankan gue sampai sekarang. Aneh, bukan? Harusnya mereka menyingkirkan orang-orang bermasalah seperti gue ini." Sambungnya dengan wajah serius. Lavina terdiam mendengarkan penuturan Samudra. Memang benar sih, apa yang Samudra sampaikan. Pasalnya, Lavina berulang-ulang mendengar cerita beberapa teman sekelasnya yang membicarakan tentang Samudra yang selalu selamat dari kejamnya peringatan dari Kepala sekolah. Bahkan laki-laki itu sudah beberapa kali berurusan dengan Kepala sekolah, namun tidak pernah tumbang sama sekali. Samudra malah semakin kokoh di sekolah. "Mungkin karena kamu pintar dan sekolah tidak mau mengambil resiko lainnya. Kamu yang paling menjadi unggulan di sekolah." Jujur Lavina yang menarik perhatian Samudra. Samudra mengangkat kedua bahunya tidak tahu, "sistem di dunia ini dibuat hanya untuk formalitas. Sistem hanya berpihak kepada orang-orang yang tidak bermanfaat bagi orang yang membuat sistem. Mungkin Lo benar, gue enggak akan dikeluarkan karena gue semacam piala emas untuk sekolah. Tapi tidak ada yang bisa menjamin ketika ada orang yang lebih pintar daripada gue dan masih membuat gue dipertahankan, 'kan?" "Bagaimana kalau kita lihat besok? Siapa tahu ada orang yang seperti itu," sambung Lavina. "Orang seperti apa? Orang yang lebih pintar daripada gue "Hm ... mungkin! Tapi, memangnya ada?" Samudra terdiam sesaat dan mulai menjawabnya dengan singkat, "ada!" "Kamu tahu darimana kalau orang itu lebih pintar dari kamu?" "Entahlah ... gue merasa kalau orang ini jauh lebih pintar dari gue. Semoga saja dia enggak sekolah di sekolah kita. Karena dia akan mengancam posisi gue di sekolah," canda Samudra. Lavina tidak mengerti mengapa hal itu tampak lucu bagi Samudra. Tidak ada wajah khawatir atau bingung saat mengatakannya. Apakah Samudra tidak takut jika beasiswanya akan dialihkan kepada orang yang katanya lebih pintar darinya? Tetapi jika melihat dari wajah Samudra, tidak ada ketakutan sedikitpun. "Kamu enggak takut?" Tanya Lavina memastikan. Samudra menatap ke arah Lavina yang terlihat khawatir, "kenapa takut? Takut karena posisi gue akan terancam?" Lavina mengangguk pelan. "Enggak sama sekali! Ketakutan hanya untuk mereka-mereka yang tidak mampu menjalani hidup." Tandas Samudra. "Aku kira ... kamu pilih-pilih teman." Ceplos Lavina yang langsung menutup mulutnya. "Sorry," lanjutnya tidak enak. Samudra tersenyum tipis, "memilih teman itu sah-sah aja kok. Kenapa harus berteman dengan orang yang enggak bisa diajak berteman?" "Maksudku, kamu mau ngajak aku ngobrol. Padahal kamu tahu kalau aku ... seperti yang diomongin sama orang lain." Samudra mengernyitkan dahinya bingung, "kenapa mikirin omongan orang? Gue aja enggak tahu apa-apa soal Lo. Kita ngobrol karena kita nyambung aja. Kalau enggak, gue bakalan banyak diam." "Makasih ya, kamu baik banget." "Gue enggak sebaik itu," jawab Samudra dengan entengnya. "Gue cuma mau menjadi manusia yang bisa berguna untuk orang lain aja. Bukan bermaksud menjadi seorang pahlawan yang Lo omongin tadi. Gue cuma mau melindungi Benua, saudara kandung gue sendiri. Dan terkadang tanpa sadar, gue terbiasa untuk melindungi orang-orang yang ada disekitar Benua." Sambung Samudra tulus. "Gimana kalau kamu dimanfaatkan karena baik?" Tanya Lavina dengan penasaran. "Karena aku merasa jika menjadi orang baik itu seperti sebuah bumerang untuk diri sendiri. Menjadi orang baik, berarti siapa disakiti oleh orang lain." Tandasnya. "Menjadi orang baik itu bukan masalah kesiapan. Kalau ditanya tentang kesiapan, semua orang enggak akan siap." Ucap Samudra. Tanpa mereka sadari, bus berhenti tepat di halaman sekolah mereka. Terdengar sorak gembira dari tim Olimpiade yang merasa lega karena perjuangan mereka akhirnya selesai juga. Hanya tinggal menunggu hasil saja yang belum muncul hilalnya. "Gue turun duluan," pamit Samudra yang sudah ditunggu Brandon. Lavina hanya mengangguk pelan. Dia hanya menatap Samudra yang turun dari bus dan menemui Brandon yang sejak tadi menatap ke arah mereka—Lavina dan Samudra—dari bangku sebelah. Lavina juga memperhatikan bagaimana komunikasi yang terjalin antara Samudra dan Brandon yang terkesan akrab. Dia iri, mengapa tidak ada teman yang seperti itu untuknya? "Lihat deh ... tuh, orang yang caper sama Samudra." Ucap seorang perempuan yang berada diluar bus ketika melihat Lavina yang turun dari bus. "Enggak tahu malu," timpal yang lainnya. Lavina hanya diam dan memilih untuk berjalan pergi tanpa peduli dengan omongan mereka semua. Dia sudah terbiasa, 'kan? "Samudra kenapa sih baik banget sama jiwa-jiwa yang tersakiti? Selalu lembut sama orang-orang yang lemah dan pendiam sama orang-orang kuat kaya gue? Kurangnya gue apaan sih?" Sentak perempuan yang sempat menyindir Lavina tadi. "Mulutmu sampah ... kurangmu." Ucap Lavina, tentu saja di dalam hati. Mana mungkin dia berani bicara seperti itu secara langsung? Jika pun berani, kakinya yang lecet itu tidak akan lecet lagi, tetapi langsung hilang. "Lavina ... sini," panggil seorang laki-laki yang sedang duduk di atas motornya dengan mengenakan kaos hitam yang dibalut dengan kemeja bahan flanel yang cocok dengannya. "Siapa itu?" Tanya Samudra kepada Brandon saat menatap ke arah Lavina yang berjalan pelan-pelan ke arah laki-laki di atas motor itu. Brandon menatap laki-laki itu dengan seksama, "kalau enggak salah, dia itu Kakak kelas kita yang dikeluarin dari sekolah karena kasus kekerasan." "Kekerasan?" Tanya Samudra kaget. Brandon mengangguk, "waktu kita awal masuk, kasusnya booming banget sampai di mana-mana. Media tidak berhenti memberitahu sekolah kita. Tapi tahu-tahu media berhenti untuk menyorot sekolah lagi dan berita itu perlahan-lahan hilang. Katanya sih, ada yang membayar mahal kepada media agar menutup kasus yang terjadi." "Laki-laki itu anak orang penting?" Tanya Samudra semakin penasaran apalagi ketika Lavina naik ke atas motor laki-laki itu. Brandon berpikir sejenak, "kalau enggak salah, Ayahnya itu pengusaha yang suka menyuap banyak oknum pemerintahan. Supaya kebusukannya enggak bisa diusut sama publik. Itu yang akan dengar dari Papaku. Kamu 'kan tahu Papaku wartawan. Tapi enggak tahu juga kenapa kasus itu bisa-bisanya hilang tanpa ada kecurigaan apapun. Dari pihak korban pun enggak ada yang speak up lagi. Semakin janggal, 'kan?" Samudra hanya menganggukkan kepalanya. Dia tidak tahu mengapa Lavina punya hubungan atau kenal dengan orang yang mengerikan seperti itu. ••••••••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN