09

1664 Kata
Kilas Balik — 09 # Tentang Orang Kaya _______________________ SEBENARNYA, Samudra ingin sekali ikut dengan Benua dan Ayahnya ke angkringan. Makan nasi kucing lebih enak daripada mengerjakan tugas yang sudah terlanjur menumpuk menjadi beban. Samudra menghela napas panjang saat mengumpulkan niat untuk datang ke rumah Brandon malam ini. Rencananya sih sejak tadi Samudra ke rumah Brandon. Tetapi karena harus membantu Ibunya yang harus menge-pack makanan untuk pesanan, maka waktunya diundur. Mungkin Brandon sudah hampir selesai mengerjakan, lumayan 'kan Samudra tinggal menyelesaikan akhirnya saja. Dengan malas, Samudra menaiki bus terakhir untuk hari ini. Dia sudah meminta ijin kepada Ayah dan Ibunya untuk menginap di rumah Brandon. Karena tidak mungkin dia pulang jalan kaki, sudah tidak ada angkutan umum lagi di tengah malam. Untuk naik ojek online, atau semua yang serba online, uangnya tampaknya terlalu sayang digunakan. Lebih baik untuk makan di kantin besok siang sebelum latihan futsal. Karena sudah lewat pukul tujuh malam, bus sangat sepi. Hanya ada beberapa orang yang pulang kerja, mungkin setelah lembur. Ada juga remaja yang masih berseragam sekolah. Entah sehabis mengerjakan tugas atau hanya main, Samudra tidak mau peduli. Dia memilih untuk menyandarkan tubuhnya disandaran kursi sambil memejamkan matanya. Mungkin tidur sejenak akan sedikit mengembalikan energinya yang terkuras habis akibat membantu Ibunya tadi. Walaupun lelah, dia pun merasa senang karena usaha Ibunya lancar. Walaupun belum ramai orang memesan. Setelah beberapa saat memejamkan mata, Samudra kembali menatap ke arah luar jendela. Takut jika sampai kebablasan. Bisa-bisa dia sampai ke terminal bus dan harus putar balik dengan menggunakan ojek. Dia tak mau membuang-buang waktu dan terlebih lagi membuat-buat uang. Walaupun badannya terasa lelah, namun Samudra tetap memaksakan diri untuk membuka matanya. Sebelum bus berhenti di halte depan, Samudra sudah berjalan mendekat ke arah kernek bus sambil menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan dan memberikannya. Baru setelah bus berhenti, Samudra turun sendirian. Kali ini tidak ada yang turun di halte yang sama. Sehingga dirinya tidak punya teman dalam kegelapan. Ya, halte ini gelap sekali. Mungkin lampunya mati atau bermasalah dengan listriknya. Samudra segera berjalan meninggalkan halte bus dengan buru-buru. Perutnya keroncongan, lapar belum makan sejak sore karena terlalu sibuk membantu Ibunya yang menge-pack makanan di kardus makanan untuk pesanan. Samudra merogoh saku celananya, hanya ada uang dua puluh ribu. Jika dia membeli makanan hari ini, besok tidak bisa naik bus untuk pulang. Jadi, dengan berat hati, Samudra hanya melewati beberapa warung tenda dengan aroma makanan yang begitu menggoda. Sayangnya, dia harus membuat keputusan. Makan hari ini atau naik bus besok sore? Setelah berjalan melewati beberapa rumah, Samudra sampai di depan sebuah rumah dengan pagar warna putih. Terlihat dari luar rumah ada Brandon yang sedang duduk di teras rumahnya. "Brandon," panggil Samudra dengan pelan. Brandon yang mendengar suara Samudra langsung beranjak dari duduknya sambil menenteng kunci yang banyak sekali. "Bentar," ucap Brandon sambil mencocokkan satu-persatu kunci yang dibawanya. Sampai kunci ke empat, akhirnya pintu gerbang terbuka. "Masuk, Sam." Ucap Brandon memberikan ruang agar Samudra bisa masuk ke halaman rumahnya. Samudra mengangguk pelan dan masuk ke halaman yang dipenuhi dengan bunga-bunga di dalam pot yang ditata rapi. Aroma segar dan juga bau tanah basah karena sehabis hujan semakin membuat Samudra merasa sangat senang. Dia suka dengan aroma seperti ini; sangat menenangkan. "Di rumah sama siapa?" Tanya Samudra ketika mereka hendak masuk ke dalam dan Samudra sedang melepaskan sepatunya. "Sama Kakakku," jawab Brandon lalu menunjuk ke arah rak sepatu di mana Samudra bisa meletakkan sepatunya di sana. Samudra hanya mengekori Brandon. Dia sebenarnya pernah main kesini, namun sudah lama sekali. Dia jarang datang berkunjung ke rumah teman atau ke rumah orang lain. Sehingga Samudra merasa canggung dengan datang ke rumah orang lain semalam ini dan ... mau menginap pula. "Lo ... udah bilang kalau gue mau nginep di sini?" Tanya Samudra dengan raut wajah bingung. Brandon mengangguk, "udah kok. Tenang aja! Lagipula Papa dan Mama baru ada tugas di luar kota. Kakakku biasanya enggak keluar kamar kalau baru ngerjain skripsi." "Oh, oke." Jawab Samudra seadanya. "Duduk dulu, aku ambilin minum. Minum sirup aja, ya?" Tawar Brandon yang hanya diangguki oleh Samudra. Samudra duduk di sofa ruang tamu saat Brandon pamit untuk membuat minum untuknya. Dia melihat ke kiri dan ke kanan, menatap setiap detail rumah temannya ini. Samudra tidak pernah melihat rumah yang serapi dan setertata ini sebelumnya. Pasti orang tua Brandon adalah orang yang mencintai kebersihan. Ada beberapa pajangan di dinding, dari lukisan dan beberapa bingkai foto keluarga. Namun, yang membuat Samudra bingung adalah; mengapa Brandon masih terkena bully? Bukankah Brandon juga bisa dikatakan sebagai kaum yang lumayan kaya? Walaupun jika dibandingkan dengan geng Laut dan teman-temannya, Brandon tidak ada apa-apanya. Brandon keluar dari dapur dan meletakkan sebuah gelas berisi sirup coco pandan di atas meja ruang tamu. "Diminum, Sam." Ucap Brandon kepada Samudra. Samudra mengangguk pelan, "maaf, jadi ngerepotin." "Enggak kok! Lagipula adanya cuma itu." Jawab Brandon. Setelah cukup lama dalam diam, Samudra mulai bertanya tentang sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya sejak tadi. "Boleh gue tanya sama Lo?" Tanya Samudra setelah menyeruput minumannya. Brandon mengangguk dengan hati-hati, "mau tanya apa?" "Lo..." Ucapan Samudra menggantung begitu saja karena bingung dengan susunan katanya. "Lo 'kan termasuk orang kaya. Kenapa Lo masih jadi target bully Laut dan yang lainnya? Mereka enggak tahu kalau Lo juga kaya?" Sambung Samudra yang terkesan kepo. Brandon menatap heran ke arah Samudra, "aku? Kaya? Kamu enggak salah ngomong gitu?" Samudra mengangguk dengan sangat cepat, "Lo punya rumah sebagus dan sebesar ini. Lo benar-benar kaya tapi rendah hati banget." "Punya rumah kaya gini sama sekali bukan kaya, anak kecil." Samudra maupun Brandon menoleh ke arah sumber suara, di mana seorang perempuan dengan wajah manis berdiri diambang pintu dengan memegang gelas berisi air putih. "Rumah ini enggak sebesar dan sebagus rumah-rumah orang kaya pada umumnya. Walaupun gue tahu definisi kaya itu beda-beda. Rumah ini biasa aja! Kalau Lo punya rumah seperti ini, bukan berarti Lo kaya." Tandas perempuan itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya heran. "Sama satu lagi Brandon! Lo memang enggak kaya, tapi jangan punya mental miskin. Gue udah minta Lo buat ikutan ekskul beladiri. Setidaknya Lo bisa pukul teman Lo balik." Sambung perempuan itu yang berlalu dari hadapan Samudra dan Brandon. Samudra menatap Brandon, "itu Kakak Lo?" Brandon mengangguk dengan cepat, "tumben-tumbenan keluar dari kamar. Biasanya enggak pernah!" "Ah ... iya. Karena pembahasan sensitif kali, ya?" Sambung Samudra sambil mengangguk-anggukkan kepalanya bingung. Samudra pikir, definisi kaya seperti mempunyai rumah yang layak dan bagus. Mengapa harus mempunyai yang lumayan banyak untuk bisa diakui? Mungkin jika untuk dirinya, wajar jika dikatakan miskin. Tapi rumah ini? Brandon? Kenapa masih kurang kaya? "Enggak usah dipikirin, Sam. Aku dulu juga mikir gitu kok. Kenapa aku selalu di-bully, padahal sama-sama sekolah di sekolah yang sama. Semua tetanggaku aja bangga lihat aku di sana. Katanya sekolahan bagus dan enggak sembarang orang bisa masuk. Tapi mereka enggak tahu aja kalau sekolah itu juga punya anak-anak yang terkadang semena-mena. Maka dari itu, Kakakku sejak dulu enggak mau sekolah di sekolah unggulan. Sekolah unggulan kadang sangat kejam katanya. Menyeleksi orang sampai ke titik yang tidak bisa ditentukan. Satu dan satunya itu punya beda standar dalam sebuah penilaian." Ucap Brandon panjang lebar. "Lagipula, biasanya yang jadi target bully, kebanyakan karena kami terlihat lemah dan enggak mungkin melawan mereka. Kaya aku, Aldi, .... Benua. Kita semua terlihat enggak bisa ngapa-ngapain kalau dikerjain. Cenderung bakalan diam dan melakukan apa yang mereka minta. Orang-orang seperti kami ini, lebih suka kedamaian. Jadi, apa yang mereka inginkan, kami lakukan. Semudah itu! Akhir-akhir ini saja kami selamat, karena ada kamu. Walaupun kamu enggak kaya, tapi kamu punya keberanian Sam. Jadi, aku mulai setuju kalau semuanya enggak harus tentang uang." Jelas Brandon menatap Samudra kembali. Samudra yang tidak mau membahas lebih lanjut hanya menganggukkan kepalanya saja, "mau ngerjain tugas sekarang? Udah malam nih." "Astaga, sampai lupa punya tugas yang harus dikumpulkan besok." Ucap Brandon yang menepuk dahinya pelan. "Mau ngerjain di sini?" Tanya Samudra yang akan mengeluarkan bukunya. Brandon menggeleng pelan, "kita ngerjain di gazebo belakang rumah aja. Siapa tahu dapat inspirasi untuk ngerjain. Ada beberapa buku yang harus kita baca, kalau di dalam rasanya makin ngantuk." "Oke." "Aku ambil cemilan dulu aja deh. Kamu lurus aja lewat pintu itu." Perintah Brandon yang menunjuk ke arah sebuah pintu. Samudra langsung berjalan kesana tanpa banyak bicara dan keluar dari rumah tepat di belakang pekarangan rumah Brandon yang masih sangat luas. Ada sebuah gazebo di sana dan juga ayunan yang besar, cukup untuk tiduran satu orang. Halaman belakang rumah Brandon memang idaman. Sambil menunggu Brandon yang mengambil cemilan, Samudra sudah membuka semua buku tugasnya dan memilah tugas-tugas yang perlu untuk dikerjakan terlebih dahulu. Dari semua total mata pelajaran di kelas sebelas ini, hanya satu mata pelajaran saja yang tidak mempunyai tugas, yaitu olahraga. Ya, mata pelajaran yang sangat jarang ada tugasnya. Untunglah tidak ada pergantian jam pelajaran dengan membuat laporan atau kliping seputar olahraga. Samudra malas bangun pagi-pagi hanya untuk nge-print dan jilid. "Itu semua tugasnya?" Tanya Brandon yang baru saja datang dengan membawa beberapa toples berisi cemilan untuk mereka berdua. Samudra mengangguk-anggukkan kepalanya, "gue kira, Lo udah ngerjain. Biasanya 'kan, Lo rajin banget." "Ya ampun, belum sama sekali, Sam. Aku kira enggak separah ini tugas kita selama satu Minggu. Harus banget dikumpul besok?" "Hm ... begitulah!" Jawab Samudra seadanya dengan memberikan senyum terpaksanya. "Kalau Lo enggak mau telat bangun. Mending kita ngerjain sekarang." Sambung Samudra yang sudah mengambil buku paket matematika untuk memulai mengerjakannya. "Matematika dulu?" Tanya Brandon yang tampak alergi melihat deretan angka yang baru saja dibuka oleh Samudra. Samudra mengangguk, "gue cari yang gampang dulu." "Yang gampang gimana ceritanya? Itungan semua, Sam." Keluh Brandon yang prihatin dengan tugas-tugas yang menumpuk di atas meja. "Gini banget sih tugasnya. Sampai bingung mau ngerjain yang mana. Enggak ada yang paham pula. Ekonomi juga gimana ngerjainnya." Keluh Brandon yang merasa pusing setengah mati. Samudra diam-diam tertawa karena melihat ekspresi wajah Brandon yang tertekan. Sebenarnya dia pun sama, hanya saja Samudra lebih memilih untuk menyelesaikannya ketimbang meratapinya. Toh, mau diratapi sampai berjam-jam, tugas itu juga harus dikerjakan dan paginya pun harus dikumpulkan. Jadi, semangat lembur... •••••••••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN