Kilas Balik — 08
# Hadiah Kecil
_________________
SAMUDRA mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Lalu dia duduk di atas ranjang sambil membongkar isi ranselnya, memisahkan pakaian kotor dengan peralatan mandi dan juga buku-bukunya. Terlihat banyak sekali tumpukan buku di atas meja belajarnya, buku yang dipinjamnya dari perpustakaan tadi. Sampulnya sudah dibungkus plastik dengan aroma buku baru yang membuatnya ingin segera membukanya. Samudra memang suka belajar, suka membaca, dan kadang-kadang suka olahraga. Dia manusia serba-bisa. Itulah yang membuat banyak orang itu kepada dirinya.
Dari dalam tasnya ada sebuah buku yang pernah diperdebatkannya dengan seorang perempuan yang memaksanya berkenalan saat olimpiade kemarin. Perempuan itu mengaku-ngaku sebagai penggemar dari penulis Norita Shabi, penulis favoritnya. Walaupun kenyataannya, banyak sekali orang yang mengecam karya penulis itu, tetapi tetap saja bukunya laku keras di pasaran dan selalu menduduki rak buku best seller. Benar-benar kenyataan yang berbanding terbalik dengan ekspektasi tentang buku itu.
Samudra memasukkan buku itu ke dalam rak buku koleksinya; semua buku karya penulis yang sama dan menjadi favoritnya untuk dibaca berulang-ulang. Maklum saja, dia belum punya uang untuk membeli buku yang baru dirilis beberapa hari yang lalu dan pastinya masih sangat hangat dari percetakan namun sudah diserbu oleh penggemarnya yang lain. Sebenarnya, Samudra berencana untuk membeli buku baru. Namun karena ada kepentingan yang sangat mendesak, dia bisa menahan rasa inginnya lebih lama lagi.
Tok... Tok... Tok...
Terdengar suara ketukan pintu dari luar kamarnya. Samudra beranjak dan membuka pintu, terlihat Benua yang berdiri di depannya dengan senyuman lebarnya. Sebuah benda sudah terpasang di telinga Benua, itu tandanya Ayahnya sudah membeli alat itu. Benua langsung memeluk Samudra dengan erat.
"Kamu kenapa enggak bilang kalau sudah pulang?" Tanya Benua dengan wajah sumringah.
Untunglah Ayah dan Ibunya tidak bicara jika dirinya sudah pulang sejak tadi. Mungkin Ayahnya membelikan alat itu terlebih dahulu dan baru memberitahu Benua tentang dirinya yang baru pulang.
"Masuk," ucap Samudra mengajak Benua untuk masuk ke dalam kamarnya.
Benua mengekori Samudra dari belakang dan menatap kamar adik kembarnya itu dengan seksama. Ada banyak sekali baju kotor yang berada di keranjang dan tumpukan buku di atas meja.
"Kamu beli buku?" Tanya Benua sambil menunjuk ke arah tumpukan buku di atas meja belajar Samudra.
Samudra menggeleng pelan, "gue pinjam di perpustakaan tadi. Masih baru semua bukunya. Lo mau pinjam satu?"
"Boleh! Tapi nanti aja deh." Jawab Benua dengan tersenyum. "Tapi, kamu masih mau belajar setelah selesai Olimpiade?" Sambung Benua penasaran.
Samudra mengangguk pelan, "gue mau masuk kuliah kedokteran, Ben. Gue juga harus dapat beasiswa juga supaya enggak bayar kuliah. Jadi gue harus berusaha lebih keras. Apalagi gue dari IPS."
"Kamu sebenarnya sejak awal enggak masuk IPS, 'kan? Kamu cuma mau nemenin aku di kelas," ucap Benua tidak enak.
Samudra terdiam beberapa saat dan menatap buku-bukunya, "mau dari IPA atau IPS, yang penting niat dan usahanya harus total, Ben. Gue yakin dengan kemampuan gue. Bukan karena jurusan yang gue ambil."
"Tapi ... memangnya bisa?"
"Mungkin," jawab Samudra seadanya.
"Kalau misalkan kamu enggak diterima? Ini misalkan,"
Samudra mengetukkan jemarinya ke meja belajarnya, "berarti ada jurusan lain yang sesuai dengan kemampuan gue. Tapi, gue mau berusaha dulu dan soal keterima atau enggak, gue akan pikirkan nanti."
"Kamu beruntung banget deh bisa punya cita-cita. Aku masih bingung mau gimana di masa depan. Apa aku bisa kaya kamu yang menentukan apapun yang kamu mau," lirih Benua dengan wajah sedih.
Samudra menepuk bahu Benua dengan pelan, "pasti! Lo bisa menentukan apapun yang Lo inginkan. Kita berdua sama, Ben. Apapun keputusan Lo, itu hak Lo. Jangan menganggap kita berdua beda."
Benua memberikan senyuman tipis ke arah Samudra dan mengangguk. Setiap kali bicara dengan Samudra, Benua akan mendapatkan sedikit pencerahan. Walaupun sebenarnya dia masih bingung ingin menjadi apa. Bahkan belum terpikirkan olehnya sama sekali. Apa mungkin, orang cacat sepertinya bisa berkembang? Hidup dengan orang normal saja sudah syukur. Itu yang selalu ada di dalam benak Benua; dia merasa beda dengan makhluk lainnya.
Karena Benua merasa bahwa dirinya mempunyai kekurangan yang kadang membuat orang lain mengejeknya, mengoloknya, bahkan mem-bully seperti Laut. Sebenarnya, Benua ingin menceritakan tentang perbuatan Laut padanya dan Aldi kemarin. Namun, dia tidak ingin Samudra mendapat masalah karena berhadapan dengan Laut. Sudah cukup Samudra dihukum karenanya. Benua tidak mau menambah daftar pelanggaran Samudra lagi.
"Enggak ada yang Lo sembunyikan dari gue, 'kan?" Tanya Samudra tiba-tiba.
Benua menggeleng dengan cepat, "e-enggak kok! Memangnya apa?"
Samudra mengangkat kedua bahunya tidak tahu, "siapa tahu, 'kan? Gue ini saudara Lo, kalau ada masalah yang sekiranya Lo enggak bisa selesaikan sendiri. Tolong! Tolong bilang sama gue. Dengan Lo bilang, bukan berarti Lo lemah, Ben. Ngerti?"
Benua mengangguk pelan, dia sedikit merasa bersalah karena berbohong kepada Samudra yang begitu sangat mengkhawatirkannya.
"Andaikan aku bisa bela diri kaya kamu," ucap Benua dengan wajah sedihnya. "Pasti aku enggak bakalan nyusahin kamu." Sambungnya lagi.
Samudra tertawa pelan, "kalau bisa pun, Elo mana mau nyakitin orang! Enggak usah sok mau belajar bela diri, kalau Lo enggak mau nyakitin lawan Lo. Cukup gue aja yang jago! Biar dilihatin cewek-cewek di sekolah."
Benua tertawa mendengar candaan Samudra yang terkadang terdengar garing. Samudra memang tidak cocok melawak atau menghibur seseorang. Setiap kali Samudra melakukannya, satu-satunya yang membuat Benua tertawa adalah ekspresi wajah Samudra yang lucu.
"Udah," ucap Samudra yang paham kemana arah tatapan Benua. "Gue yang lucu 'kan? Bukan lawakan gue?" Sambungnya dengan wajah yang malas.
Benua mengangguk dengan cepat, "makasih sudah dihibur."
"Mana ada," jawab Samudra judes.
"Oh ya, nanti malam aku sama Ayah mau ke angkringan depan. Karena kemarin malam Ayah kalah taruhan, jadi harus traktir nasi kucing deh. Mau enggak?" Tawar Benua kepada Samudra yang sedang menjemur handuknya digantungan.
"Nanti malam?" Tanya Samudra yang mendapat anggukan dari Benua dengan cepat. "Gue mau pergi ke rumah Brandon. Tugas gue sama dia 'kan belum dikerjain sama sekali. Kenapa Lo enggak mau sekelompok sama gue aja sih?" Gerutu Samudra dengan wajah malas.
Benua menggeleng pelan, "soalnya 'kan susah. Kamu juga enggak masuk. Gimana bisa sekelompok. Kata Pak Raken, satu kelompok harus ada di kelas. Yang olimpiade nanti satu kelompok dengan yang olimpiade juga. Gitu!"
Samudra menghela napas panjang. Baru saja selesai berjuang untuk olimpiade, sudah disuguhi dengan tugas-tugas yang menumpuk. Walaupun Samudra suka belajar, tetapi tidak harus mendapatkan tugas sebanyak ini juga, 'kan?
Benua beranjak dari duduknya, "aku ambilkan buku catatanku dulu, ya. Siapa tahu bisa bantu kamu sama Brandon ngerjain tugasnya. Besok harus dikumpulin, 'kan?"
Samudra hanya mengangguk dengan pasrah. Mengapa guru-guru di sekolahnya sangat tega. Bahkan mereka—tim Olimpiade—baru saja pulang. Tetapi paginya sudah diminta untuk menyelesaikan semua tugas selama satu Minggu yang terlewat. Intinya, jika ingin bersekolah di SMA Lencana Puri, harus mengikuti semua peraturan yang ada. Materi atau tugas yang dibebankan selama satu Minggu, harus selesai dalam kurun satu Minggu itu. Jika tidak, maka kolom nilai atau bahasan materi pun akan kosong. Mungkin itulah kenapa SMA itu menjadi sekolah unggulan.
Rasanya tidak percaya bisa menjadi siswa di salah satu SMA unggulan di negara ini. Sekolah yang mencetak siswa-siswi berprestasi dan memiliki bakat luar biasa. Mungkin Samudra pun sama, dia adalah salah satu siswa yang menjadi piala emas sekolah. Siswa serba-bisa yang berkalung beasiswa dan masuk dengan jalur undangan. Samudra memang siswa yang istimewa. Ralat, sangat istimewa.
Samudra menatap deretan piala dan piagam yang menghiasi kamarnya. Terlihat juga tumpukan buku dan juga beberapa lukisan di kanvas berada di dekat kasurnya yang berada di lantai. Selama bertahun-tahun, Samudra selalu mendapatkan penghargaan setiap kali maju sebagai peserta lomba. Orang-orang biasa mengatakannya sebagai bakat alamiah Samudra—menjadi juara dalam semua perlombaan. Dia jarang kalah! Maka dari itu dia masih bisa bersekolah dengan santai tanpa takut akan dikeluarkan jika berbuat onar. Semua itu karena dia dimanjakan dengan kata maklum.
Setidaknya, dia bisa melindungi orang-orang terdekatnya atau orang yang memerlukan bantuannya tanpa takut dikeluarkan dari sekolah. Dia akan sangat berterimakasih kepada bakat alaminya itu. Namun, Samudra juga was-was jika suatu hari nanti ada yang mengalahkannya dalam lomba. Apa mungkin sekolah akan tetap memberikan toleransinya? Rasa maklumnya?
"Sam," panggil Benua yang membuat Samudra kaget. Laki-laki itu sedang melamun dan tidak sadar dengan kedatangan Benua di kamarnya lagi.
"Ya," jawab Samudra.
Benua meletakkan buku-buku tulisnya dengan berbagai nama mata pelajaran disampulnya di atas meja belajar Samudra, tepat disamping buku pelajaran yang Samudra pinjam di perpustakaan tadi.
"Ini buku-buku tulisku. Jangan sampai hilang, ya." Ucap Benua memperingatkan.
Samudra hanya menganggukkan kepalanya sebelum Benua keluar dari kamarnya. Setelah itu Benua keluar dengan tersenyum dan mengatakan; selamat mengerjakan tugas! Benua memberikan senyuman mengejek ke arahnya. Samudra hanya membalas dengan menjulurkan lidahnya. Ah, mereka seperti anak kecil yang masih suka bertengkar. Walaupun kadangkala, mereka akan benar-benar berdebat tentang beberapa hal.
Biasanya, mereka akan mulai berdebat ketika Benua sedang diganggu oleh orang lain, namun tidak mau meminta bantuan dari Samudra. Lalu Samudra tetap bersikeras untuk membantu dan terjadilah adu pendapat yang kadangakala membuat keduanya marah. Semua itu tidak bertahan lama, hanya saat itu saja mereka marah dan saling mengabaikan. Setelah itu, mereka kembali lagi. Seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
Terkadang, Samudra menyesali—mengapa Benua bisa dengan mudah memaafkan orang lain tanpa mau membalasnya. Benua selalu bilang padanya, dengan memaafkan hati terasa lebih baik. Tetapi yang terjadi padanya malah sebaliknya, dengan diam saja dan membiarkan semua terjadi, membuatnya sangat sakit. Itulah mengapa Samudra bersedia menjadi algojo yang siap sedia menggunakan tangannya untuk menghajar siapapun yang menyakiti Benua. Semua itu bukan hanya karena Benua saudara kembarnya, tetapi karena Samudra juga bisa merasakan rasa sakit yang Benua rasakan.
Ya, jangan salahkan Samudra jika membungkam orang-orang yang berbuat jahat kepada Benua. Itu sudah menjadi kodratnya...
•••••••