bc

Diduakan Suami, Disayang Tuan Muda

book_age18+
532
IKUTI
7.7K
BACA
revenge
love-triangle
HE
heir/heiress
blue collar
drama
bxg
city
office/work place
like
intro-logo
Uraian

Niat hati memberi kejutan untuk sang suami, Medina justru lebih dulu diberi kejutan setelah pria yang hampir empat tahun dia nikahi, datang membawa perempuan lain. Berterus terang tentang perselingkuhan, suami Medina memintanya untuk ikhlas memiliki madu, dan karena tak mau didua, Medina memutuskan untuk minggat. Pergi tanpa tujuan, takdir mempertemukan Medina dengan Bayanaka Cakra—pria tampan yang tak pernah dia temui sebelumnya, dan karena terlibat sebuah insiden, dia pada akhirnya tinggal di apartemen pria itu. “Karena saya berhutang budi, kamu boleh minta apa pun dari saya.” Diberi keuntungan setelah membuat Bayanaka berhutang budi, hal apakah yang akan Medina minta? Balas dendam atau meminta bantuan bebas dari sang suami, hal manakah yang akhirnya dipilih Medina?

chap-preview
Pratinjau gratis
Bagian 1
“Mas Fajar pasti senang banget sama kejutan yang aku kasih.” Duduk dengan wajah berseri, ucapan tersebut keluar dari mulut perempuan cantik yang sudah hampir setengah jam menunggu kepulangan sang suami. Berbeda dari biasanya, malam ini perempuan tersebut memiliki kejutan untuk sang suami. Bukan hal sepele, kejutan yang ingin dia berikan adalah sesuatu yang besar yaitu; kabar kehamilan yang dia alami. Almedina Swara. Perempuan yang malam ini cantik dengan dress bermotif bunga, adalah dia. Sengaja berdandan agar kejutan yang dia berikan totalitas, Medina berharap suaminya akan sangat bahagia karena bukan sebentar, dia dan Fajar—sang suami sudah menunggu hadirnya buah hati, selama empat tahun. “Jadi enggak sabar deh pengen nunjukin testpack yang aku pake tadi pagi,” ucap Medina lagi. “Penasaran juga gimana reaksi Mas Fajar.” Terus menunggu dengan sabar, itulah Medina hingga sekitar pukul tujuh malam, suara bel terdengar dari pintu depan—membuatnya beranjak dengan segera. Keluar dari kamar, Medina berjalan menuju ruang tamu depan untuk kemudian membukakan pintu, dan tak salah dugaan, yang datang adalah; sang suami, Fajar. “Mas, akhirnya kamu pulang,” ucap Medina dengan senyuman merekah. “Aku tungguin banget lho kamu daritadi.” “Tumben?” tanya Fajar. “Kok tumben sih? Perasaan setiap hari aku tungguin kamu deh,” protes Medina. “Kalau enggak duduk di kursi depan, aku nunggu di depan tv. Lupa?” Tak menimpali, Fajar hanya tersenyum sebagai respon sementara Medina sendiri lekas mengajaknya masuk. Namun, alih-alih melangkah ke dalam rumah, Fajar justru diam—membuat Medina yang melangkah lebih dulu, berbalik dengan perasaan heran. “Lho, Mas, kok diem sih?” tanya Medina. “Ayo masuk. Ngapain kamu di situ?” “Aku sebenarnya pengen ngomong sesuatu sama kamu, Medina, dan ini penting.” “Lho, kok sama sih?” tanya Medina—kembali mendekati sang suami. “Aku juga pengen ngomongin sesuatu sama kamu, makanya aku nungguin kamu banget daritadi.” “Oh ya?” tanya Fajar dengan raut wajah yang terlihat gugup. “Kamu mau ngomongin apa emang?” “Kamu sendiri mau ngomongin apa?” Medina balik bertanya. “Kamu dulu deh, nanti setelah kamu, giliran aku. Gimana?” “Boleh,” ucap Fajar. “Jadi apa yang mau kamu omongin?” tanya Medina penasaran. “Tegang banget muka kamu kaya lagi sembunyiin sesuatu.” “Euh, anu … itu ak-“ “Bisa cepetan enggak, Mas, ngomongnya? Pegal lho aku nunggu di mobil.” Belum selesai Fajar bicara, suara perempuan lebih dulu terdengar dari arah mobil—membuat atensi Medina mau pun Fajar beralih. Di sana, seorang perempuan berdiri sambil menenteng tas dan entah siapa perempuan tersebut, Medina tak tahu. “Mas, perempuan itu siapa?” tanya Medina pada Fajar. Mulai tak tenang, itulah perasaannya sekarang karena semenjak menikah, ini adalah kali pertama Fajar membawa perempuan asing ke rumah dan yang paling membuat Medina berdebar adalah; perempuan tersebut terlihat sedang mengandung. “Kenalkan, saya istri keduanya Mas Fajar dan saya sedang mengandung anaknya dia. Kalau kamu tanya mau apa saya ke sini, jawabannya adalah; saya datang untuk tinggal karena sama seperti kamu, saya punya hak untuk tinggal di sini.” Bak disambar petir di siang bolong, itulah Medina setelah sebuah jawaban diterimanya dari perempuan yang malam ini datang bersama Fajar. Tanpa ada rasa malu, takut, atau semacamnya, perempuan tersebut berucap dengan sangat percaya diri—seolah perkataannya tersebut bukanlah hal yang menyakitkan untuk Medina. Padahal, gara-gara ucapan tersebut, Medina dilanda shock bahkan kakinya kini tiba-tiba saja terasa tak berpijak. “Mas,” panggil Medina dengan suara yang mulai gemetar. Menatap Fajar intens, dia buka suara. “Maksud perempuan itu apa? Ini enggak serius, kan? Perempuan itu bukan istri kedua kamu, kan? Dan dia … di-dia enggak hamil anak kamu, kan, Mas?” “Medina aku-“ “Jawab!” bentak Medina yang tiba-tiba saja loss control. “Aku butuh penjelasan kamu sekarang.” “Iya. Dia istri kedua aku dan namanya Rosa,” ucap Fajar pada akhirnya—membuat Medina tak kuasa menahan cairan bening di pelupuk mata. “Aku sama dia udah menikah empat bulan lalu, dan sekarang dia mengandung anak aku. Kabar ini pasti mengejutkan kamu, tapi aku harap kamu terima karena aku nikahin Rosa demi punya anak yang enggak pernah kamu kasih. Pernikahan ini juga atas perintah Mama karena sama seperti aku, dia pengen cepat punya cucu sementara kamu enggak kunjung hamil. Jadi terima Rosa oke? Kalian bisa hidup damai di sini dan-“ “Gila kamu, Mas!” teriak Medina dengan air mata yang mulai banjir. “Kamu nikah tanpa sepengetahuan aku dan sekarang kamu minta aku nerima dia. Enggak punya otak kamu hah?” Menangis, mengamuk, lalu melampiaskan amarah yang muncul secara spontan, selanjutnya itulah yang Medina lakukan. Tak terima dengan apa yang Fajar perbuat, sumpah serapah dia lontarkan hingga setelah puas memaki, Medina pergi menuju kamar. Tak peduli bagaimana nasibnya setelah ini, Medina tanpa ragu menurunkan koper besar miliknya untuk kemudian dia isi dengan semua pakaian yang dia punya. Lebih baik pergi daripada tinggal serumah dengan madu, itulah yang ada di pikiran Medina karena demi apa pun dia tak sudi berbagi suami. “Bisa-bisanya Mas Fajar sejahat ini sama aku, Ya Tuhan,” lirih Medina di sela kegiatannya mengemas pakaian. “Dia janji buat setia sama aku, tapi sekarang dia malah duain aku. Sakit banget.” Tak henti menangis karena rasa sakit yang kini menjalar di seluruh tubuh, itulah Medina hingga setelah beberapa menit di kamar, dia keluar sambil menggerek koper. “Medina, kamu mau ke mana?” tanya Fajar yang dengan segera menghampiri. “Jangan pergi, kita bisa bicarain semuanya baik-baik.” “Enggak ada yang perlu kita bicarain lagi, Mas. Kamu khianatin aku dan itu berarti kamu mau kita pisah.” “Medina-“ “Aku lebih baik mati atau pergi daripada harus hidup dengan madu. Enggak sudi aku, Mas.” Tak menjawab, Fajar diam dan momen tersebut dimanfaatkan Medina untuk pergi. Menarik koper besarnya, Medina mengabaikan teriakan sang suami. Terus berjalan menjauh dari rumah, langkahnya diiringi tangis. Meskipun sakit, setitik harapan dirinya akan dikejar oleh Fajar, muncul. Namun, sial, sang suami tak melakukan hal tersebut sehingga Medina pun mempercepat langkah. Keluar dari pintu komplek, Medina berhenti di dekat post satpam. Menatap lingkungan sekitar dengan kedua mata yang basah, rasa bingung kini melanda. “Ya Tuhan, aku harus ke mana sekarang? Aku bahkan enggak punya orang tua yang bisa aku jadiin tujuan pulang.”

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.7K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.3K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.5K
bc

TERNODA

read
198.6K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
57.1K
bc

My Secret Little Wife

read
132.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook