1. Kesialan Di Pagi Hari
Dering suara alarm dari jam beker butut terdengar begitu nyaring hingga ke telinga siapa pun yang ada di kamar kos sederhana berukuran lima kali lima meter tersebut. Seorang wanita yang tidur di pojokan kamar dengan tubuhnya yang terbungkus selimut segera meraba-raba di sekitarnya dengan mata terpejam, mencari dimana benda penganggu tidurnya itu berada.
"Aaaaarrgh .... " teriaknya saat apa yang ia cari tak juga ia dapatkan.
"Ya Tuhan, kau ini sungguh mengangguku!" umpat teman satu kamarnya yang terganggu dengan teriakan wanita di sampingnya.
"Cepat matikan alarmmu, Tiya! Aku baru saja tidur setengah jam dan jam beker bututmu ini sungguh menggangguku!" umpat lagi teman kos Tiya yang bekerja sebagai pemandu karaoke di sebuah rumah karaoke terkenal yang ada di kota mereka. Dia selalu pulang pagi, untuk itulah dia selalu marah ketika alarm Tiya berbunyi.
"Iya, Zee. Akan segera aku matikan! Diamlah!" sahut wanita yang bernama Tiya itu dengan suara seraknya khas bangun tidur.
Terpaksa! Sungguh sangat terpaksa Tiya membuka matanya yang masih terasa lengket. Ia kucek-kucek ke dua bola matanya untuk membuat kelopak matanya bisa terbuka seutuhnya, tapi oh ... penyakit malas itu memang paling susah untuk diobati. Rasanya badan Tiya seolah enggan untuk beranjak dari tempat tidur ternyamannya itu.
Dan jam beker itu pun sudah berhenti bernyanyi sebelum wanita itu berhasil mengumpulkan seluruh nyawanya kembali.
"Dimana aku meletakkan jamku? Ya Tuhan, wanita sexy di sebelahku ini akan segera membunuhku jika jam itu berbunyi lagi," gerutu Tiya sambil celingukan mencari dimana benda berbentuk kotak dengan gambar hello kitty pink di tengahnya itu berada.
Tiya meraba dan terus meraba, ia singkap pula bantal, guling dan selimut siapa tahu benda keramat itu tertimbun di salah satu benda tersebut.
Kenapa itu benda keramat? Iya, jam beker itu adalah pemberian dari ibunya, jam yang akan Tiya jaga seperti ia menjaga nyawanya. Jam sebagai simbol agar Tiya selalu mengingat akan waktu yang tidak akan bisa untuk dipukul mundur, "Gunakan waktumu dengan sebaik mungkin, Tiya! Berbuatlah baik dan bermanfaat untuk orang di sekitarmu." Begitu pesan ibu yang kini tinggal berjauhan dari Tiya.
"Ough ... Tuhan, aku sangat merindukan ibu ... " ujar Tiya sembari menyandarkan tubuhnya di tembok kamar.
Dan ....
"Tiyaaaa! Matikan bekermu!" teriakan Zeesha membuat Tiya seketika berdiri. Jam keramat itu kembali berbunyi nyaring.
Kebingungan, ia menggelung rambut ikal panjanganya asal-asalan seraya celingukkan mencari sumber suara.
"Ya Tuhan, dimana aku menaruh jamku?!" tanya Tiya sembari mengingat-ingat dimana jam itu ia letakkan. Sementara itu, Zeesha terlihat menutup wajahnya dengan bantal untuk meredam suara alarm yang terasa memekakkan telinganya.
Tiya meloncat melewati tubuh Zee yang lebih besar dari dirinya. Hampir saja ia jatuh terjungkal saat kakinya mendarat di lantai dengan cukup kencang.
"Jam kitty ku sayang, where are you?" Tiya masih belum dapat menemukan. Namun, jika didengar dari suaranya, jam itu sepertinya ada ....
Tiya membungkukkan badannya.
"Nah kan! Dasar nakal kau ya!" omel Tiya saat mendapati jam itu terjatuh di bawah ranjang.
"Kasihan, kau pasti jatuh karena aku tendang ya? Maafkan aku, Kitty!" Tiya menciumi jam itu setelah ia mematikan alarmnya.
"Ough ... Tuhan! Sudah jam tujuh kurang seperempat? Matilah aku! Hari ini aku ada rapat penting bersama Pak Alex! Kitty, kau diamlah di sini ya! Aku harus segera ... "
Diletakkanya si kitty di atas meja.
Tiya kelabakan, ia ambil handuk yang menggantung pada hanger yang terpasang di dekat kamar mandi kos-kosannya.
"Cuci muka saja atau Pak Alex akan membunuhmu jika kau datang terlambat, Tiya!" Tiya mengomel tiada henti.
**
"Tiya ... Sayang ... " panggil seorang lelaki bernama Jecki, ia tinggal di kosan yang ada di seberang kos-kosan Tiya berada.
"Hm ... aku terburu-buru. Maafkan aku!" sahut Tiya dengan langkahnya yang memburu. Dia bahkan tidak menatap wajah Jecki sedikit pun.
"Aku tahu, ayo akan aku antar," kata Jecki seolah memberi angin segar untuk Tiya.
"Benarkah?" tanya Tiya yang seketika menghentikan langkahnya. Mata wanita itu terlihat berbinar-binar.
Kantor dan kosan Tiya memang jaraknya lumayan jauh. Wanita itu terbiasa berangkat pukul setengah tujuh pagi setiap harinya, tapi sial pagi ini ia bisa bangun kesiangan.
"Hm ... apa sich yang tidak buat dirimu?!" jawab Jecki dengan gombalan mautnya. Lelaki itu tersenyum sambil mengedipkan satu matanya dengan genit.
"Terima kasih, Jecki," ucap Tiya kemudian mencubit pipi Jecki dengan gemas.
"Ya Tuhan, aku tidak akan mandi tujuh hari tujuh malam kalau begini," ujar Jecki sambil mengelus-elus pipinya.
"Ah kau ini bisa saja. Ayo buruan! Aku sudah terlambat."
Jecki membonceng Tiya ke kantor dengan motosportnya yang berwarna merah menyala.
Untung saja aku pakai celana panjang pagi ini. Pikir Tiya.
"Pegangan!" pinta Jecki.
Setelah sekian purnama ia mengejar Tiya, ini kali pertamanya Jecki berhasil membawa Tiya pergi bersamanya. Ya meski hanya mengantar wanita itu sampai ke kantor, tapi itu sudah menjadi hal yang membahagiakan untuk dirinya. Dan dalam hati lelaki berkulit hitam manis layaknya artis Arya Saloka itu berdoa, mudah-mudahan Tiya bangun kesiangan terus setiap harinya. Doa jelek mana mungkin didengar Tuhan?! Umpat Jecki dalam hati saat menyadari kekonyolannya.
"Jecki, ayo lebih kencang lagi!" seru Tiya seraya merapatkan pelukannya pada lelaki itu.
"Siap, Bos!" kata Jecki yang lantas menambah kecepatan kuda besinya.
"Tiya, nanti malam kita dinner ya," lanjutnya dengan suara yang kencang karena takut tidak terdengar.
"Iya," sahut Tiya.
Wanita itu tengah sibuk memeriksa ponselnya karena ada satu panggilan tak terjawab dari ibunya.
"Tumben-tumbenan langsung diiyain," gumam Jecki.
"kau bilang apa?" tanya Tiya dengan suara kencang. Wanita itu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas dan memeluk Jecki seperti yang ia lakukan sebelum ini.
"Tidak ada, Tiy," jawab Jecki.
**
Hentakan heels Tiya berbenturan dengan cukup kuat saat ia berjalam masuk ke dalam tempatnya mencari nafkah. Ketika melewati lobby kantor, Tiya menyapa semua rekan sejawatnya dengan sopan dan senyum ramah yang selalu identik dengan dirinya.
"Tiya, kau baru datang?" tanya Gusman salah satu penggemar rahasia Tiya.
Mereka berdua kini berada dalam lift yang sama.
"Hm ... aku kesiangan, Gus," jawab Tiya seraya menyisir rambut ikalnya yang berantakan karena diterbangkan oleh tiupan angin sepanjang perjalanannya bersama Jecki.
"Tumben. Lalu tadi siapa yang mengantarmu? Dia pacarmu?" tanya Gusman. Jiwa ingin tahunya mulai beraksi.
"Bukan," jawab Tiya singkat.
"Syukurlah," sahut Gusman sambil mengelus dadanya.
Lega!
"Hah? Syukur?" tanya Tiya tidak mengerti. Wanita itu mengerutkan keningnya seraya menatap mata Gusman yang sipit karena ia keturunan Chines dari Ibunya.
"Maksud aku ... "Garuk-garuk kepala. Mencari jawaban yang pas dan tidak mempermalukan dirinya.
"Ting ... " Suara lift berbunyi. Dan tak lama setelah itu, bilik kecil itu pun terbuka sempurna.
"Dah, Gus!" seru Tiya seraya menyeret langkah kakinya keluar dari lift dan melambaikan tangannya pada Gusman.
"Syukurlah!" kata Gusman sembari mengelus-elus dadanya.