BAB 5: PAGI PERTAMA DI DESA

1701 Kata
S E L A M A T M E M B A C A * * * Rinjani membuka pintu rumah dengan perasaan senangnya. Dia menghirup udara pagi dalam-dalam. Rasanya begitu segar, sangat berbeda dengan udara di kota. Dimana setiap harinya yang dia hirup adalah polusi, sedangkan didesa itu dia benar-benar bisa merasakan udara yang begitu segar. “Mau pergi jalan-jalan?” Tiba-tiba Arjuna sudah berdiri di belakangnya. Rinjani merasa sedikit terkejut dengan kehadiaran abangnya yang tiba-tiba. Namun dia tertarik dengan tawaran abangnya. “Mau !!!” jawab Rinjani dengan atusias. Arjuna pun mengeluarkan motornya dari dari dalam rumah. “Abang tidak kerja?” tanya Rinjani. Kenapa justru Arjuna mengajaknya jalan-jalan. “Kalau minggu, puskesmas libur. Hari ini Abang bisa temani Jani kalau mau jalan-jalan.” Rinjani mengangguk faham. Dia langsung naik keatas motor yang sudah menyala. Kemudian motor pun mulai berjalan dengan pelan. Rinjani menikmati udara yang segar dengan pemandangan yang indah lumayan untuk menyegarkan mata. Saat melewati jalan di tengah area persawahan, Rinjani minta berhenti sebentar. “Berhenti Bang,” Rinjani menepuk pelan pundak Arjuna. Arjuna pun menghentikan laju motornya. “Kenapa?” “Mau foto-foto dulu, bagus pemandangannya.” Rinjani langsung menyerahkan ponselnya pada Arjuna, dia berjalan ketepi jalan untuk berpose. Arjuna pun turun dari kendaraannya dan bersiap untuk menjadi forografer dadakan untuk adiknya. “Yang bagus Bang soalnya mau Jani Up,” ucap Rinjani. “Yang bagus itu yang bagaimana. Yang penting kan kalau di Up orang-orang tau Jani sedang ada di sawah. Yang penting ada sawahnya dan Jani nya. Sudah bagus kalau kata Abang itu.” Rinjani menggerutu mendengar jawaban Arjuna. Dia berjalan mendekat kearah Abangnya. Memang abangnya itu sedikit payah kalau di minta untuk mengambilkan gambar tidak estetik sama sekali. “Abang salah ambilnya, ini kelihatan pendek Jani nya. Abang harus jongkok sedikit, terus fotonya dari bawah, ini ponselnya di balik. Nanti jadi bagus fotonya.” Rinjani kembali memberikan ponselnya pada Arjuna. Meminta abangnya itu untuk mempotret ulang. Arjuna pun hanya bisa pasrah mengikuti keinginan Rinjani. Berkali-kali mengulang fotonya namun masih saja mendapatkan protes. Entah Arjuna yang benar-benar payah atau Rinjani yang terlalu menuntut untuk hasil foto yang maksimal. “Jalan-jalan pagi Mas Dokter?” salah seorang bapak-bapak yang ingin pergi kesawah menyapa Arjuna. “Iya Pakde, mau kesawah Pakde?” tanya Arjuna balik dengan ramahnya. “Iya Mas Dokter. Ini siapa kok cantik sekali. Saya belum pernah lihat sebelumnya?” Tanya bapak itu saat melihat Rinjani. “Ooo ini Adik saya Pakde, namanya Rinjani.” Rinjani pun menyalami bapak itu sebagai bentuk kesopanan. “Datang dari kota?” tanya bapak itu lagi. “Iya Pakde, datang kemarin.” Kali ini Rinjani yang menjawab. Setelah sedikit berbasa basi bapak itupun pamit untuk melanjutkan niatannya pergi ke sawah. Arjuna dan Rinjani pun demikian, mereka kembali melanjutkan niatan mereka untuk pergi berkeliling. *** Setelah puas berkeliling Arjuna dan Rinjani kembali pulang. Matahari sudah tinggi, sebelumnya mereka juga sudah mampir untuk sarapan nasi pecel di pinggir desa. Sampai di depan rumah ada beberapa ibu-ibu yang tengah duduk santai di teras rumah mereka. Arjuna dan Rinjani merasa bingung ada apa. Kenapa ramai-ramai di rumahnya. “Selamat pagi ibu-ibu semua,” sapa Arjuna saat motornya berhenti di depan rumah. “Selamat pagi Pak Dokter,” jawab ibu-ibu itu dengan serempak dengan ramah. “Tumben ramai-ramai disini, ada apa Bu?” tanya Arjuna lagi. “Ini lho Pak Dokter habis bersih-bersih. Biasa kerja bakti hari minggu,” seorang ibu menunjuk sapu di tangannya. Dan di benarkan oleh ibu-ibu yang lain. “Oalah kerja bakti Bu, saya kira ada apa.” Arjuna dan Rinjani ikut duduk dan berbincang bersama ibuk-ibu disana. “Ini to yang katanya adiknya Pak Dokter datang dari kota kemarin?” salah seorang ibu yang duduk di dekat Rinjani bertanya. Rinjani tersenyum dan menjawabnya dengan sopan. “Iya Bu, saya Rinjani saudara kembarnya Bang Juna. Panggil saja Jani.” Rinjani menyalami dan berkenalan dengan ibu-ibu di sana. “Oalah kembar ternyata, satu cantik satu ganteng.” Sahut seorang ibu yang terlihat lebih tua dari yang lain. Rinjani hanya tersenyum sopan, tidak tau harus menanggapi bagaimana. “Ini tadi jalan dari jalan depan sana Bu?” kali ini Arjuna yang bertanya. “Nggih Pak Dokter, dari depan, jalan kesini. Nanti habisnya di dekatnya gorong-gorong sana. Kalau bapak-bapak itu di dalam katanya gotong royong ngecet gedung.” Ibu-ibu yang menjawab pertanyaan Arjuna kemudian menunjuk kearah gedung kecil yang terletak tepat di depan rumahnya itu. Memang terdengar suara-suara dari dalam dan pintunya terbuka. “Lah memang mau ada acara apa Bu, bersih-bersih gedung?” Rinjani menyahut. “Katanya mau ada mahasiswa dari kota yang datang kesini.” “Oiya saya ingat. Kemarin Pak Lurah bilang mau ada penyuluhan pertanian untuk wilayah kars Bu…” Sahut Arjuna ikut dalam obrolan. Tiba-tiba obrolan mereka terhenti saat mendengar suara jatuh yang lumayan keras dari dalam gedung. Suasana seketika terdengar gaduh. Arjuna langsung berlari masuk kedalam gedung di ikuti Rinjani dan ibu-ibu yang penasaran tentang apa yang terjadi. Sampai di dalam gedung Rinjani melihat Arjuna dan beberapa bapak yang lain tengah membantu seorang bapak yang terbaring di lantai. Rinjani melihat bapak-bapak itu tengah merintih kesakitan, sepertinya jatuh dari tempat yang tinggi. “Jani tolong pegang sebentar,” Rinjani langsung bergegas mendekat kearah Arjuna dan ikut membantu abangnya itu memberikan pertolongan pertama. “Jaga dulu, Abang mau ambil kotak P3K di rumah.” Rinjani mengangguk dengan patuh. Beberapa orang yang berkerumun di minta untuk menyisih sebentar agar tidak terlalu pengap. Seorang bapak yang jatuh tadi tetap berada di posisinya, tidak di pindahkan kemana-mana karena takut adanya cedera serius sebelum di lakukan pemeriksaan. “Tadi jatuhnya bagaimana Pak?” tanya Rinjani pada seorang laki-laki yang berdiri tak jauh dari tempatnya. “Tengkurap Mbak, pas nge cet di atas. Kaya e kepleset jadinya jatuh.” “Tinggi jatuhnya?” tanya Rinjani lagi. Dia mengamati keseluruhan tubuh bapak itu, ada sedikit ruam memar di pergelangan kakinya. Sepertinya jatuh dengan kaki yang bertumpu lebih dulu. “Tinggi Mbak, lha itu tangganya.” Tunjuk laki-laki itu pada tangga panjang yang tersandar di tembok. Jika di lihat memang tinggi, tangga itu ujungnya mencapai dinding teratas jadi kalau jatuh ya lumayan pasti. Arjuna sudah datang dengan kotak P3K di tangannya. Di ikuti seorang laki-laki di belakangnya. “Kakinya memar Bang,” ucap Rinjani. Menunjuk pergelangan kaki yang mulai meruam. Arjuna memberikan satu gulung perban elastis kepada Rinjani, Rinjani pun segera membalut pergelangan kaki bapak itu. Sedangkan Arjuna memeriksa tubuh yang lain dengan stetoskopnya. Kedua saudara itu dengan cekatan memberikan pertolongan pertama pada bapak yang jatuh dari tangga itu. “Ada cedera yang lain?” tanya Rinjani. “Sepertinya tidak ada, semuanya masih baik-baik saja. Kecuali kakinya…” “Iya Bang, kayanya tengkurapanya itu setelah jatuh. Jadi organ dalam bagian d**a tidak terbentur keras, cuma pergelangan kaki yang sedikit serius.” “Semoga memang hanya syok dan memar.” Rinjani kemudian meminta segelas air minum untuk korbannya itu. Seorang ibu-ibu datang membawakan segelas air putih dan memberikannya pada Rinjani. Kemudian Rinjani meminumkannya dengan perlahan. “Bapak bisa dengar suara saya?” panggil Rinjani pelan. “Iya…” ucap bapak itu dengan pelan. “Pindahkan saja dulu Bang, kerumah. Nanti kalau syoknya sudah mendingan bisa di bawa pulang…” Arjuna setuju, karena memang rumahnya yang paling dekat dengan lokasi kejadian. “Bapak-bapak, bisa tolong di bantu bawa ke rumah saya.” Tanpa di minta dua kali bapak-bapak yang ada disana langsung bergegas membantu mengangkat yang jatuh tadi, dengan perlahan dan membawanya kerumah Arjuna. Ada sebuah dipan bambu di depan rumah, Arjuna meminta bapak tadi di letakkan di sana. “Terimakasih,” ucap Arjuna. Setelah itu, mereka semua bubar dan kembali melanjutkan pekerjaan yang masih belum selesai tadi. Sedangkan ibu-ibu ada yang kembali duduk-duduk di depan rumah sambil menjaga tetangganya yang masih syok ada juga yang mulai membersihkan halaman sekitar gedung. Ada yang menyapu dan ada juga yang membersihkan rumput. Semua bekerja sama saling membantu untuk bersih-bersih. Arjuna melihat kepala desanya datang, keluar dari gedung dan berjalan kearahnya. “Silahkan duduk Pak Lurah,” Arjuna mempersilahkan Rama untuk duduk bersamanya dan Rinjani di teras. “Bagaimana kondiri Pakde Sardi Mas Juna?” tanya Rama. Dia datang bersama Arjuna tadi saat mendengar kabar kalau ada yang jatuh dari tangga saat kerja bakti. Setelah menghimbau warganya untuk selalu berhati-hati, Rama datang kerumah Arjuna untuk mengetahui kondisi salah satu warganya. “Sejauh ini tidak ada yang perlu di khawatirkan Pak Lurah. Tapi sepertinya kakinya terkilir, sudah saya balut semoga besok tidak parah bengkaknya. Kalau masih lemasnya, itu wajar namanya habis jatuh Pak pasti syok,” jawab Arjuna. “Bengkaknya bisa di kompres nanti, besok kalau ada keluhan lain seperti sakit di d**a atau nyeri di bagian tubuh yang lain baru kita cek keseluruhan. Tapi seharusnya tidak, mungkin saja tadi jatuhnya kakinya duluan, jadi cuma terkilir lalu jatuh.” Imbuh Rinjani. Rama pun mengangguk faham, harapannya tidak ada luka yang serius. Dia kemudian melirih gadis yang duduk di hadapannya. Ingin membuka topik obrolan tapi bingung apa yang ingin di bicarakan. “Dek Jani ini kalau di Jakarta kerjanya apa kalau saya boleh tau,” ucap Rama pada akhirnya mulai membuka obrolannya. Rinjani tertawa pelan mendengar ucapan Rama. Rama justru menatap lekat, tawa gadis di hadapannya yang nampak sangat manis di matanya itu. “Saya juga dokter Pak Lurah,” jawab Rinjani dengan santainya. “Lho ternyata dokter juga, pantas saja kok tadi cekatan sekali nolong Pakde Sardi. Saya kira karena memang latihan pertolongan pertama. Satu tempat kerja sama Mas Juna?” “Iya, kami sama-sama kerja di rumah sakit yang sama…” Rama mengangguk faham. “Jangan-jangan ini kalau lagi jalan berdua yang di obrolin penyakit ini bukan jalan-jalannya.” Arjuna ikut tertawa mendengar ucapan Rama. “Ya tidak begitu Pak. Kami dokter kebetulan orang tua kami juga dokter. Ayah dokter bedah, Bunda kami dokter anak, tapi kalau sudah pulang dari rumah sakit kami lupakan masalah kerjaan. Di rumah atau kalau sedang jalan-jalan ya tidak boleh membahas apapun yang berkaitan dengan pekerjaan.” Kali ini Arjuna yang menjawab. “Hebat sekali, jadi satu keluarga profesinya sama ya.” “Alhamdulillah memang begitu Pak …” Pagi menjelang siang itu, akhirnya mereka habiskan dengan obrolan-obrolan ringan. Setelah memastikan seluruh pekerjaan telah selesai, baru Pak Lurah pamit untuk pulang. * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN