Bab 1: Keputusan Meninggalkan Rumah

1825 Kata
    ***     Rumah adalah tempat pulang yang seharusnya paling nyaman namun ketika rumah itu tidak lagi memberikan kenyamanan, saat itu kamu boleh pergi meninggalkannya     ***     Karlita bernapas lega setelah dia selesai merapikan ruangan yang akan menjadi saksi akan perjalanan hidupnya yang baru. Pergi meninggalkan rumah keluarga setelah menyelesaikan pendidikan Sarjana sepertinya keputusan paling nekat yang pernah Karlita ambil apalagi ini untuk pertama kalinya Karlita dengan begitu berani menentang segala hal yang sudah di putuskan oleh kedua orangtuanya untuknya.     Mulai hari ini Karlita memutuskan untuk menata hidupnya sendiri, tinggal di indekos yang sederhana terasa lebih baik di bandingkan tinggal di rumah megah keluarga Samantha yang selalu berhasil membuatnya kesulitan hanya untuk sekedar mengekspresikan dirinya.     Karlita menjatuhkan tubuhnya di kasur dengan ukuran single itu, segala hal yang dia lalui semenjak dia kecil sampai dia menyelesaikan pendidikan sarjananya berputar-putar dalam benaknya. Dia tidak pernah sekalipun di berikan ruang untuk memutuskan segala sesuatu untuk dirinya sendiri.     "Karlita Samantha jaga sikap kamu!"     "Karlita Samantha jangan lupa dengan les privat!”     “Karlita Samantha jangan lupa les piano!”     “Karlita Samantha jangan lupa les vocal!”     “Karlita Samanta jangan lupa belajar tata karma!”     Karlita! Karlita! Karlita!     Rasanya Karlita sudah benar-benar sangat bosan dengan segala hal tentang hidup yang dia jalani, segala aturan itu terasa begitu melilit, sungguh itu sangat berhasil membuat Karlita merasa begitu tertekan.     “Kamu kerja di perusahaan teman Papa, semuanya sudah siap kamu tinggal datang ke sana lalu bekerja saja.” See? Perkataan bapak Dierja Samantha lagi-lagi perintah yang harus segera Karlita lakukan tanpa penolakan.     “Olahraga dan jaga pola makan kamu, tubuh kamu sudah terlihat lebih gendut dari biasanya. Ibu-ibu habis melahirkan bahkan lebih cantik ketika memakai kebaya di bandingkan kamu.” Itu suara Maryani Samantha, Mama Karlita. Selalu seperti itu. Kalimat-kalimat menjatuhkan seperti itu selalu dia dengar dari ibu kandungnya sendiri.     Karlita yang duduk di hadapan pasangan itu hanya bisa tertawa miris di dalam hati. Sungguh kehidupan yang di tawarkan oleh kedua orangtuanya sejak awal tidak pernah seperti yang Karlita harapkan. Di bandingkan dengan anak teman-teman Maryani sudah seperti makanan sehari-hari bagi Karlita.     Kemarin adalah hari di mana Karlita mendapatkan gelar Sarjananya dengan jurusan bisnis yang merupakan tuntutan kedua orangtua padahal sejak awal Karlita ingin menjadi seorang desainer, dia sangat mencintai segala hal di bidang mode namun harus pupus karena di tentang kedua orangtuanya.     Mereka selalu berpikir, ilmu bisnis akan lebih berguna di bandingkan apapun terutama ilmu itu akan bisa dia gunakan untuk mengembangkan bisnis keluarga dan apa lagi yang bisa Karlita lakukan selain mengiyakan semua perkataan orangtuanya, Karlita tidak menyukai keributan dalam bentuk apapun. Namun, kali ini segala hal dalam dirinya terasa sudah penuh, kekesalannya yang sudah berhasil menyesakkan dadaa, amarah yang selama ini dia tahan sudah hampir meledak. Karlita membenci semuanya, sungguh benci.     Gadis dengan rambut panjang di urai hampir menyentuh pinggang itu melepaskan sendok dan garpu yang sedari tadi dia genggam erat-erat begitu saja membuat suara nyaring terdengar dan pelotototan Dierja dan Maryani langsung tertuju padanya.     “Karlita! Ini meja makan, bisa jaga sikap kamu?! Sampai kapan Mama harus mengingatkan kamu terus-menerus, kamu ini sudah besar, kamu mengikuti kelas tata krama dari kecil, kenapa kamu selalu saja bersikap memalukan keluarga?!” seru Maryani, wajah wanita itu terlihat menegang bahkan urat-urat lehernya terlihat.     “Dengar apa yang di katakan Mama mu, berhenti menentang apa yang kami katakan, kami melakukan ini semua untuk kebaikan kamu,” ucap bapak Dierja menambahkan, Karlita tersenyum miring, dia mendorong kursi yang sedang dia duduki ke belakang kemudian menatap Dierja dan Maryani dengan sengit.     “Coba katakan lagi apa yang harus Karlita lakukan!” seru Karlita. Dia sungguh sudah lelah dengan semuanya, jantungnya berdetak bertalu-talu, kedua tangannya mengepal dengan erat di kedua sisi tubuhnya. Karlita merasa sangat ketakutan namun dia tidak bisa lagi untuk terus diam, dia sudah begitu muak. Ini untuk pertama kalinya dia begitu berani menghadapi segala keegoisan kedua orangtuanya.     “Bekerja di perusahaan teman Papa, lakukan dengan baik kemudian setelah kamu memahami segala strategi di sana, berhenti dan mulai bergabung dengan perusahaan keluarga. Kamu harus melakukannya dengan baik.” Karlita menyeringai.     “Papa sedang menyuruh anak Papa menjadi seorang maling? Memahami strategi perusahaan orang lain kemudian kembali ke perusahaan keluarga dan pada akhirnya Papa meminta aku untuk menjatuhkan perusahaan teman Papa sendiri, serius bapak Dierja? Jadi aku belajar semua tata karma hanya untuk menghancurkan orang lain?” tanya Karlita dengan sangat berani, dia bahkan terkekeh miris membuat rahang bapak Dierja terlihat mengeras. Tangannya terlihat mengepal erat di atas meja.     Maryani menatap Karlita dengan sengit, wanita yang memakai gaun malam super cantik di tubuh tingginya yang ramping itu beranjak dari tempat duduknya kemudian melangkah ke arah Karlita, menggenggam bahu Karlita dengan erat bahkan sampai membuat Karlita meringis kemudian kembali mendudukkan Karlita di kursinya.     “Siapa yang mengajarkan kamu untuk bersikap kasar pada Papamu sendiri? Siapa? Mama merasa begitu sia-sia membesarkan kamu selama ini. Karlita Samantha, minta maaf pada Papamu dan lakukan apa yang dia minta!” seru Maryani dengan tegas, wanita itu berbicara tepat di depan wajah Karlita.     Karlita Samantha, gadis itu menggeleng dengan kuat, lalu menantang Maryani dengan tatapannya. Walau kedua matanya sudah berkilat penuh kaca-kaca, kedua tangannya gemeteran, dan jemari kakinya yang sudah dingin namun Karlita tidak akan lagi menyerah untuk kali ini, dia tidak akan lagi menjadi penurut, dia akan mencari segala hal yang selama ini tidak bisa dia dapatkan dari keluarga sendiri.     “Karlita nggak mau!” seru Karlita dengan begitu tegas, dia melepaskan genggaman tangan Maryani dari lengannya. Lalu dia menatap orangtuanya dengan bergantian, tatapan itu berubah menjadi tatapan penuh luka.     “Kapan Mama dan Papa ingin bertanya, apa yang Karlita inginkan? Karlita sudah lama menunggu itu loh,” ucap Karlita. Dia memundurkan sedikit kursinya.     “Kenapa Mama dan Papa tidak pernah memberikan kesempatan untuk Karlita memilih jalan Karlita sendiri? Kenapa Karlita tidak bisa sebebas teman-teman Karlita di luaran sana? Karlita sudah 22 tahun sekarang Ma, Pa,” ucap Karlita, suaranya terdengar nyaris putus asa.     Maryani terdengar terkekeh sinis mendengar ucapan Karlita, “karena Mama dan Papa sangat mencintai kamu, kamu dan teman-temanmu itu sangat berbeda. Mama dan Papa tidak ingin kamu hidup susah di masa depan. Jadi berhenti memberontak Karlita, turuti semua yang Mama dan Papa katakan, kami lebih tahu yang terbaik untuk kamu!” seru Maryani. Karlita menggeleng cepat, see, seperti apapun Karlita memohon dan menatap mereka penuh luka. Orangtuanya tidak pernah sekalipun bisa melihatnya. Bagi mereka, Karlita Samantha harus menjadi sangat sempurna dan ada di atas siapapun.     “Mama…Papa, Karlita sudah lelah dengan segala aturan yang selalu Mama dan Papa buat untuk Karlita selama ini. Karlita ingin hidup dengan segala mimpi-mimpi Karlita. Mulai hari ini, Karlita ingin keluar dari rumah dan memulai hidup Karlita sendiri,” ucap Karlita, setiap kata yang keluar dari mulut Karlita terdengar begitu tenang. Dia berdiri dari kursinya.     “Mama dan Papa boleh memaki Karlita sesuka hati Mama dan Papa, tapi Karlita benar-benar sudah tidak bisa lagi hidup seperti sekarang. Karlita sudah lelah. Mama dan Papa bisa mengambil segala hal yang Mama dan Papa berikan untuk Karlita. Mobil dan semuanya. Karlita tidak butuh itu. Karlita lebih butuh sebuah rasa nyaman,” ucap Karlita, kali ini gadis itu menunduk. Tidak berani lagi menatap Dierja dan Maryani yang menatapnya dengan bengis, ketika Karlita merasakan derap langkah mendekat padanya, ketika itu juga dia melangkah ke belakang, Karlita mendadak merasa takut akan segalanya.     “Angkat wajah kamu!” seru Maryani, Karlita bergeming. Dia masih bertahan menunduk, Karlita kali ini benar-benar merasa begitu takut. Suara Maryani terdengar menyeramkan. Segala bayangan hukuman yang pernah di berikan oleh Maryani padanya berputar begitu saja di benak Karlita. Dia menggeleng kuat-kuat.     Bukan kekerasan, Maryani tidak melakukan itu, tapi wanita itu akan membuat Karlita memohon ampun dengan cara lain misalnya, Maryani akan meminta Karlita menghapal sesuatu menggunakan berbagai bahasa dalam beberapa menit atau meminta Karlita belajar cara berjalan dengan anggun, mengapal note sebuah lagu kemudian di minta memainkan piano atau hal-hal lain yang menurut Karlita sangat menyeramkan.     “Coba katakan apa yang kamu inginkan sekali lagi,” ucap Maryani. Karlita memejamkan matanya. Walau dia sudah 22 tahun sekarang tapi rasanya dia masih sangat takut menghadapi Maryani.     “KARLITA!” seru Maryani keras, kali ini Karlita mendongak, tatapannya bertemu dengan tatapan Maryani, jantung Karlita semakin bertalu-talu.     “Karlita ingin pergi dari rumah,” ucap Karlita. Maryani terlihat tersenyum miring, wanita itu mengangguk-angguk.     “Katakan sekali lagi!” seru wanita itu. Karlita membuang tatapannya. Sungguh Mamanya terlihat sangat menyeramkan.     “Tatap mata Mama dan katakan sekali lagi Karlita Samantha! Mama ingin melihat sampai mana kamu akan bersikap kurang ajar pada orangtua yang membesarkan kamu!” seru Maryani. Karlita menarik napasnya dalam-dalam, kedua tangannya semakin mengepal dengan erat, untung saja Karlita tidak pernah membiarkan kuku-kuku jari tangannya memanjang karena Maryani tidak pernah mengizinkannya melakukan itu, kalau sampai iya, mungkin sekarang telapak tangan Karlita sudah berdarah karena kukunya sendiri.     “Karlita ingin keluar dari rumah!” seru Karlita, kini dengan tatapan yang bertemu dengan tatapan Maryani.     Maryani terlihat terkekeh, jenis kekehan yang sangat merendahkan dan sinis sekali, wanita itu kemudian meneriaki pelayan yang ada di kediaman utama keluarga Samantha itu, meminta pelayan itu membereskan barang-barangnya.     “Kunci mobil dan kartu kredit,” ucap Maryani, wanita itu menjulurkan tangannya ke hadapan Karlita. Karlita menatap tangan itu, dia dengan segera mengambil benda-benda yang di minta oleh Maryani di dalam tasnya yang berada di ruang keluarga yang tidak jauh dari meja makan.     Setelah mendapatkan apa yang dia mau, Maryani tersenyum miring, dia kemudian memberikan koper pada Karlita.     “Silahkan pergi!” seru Maryani dengan suara rendah, ekspresi wajahnya berubah menjadi datar.     Karlita menatap Maryani dengan lekat kemudian menatap Dierja yang masih duduk di meja makan dengan rahang menegang. Karlita mengangguk pelan. Gadis itu kemudian menyeret kopernya, mengambil tasnya kemudian menata langkah meninggalkan kediaman utama keluarga Samantha. Karlita sangat yakin, keputusan yang dia ambil adalah keputusan paling tepat. Dia tidak salah dengan langkahnya.     Saat Karlita ingin melewati pintu utama keluarganya, saat itu langkahnya langsung terhenti saat mendengar teriakan Maryani Samantha.     “Jika kamu berani melewati pintu, saat itu kamu bukan lagi bagian dari Samantha dan jangan berani-berani kembali ke rumah ini!” seru Maryani. Jantung Karlita seolah langsung berhenti berdetak saat mendengar seruan Maryani, gadis yang menggunakan celana jeans dan kaus itu menarik napasnya kemudian tanpa menoleh lagi ke belakang, Karlita tetap melanjutkan langkahnya, melewati pintu utama keluarga Samantha, dia bisa mendengar Maryani menyumpahinya dari dalam rumah namun Karlita tidak lagi peduli.     Dia benar-benar sudah merasa lelah. Ini adalah keputusannya. Karlita sudah berjanji pada dirinya sendiri, dia tidak akan pernah menyesal sedikitpun.     Karlita menarik napasnya, dia menggeleng pelan, kemudian bangkit dari tidurnya, dia menatap jam yang ada di dinding indekosnya. Menatap dirinya di cermin dan berdiri.     “Gue adalah Karlita Samantha yang baru. Lo harus bisa melewati semuanya Lita. Nggak akan ada hal yang akan lo sesali!” seru Karlita penuh keyakinan. Karlita yakin dia pasti bisa. Sebelum dia selesai dengan pendidikan Sarjananya, Karlita sudah resmi menjadi karyawan di salah satu bank swasta, besok adalah hari pertama dia bekerja. Karlita yakin semua akan berjalan sesuai dengan apa yang dia harapkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN