CHAPTER TIGA

2027 Kata
            Bara tersenyum lalu berlari- lari kecil menghampiri Lara, Kamal dan Ayra yang ada di kantin fakultas sastra pagi ini.             “Aku cariin ke mana- mana.” katanya saat duduk di depan Ayra yang langsung menekuk wajahnya. Sungguh, melihat wajah Bara pagi- pagi bisa membuat mood gadis itu buruk seharian.             “Udah sarapan?” tanya Bara saat melihat hanya ada dua jus alpukat dan satu jus tomat di atas meja. Lara dan Kamal saling melirik sementara Ayra hanya menganggap suara Bara seperti angin lalu. Ia memutar bola matanya dan menatap ke segala arah. Ke manapun asal tak ke laki- laki yang duduk di depannya.             “Kalau nggak jawab, nanti jadi tuli beneran lho, Ay.” Kata Bara sekali lagi. Ayra mendongak dan matanya langsung bertemu dengan mata Bara yang serupa jelaga. Ia melirik ke samping, lalu ke samping Bara dan melihat Lara dan Kamal yang mengulum senyum. Ia benci ini. Dia benci saat Kamal dan Lara hanya bisa mengulum senyum saat Bara terus menerus menggodanya dan membuatnya kesal.             “Mal, tolong, ya, bilang sama orang di sebelah lo kalau gue pusing setiap dengar suaranya yang jelek itu.” katanya sambil menatap Kamal dan menyeruput jus tomatnya.             Kamal menoleh dan menatap Bara yang justru tersenyum geli. “Bro, kata Ayra Renata Darmawan, dia suka… ehm… agak- agak pusing kalau dengar suara lo.” Katanya dengan nada geli.             Bara membalas dengan sebuah senyuman. “Bilangin sama Ayra kalau gue akan terus ngomong kalau dia nggak jawab pertanyaan gue.”             “Ay, Idem sama kata- kata Bara barusan.” kata Kamal yang langsung membuat Lara tergelak.             Bara tersenyum sementara Ayra cemberut.             “Mal, balik ke kelas, yuk.” Ajak Ayra. Ia tahu satu- satunya cara melarikan diri dari Bara adalah kembali ke kelasnya.             “Kamu belum jawab pertanyaan aku, Ay.” kata Bara dengan penekanan yang jelas.             “Eh, kok ada suara nggak ada orangnya, ya.” Ayra menatap Kamal dan Lara bergantian.             “Aku bisa marah, lho, Ay.” Bara menggenggam tangan Ayra di atas meja. Gadis itu mencoba berontak namun genggaman Bara terlalu kuat.             “Kamu pikir aku nggak bisa marah?” kali ini Ayra melotot pada Bara. Ia membulatkan matanya secara maksimal, bermaksud menakut- nakuti Bara. Tapi lagi- lagi, laki- laki itu malah mengulu senyum. Begitu juga dengan Kamal dan Lara yang ada di sana.             “Jangan melotot gitu, nanti bola mata kamu copot.”             Bibir Ayra mengerucut sementara yang lain terkikik. “Mulut itu fungsinya buat ngomong, bukan cuma buat dimanyun- manyunin gitu.”             “Mal, balik ke kelas, yuk. Jam pertama udah mau mulai, nih.” Kata Ayra sambil melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Kamal mengikuti gerakan Ayra lalu mengangguk.             “Yuk…” ajaknya, “Ra, nanti jam istirahat gue ke sini lagi. Kenalin gua sama Dila.” Katanya lalu menatap Bara. “Princessnya boleh gue ajak ke kelas dulu?” matanya menatap Bara yang mengangguk sambil tersenyum.             “Silahkan. Bilangin kalau nanti gue bakal antar dia pulang.” Balas Bara.             “NGGAK PERLU.” Selak Ayra langsung. Ia melotot pada Bara lalu merangkul lengan Kamal dengan posesif. Napas Bara tertahan melihat apa yang Ayra lakukan. Ia melirik lengan gadis itu yang bertengger erat di lengan Kamal hingga keduanya berlalu dari pandangannya.             Bara menatap Lara yang masih ada di depannya selepas kepergian keduannya.             “Lo tahu siapa laki- laki yang pernah ditaksir Ayra?” tanyanya pada Lara dengan nada serius.             Lara menatap Bara agak lama lalu menggeleng, “Dia nggak pernah cerita apa- apa.” Jawabnya sambil mengangkat bahu.             Bara menghela napas. Ia mengutuki dirinya sendiri. Ia bahkan masih saja merasa cemburu meski tahu Kamal dan Ayra adalah sahabat sejak kecil. Ia menyesal tak bertanya pada gadis itu siapa laki- laki yang ia taksir saat gadis itu menolaknya. Namun menyadari bahwa gadis itu tak pernah dekat dengan laki- laki lain selain Kamal. Ia berpikir bahwa laki- laki itu orangnya.             ***                         Kamal menatap gadis di depannya. Gadis dengan mata bulat bersinar yang tampak terkejut. Lara menepati janjinya untuk mengenalkan Kamal dengan gadis teman sekelasnya dan betapa terkejutkan gadis itu saat tahu siapa yang dikenalkan Lara. Pasalnya, siapa yang tidak tahu Kamal. Laki- laki yang terkenal playboy di kampus itu. Ia dikenal di semua fakultas karena paling tidak, pasti ada satu gadis dari tiap fakultas yang pernah mencicipi hubungan dengannya.             “Hai…” Kamal menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah Dila yang masih terpaku menatapnya tanpa berkedip.             “Eh.” Gadis itu tersadar lalu melihat sebelah tangan Kamal yang terulur ke arahnya. Ia berdehem lalu menjabat tangan itu.             “Gue tinggal dulu, ya.” Lara menepuk pundak Kamal dua kali lalu meninggalkan mereka berdua di kantin sementara dirinya menjauh menuju taman belakang kampusnya.             Ia duduk di salah satu kursi besi dan menenguk minuman yang dibawanya dari kantin. Ia menarik napas panjang, berharap bahwa ini adalah hal terbaik yang bisa dilakukannya untuk Kamal. Bagaimanapun, ia tidak bisa melihat laki- laki itu terus bergonta- ganti pacar. Ia juga tidak bisa terus menjadikan dirinya alasan untuk setiap kehancuran dalam hubungan Kamal. Sudah saatnya laki- laki itu belajar mencintai dengan sunguh- sunguh. Dengan segenap hati dan jiwanya.             Ia tersenyum, menyadari bahwa ia menaruh banyak harapan pada sosok Dila. Ia berpikir bahwa gadis itu adalah gadis yang tepat untuk Kamal. Ia mengenalnya dengan baik karena mereka satu kelas dan cukup dekat. Dalam pandangannya, ia tahu bahwa Dila akan cocok dengan Kamal. Ia yakin hubungan keduanya tak akan seperti hubungan Kamal dengan gadis- gadis sebelumnya.   ***                      Kafetaria itu ramai. Di d******i oleh para mahasiswa. Beberapa anak terlihat bergeromb0l di satu meja. Mereka datang untuk menikmati makan siang, atau hanya sekadar menikmati kopi sambil berbicang- bicang.             Laki- laki itu menatap sahabat yang duduk di depannya. Dengan hoodie berwarna putih, kacamata hitam, masker dan topi yang sukses menyamarkan penampilannya. Laki- laki itu menurunkan maskernya lalu menyesap es kopinya melalui sedotan yang mencuat di tengahnya.             “Kapan mau balik? Keburu Ciara pacaran sama Nugi.” kata Iras sambil menyeruput jus jeruknya. Laki- laki di depannya tampak tersenyum lalu mengangguk. “empat tahun udah cukup lama untuk buat dia nunggu.” Lanjutnya.             Laki- laki bertopi itu mengigit bibir bawahnya lalu menatap sahabatnya baik- baik.             “Gue akan ketemu dia…” katanya dengan nada serak, “secepatnya.” Katanya dengan nada yakin. Mahesa telah melewati malam- malam panjang dengan buncahan rindu yang selalu membuat dadanya sesak. Ia tahu waktunya sudah dekat. Ia tahu bahwa hari itu akan tiba sebentar lagi.             Iras tersenyum. Bagaimanapun, ia tahu bagaimana perjuangan Ciara menunggu sahabatnya. Dulu, gadis itu sering mendatanginya demi sebuah informasi di mana keberadaan Mahesa. Tapi berkat janji yang sudah diucapkannya pada Mahesa, ia harus menjaga rahasia itu baik- baik dan tidak akan memberikan info keberadaan laki- laki itu pada siapapun termasuk Bara yang sempat menerornya selama berhari- hari.             Mahesa mengedarkan pandangannya ke sekeliling hingga matanya terpaku pada dua orang gadis yang tengah berjalan mendekati pintu cafe. Ia memalingkan wajahnya kembali ke arah Iras yang ada di depannya. “Dia makin cantik.” Katanya. Iras mengarahkan pandangannya ke arah pintu masuk dan melihat Ciara dan Diana baru saja masuk ke dalam melalaui pintu kaca transparan itu.             Iras menatap Mahesa yang menurunkan topinya, lalu membenarkan letak maskernya dan berdiri. “Nanti gue telepon lagi.” Katanya lalu berjalan terburu- buru hingga menabrak Ciara yang hampir saja terjatuh.             “Kalau jalan lihat- lihat dong.” Diana yang pertama mengomel. Ciara membalik badan dan melihat punggung laki- laki yang membelakanginya.             “Maaf.” katanya dengan nada lirih lalu kembali berjalan menjauhi keduanya.             “Dasar aneh, penampilan udah kayak teroris aja.” Kata Diana saat mengarahkan pandangan ke segala arah hingga matanya terpaku pada seringai Iras yang disadari bahwa laki- laki yang menabrak Ciara berasal dari meja yang sama.             Mereka mendekat ke meja Iras yang masih menyunggikan senyum, “Lo abis transaksi sama bandar narkoba?” kata Diana dengan nada mengejek sementara Ciara langsung duduk di depan laki- laki itu.             “Mbak… mbak… tolong ya kalau ngomong itu disaring dulu. Kalau orang pikir lo serius dan gue digeret ke kantor polisi, gimana?” desis Iras tajam.              “Duduk, Di.” Ciara menarik tangan Diana agar terduduk di sebelahnya.             “Kita cari meja lain aja, Ra.” Pinta Diana.             “Elo aja sana cari meja lain. Kalau Ciara mau di sini emang kenapa?” kata Iras dengan nada sengit. Kedua orang itu saling beradu pandang dengan sengit.             “Udah… udah, di sini aja, Di.” Ciara menengahi sebelum Diana sempat menimpali kata- kata Iras dengan tak kalah pedas. “yang tadi siapa, Ras?” tanya Ciara hati- hati. Entah mengapa, menatap tubuh laki- laki itu sekilas mengingatkannya pada… Mahesa.             “Teman lama gue.” jawabnya santai. Berusaha tak terintimidasi oleh tatapan penasaran Ciara. Ia sudah berbohong begitu lama. Ia sudah melakukannya selama bertahun- tahun. Ini bukan lagi sesuatu yang membuatnya merasa bersalah pada gadis itu.             “Mahesa?” Ciara meyakinkan. Wajah Iras tampak tenang sementara Diana menatapnya bingung.             “Bukan lah, Ra.” kata Diana. “mana mungkin itu Mahesa.” Lanjutnya dengan nada yakin.             “Nah, mending lo dengerin temen lo ini deh. Mau gue bilang iya, juga dia pasti lebih sok tahu.” kata Iras sarkastis.             “Ras, gue serius. Gue percaya apa yang keluar dari mulut lo.” Kata gadis itu.             Iras menelan ludah. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi dan melipat kedua tangannya di depan d**a. Ia tampak mengulur waktu sementara Ciara menatapnya dengan tatapan penuh harap.             “Bukan.” Akhirnya Iras menjawab dengan nada yakin. Iras bisa melihat bahu gadis itu melemas. Ia berdoa dalam hati semoga Tuhan memaafkan semua kebohongannya.             Ciara terdiam. Apakah terlalu berlebihan kalau ia mengira laki- laki itu adalah Mahesa. Sepertinya dirinya sudah sangat merindukan laki- laki itu. Entah ini puncak kerinduaannya, atau justru puncak keputusasaannya dalam menunggu laki- laki itu.             Mahesa masih di sana, menatap Ciara dari dalam mobilnya. Melalui kaca mobilnya, ia melempar pandangan ke arah gadis yang sedang mengangkat sebelah tangannya untuk memanggil pelayan. Garis bibirnya melengkungkan senyum. Dia merindukan gadis itu, sangat. Ciara adalah gadis pertama yang menatapnya dengan sebentuk kepedulian. Gadis yang tidak pernah menatapnya dengan binar cinta seperti gadis- gadis lain, tapi gadis itu punya bias kepedulian yang selalu ditunjukkan kepadanya. Tidak peduli seperti apa dirinya.             Gadis itu tak pernah merasa jengah padanya. Gadis itu tak pernah berpikir untuk menajuhinya karena ia adalah sosok yang sering bermasalah. Gadis itu memandangnya seperti anak- anak lain. Gadis itu memberikan ruang bagi Mahesa di mana ia tahu bahwa ia pun masih punya masa depan. Gadis itulah yang akhirnya membuat Mahesa sampai di tahap ini. Gadis itu yang membuatnya ingin berubah. Gadis itu yang membuatnya merasa bahwa ia butuh memperjuangkan masa depannya.             “Gue kangen, Ra.” lirihnya. Matanya masih menatap ke tiga orang di dalam kafe yang tampak asik mengobrol. Atau Iras dan Diana yang sepertinya lebih suka bersitegang. Seorang pelayan baru saja menghampiri meja ketiganya dan menyajikan dua buah gelas pesanan Ciara dan Diana di atas meja.             Mahesa tak tahu apa yang ketiganya bicarakan. Namun menyenangkan bisa melihat gerak bibir gadis itu. Senyumnya yang sesekali terlihat. Interaksi gadis itu dengan Diana dan Iras yang membuatnya kembali mengenang masa sekolah menengah atas. Mahesa merasakan perlahan hatinya menghangat. Memori bersama Ciara perlahan menyusupi pikirannya dan berputar seperti sebuah roll film.             Masih segar dalam ingatannya saat ia mengajak gadis itu untuk bolos sekolah. Lalu saat gadis itu menemukannya sedang bolos dan berada di salah satu pohon di belakang sekolah. Juga saat mereka belajar bersama hingga akhirnya gadis itu terlibat dengan permasalahnnya dengan Bara.             Ia tak tahu bagaimana reaksi gadis itu saat tahu bawa Bara adalah orang di balik semua kesialannya waktu itu. Namun ia tahu bahwa gadis itu hati yang besar untuk memaafkan. Ia yakin bahwa Bara sudah menceritakan semua perbuatannya pada Ciara. Ia tahu karena ia yakin laki- laki itu tak sanggup menganggung lebih banyak rasa bersalah dalam hidupnya.             Ia berpikir bahwa ia tak sanggup menanggung rindu itu lebih lama lagi. Ia tak sanggup hanya menatap gadis itu dari kejauhan. Ia tak sanggup melihat gadis itu bersama laki- laki lain. Mahesa mengarik napas saat merasakan sesak tiba- tiba menyelimutinya. Saat tahu bahwa menatap gadis itu akan semakin membuat perasaannya tak keruan, ia memutuskan untuk pergi dari sana. Ia menyalakan mesin mobil, lalu menekan pedal gas hingga kendaraan roda empat itu menjauhi kafe itu. TBC LalunaKia
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN