CHAPTER EMPAT

2110 Kata
            Laki- laki itu termenung dalam keremangan kamarnya. Ia membuka laci meja kerjanya dan mengambil sebuah album foto yag tersimpan di dalamnya. Ia menatap album bersampul merah muda itu baik- baik lalu membukanya. Foto Ciara yang tampak tersenyum terlihat di halaman pertama. Ia membalik halaman berikutnya dan senyum Ciara kembali menyapa. Ia tersenyum, menyadari bahwa ia tidak benar- benar meninggalkan gadis itu.             Setelah menyelesaikan studinya di kota pendidikan kurang lebih setahun lalu yang lalu, ia kembali ke Jakarta dan tengah fokus dengan usaha yang baru dirintisnya. Ia bersama beberapa temannya membuat usaha sebuah studio foto dan jasa fotografi. Usahanya terbilang berkembang cukup pesat. Ia sudah pergi ke berbagai kota karena dikontrak oleh perusahaan atau perorangan yang menggunakan jasanya.             Foto- foto itu ia ambil dalam setahun terakhir. Diam- diam, ia memantau gadis itu. Mungkin jarak mereka hanya beberapa puluh meter. Tapi gadis itu tidak pernah menyadarinya. Saat yang baginya sangat menyenangkan namun juga terasa menyesakkan.             Ia sendiri tak mengerti kenapa masih saja bersembunyi saat ia sudah bisa membuktikan bahwa dirinya bukan seperti dirinya yang dulu. Ia selalu merasa apa yang ia capai belum cukup untuk menemui gadis itu. Ia merasa bahwa semua ini tetap tak sebanding jika menginginkan cinta gadis itu.             “Gue akan balik, Ra.” lirihnya.             Mahesa tak pernah sadar bahwa yang dibutuhkan Ciara hanyalah dirinya. Ia tak sadar bahwa yang paling dibutuhkan gadis itu adalah kehadirannya. Laki- laki itu tak sadar bahwa Ciara tak peduli jika laki- laki itu masih seperti yang dulu. Ciara tak peduli jika laki- laki itu tak berubah. Ciara tak peduli jika Mahesa tampak seperti laki- laki yang tak punya masa depan. Ciara percaya bahwa laki- laki itu tetap berharga bagaimanapun keadaannya.   ***               Ayra melihat sekeliling, lalu tatapannya terpaku pada Lara yang sedang menikmati sarapan di depannya. Ada yang beda dengan hari ini. Laki- laki yang biasa menempati kursi di samping Lara tak terlihat batang hidungnya.             “Ra, Kamal mana?” tanyanya sambil melirik jam di pergelangan tangannya. Ia berpikir bahwa laki- laki itu mungkin terlambat.             Gadis yang wajahnya serupa dirinya mendongak. “Kamal jemput Dila, jadi nggak ke sini dulu.” Kata Lara sambil mengunyah. Gadis itu masih sibuk berselancar di dunia maya sambil menikmati roti isi di tangan kanannya.             Ayra menghela napas, pikirannya campur aduk. Apa kali ini ia akan benar- benar kehilangan laki- laki itu. Ia menjatuhkan diri di kursi kosong di depan Lara dan bertanya pada saudara kembarnya, “Menurut lo, Kamal serius sama Dila?”             Ayra menatap Lara baik- baik. Sangat menantikan jawaban gadis itu.             “Gue harap sih begitu. Gue bosen lihat dia main- main terus. Nanti kalau kena karma gimana? Kasihan tuh anak.” Jawab Lara.             Ayra mengangguk pelan. Menyetujui pendapat Lara. Tapi, apa tidak bisa Kamal dengannya saja? Ia tidak tahu, sampai kapan ia bisa memendam perasaannya. Semakin hari perasaan untuk laki- lai itu semakin mengakar begitu kuat. Ia tahu bahwa ia tak bisa puas jika hanya bersahabat dengan laki- laki itu. Ia tahu bahwa ia meminta terlalu banyak. Dulu ia hanya berharap bahwa hubungannya dengan Lara dan Kamal bisa seperti semula. Sekarang, ia mengharapkan lebih lagi.             Karena Kamal tak ada di antara mereka, terpaksa Lara yang menyetir. Kendaraan roda empat itu membelah jalanan ibukota yang hari itu tampak padat.             “Eh, Iya, Ay, kemarin Bara sempet nanya sama gue, gue tahu nggak siapa cowok yang pernah lo taksir?” kata Lara. Ayra langsung menoleh dan melihat Lara melanjutkan kata- katanya, “Emang lo pernah naksir cowok? Siapa?” tanyanya akhirnya.             Ayra mengigit bibir bawahnya. Ia menatap ke jalanan di depannya lalu melirik Lara yang tersenyum dengan raut penasaran. Ia tidak menyangka bahwa laki- laki itu akan bertanya pada Lara mengenai hal itu. Ia pikir laki- laki itu sudah melupakannya. Ia pikir laki- laki itu hanya mengira bahwa itu hanya sebuah alasan untuk menolaknya karena laki- laki itu tak pernah bertanya lebih lanjut.             “Ngarang tuh Bara. Nggak usah didengerin.” katanya sambil melipat kedua tangannya di depan d**a. Ia mendengar Lara terkekeh ringan. Ia tidak bisa membayangkan bagaiman reaksi Lara jika gadis itu tahu bahwa ia menyukai Kamal. Ia tidak tahu apakah gadis itu akan suka atau malah menentangnya.             Ia sama sekali tak tahu bagaiman perasaan Lara pada Kamal. Ia tidak pernah tahu apakah gadis itu pernah, meski hanya sedikit merasa menyukai Kamal lebih dari seorang sahabat. Baginya, Kamal adalah sosok yang sempurna. Ia tidak mengerti bagaimana bisa Lara bersahabat dengan laki- laki itu tanpa memiliki perasaan apapun pada Kamal.             “Kenapa sih, lo benci banget sama Bara?” tanya gadis itu sambil memutar kemudi memasuki lingkungan kampusnya. Ia melihat gadis itu berdecak saat ia melirik ke arahnya.             “Setelah apa yang dia lakukan di SMA, lo masih tanya kenapa gue benci sama dia?” Ayra berdecak sambil menggeleng- gelengkan kepalanya. Lara tertawa. Seharusnya, tak hanya dirinya yang membenci Bara, tapi juga Lara. Lara pernah menjadi musuh bebuyutan laki- laki itu dan terlibat banyak masalah. Ia tidak mengerti bagaimana bisa mereka melupakan semua dan kembali sebagai orang yang baru saja bertemu.             “Iya sih. Tapi masa lo nggak lihat kalau dia udah berubah. Dia calon dokter lho, Ay.” Kata Lara.             “Bodo, mau calon dokter kek, calon insinyur kek, calon presiden kek, gue nggak peduli.” Katanya dengan nada ketus tepat saat mobil itu berhenti di fakultas managemen. Lara hanya merespon dengan kekehan pelan.             Setelah berpamitan, Ayra turun sementara Lara kembali melajukan mobil menuju falkutasnya. Tapi, mobil itu kembali berhenti di fakultas kedokteran. Lara membuka kaca jendela dan melihat kerumunan orang berkumpul di dekat koridor. ***               Mata gadis itu membulat sempurna. Terkejut dan bingung dengan hal yang baginya terlalu tiba- tiba ini. Dilihatnya laki- laki di depannya yang tersenyum dengan sebuket mawar merah berukuran besar. Mata Ciara berkeliling ke kerumunan orang yang sudah mengelilinginya paska pernyataan cinta yang dilontarkan oleh laki- laki di depannya, hingga kedua bola matanya menangkap wajah Bara yang menengang diantara kerumunan lalu Iras yang menujukkan raut wajah dingin.                     Nugi tampak tenang dan tampak tak terganggu dengan orang- orang yang menghujam tatapan padanya. Nugi tak menyangka bahwa pernyataan cintanya pada Ciara akan mengundang keingintahuan yang lainnya. Dan kini, ia bangga. Ia bangga karena bisa menyatakan perasaannya pada gadis yang paling dikagumi di fakultas kedokteran.             Ia tak tahu sejak kakapan mahasiswa lain menyemut di sekeliling, seakan hal ini adalah hal menarik bagi mereka. Siapa yang tak tahu Ciara dan Nugi. Ciara terkenal karena prestasi akademiknya di falkutas kedoteran. Menjadi senior yang cukup di segani. Awal kedekatan gadis itu dengan Nugi memang sudah cukup menarik perhatian yang lainnya. Mereka berpikir bahwa keduanya adalah pasangan yang cocok.             Matanya kembali menatap laki- laki yang kini tersenyum sambil menunggu jawabannya. Ciara menarik napas panjang dan sesaat sebelum ia membuka mulutnya, Bara dan Iras menyeruak di antara kerumunan dan berdiri di depan Ciara. Bara yang pertama kali menggenggam tangan Ciara, lalu Iras melakukan hal yang sama dan berusaha menarik Ciara menjauh dari tempat itu. Tapi, gadis itu memberontak, dengan kekuatan penuh, ia menghempaskan tangannya dengan kencang hingga kedua pegangan itu terlepas. Ia menatap Bara yang menggeleng lalu Iras yang melakukan hal serupa.             “Kalian nggak bisa kayak gini.” bisik gadis itu. Ia menatap Bara dan Iras bergantian. Ia harus menyadarkan keduanya bahwa ia bisa mengambil keputusan apapun. Ia tak bisa lagi mendengarkan omong kosong keduanya.             “Dengerin gue, Ra…” kata Bara, ia menatap Ciara lalu ke arah Nugi yang berusaha menahan diri untuk tidak menghajar Bara dan Iras saat itu juga. Sebelah tangan Nugi sudah terkepal sempurna. Ia siap melayangkan tinjunya kapanpun. Ia sudah cukup bersabar selama ini melihat tingkah Bara dan Iras.             “Nggak, Bar…” selak Ciara cepat, “biarin gue ambil keputusan ini sendiri.” Lanjutnya, ia menatap Iras yang juga menggeleng. Memohon dengan sangat agar Ciara tidak menerima pernyataan cinta Nugi. Gadis itu tersenyum pada Iras lalu menepuk pundak laki- laki itu dua kali sebelum berbalik dan mengatakan “Iya.” Pada Nugi.             Bara dan Iras menghembuskan napas kasar saat melihat Nugi mendekat lalu memeluk gadis itu sekilas.             Laki- laki itu masih di sana, menyaksikan adengan itu baik- baik dan memastikan tidak ada yang terlewat dalam pandangannya. Hingga akhirnya, ia harus mengakui bahwa dirinya telah kalah. Kalah sebelum berperang. Seikat bunga dalam genggamannya terlepas dan terjatuh ke tanah. Dilihatnya lagi pasangan itu yang tampak bahagia. Ia tersenyum getir lalu mengumpulkan kekuatannya untuk berbalik dan melangkah menjauhi tempatnya semula.   ***               Karena penasaran, Lara turun dari mobil lalu berjalan mendekati kerumunan, tapi belum sempat ia sampai di tujuannya, seseorang yang berjalan dengan tergesa- gesa menabraknya hingga membuatnya terjatuh.             “Aduh…” keluhnya sambil mengusap- ngusap lututnya yang tergores. Ia meringis merasakan nyeri di lututnya.             “Maaf…” kata laki- laki itu.             Lara sudah memaki hingga akhirnya sebuah tangan terulur ke arahnya dan saat ia mendongak dan melihat siapa yang baru saja menabrakanya, ia terkejut, ia terdiam cukup lama. Mencoba mencerna dan meyakinkan diri bahwa matanya benar- benar masih berfungsi dengan baik, bahwa laki- laki di depannya bukan sebuah fatamorgana buatnya, bahwa laki- laki yang kini juga tengah menatapnya dengan tatapan terkejut benar- benar Mahesa, cinta pertamanya.             “Lara?” kata Mahesa meyakinkan. Suara itu menyadarkan Lara dan lamunannya. Ia mengambil uluran tangannya itu lalu mencoba berdiri.             “Kak… Mahesa?” Lara memerhatikan laki- laki di depannya. Laki- laki dengan hoodie dan topi yang nyaris menyamarkan penampilanya.             “Kamu, kuliah di sini juga?” tanya Mahesa basa- basi. Ia tahu jelas kenyataan itu. Iras cukup banyak menceritakan hal- hal yang terlewatkan olehnya, termasuk masalah si kembar. Lara mengangguk lalu tersenyum. Tidak bisa menyembunyikan perasaan bahwa ia bahagia bisa bertemu dengan laki- laki itu. Bahwa pada akhirnya, hari ini, hari yang sangat ditunggunya akhirnya datang juga. Hari di mana ia bisa melihat senyum itu, senyum dan membuatnya jatuh cinta.   ***                         Mengindahkan mata kuliah di jam pertama dan jam kedua, Lara memilih berbincang panjang lebar dengan Mahesa di café yang agak jauh dari kampus. Mereka berdua terlibat banyak obrolan. Mahesa tak segan memberitahu di mana ia tinggal dan apa saja kegiatannya pada Lara, karena ia sadar bahwa sudah tidak mungkin menyembunyikan sosoknya lagi. Tidak lama lagi, semua kenalannya di kampus itu pasti bisa mencari keberadaannya, termasuk Bara. Dan memang, seharusnya hari ini menjadi hari yang spesial baginya. Hari ini, ia sudah meyakinkan diri untuk kembali. Ia sudah menyiapkan ribuan kalimat demi bertemu dengan Ciara, lalu Bara. Tapi, ia sadar bahwa semua sudah terlambat. Bahwa semuanya kini terasa sia- sia. Bahwa apa yang coba ia perjuangkan demi seorang Ciara kini tak akan ada gunanya lagi.             “Terus, kakak ke sana mau ketemu siapa?” tanya Lara sambil menyeruput jus melonnya.             “Mau ketemu Iras.” jawabnya singkat.             “Owh…” Lara mengangguk lalu melanjutkan, “Dulu Bara sering nyariin kakak. Emang Kakak masih ada masalah sama dia?” tanya Lara dengan nada hati- hati. Mahesa tersenyum lalu menggeleng pelan.             “Nggak ada. Tapi mungkin ada yang mau dia sampaikan sama gue.” jawabnya, “atau mungkin dia kangen berantem sama gue.” Katanya sambil tertawa pelan.             “Dia udah berubah kok, kak. Maksudnya, udah nggak doyan berantem kayak dulu lagi, meskipun masih agak keras sikapnya.”             “Dia nggak dapet lawan yang sepadan kali di kampus itu. Coba aja nanti kalau ketemu sama gue.”             “Lara nggak akan kasih tahu Bara kalau kita ketemu.” Kata Lara.             “Kenapa?”             “Lara nggak mau kalian berantem lagi. Lara nggak mau kakak ngilang lagi.” Kata Lara. Ia tidak akan lupa desas- desus apa yang terdengar setelah menghilangnya Mahesa dari sekolahnya dulu. Beberapa anak menyakini bahwa Mahesa menghilang setelah sebelumnya terlibat baku hantam dengan seseorang. Dan tidak sedikit yang menyakini bahwa sosok rivalnya itu adalah Bara, karena laki- laki itu juga sempat di rawat di rumah sakit bersamaan dengan Mahesa. Terlepas dari benar atau tidaknya kabar itu, Lara hanya tidak ingin hal itu terulang kembali. Ia tidak mau pertemuan ini terasa sia- sia dan melihat Mahesa kembali menghilang tanpa kabar.             Ia akan melakukan apapun untuk menyembunyikan sosok Mahesa dari Bara jika laki- laki itu menginginkannya. Ia tidak akan sanggup kehilangan laki- laki itu untuk kedua kalinya. Mahesa tak tahu sebesar apa kebahagiaan gadis itu saat bisa bertemu lagi dengannya.             Semua kerinduannya kini membucah tak terkendali. Ia bahkan bisa merasakan bahwa jantungnya nyaris lompat dari tempatnya saat melihat laki- laki itu berdiri di depannya. Ia tidak ingin mengambil segala resiko yang bisa membuat laki- laki itu kembali pergi tanpa kabar.             Mahesa tersenyum kecil mendengar kata- kata Lara. Ia meyakinkan gadis itu bahwa anggapannya mengenai Bara benar adanya. Ia yakin laki- laki itu sudah berubah, begitu juga dengan dirinya. Jika nanti mereka bertemu, ia tidak akan mengabiskan banyak waktu untuk berkelahi dengan Bara. Ia yakin juga bukan hal itu yang Bara inginkan. Mereka mungkin akan memulai suatu yang baru. Hal- hal yang seharusnya sudah mereka lakukan sejak lama. TBC LalunaKia
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN