CHAPTER LIMA

2273 Kata
            Kamal melangkah lebar- lebar di koridor fakultas sastra. Kakinya melangkah dengan mantap. Sebuah ransel menggantung di punggungnya. Matanya menatap sekeliling lalu tersenyum saat menemukan Dila tengah berkumpul dengan teman- temannya di depan salah satu ruangan kelas.             “Hai, Dil.” Sapanya sambil tersenyum. Semua mata yang ada di sana jelas terkejut mendapati Kamal ada di sana bukan untuk bertemu Lara. Dila tak kalah terkejutnya. Ia melirik teman- temannya yang menunjukkan seraut wajah penasaran. Sekali lagi, tidak ada yang tidak mengenal laki- laki itu. Selain terkenal sebagai sahabat terbaik Lara, laki- laki itu terkenal sebagai playboy yang namanya sudah tersiar di kampus itu.             “Makan, yuk.” Ajak laki- laki itu. Dila melirik jam tangannya, masih ada empat puluh lima menit sebelum kelas selanjutnya. Ia tampak berpikir sebentar hingga akhirnya mengangguk pelan sebagai jawaban atas ajakan laki- laki itu. Gadis itu berpamitan dengan teman- temannya sebelum akhirnya berjalan beriringan dengan Kamal menuju kantin.             “Eh, Mal, Lara ke mana? Kok nggak masuk kelas tadi?” tanya Dila saat mereka duduk berhadapan di sebuah meja di kantin, setelah sebelumnya memesan dua porsi nasi soto.             Kamal menatap Dila dengan bingung. “Lara nggak masuk?” tanyanya seraya meyakinkan. Ia melihat gadis di depannya mengangguk.             “Dia berangkat bareng Ayra kok, Ayra tadi ada di kelas.” Katanya, hingga akhirnya matanya menangkap sosok yang sedang dibicarakan. Gadis dengan kuncir kuda itu melangkah menuju kantin dengan senyum sumringah. Keduanya beradu pandang. “tuh dia orangnya.” Katanya. Ia melihat gadis itu semakin mempercepat langkahnya.             “Cie yang lagi pendekatan.” Gadis itu duduk di samping Dila. Sebuah senyuman masih tersungging di bibirnya.             “Lo dari mana? Kata Dila tadi nggak masuk kelas?” tanya Kamal tanpa basa- basi. Gadis di depannya masih tersenyum. Seakan ingin memberitahu Kamal bahwa ia sedang dalam keadaan sangat- sangat bahagia.             “Lo kenapa sih? Ditanyain senyum- senyum aja.” keluh Kamal saat menyadari tingkah laku sahabatnya yang tak seperti biasanya. Gadis itu seperti baru saja mendapatkan lotre satu milyar.             “Lo tahu nggak gue abis ketemu siapa barusan?” tanya Lara dengan binar bahagia. Ia menatap Kamal yang menatapnya dengan raut wajah bingung.             “Siapa?” Kamal balik bertanya karena sama sekali tak tahu siapa sosok yang bisa membuat gadis itu terlihat begitu bahagia.             “Kak Mahesa.” jawab Lara. Ia bisa melihat keterkejutan dalam pandangan Kamal.             “Kak Mahesa, kakak kelas kita?” Lara mengangguk mantap. “kok bisa?”             “Tadi dia ke kampus kita, mau ketemu kak Iras. Gue nggak sengaja papasan sama dia.”             Dan Lara menceritakan sedikit pertemuannya dengan Mahesa. Kamal mendengarkannya dengan cermat sementara Dila hanya memperhatikan kedua orang itu.             “Tapi lo jangan bilang- bilang Bara, ya.” Pinta Lara diakhir ceritanya.             “Kenapa?”             “Gue nggak mau lihat mereka berantem lagi.” Kata Lara. Meski ia tak yakin bahwa kedunaya kan kembali berkelahi jika bertemu lagi. Ia sudah melihat bagimana Bara berubah selepas kepergian Mahesa.             Kamal terlihat mengangguk lalu menatap Lara yang masih saja menyunggingkan senyum. Ia tidak pernah melihat gadis itu sebahagia ini. Apa mungkin pertemuannya dengan Mahesa begitu membahagiakan bagi gadis itu.             Kamal masih menatap Lara yang kini tengah berbincang dengan Dila. Hatinya tidak bisa bohong bahwa sekeras apapun ia mencoba untuk melupakan gadis itu, ia akan tetap gagal. Gadis itu terlalu kuat, terlalu mendominasi. Dan entah sampai kapan ia bisa membohongi perasaannya.   ***               Bara menatap Ciara yang ada di depannya. Matanya menyalang tajam sedangkan gadis di depannya membaca buku dan tak mengacuhkan kehadiran Bara. Gadis itu tak menatapnya sejak pertama kali Bara duduk di depannya. Gadis itu seperti tahu apa yang ingin ia bicarakan.                   “Ra…” panggilnya. Gadis di depannya mendongak dan tatapan mereka bertemu. Ciara menghela napas panjang lalu menutup bukunya. Ia menatap Bara lekat- lekat. Raut wajah sebal laki- laki itu tak bisa disembunyikan.             “Bar, please, kalau lo datang ke sini Cuma mau mendoktrin gue untuk mengubah keputusan gue, percuma.” kata gadis itu dengan nada putus asa. Ia tidak ingin lagi mendengar laki- laki itu membicarakan keputusannya yang baginya tidak tepat. Ia ingin laki- laki itu memberinya selamat atau bahkan mendoakan yang terbaik untuknya. Namun jika itu terlalu sulit, laki- laki itu bisa mengabaikannya dan membiarkan dirinya menjalani semuanya sesuai dengan jalan yang ia pilih.             “Gue meragukan apa lo benar- benar sayang sama Mahesa.” kata Bara. Ia tidak akan pernah lupa bahwa hari itu, datang sebuah kesempatan untuk mendengarkan isi hati Ciara. Bagaimana gadis itu dengan jujur bilang bahwa ia memiliki perasaan pada Mahesa. Bahwa perasaan Mahesa padanya berbalas. Bahwa ia menunggu untuk menjawab pertanyaan laki- laki itu.             Sebalah tangan Ciara yang ada di atas meja terkepal, “Gue nggak mau memendam sayang gue buat orang yang nggak bisa kasih gue kepastian.” kata Ciara dengan nada lirih, “menunggu juga ada batasnya, Bar.” lanjutnya.             Bara terdiam. Dalam hati kecilnya menyetujui kata- kata gadis itu. Gadis itu sudah menunggu terlalu lama, dan masih tak ada tanda- tanda bahwa laki- laki itu akan kembali. Tapi, tidak bisakah gadis itu menunggu sebentar lagi. Ia yakin hari itu akan datang. Di mana Mahesa akan ada di hadapannya, atau di hadapan Ciara.             “Mahesa akan datang, Ra. Oke, nggak masalah sekarang lo pacaran sama Nugi. Toh, kalau Mahesa akhirnya datang, lo tinggal putusin dia.” kata Bara dengan nada enteng. Seperti menganggap bahwa ketulusan Nugi bisa dipermainkan.             “Lo yakin gue bisa setega itu? Selama ini Nugi yang ada di samping gue, yang support gue, sampai akhirnya gue sadar kalau semua kiriman bunga dari Mahesa nggak ada apa- apanya dibanding perjuangan Nugi buat gue.” nada suara Ciara terdengar putus asa. Bara bisa memaklumi itu.             Bara terdiam, kali ini tidak ingin menyangkal kenyataan yang Ciara katakan. Ia sadar bahwa semua yang keluar dari mulut wanita itu ada benarnya.             Bara menghela napas lalu menatap Ciara baik- baik. “Gue harap lo nggak menyesal sama keputusan lo.” katanya sambil berdiri lalu berjalan menjauh. Ciara memerhatikan bahu tegap itu hingga menghilang dari pandangannya.             Gadis itu mendesah lalu mengusap wajahnya kasar. Ia tidak tahu akan menyesali keputusannya atau tidak. Yang jelas, hatinya butuh pengalihan, dan kesempatan yang diberikan Nugi bisa jadi jalan yang diberikan olehnya untuk tidak terus menerus mengharapkan Mahesa kembali. Hatinya sudah terlalu lama menunggu dan semakin hari, ia semakin meragukan kalau Mahesa akan kembali padanya. Ia tidak bisa terus menerus memikirkan Mahesa tanpa tahu kapan laki- laki itu akan kembali. Ia tidak bisa menanggung lebih banyak rindu dan sakit yang selalu datang bersamaan. Ia merasa bahwa semua penantiannya sudah lebih dari cukup.             ***               Hujan deras mengguyur kota Jakarta sore ini. Ayra memeluk lengannya yang mulai terasa dingin. Atap halte tempatnya berteduh ternyata tidak bisa diandalkan karena angin yang bertiup cukup kencang. Beberapa bagian bajunya mulai basah. Ia mengertakan gigi saat merasa bahwa dinginya semakin menusuk ke tulangnya yang paling dalam.             “Duh, Kamal mana sih?” keluhnya sambil menyibak poni yang menutupi dahinya dan menyelipkannya di belakang telingannya. Ia melirik jam tangannya, sudah lima belas menit lebih ia menunggu, tapi laki- laki itu tak kunjung tiba. Lara yang ada kelas tambahan membuat Ayra tepaksa mengandalkan Kamal, tapi saat di hubungi, laki- laki itu sedang mengantar Dila dan menyuruhnya menunggu di halte dekat kampus.             Sebelah kakinya bergerak gelisah. Matanya menatap ke jalanan yang tampak sepi. Air hujan mengaburkan jarak pandangnya dari jalan sehingga ia tak menyadari bahwa ada sebuah mobil yang mendekatinya hingga berhenti di depannya.             Matanya menyipit lalu mendesah pelan saat menyadari bahwa itu bukanlah mobil yang diharapkannya. Jendela mobil itu terbuka, menampakkan siapa yang ada di balik kemudinya.             “Ayo masuk.” Bara berteriak, mencoba mengalahkan bunyi hujan. Gadis itu menggeleng, ia masih bertahan pada posisinya dan mengabaikan suara itu.             Bara melotot tajam lalu memilih keluar dari mobil, membiarkan beberapa tetes air hujan membasahi rambutnya dan pakaiannya.            "Ayo masuk." katanya sambil mengusap rambutnya yang basah.             “Aku nunggu Kamal.” jawab gadis itu sambil mengigit bibirnya. Ia mendongak dan melihat Bara menjulang tinggi di depannya. Ia bahkan mundur dua langkah agar tak terlalu dekat dengan laki- laki itu.             “Sampai kapan? Kamu udah nunggu berapa lama?” tanyanya dengan nada geram. Gadis di depannya menunduk lalu memilin jari- jarinya. “kamu bisa sakit kalau di sini terus.” Lanjutnya dan tepat saat itu sebuah mobil berhenti tepat di belakang mobil Bara. Kaca jendelanya terbuka, menunjukkan sosok Kamal. Wajah Ayra menengadah dan tersenyum saat menemukan sepasang mata milik Kamal.             “Aku pulang sama Kamal aja.” Kata gadis itu lalu sedikit berlari dan masuk ke mobil Kamal.             “Duluan, Bar.” Kamal sedikit berteriak. Bara tidak menjawab, hanya memerhatikan mobil itu melaju dan menghilang dari pandangannya. Laki- laki itu menghela pas lalu memilih duduk di bangku halte dan merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan sebungkus rok0k dan mengambil satu lintingan dari kotaknya. Setelah menyulut ujungnya dengan pematik api, ia menghisap ujung lainnya dalam- dalam lalu mengeluarkan asapnya melalui mulut.             Pandangan Bara terpaku pada rintik hujan yang ada di depannya. Pikirannya melayang pada sosok gadis yang baru saja pergi. Ia tidak tahu lagi bagaimana cara meluluhkan gadis itu. Ia bahkan sudah berusaha menekan egonya demi gadis yang sampai saat ini masih juga tak menganggapnya. Hati gadis itu terlalu beku hingga kebaikan yang selama ini ia lakukan tak pernah ada artinya.             Bara seharusnya tak terlalu berharap banyak mengingat apa yang sudah ia perbuat pada gadis itu saat sekolah menengah atas. Ia merenggut kebebasan gadis itu selama lebih dari setahun penuh. Ia juga melakukan hal- hal yang keterlaluan pada saudara kembarnya. Namun saat Lara justru memberikan maaf untuknya, kenapa gadis itu sepertinya masih menyimpan dendam padanya.             Bara berpikir bahwa waktu yang ia berikan pada gadis itu sudah cukup untuk menyembuhkan luka gadis itu akibat perlakuannya yang semena- mena pada gadis itu. Ia pikir dengan melepaskan gadis itu, gadis itu bisa melupakan semuanya dan menatapnya sebagai orang baru.             Ia telah banyak berubah. Ia bukan lagi Bara yang hobi bertengkar dan egois. Ia telah menekan egonya saat menghadapi gadis itu. Namun gadis itu tak berubah. Gadis itu terus menatapnya sebagai seorang musuh. Tatapan yang terasa menyakitkan baginya. Ia tak menyangka bahwa ketulusannya tak bisa berbalas. Gadis itu sepertinya telah memasang alarm pada sosoknya sehingga selalu memasang mode perang saat ia mendekatinya.   ***               Laki- laki itu memasuki sebuah studio foto. Para karyawan di sana yang sudah sangat mengenalnya menyapanya dengan ramah.             “Radit, ada?” tanya Iras pada seorang perempuan yang ada di balik meja kaca besar yang ada di sana.             “Ada, mas. Di ruangannya.” Jawabnya sambil menunjuk ke tangga yang ada di belakang. Tanpa menunggu, Iras langsung melangkahkan kaki menuju lantai atas. Tempat yang juga tidak asing baginya. Langkah kakinya yang cepat menimbukan bunyi saat telapak sepatunya menyentuh anak tangga.             Ia pergi ke salah satu ruangan yang ada di sana. Ruangan yang sudah sangat ia hapal. Ia bahkan sudah mulai hapal dengan seluk beluk ruko tiga lantai itu.             “Sa…” Iras membuka pintu tanpa mengetuk dan melihat sahabatnya tengah duduk membelakanginya, dengan tatapan tertuju pada jendela yang langsung mengarah ke jalanan.             Iras mendekat lalu duduk di seberang Mahesa yang sudah membalik kursi besarnya. Wajah laki- laki itu muram.             “Ciara udah jadian sama Nugi.” Iras memberitahu. Mahesa menatap Iras dengan wajah dingin lalu tersenyum kecut.             “Gue udah tahu. Gue ada di sana tadi.” Jawabnya dengan nada lirih.             “Dan lo diam aja?” Iras melipat kedua tangannya di d**a sambil menggeleng pelan. Ia tak mengerti dengan jalam pikiran sahabtanya. Ia tahu seberapa besar laki- laki itu berjuang hingga ada di posisi ini demi gadis itu. Ia tak tahu bahwa laki- laki itu akan menyerah begitu saja.             “Gue datang di saat yang salah. Lo mau gue ngapain? Ngerubah pikiran Ciara.” katanya, “setelah gue pergi bertahun- tahun, lo pikir gue bisa bikin dia nolak cinta Nugi?” lanjutnya dengan nada frustrasi. Ia berdiri, membelakangi Iras dan terpaku di depan jendela. Ia menatap jalanan. Menatap lalu lalang kendaraan yang memadati jalanan.             “Terus apa gunanya semua yang udah lo punya sekarang. Lo pergi untuk memantaskan diri buat Ciara. Dan sekarang lo ngebiarin Ciara jatuh ke laki- laki lain.” Iras tak kalah frustrasi.             “Bukan gitu.” selak Mahesa sambil berbalik. Ia bisa melihat kejengkelan dalam tatapan sahabatnya. “gue akan tetap temuin Ciara.” katanya. Pinggang laki- laki itu menyandar pada tepi jendela besar itu. Tatapannya terarah pada sahabatnya sepenuhnya.             “Kapan? Jangan sampai lo temuin dia pas jadi undangan di pernikahan dia.” ejek Iras.             Mahesa menghela napas panjang. “Gue butuh muncak dulu, nih. Lo mau ikut?” katanya sambil memijat- mijat kepalanya yang tiba- tiba terasa pusing. Ia tahu bahwa ia butuh melepas penatnya sejenak. Ia berpikir bahwa mendaki adalah pilihan yang tepat.               “Bisa- bisanya lo, ya, mikirin naik gunung di saat kayak gini?”             “Gue butuh berpikir jernih. Ini semua di luar rencana gue. Gue perlu menangkan diri buat berpikir langkah apa yang seharusnya gue ambil selanjutnya.” Jawab laki- laki itu.             “Kapan?” tanya Iras akhirnya. Ia tahu bahwa laki- laki itu cukup terpukul dengan apa yang baru saja dilihatnya. Mungkin laki- laki itu memang perlu berpikir sejenak sebelum memutuskan langkah selanjutnya.             “Lusa, Merbabu.” jawabnya. Ia menghela napas lalu kembali memusatkan pandangannya ke luar jendela di mana hiruk pikuk terjadi. Ia percaya tidak pernah ada yang sia- sia. Yang ia perlukan hanya lebih banyak waktu untuk mempersiapkan diri bertemu dengan Ciara dengan status baru gadis itu. Bagaimanapun ia harus mengungkapkan semua pada gadis itu. Meskipun resiko ditolak kali ini jauh lebih besar.             Ciara tidak salah. Dirinya lah yang patut disalahkan karena terus menerus mengulur waktu untuk menemui gadis itu. Ia pikir Ciara bisa menunggunya. Ia tidak menyangka bahwa waktu dapat mengubah segalanya. Bahwa akhirnya gadis itu berada dalam pada titik keputus asaan menunggu dirinya.  TBC LalunaKia
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN