Lara menatap Kamal yang tengah sibuk memasukkan barang- barang ke dalam carrier miliknya. Ia mengunyah kentang goreng dalam mangkuk di tangannya sementara Kamal memeriksa kelengkapan pendakian mereka sekali lagi. Lara duduk di atas ranjangnya. Ia melipat kedua kakinya lalu kembali menatap benda pipih di tengannya. Ia kembali berselancar di dunia maya.
Setelah memastikan semuanya lengkap dan tak ada yang tertinggal, Kamal membalik badan lalu melemparkan diri hingga terjatuh di atas ranjang, tepat di samping Lara. Ia mendekat ke arah Lara yang sebelah tangannya masih fokus menscroll layar ponsel dengan tangan satunya lagi menyomot kentang goreng yang mangkoknya di taruh di sampingnya.
“Bagi dong.” katanya. Lara tersenyum lalu mengambil satu kentang goreng namun menyelipkan setengahnya di antara bibirnya dan meninggalkan sisanya diluar mulutnya. Ia menatap Kamal yang menatapnya bingung hingga akhirnya terpaku saat Kamal memajukan wajahnya hingga bibirnya berhasil menggapai setengah kentang itu. Mata Lara membulat. Bibirnya keduanya sangat dekat dan nyaris bersentuhan. Tatapan Kamal menghipnotisnya hingga untuk beberapa detik, ia bisa merasakan debaran jantungnya yang tiba- tiba menggila.
Kamal yang pertama kali memutus kontak. Ia menggigit kentang itu lalu kembali berbaring dan menatap langit- langit kamar gadis itu.
“Gimana sama Dila?” tanya Lara untuk memecah kecanggungan. Ia masih berusaha menetralkan detak jantungnya yang tiba- tiba terasa berada di luar kendalinya.
“Ya begitu.” Jawabnya. Kamal merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia melihat bagian belakang tubuh Lara yang duduk membelakanginya. Rambut panjang gadis itu dicepol asal- asal sehingga menyisakan beberapa anak rambut di berbagai sisi kepalanya. Sebelah tangannya terulur dan hampir menyentuh pudak gadis itu saat gadis itu bertanya,
“Kapan jadian? Kalau beneran serius langsung tembak aja.”
Sentuhan tangan Kamal yang nyarin mencapai bahu gadis itu berhenti. Ia berdiam semalam beberapa saat dan kembali menurunkan tangannya. Ia melihat gadis itu menoleh ke arahnya. Tampak begitu menantikan jawabannya.
“Nyantai aja lah. Pacar bukan sebuah prioritas sekarang, gue jalanin dulu aja sama dia.” kata Kamal sambil bangun dari posisi tidurnya. Ia mengambil posisi di depan Lara. Tangan laki- laki itu terulur untuk menyibak rambut yang tak ikut terikat, yang nyaris menutupi mata gadis itu.
Tatapan kedua saling mengunci. Keduanya menatap ke manik mata orang yang ada di hadapannya. Kamal selalu mengagumi wajah itu, kulit wajah kuning langsat, dengan mata bulu mata lentik yang membingkai dua mata bulat yang baginya selalu tampak menggemaskan.
“Tapi gue setuju banget kalau lo sama Dila.” Kata Lara. Kalimat itu susah payah keluar dari mulutnya. Di bawah tatapan Kamal yang selalu bisa menjerat semua gadis, Lara mulai kehilangan kendalinya.
“Iya, gue tahu maksud lo baik. Tapi gue bosen sama sesuatu yang berbau instan. Gue mau menikmati prosesnya dulu.” jawabnya sambil mengacak- acak rambut gadis itu. Matanya melirik jam di dinding di ruangan dan menyadari bahwa sudah waktunya gadis itu tidur.
“Udah malem, lo tidur ya, besok gue ke sini pagi- pagi. Lo mau gue buatin s**u cokelat dulu nggak?” tanyanya. Gadis itu menggeleng. “yaudah, gue balik dulu, ya.” lanjutnya sambil mengusap pucuk kepala Lara. Ia mengambil mangkuk yang tergeletak di atas ranjang dan membawanya ke dapur.
Mata Lara terpaku hingga akhirnya sosok Kamal menghilang di balik pintu. Ia mengusap- usap dadanya. Berusaha menghilangkan perasaan aneh dalam hatinya.
Kamal pergi ke dapur dan menemukan Ayra ada di sana. Gadis itu sedang termenung seorang diri di salah satu kursi meja makan yang kosong. Di depannya, ada gelas berisi s**u cokelat yang tampak belum tersentuh sedikitpun.
“Lo belum tidur?” tanya Kamal. Gadis itu mendongak lalu menggeleng pelan. Ia melihat laki- laki itu mendekati bak sink dan mencuci mangkok yang ia bawa dari kamar Lara.
“Lo besok jadi naik gunung?” tanya Ayra. Ia menoleh dan melihat laki- laki itu menaruh mangkok yang baru saja ia cuci di rak untuk meniriskannya dan berjalan mendekatinya hingga duduk di depannya. Laki- laki itu mengangguk dan tersenyum melihat Ayra mengurucutkan bibirnya sebal.
“Gue ke kampus sendiri dong.” Keluh gadis itu mengambil gelas berisi s**u dengan sebalah tangannya dan menyesapnya pelan. Kamal tersenyum lalu menopang wajahnya dengan sebelah tangannya
“Kan ada Bara.” katanya.
“Dih, nggak usah bawa- bawa dia deh.” Keluh Ayra dengan nada jengkel. Ia melihat laki- laki di depannya terkikik geli.
“Coba deh, lo sedikit buka mata lo. Lo pasti lihat kalau Bara benar- benar tulus sama lo.” Ujar Kamal.
Ayra kembali menyesap isi gelasnya sambil menggeleng pelan. Menolak mentah- mentah pendapat sahabatnya. “Nggak akan dan berhenti jodoh- jodohin gue sama Bara. Gue itu nggak suka sama dia.” Kata Ayra dengan nada yang tak bisa diganggu gugat.
“Terus sukanya sama siapa?” tanya Kamal dengan nada jahil dan tiba- tiba membuat Ayra terdiam. Matanya menatap laki- laki di depannya yang tengah tersenyum. Senyum lembut yang berulang kali membuatnya jatuh cinta.
Elo, Mal…katanya dalam hati. Dia tidak cukup berani untuk mengatakan yang sebenarnya atau mungkin memang belum waktunya. Persahabatannya jelas akan menjadi pertaruhan kalau ia mengungkapkan perasaannya pada laki- laki itu. Ia tidak akan pernah bisa mempertaruhkan persahabatannya yang berharga. Membaiknya hubungannya dengan Lara yang akhirnya kembali mendekatkannya dengan Kamal adalah sebuah keajaiban buatnya. Ia tidak akan sanggup jika ia kehilangan laki- laki itu jika laki- laki itu menolak perasaannya.
Ayra menelan ludah lalu memutus kontak. Ia menatap sekeliling. Ke manapun agar Kamal tak menyadari bahwa jantungnya kerap berdegup kencang saat Kamal menatapnya dengan intens. Ia tahu tatapan itu tak berarti apa- apa bagi laki- laki itu, tapi baginya, tatapan itu terasa menghentikan semua fungsi tubuhnya.
“Buruan abisin susunya, abis itu tidur, udah malam.” Kata Kamal. Ia melihat sebelah tangan gadis itu mengambil gelas dan menandaskan isinya. Gadis itu berdiri lalu manaruh gelas bekas pakainya di bak sink. Ia kembali membalik badan dan menyandarkan pinggangnya pada tepi kitchen set.
“Hati- hati, ya, Mal.” Kata Ayra pada Kamal yang langsung mengulas senyum tipis. Ia melihat laki- laki itu mengangguk pelan.
“Lo juga, ya, baik- baik saat nggak ada gue sama Lara.”
Ayra mengangguk. Ia melihat laki- laki itu berdiri dari duduknya dan berjalan pelan menghampirinya hingga berada tepat di depannya.
“Gue balik dulu.” Laki- laki itu mengusap pucuk kepala Ayra lalu berpamitan. Ayra melihat punggung laki- laki itu menajuh dari tempatnya hingga menghilang di balik tembok.
Ia menyentuh kepalanya yang baru saja di sentuh Kamal dan merasakan hangat mulai menjalari hatinya. Laki- laki selalu manis seperti biasanya. Hal- hal yang selalu membuatnya jatuh cinta.
***
Ayra menatap sebelah kursinya yang kosong. Biasanya Kamal selalu duduk di sebelahnya. Dosen baru saja menyudahi mata kuliah dan kini terlihat berjalan pelan keluar dari kelas. Beberapa temannya mulai membereskan buku- bukunya dan memasukkannya ke dalam tas lalu keluar dari kelas untuk makan siang.
“Ke kantin nggak, Ay?” Salah satu temannya bertanya padanya. Ia mengangguk dan meminta gadis itu pergi lebih dulu. Ia mengambil ponsel dari tasnya dan menyadari tak ada pesan yang masuk ke benda pipih itu. Pesan yang ia kirim pada Kamal dan Lara tak berbalas, bahkan belum terbaca sejak tadi pagi.
Setelah menarik napas panjang, ia mulai memasukkan buku- bukunya ke dalam ranselnya lalu berdiri dan keluar dari kelas yang sudah kosong. Ia berjalan menyusuri lorong kelasnya, menuruni tangga dan berbelok ke kanan untuk menuju kantin.
Ayra menatap kosong ke arah lapangan. Lapangan itu biasanya ramai saat sore, saat jam kuliah terakhir berakhir. Biasanya sekelompok anak bermain bola hingga malam.
Ia melirik sepiring siomay dan es jeruk teronggok di depannya tanpa minat. Keduanya sama sekali tak menggugah seleranya. Matanya memicing saat melihat seorang laki- laki berjalan ke arahnya. Laki- laki itu memakai kemeja hitam polos juga celana jeans warna serupa. Sneaker putih itu tampak kontras dengan warna pakaiannya. Laki- laki itu tersenyum, hingga akhirnya tubuh tegap laki- laki itu menjulang tinggi di depannya.
“Tumben sendiri. Yang lain ke mana?” Bara bertanya. Ia duduk di depan Ayra yang langsung melengos karena sosok laki- laki itu menghalangi pandangannya.
“Naik gunung.” Jawabnya singkat. Bola matanya masih berkeliling ke mana- saja. Mencoba menghindari tatapan laki- laki di depannya.
“Lho, kenapa nggak bilang, tahu gitu tadi aku jemput di rumah.”
“Nggak perlu.”
Bara mengikuti arah pandang Ayra sementara sebelah tangannya bergerak merogoh tasnya dan mengeluarkan sebatang cokelat.
“Nih. Mood kamu kayaknya lagi jelek banget.” Bara menaruh sebatang cokelat itu di depan Ayra. Gadis itu meliriknya tanpa minat.
“Sedih banget, ya, ditinggal Kamal doang?” kata Bara dengan nada memancing. Kali ini Ayra langsung menoleh dan merubah mimik wajahnya. Ia tidak ingin Bara mengetahui isi pikirannya.
“Kata siapa? Biasa aja.” Jawabnya sambil mengambil cokelat itu dan membuka bungkusannya. Bara tersenyum melihat gadis itu mengigit sepotong kecil cokelat batangan itu. Untuk beberapa saat, Bara membiarkan gadis di depannya fokus pada cokelatnya.
Pandangan gadis itu kembali ke lapangan, sama sekali tidak berminat melihat laki- laki di adepannya. Yang ia tahu tatapannya terlalu intens dan membuatnya tak nyaman.
“Besok nggak ada acara, kan? Ke pantai yuk.” Ajak Bara. Tatapan keduanya bersiroboK saat mata gadis itu menatapnya. Gadis itu tampak berpikir sebentar, lalu mengeleng pelan.
“Males, ah.” Katanya sambil membungkus kembali cokelat batangan pemberian Bara yang tinggal setengah.
“Oke, besok pagi- pagi aku jemput.” Katanya sambil berdiri, lalu melanjutkan, “nanti pulang aku yang antar sekalian minta izin ke Om Wijaya.” Bara mengulurkan tangannya untuk mengusap pucuk kepala Ayra pelan. Gadis itu mendesis lalu menatap punggung Bara yang menjauh dengan perasaan kesal.
“Dasar egois.” Keluhnya. Ia merapikan rambut panjangnya dengan sebelah tangannya.
***
Ciara yang sedang dalam perjalanan menuju kampus bersama Nugi tiba- tiba menyuruh laki- laki itu menepi setelah membaca pesan dari Diana, sahabatnya.
“Kenapa, Ra?” tanya Nugi. Ia membuka kaca helmnya dan sedikit menoleh ke belakangnya. Ke arah Ciara yang sedang menatap ponselnya.
“Cari tempat cetak foto dulu ya, Gi. Diana nitip cetakin foto. Katanya tempat yang biasa depan kampus lagi tutup.” Kata Ciara tepat saat sebuah foto di kirim ke ponselnya.
“Oh, yaudah.” Laki- laki itu menutup kaca helmnya, lalu motor itu kembali melaju. Menyusuri jalan dengan pandangan Ciara yang terus melirik kanan kiri, berharap menemukan tempat yang dicarinya.
“Nah, depan ada tuh, Gi.” Tangan gadis itu terulur ke depan. Menunjuk sebuah studio foto yang terlihat olehnya. Nugi menjawab dengan anggukan lalu menghentikan motornya di tempat yang dimaksud. Motor itu parkir di parkiran yang ramai itu.
Ciara turun dari motor dan menatap plang yang terpampang di atas ruko itu. ‘Mr. R Photography’. Ia terdiam. Cukup lama matanya menatap tulisan dengan cetakan berwarna merah terang itu hingga suara Nugi menyadarkannya.
“Gue tunggu di luar aja, ya.” Katanya. Ciara mengangguk lalu masuk ke tempat itu. Tempat itu cukup ramai. Dengan etelase kaca panjang yang memisahkan antara karyawan dan pelanggan. Di sisi lainnya, ada meja panjang dengan beberapa komputer dan orang di baliknya. Di sudut ruangan, ada bingkai- bingkai foto yang tersusun rapi. Di sudut lainnya ia melihat beberapa potret alam, jalanan, taman orang dan masih banyak lagi.
Seorang gadis berseragam menyambutnya dengan ramah dan bertanya padanya apa yang bisa ia bantu. Ciara mendekati gadis itu, dan setelah mengutarakan maksudnya. Gadis itu memintanya mengirimkan foto yang ingin dicetak ke alamat email yang tertulis di atas etalase kaca itu. Ciara melakukannya dan gadis itu memintanya menunggu sebentar.
Langkah kaki membawanya ke sudut dengan foto- foto berbingkai dengan berbagai tema, yang dipotret dengan sangat apik oleh sang fotografer. Tanpa sadar ia melengkungkan senyum hingga akhirnya matanya menangkap satu foto yang tampak tidak asing baginya. Senyumnya lenyap. Dilihatnya foto berukuran sedang itu baik- baik. Seorang gadis tampak belakang yang tengah menyebrang jalan. Matanya membulat, memastikan bahwa gadis dalam foto itu benar- benar dirinya. Gadis itu sedang menoleh ke samping dengan sebelah tangannya yang terulur untuk menyetop beberapa kendaraan yang mendekat. Foto hitam putih itu cukup membuat Ciara yakin. Itu dirinya, baju, tas dan tempat di mana foto itu diambil diketahuinya dengan sangat jelas.
Ciara menggigit bibirnya lalu melihat tulisan di bawah foto itu. ‘Mr. R Photography’. Ia menelan ludah dengan susah payah. Mungkinkah?
“Mbak Ciara.” Suara itulah yang akhirnya membuyarkan lamunannya. Ciara menoleh ke asal suara lalu mendekat ke arah si pemanggil. Kasir itu meminta Ciara mengecek hasil cetakan sebelum menyebutkan nominal yang harus dibayarnya.
“Mbak, saya boleh tanya, foto itu, siapa yang ngambil gambarnya ya?” tanyanya sambil menyerahkan selembar uang seratus ribuan kepada si kasir.
“Oh, semua foto yang ngambil fotografer kita, mbak.” Jawabnya sambil mengetikkan jari- jarinya di mesin kasir.
Ciara berpikir sebentar. Fotografer itu tak mungkin hanya satu orang. Ia akhirnya bertanya lagi. “kalau yang punya ini, namanya siapa, Mbak?”
“Namanya Mas Radit, mbak.” Jawabnya lagi.
“Kalau kira- kira saya mau ketemu dia, bisa?” tanya Ciara sambil mengambil uang kembalian dari tangan di kasir.
“Susah sih, mbak. Dia jarang ada di sini. Dia paling biasanya janjian sama klien yang mau pakai jasa foto prewedding atau wedding, atau yang lainnya.” Terang si kasir.
“Kalau misalnya saya mau pakai jasa fotografer untuk prewedding, bisa dia yang tangani langsung?” tanya Ciara lagi.
“Nggak juga sih, mbak. Kalau jadwal dia lagi penuh, biasanya anak buahnya. Soalnya, dia suka ada kerjaan di luar kota juga.”
Ciara mengangguk lalu tersenyum. Setelah mengucapkan terima kasih ia keluar dari ruangan itu.
“Udah?” tanya Nugi yang langsung berdiri begitu melihat Ciara keluar. Ciara mengangguk. Sekali lagi, sebelum motor Nugi melaju meninggalkan tempat itu, ia menatap plang itu baik- baik.
TBC
LalunaKia