CHAPTER TUJUH

1379 Kata
            Hari masih sangat pagi saat Bara sedang sibuk di dapur. Laki- laki itu baru selesai membuat beberapa potong sandwich setelah sebelumnya membuat salad. Kini kakinya bergerak mendekati kulkas. Ia mengeluarkan beberapa buah- buahan yang ada di sana lalu mencucinya, memotongnya dan menatanya di dalam kotak makan.             “Kamu jadi pergi?” suara itu membuat Bara langsung menoleh ke seumber suara. Ia mengangguk lalu melihat Irawan mendekat ke arahnya.             “Wah…” Irawan berseru saat melihat apa yang anaknya buat untuk bekal ke pantai hari ini. “Papa nggak kebagian, nih?” tanyanya saat ia duduk di salah satu kursi di meja makan.             “Kebagian dong.” Kata Bara. Ia menaruh beberapa potong buah ke kotak makan yang sudah berisi roti isi dan salah. “Nih, buat papa ngemil.” Bara menutup kotak makan tiga sekat itu dan mendorongnya ke arah Irawan yang langsung tersenyum dan mengucapkan terima kasih.             “Papa ke rumah sakit jam berapa?” Bara bertanya. “kok jam segini udah bangun.” Ia masih sebelah tangannya masih memegang pisau untuk memotong buah dan menaruhnya di kotak- kotak makan yang ia sediakan di atas meja.             “Papa ada operasi jam tujuh nanti.” Jawab Irawan. Ia melihat Bara mengangguk. Laki- laki itu masih sibuk menyiapkan bekal untuk piknik mereka.             ***               Jam menunjukkan pukul setengah enam pagi saat kedua laki- laki itu sampai di salah satu puncak gunung Merbabu. Mahesa dan Iras menarik napas dalam- dalam. Menghirup udara segar yang tidak akan pernah mereka jumpai di Jakarta. Mahesa meminum air dari botolnya sambil berjalan menjauhi Iras. Ia menatap awan yang bergulung- gulung di depannya dengan langit biru yang hampir memerah. Siluet gunung- gunung mempercantik pemandangan di depannya.             Mahesa tersenyum lalu memasukkan telapak tangannya ke dalam saku jaket. Selain mereka berdua, ada beberapa pendaki lain yang juga tengah menikmati sunrise di tempat itu.             “Nggak ada bosen- bosennya, ya.” Mahesa menoleh dan melihat Iras tersenyum ke arahnya.             “Gunung memang satu- satunya tempat gue pulang, Ras. Gue nggak akan pernah bosan meskipun udah melihat pemandangan ini berpuluh- puluh kali.”             Iras mengangguk, membenarkan kata- kata sahabatnya. “Sesuatu yang indah memang hanya bisa didapat dengan sebuah perjuangan.” Kata Iras. Mengingat perjalanan pendakian mereka yang diselimuti hujan deras dan badai. Tapi bagi Mahesa, kata- kata Iras memiliki makna lain. Sesuatu yang indah memang hanya bisa didapat dengan sebuah perjuangan. Katanya dalam hati dan wajah Ciara muncul tanpa diminta.                   Ia berpikir, kapan lagi ia punya keberanian untuk menemui gadis itu. Setelah pendakian ini, ia harus bertolak ke Kalimantan karena terlibat kontrak dengan sebuah majalah pariwisata selama satu bulan penuh.             Tapi ia yakin waktunya akan tiba. Waktu di mana mereka bertemu, ia akan memeluk gadis itu dan mengumamkan maaf lalu menceritakan mengenai kepergiannya selama empat tahun. Tidak akan ada pernyataan cinta dan tuntutan untuk menjawab. Hanya sebuah pelukan hangat dan permohonan maaf.   ***               Langkah gadis itu mendekat ke bibir pantai. Pasir putih membentang sejauh mata memandang dipadu dengan birunya air yang memanjakan mata. Setelah menempuh perjalanan selama empat jam lebih, Bara berhasil membawanya ke sebuah pantai di daerah Banten.             Pantai berpasir putih itu berhasil membuat Ayra mengosongkan rongga paru- parunya yang akhir- akhir ini terasa sesak. Ia menunduk dan melihat air pantai membasahi telapak kakinya yang hanya terbalut sandal jepit. Suasana pantai yang sepi itu kian membuat gadis itu tenang. Ia memejamkan matanya dan menghirup udara dalam- dalam hingga akhirnya sebuah sentuhan mengagetkannya.             “Maaf.” Kata laki- laki itu. Ia melihat Bara mengambil sebelah tangannya dan mengoleskan krim ke ujung tangan hingga lengannya. Ayra terdiam, matanya menatap Bara yang tengah fokus pada kegiatannya.             “Kamu belum pakai sunblock kan?” tanyanya sambil mengusapkan krim ke tangan Ayra yang satunya. Setelah itu, ia memberikan botol itu pada Ayra. Menyuruh gadis itu memakai di kakinya yang terbuka.             Ayra mengambilnya, lalu menaruhnya krim itu di telapak tangannya dan mengusapkannya ke kakinya yang hanya terbalut celana pendek. Setelah itu ia mengembalikan botol itu pada laki- laki yang berdiri di sebelahnya. Laki- laki itu tersenyum lalu membuka topinya dan menaruhnya di atas kepalanya. Membuat kepalanya terlindungi dari sengatan sinar matahari.             “Kalau emang kamu punya sesuatu yang pengen kamu katakan. Kamu teriak aja. Aku akan ada di belakang kamu.” Kata Bara.             Laki- laki itu mundur tiga langkah, membiarkan Ayra kembali menatap hamparan air yang terbentang luas di depannya. Ia menatap sosok Ayra yang hari itu memakai kaos berwarna merah dan tampak kontras dengan kulitnya yang putih.             Kalau ada sesuatu yang ingin ia teriakkan, itu adalah ungkapan perasaannya pada Kamal. Luapan kasih sayang yang selalu ingin ia lontarkan di depan laki- laki itu. Hingga akhirnya laki- laki itu mengerti perasaannya dan ia tak perlu menanggung rasa yang semakin hari semakin terasa menyesakkan d**a.             Ia menoleh, melihat Bara yang menyunggingkan senyum ke arahnya. Senyum tulus itu mengisyaratkan bahwa ia siap mendengar apapun luapan emosinya. Meski itu hal terburuk baginya sedikitpun.             Ayra mengigit bibir bawahnya. Matanya menyapu sekeliling pantai yang sepi. Di antara desakan untuk melupakan perasaannya, sekali lagi, matanya tertumbuk pada Bara yang tampak tenang. Ia tak tahu apa yang sedang laki- laki itu pikirkan.             Ayra berpikir bahwa ia sudah terlalu sering menyakiti perasaan Bara. Ia sudah terlalu sering bersikap kasar, tak acuh, ketus pada laki- laki itu. Dan laki- laki itu selalu kembali padanya. Laki- laki itu tak peduli sekeras apapun ia menyuruhnya pergi. Laki- laki itu selalu menganggap semua perlakuan kasarnya adalah sebuah angin lalu.             Ia menarik napas lalu berjongkok, memainkan pasir dengan ujung telunjuknya. Ia sadar, menjaga perasaan seseorang tentu lebih baik daripada bersikeras mengungkapkan apa yang ia rasakan.             Ia tahu perasaan laki- laki itu padanya, dan pernyataan cinta untuk Kamal yang akan keluar dari mulutnya hanya akan membuat laki- laki itu sakit hati. Ia melihat dengan jelas binar cinta dalam setiap tatapan laki- laki itu. Perasaan yang tidak akan pernah bisa dibalasnya, karena hatinya sudah tertambat pada sebuah hati.             ***                         Lara tidak menyangka akan kembali bertemu Mahesa di tempat ini. Tempat yang selalu ia jadikan pelarian bersama Kamal, sahabatnya. Ini seperti mimpi bisa melihat Mahesa berada di puncak Merbabu. Laki- laki itu bersama Iras, orang yang juga sudah sangat dikenalnya.             Setelah menikmati pagi di puncak Merbabu, Lara dan Kamal meninggalkan rombongan untuk turun lebih dahulu bersama Mahesa dan Iras. Perjalanan itu menjadi kian berwarna bagi Lara. Ia mengobrol banyak dengan Mahesa sementara Iras dan Kamal berada cukup jauh di depan mereka.             Bagi Mahesa, Lara sama sekali tidak berubah. Gadis itu tetap terlihat tangguh seperti dulu dan kini bahkan terlihat lebih ceria. Gadis itu tak sungkan bercerita mengenai berbagai hal dan bertanya pengalaman mendaki Mahesa yang sudah jauh di atas pengalamannya bersama Kamal.             “Saudara kembar kamu sehat?” tanya Mahesa saat mereka tengah beristirahat.             “Baik, kak.” Jawab gadis itu sambil meneguk minumannya. Ia melihat Mahesa mengangguk lalu melakukan hal serupa.             “Masih di kejar- kejar Bara?” tanya Mahesa lagi.             “Masih. Bara mah pantang menyerah. Udah ditolak tetap aja ngeikutin ke mana Ayra pergi.” Jawabnya sambil terkekeh pelan.             “Nih, Ra. Makan dulu.” Pembicaraan mereka diinterupsi oleh kedatangan Kamal yang membawa makanan yang baru saja selesai dimasaknya bersama Iras untuk Lara.             “Thanks, Mal.” Jawabnya.             “Yaudah, gue ke Iras dulu ya. Kalau emang udah siap buat lanjut, bilang aja.” Kata Mahesa lalu berdiri lalu berjalan mendekati Iras yang masih sibuk dengan kompor mini nya. Mereka memang memutuskan untuk turun ke bawah bersamaan.             “Jangan dibikin baper anak orang.” Kata Iras saat melihat Mahesa duduk di depannya. Dahi Mahesa berkerut bingung.             “Maksudnya?” tanyanya sambil mengambil piring yang disodorkan Iras ke arahnya. Mahesa mengikuti arah pandangan Iras yang berlabuh pada Lara.             “Si Lara kayaknya ada rasa sama lo.” Jelas Iras. Ia melihat Mahasa tertawa geli.             “Jangan ngaco.” Sangkal Mahesa.             “Nggak percaya. Matanya beda kalau ngomong sama lo.”             “Kita cuma sedikit nostalgia kok.”             “Nostalgia bagi lo, bagi dia numbuhin benih- benih cinta.” Kata Iras dengan mulut penuh dengan makanan.             “Emang dia belum punya pacar di kampus?”             Mahesa melihat sahabatnya menggeleng. “Cuma Kamal yang setiap hari kelihatan sama dia.”             Mahesa menatap Lara dan Kamal yang duduk tak jauh dari tempatnya. Ia tidak sempat berpikir apa benar yang dikatakan Iras. Baginya, Lara tak lebih dari seseorang yang dianggapnya adik. Gadis yang sempat menempati posisi Bara, saudara tirinya.  TBC LalunaKia
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN