Kang Sarmin

1292 Kata
Kang Sarmin, pria berusia 30-an yang sudah memiliki istri dan dua orang anak, adalah seorang joki pencari kerja. Ia bagai dewa penolong bagi para warga desa yang ingin mengadu nasib di kota. Sudah banyak anak-anak di desa yang meminta tolong Kang Sarmin untuk dicarikan pekerjaan di sana. Dari yang lulus SMA bahkan anak-anak yang hanya memiliki ijazah SMP, semua mencoba peruntungan untuk mengais rejeki.  Seperti halnya saat ini yang dilakukan oleh Malika. Setelah tadi pagi ia membicarakan keinginanannya pada ibu dan juga adiknya.  "Aku masih ingat apa yang dikatakan oleh bapak, tapi kita bisa begini terus, Bu." Malika memulai percakapan pagi itu dengan perasaan yang tidak menentu. Di satu sisi ia harus melakukan itu, tapi di sisi yang lain ia masih belum tega meninggalkan sang ibu.  "Kamu memang berharap mendapat perkerjaan apa di sana, Malika?" tanya Ibu Dian pada anak gadisnya.  "Ya, mungkin seperti Minah atau Ratna, Bu, menjadi pembantu rumah tangga. Syukur-syukur seperti Nisa yang mendapat pekerjaan jadi pesuruh di perusahaan-perusahaan besar dengan gajian yang lebih lumayan." "Apa Kakak yakin akan tinggal di kota? Dengan siapa Kakak akan tinggal?" tanya Adi kini.  "Kakak belum tahu, Di. Nanti Kakak akan tanyakan pada Kang Sarmin." Ada helaan nafas berat yang Ibu Dian lakukan. Betapa ia tidak tega melepas anak gadisnya untuk berjuang di kota --tempat yang belum pernah ia injak sejak lahir. "Ibu akan memberi ijin untuk Malika 'kan, Bu?" ucap Malika menatap sendu sang ibu. Namun, tak ada jawaban yang wanita itu berikan.  "Bu, apakah ibu lebih tega jika aku menjadi istrinya Juragan Darma!" tanya Malika lagi.  "Tentu saja Ibu tidak mau kamu menikah dengan pria tua itu!" Cepat sang ibu menjawab. "Pria yang sepantasnya menjadi bapakmu, sampai kapan pun ibu tidak akan rela melepaskan kamu untuk dijadikan istri ketiganya." "Makanya, menurut Malika ini jalan kita satu-satunya agar hutang itu bisa kita bayar, Bu. Selain itu, ini cara aku juga untuk menghindar dari kejaran para anak buahnya Juragan Darma." Ibu Dian dan Adi saling memandang. Namun tak ada kalimat yang keluar dari mulut keduanya.  "Kalian tenang saja, Malika akan baik-baik saja." Di sinilah Malika sekarang, di rumah Kang Sarmin, setelah mendapat ijin dari sang ibu untuk mencari kerja ke kota.  "Ijazah kamu sementara ini cuma berlaku untuk jadi pembantu saja, Malika." Kang Sarmin berkata sembari mengeluarkan asap dari mulutnya. Pria itu sedang merokok.  "Apa enggak ada kerjaan di perusahaan gitu, Kang? Yang gajinya lebih lumayan, kaya si Nisa?" tanya Malika mencoba bernego.  "Sekarang perusahaan belum banyak buka lowongan kerjaaan, Malika. Bukan waktunya anak-anak pada lulus sekolah. Kalau memang nanti kamu enggak betah, dan Akang ada info lowongan di perusahaan, pasti Akang kasih tahu." Begitulah Kang Sarmin, ia selalu berusaha mencari kerjaan yang baik untuk para warga yang meminta bantuannya.  "Ya sudah, kalau memang cuma itu lowongan yang ada saat ini, Malika mau. Tapi Malika akan tinggal di mana nanti, Kang?" "Kalau kamu jadi pembantu rumah tangga, ya, kamu akan tinggal di rumah tempat kamu bekerja 'lah, Malika." "Oh begitu yah, Kang. Lantas bagaimana saya bisa berkomunikasi sama Akang nantinya?" tanya Malika khawatir.  "Itu bukan perkara sulit, Malika. Akang hafal semua anak-anak yang Akang bantu, dimana mereka dan apa pekerjaan mereka. Jadi, nanti Akang akan tengok sebulan sekali ke tempat kamu bekerja." Kesepakatan sudah diambil. Keesokan harinya, Kang Sarmin memberitahu Malika bahwa ia akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai seorang pembantu rumah tangga. Besok pagi ia akan diantar Kang Sarmin untuk menuju rumah dimana Malika akan bekerja.  "Apa saja yang harus saya bawa, Kang, selain pakaian?" tanya Malika saat malam hari sebelum berangkat.  "Bekalmu selama di sana tentu saja." Malika tahu yang lelaki itu maksud adalah bekal uang untuk gadis itu pegang selama merantau.  "Aku sudah tidak punya simpanan, Kang," ujar Malika malu-malu namun berusaha jujur.  Kang Sarmin tersenyum, "tidak apa-apa, Akang mengerti. Nanti biar Akang pinjamkan uang untuk kamu pegang selama kamu belum mendapatkan gaji." "Terimakasih, Kang!" seru Malika terharu.  "Bu, ambilkan dompet Bapak di dekat TV!" teriak Kang Sarmin pada Teh Lilis --sang istri.  Teh Lilis datang dari dalam ruangan lain menghampiri dua orang yang sedang mengobrol di ruang tamu rumah Kang Sarmin. "Ini, Pak!" Memberikan dompet milik suaminya. "Malem, Teh!" sapa Malika pada istri Kang Sarmin.  "Malem juga, Malika. Kamu sudah siap kerja di kota?" tanya perempuan itu sambil duduk di sebelah sang suami.  "Harus siap, Teh. Ini cara yang paling cepat dan lebih baik untuk keluarga saya saat ini." Malika menatap perempuan itu dengan serius.  "Ya, Teteh cuma bisa mendoakan kamu saja. Semoga kamu bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan dari niat kamu ini." "Aamiin!" ucap Malika. "Ini Akang ada sedikit uang untuk kamu pegang selama kamu di sana. Akang yakin uang ini tidak akan kamu pakai. Karena biasanya seperti yang sudah-sudah, para asisten rumah tangga itu tidak akan mengeluarkan uang kalau 24 jam tinggal di rumah majikan. Karena semua fasilitas kalian dapatkan, dari makan sehari-hari dan juga tempat tinggal." "Terimakasih, Kang. Saya akan pegang uang ini dengan sebaik-baiknya. Kalau memang tidak terpakai, pasti akan saya kembalikan pada saat saya sudah mendapatkan gaji." "Kamu tenang saja, Malika. Yang penting kamu bekerja saja dengan benar dan giat, Akang yakin kamu pasti akan betah nantinya." "Iya, Kang!" Malika nampak terharu atas perlakuan yang diberikan oleh Kang Sarmin dan istrinya. Mereka adalah orang-orang yang baik. Malika bersyukur bisa mendapat bantuan dari lelaki itu di saat ia sudah bingung harus mencari pertolongan kemana lagi. "Nanti Teteh akan tengok kamu, Malika. Di sana ada rumah kontrakan kami yang sewaktu-waktu kami tinggali kalau kami sedang ke kota." Teh Lilis menatap lembut gadis yang usianya hanya terpaut lima tahun dengan dirinya itu.  "Baik, Teh. Sekali lagi terimakasih atas bantuan dari Akang dan Teteh untuk saya." *** "Jaga diri Ibu baik-baik. Malika akan sering memberi kabar pada kalian di waktu senggang." Malika berpamitan pada sang ibu dengan wajah yang ia buat setegar mungkin.  "Iya, kamu juga, jaga diri kamu baik-baik di sana. Hanya doa yang bisa ibu panjatkan kepada Allah demi keselamatanmu selama bekerja di kota." "Aamiin. Baik, Bu." Malika mencium kedua tangan sang ibu dengan takzim. Di peluknya tubuh kurus ibunya dengan penuh kehangatan.  "Kakak titip Ibu, yah, Di. Kakak percaya kamu bisa diandalkan." Malika memeluk tubuh adik lelakinya kini.  "Jaga diri Kakak baik-baik selama di sana. Kakak tidak perlu mengkhawatirkan Ibu, ada aku yang akan selalu menjaganya, tapi kakak, kakak sendirian di sana. Kakak 'lah yang harus bisa menjaga diri dengan baik." "Ya, kamu tenang saja!" Ada senyum yang Malika paksakan hadir demi dilihat oleh sang ibu agar berpikir bahwa putrinya akan baik-baik saja.  "Aku pamit!" ucap Malika, kemudian menghampiri Kang Sarmin yang sudah menunggu gadis itu di dalam mobil miliknya. "Sudah selesai?" tanya Kang Sarmin dari balik kemudi ketika Malika hendak masuk ke dalam mobil.  "Iya, Kang!" jawab gadis itu.  Setelah masuk ke dalam mobil, Malika melambaikan tangan ke arah dua orang yang sangat berarti di dalam hidupnya, berdiri melepas kepergiannya untuk mengadu nasib agar kehidupan mereka lebih baik.  "Kamu bersedih?" tanya Kang Sarmin saat mobil sudah keluar dari perbatasan desa.  "Apakah begini suasana yang Akang lihat setiap membawa anak-anak pergi meninggalkan rumah?" "Ya, suasana yang sama. Tapi ada juga beberapa anak yang terlihat biasa saja, keluarga yang biasa juga. Biasanya anak-anak ini pernah bolak balik ke kota meski bukan untuk bekerja. Jadi bukan sesuatu hal yang aneh ketika mereka sunguh pergi untuk waktu yang lama." "Lantas apa yang Akang rasakan?" tanya Malika lagi berusaha menciptakan obrolan agar ia tidak terlalu menangisi kepergiannya meninggalkan ibu dan adiknya.  "Awalnya Akang ikut larut dalam kesedihan teman-teman kamu itu. Tapi lama kelamaan, Akang sudah terbiasa." Tak ada lagi obrolan mengenai perasaan haru diantara Malika dan Kang Sarmin, mereka berdua mengalihkan topik ke pembahasan lain yang lebih ringan, membuat perjalanan yang harusnya ditempuh selama kurang lebih 6 jam, menjadi tidak terasa karena pandainya lelaki dewasa itu dalam membuat lawan bicaranya nyaman dan seolah melepas beban yang mengganjal di hati.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN