Rentenir

1127 Kata
"Biar saja kita hidup seadanya, Bapak masih sanggup kalau hanya memberi kalian makan. Urusan hutang, biar menjadi tanggung jawab Bapak, kalian tidak perlu memikirkannya." "Tapi Bapak juga sakit dan membutuhkan biaya untuk berobat ke dokter." Ketika itu Malika berusaha membujuk sang bapak agar menyetujui keinginannya.  "Bapak enggak butuh dokter, Malika. Cukup istirahat saja, Bapak akan membaik." Itulah bapak, Malika sendiri tidak habis pikir, kenapa lelaki itu melarangnya ke kota. Padahal banyak teman-temannya yang pergi merantau mencari kerja, biarpun hanya menjadi pembantu rumah tangga.  Hingga nafas yang tidak lagi mengaliri raga, bapaknya tetap tidak memberi ijin pada Malika untuk pergi. Tapi kini, kenyataan di depan matanya, memaksa Malika harus memutar otak demi kelangsungan hidup keluarga.  "Tapi kamu enggak bisa hanya mengandalkan dari jualan makanan anak-anak saja. Atau apakah mungkin kamu akan mengganti posisi bapak menggarap kebun Pak Wahyu?" "Aku bisa, Kang?" sahut Adi tiba-tiba yang muncul di tengah obrolan sang kakak dan temannya.  "Adi?" seru Malika. "Sini duduk!" ajak Malika pada sang adik, dan memberi sedikit tempat untuk remaja itu duduki.  "Aku bisa menggantikan peran Bapak untuk meneruskan pekerjaannya menggarap kebun Pak Wahyu itu." Adi menatap Putra yang duduk di depannya.  "Berapa uang yang kalian dapatkan dari menggarap kebun?" tanya Putra. "Bukan aku menyepelekan pekerjaan bapak saat dulu masih hidup, tapi kenyataannya hutang kalian pada lintah darat itu tidak kunjung terbayarkan." "Apa dengan bekerja di kota juga menjamin kami bisa melunasi hutang itu?" tanya Malika balik.  "Setidaknya kamu masih bisa menyicil dan ibu tidak harus merasakan was-was karena didatangi orang-orang itu." Malika dan Adi saling memandang. Ada hal masuk akal dari ucapan yang Putra berikan. Keduanya kemudian hanyut dalam pikiran masing-masing.  "Maafkan aku, Malika, kalau aku terlalu ikut campur dengan urusan keluarga kalian. Padahal aku sendiri tidak bisa membantu kalian secara finansial." "Tidak apa-apa, Putra. Aku malah berterimakasih padamu, kamu selalu ada di saat aku membutuhkan seseorang untuk berbagi. Tapi untuk hal yang tadi kita bicarakan, sepertinya aku butuh waktu untuk memikirkannya." Malika memandang wajah sahabatnya tersenyum.  "Ya, aku tahu itu, Malika. Aku harap kamu bisa mendapatkan keputusan yang tepat. Tak perlu sungkan untuk bercerita padaku, disaat kamu membutuhkan tempat untuk meminta pendapat. Aku akan selalu ada untuk kalian." *** "Malika!" "Malika!" Terdengar suara teriakan seseorang dari luar rumah yang sederhana itu. Malika yang tengah membantu ibunya di dapur, menghampiri ke arah asal suara.  Dua orang pria bertubuh besar, dengan tampang yang mengerikan khas para algojo, menatap tajam pada gadis muda itu.  "Mana uang yang bapakmu janjikan akan dibayar hari ini?" tanya seorang pria dengan tato di lengan kanannya yang berotot, yang Malika ketahui bernama Jana.  "Maaf, Kang. Bapak baru saja meninggal seminggu yang lalu, jadi kami belum bisa membayar hutang pada Juragan Darma." Raut ketakutan nampak di wajah Malika.  "Hei, Malika! Itu bukan urusan kami. Mau bapakmu masih hidup atau sudah mati, hutang tetaplah hutang dan harus dibayar," hardik pria bernama Jana itu.  "Kang, saya tahu hutang memang harus dibayar, tapi apakah tidak bisa Juragan Darma memberi kami waktu lagi?" Malika mulai tersulut emosi kini, setelah mendapat jawaban yang tidak mengenakan dari pria itu.  "Waktu yang kalian minta sudah berkali-kali Juragan Darma kasih. Bapakmu saja yang terus melanggarnya!" "Lantas, apa mau kalian? Meski kalian paksa saya agar membayar hutang hari ini pun, kalian tidak akan mendapatkan apa-apa." "Makanya Malika, kamu terima saja tawaran dari Juragan Darma untuk menjadikanmu sebagai istri ketiganya!" Tawa melecehkan terbit di bibir Jana dan seorang kawannya.  "Jangan mimpi!" dengus Malika dengan menatap jijik pada pria bertubuh besar itu.  "Jangan sok jual mahal kamu, Malika. Banyak perempuan yang mau diperistri oleh Juragan Darma, kamu saja yang sombong dengan menolak tawarannya." "Jangan samakan saya dengan perempuan lain, Kang!" "Hehe, terus bagaimana kamu mau melunasi hutang keluargamu sama Juragan?" sinis Kang Jana.  "Itu urusan saya!" "Baiklah, kami akan memberimu waktu seminggu lagi. Kalau minggu depan kamu masih belum bisa melunasi seluruh hutangmu pada Juragan, maka jangan salahkan saya kalau kamu akan kami tarik untuk dinikahkan dengan beliau!" Kang Jana menatap dengan tatapan membunuh pada tubuh gadis di depannya. Kemudian kedua pria itu beranjak pergi meninggalkan kediaman Malika, dengan tawa yang menggema di sekitar halaman rumah.  Jangan tanyakan bagaimana reaksi warga yang melihat pertunjukan yang dilakukan oleh para anak buah Juragan Darma pada gadis itu. Kebanyakan dari mereka kasihan pada Malika dan keluarganya yang baru saja ditinggalkan sang kepala keluarga, tapi mereka tidak bisa berbuat banyak untuk menolongnya. Selain karena keterbatasan ekonomi yang juga sama dirasakan oleh sebagian warga desa, juga karena Juragan Darma adalah salah satu orang yang paling ditakuti oleh para warga. Pria itu bisa berbuat seenaknya demi keuntungan pribadi.  Malika masuk ke dalam rumah, mencari sosok ibu yang ia suruh untuk diam di dalam. "Kamu tidak apa-apa, Malika?" tanya sang ibu khawatir.  "Malika baik-baik saja, Bu. Ibu tidak perlu khawatir." "Assalamu'alaikum!" teriak Adi memberi salam.  "Wa'alaikumsalam!" jawab ibu dan Malika.  "Kamu sudah pulang, Di?" tanya Malika pada adiknya.  "Iya. Kami semua pulang lebih awal karena para guru ada rapat mendadak. Kalian sedang apa di sini?" "Kami baru selesai masak," jawab Malika mencoba mengalihkan suasana yang sempat mencekam.  "Oh iya, tadi aku ketemu sama anak buah Juragan Darma di jalan. Kang Jana bilang, Kak Malika mau nikah sama pria tua itu. Benar begitu, Kak?" Ibu Dian kaget mendengar ucapan dari putranya itu. "Benar begitulah, Malika?" tanya ibunya menatap nanar sang putri.  "Enggak bener, Bu. Itu hanya asumsinya Kang Jana sendiri." "Tunggu, apa mereka tadi dari sini?" tanya Adi yang terlihat geram. Mendapat anggukan dari Malika dan ibunya.  "Kurang ajar, orang-orang itu memang tidak tahu diri. Kita di sini sedang berduka tapi masih saja tidak tahu waktu." Adi mulai tersulut emosi. "Lantas apa yang mereka katakan tadi?" "Kita hanya diberi waktu satu minggu untuk melunasi, kalo tidak, Kakak akan dibawa oleh mereka untuk dijadikan istri ketiga Juragan Darma." "Kurang ajar!" Gemeretak gigi Adi menahan emosi yang ingin ia keluarkan. "Biar mereka langkahi dulu mayatku jika ingin membawa Kakak pergi!" "Sudahlah, Adi. Biar ini semua Kakak pikirkan, kalian tidak perlu khawatir, aku akan berusaha mencari uang untuk melunasi hutang pada Juragan Darma." *** Malam semakin larut, namun gadis itu masih saja tidak bisa memejamkan kedua matanya. Peristiwa tadi siang terus menghantui pikirannya. "Bagaimana mungkin ia mau menikah dengan pria tua itu dan dijadikan istri ketiganya?" suara hati Malika.  "Apa aku ikuti saran Putra untuk bekerja di kota? Tapi dengan ijazah SMP yang aku punya, mau kerja apa di sana?" Tiba-tiba saja ia teringat ucapan sahabatnya, Putra.  "Ah, besok saja aku tanyakan pada Kang Sarmin!" lirih ia berkata. Setelah berpikir seperti itu, akhirnya Malika bisa memejamkan matanya. Dengan mengharapkan di hari esok ada kabar baik untuk ia dan keluarganya.  Keesokan harinya,  "Paling kalo kamu mau cepet, sementara ini dengan ijazah yang kamu punya, lowongan kerja yang tersedia adalah pembantu, Malika," ucap Kang Sarmin, tetangga gadis itu. Malika masih diam menyimak kalimat demi kalimat yang pria itu ucapkan.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN