Drama

1417 Kata
Setelah dua hari dirawat di rumah sakit dan mengobarkan satu harinya untuk absen kuliah, akhirnya Andira bisa pulang ke kosannya dalam keadaan yang sehat. Begitu pula dengan Diba, dia pulih dengan begitu cepat. Mengetahui sahabatnya yang tidak masuk kuliah, Sila memberanikan diri untuk bolos dan memaksa Angga untuk mengantarnya menjenguk Andira. Awalnya Angga tidak mau karena ia akan mengadakan rapat penting dengan mahasiswa yang lain, selain itu, juga karena ia tidak tahan untuk berduaan dengan manusia cempreng seperti Sila. Bukan Sila namanya kalau tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia melakukan banyak hal supaya Angga bersedia mengantarnya, bahkan ia sampai menyerang Angga dengan cara menjadikan pria itu seperti kuda tunggangan dan menarik rambutnya. Benar-benar bar-bar. Namun, karena aksi bar-barnya itu, Angga bersedia mengantarnya dan terpaksa membatalkan rapatnya yang masih di tengah jalan. Ia juga malu pada mahasiswa/i lain karena diperlakukan seperti itu Sila, si musuh bebuyutnya. Alhasil, Sila dan Angga kini berada di kosan sempit milik Andira. Namun sebelumnya, ada drama ter-alay yang terjadi. Siapa lagi pemain utamanya kalau bukan Sila. Dan Angga lah menjadi korban k*******n dalam pertemanan. *** *Beberapa waktu lalu sebelum sampai di kosan Andira* Sila dan Angga berada di dalam mobil berdua. Sesuai janji yang terpaksa Angga sepakati, ia harus mengantar Sila dan harus merelakan kepentingannya di kampus. Keberuntungan memang tidak selamanya berpihak kepada mereka. Jalanan kota di hari Senin cukup padat dan membuat pengendara lain cukup emosi, termasuk Sila. Meski ia bukanlah menjadi pengendara mobil, namun emosinya meluap-luap karena tidak kunjung terbebas dari kemacetan. Ia bahkan menggerutu, memarahi angin dan membuka kaca jendela mobil untuk melihat keadaan sekitar yang semakin membuatnya muak. Ia sangat tidak sabaran. Kekhawatiran yang dirasakan Sila setiap detik semakin bertambah sampai membuatnya tidak lagi bisa menahan untuk melampiaskan emosinya pada segala sesuatu yang ada di depannya. Jangankan ponsel yang ia hempaskan, bahkan ia juga sampai ingin merebut kemudi dari Angga. Tapi ia juga harus sadar kalau mobil mereka terjebak ditengah pengendara lain. "Kok gini amat sih hari ini" Gerutu Sila tidak sabaran. "Sabar" Ucap Angga dan memutar lagu yang ada di mobilnya. "Gimana mau bersabar, sahabat aku sedang sakit dan kak Angga gak kasi tau aku dari kemarin. Ini lagi! . Kenapa sih kak Angga putar lagu!?. Udah tau Sila lagi marah" "Yaelah, lebay amat. Andira kan cuman demam doang" Ujar Angga berbohong. "Apa!?. Cuman demam kata kakak!?" "Iya. Dia kan cuman demam" Angga mengangguk pura-pura yakin dan menikmati setiap alunan lagu. "Ihh, kak Angga gak perhatian banget. Mau bagaimanapun keadaan sahabat kita, kita harus peduli sama dia. Lagipula Andira tidak hanya menjadi sahabat Sila, tapi udah aku anggap seperti kakak aku sendiri. Kak Angga gak bakal ngerti perasaan khawatir aku kayak gimana sekarang" "Iya, iya. Terus kamu mau gimana? Jalanan kota masih macet. Kita gak bisa main serobot jalan gitu aja" "Andai aku jadi anak presiden, pasti pengemudi yang lain menghindar dan mobil s****n ini bisa lewat. Sayangnya bapak aku hanya seorang dosen" "Jadi seorang dosen juga baik kali. Lagipula belum tentu juga orang mau memberi kamu jalan seenak gitu aja meski kamu anak presiden. Nah, aku punya ide. Kamu mau pengemudi lain minggir dan beri kita jalan cepat gak?" "Gimana caranya?" Sila tertarik dengan ucapan Angga. Ia memajukan badannya sedikit lebih dekat dengan Angga. "Kamu harus pura-pura mau melahirkan atau sesuatu yang urgent gitu" "Ha!? Melahirkan?" Ujar Sila tidak percaya. "Iya, melahirkan" "Anak siapa coba?" "Terserah. Yang penting jangan gue" Ucap Angga santai dan fokus pada jalanan yang ada didepannya. "Lah, masa gue harus melahirkan anak jin!?" "Tadi gue bilang apa? Terserah. Bodo amat dah gue" "Oo gitu yaa. Oke, gue bakal teriak mau melahirkan trus anak ini adalah anak kak Angga. Siap-siap aja!" Sila mengambil bantal leher dan tasnya yang berada di belakang untuk ia gunakan sebagai perut jadi-jadian. Siap dengan perut buncit akalannya itu, ia menghembuskan nafas, menengok ke arah Angga yang terheran dengannya, dan berteriak sekencang mungkin. "Aaaaaaa... uuuuuaaaaa... aaaaaaa. Tolong! Tolong!" Angga menutup telinganya karena kerasnya suara yang dikeluarkan Sila. Namun karena cemprengnya itulah, pengemudi-pengemudi lain mulai melihat ke arah sumber suara. Memanfaatkan waktu, momen dan tenaga dari Sila, Angga membunyikan klakson mobilnya sesering mungkin. "Tolong minggir!. Istri saya mau melahirkan. Minggirr!" Teriak Angga. "Aaaaaaa... Tolong!. Tolong, saya mau melahirkan. Kalian minggir sekarang juga!" Meskipun teriakan Sila terdengar aneh dan lucu, namun perlahan banyak kendaraan yang minggir dan membiarkannya maju lebih dulu. Sila juga membuat dramanya lebih kuat lagi dengan ia menjambak rambut Angga. Karena rambutnya dijambak begitu keras oleh perempuan yang pura-pura akan melahirkan disampingnya itu, Angga ikutan berteriak dan membunyikan klaksonnya lebih keras dan cepat dari sebelumnya. Kini, ada tiga paduan suara yang membuat misi mereka berhasil untuk sampai di kosan Andira tepat waktu, lebih tepatnya dipaksakan tepat waktu. Paduan suara dari cemprengnya Sila, kesakitan Angga dan k*******n suara klakson. Alhasil, drama bar-bar yang mereka lakukan di tengah kepadatan kota Jakarta dapat mengantarkan mereka dengan cepat sampai tujuan. *** *Di kosan Andira* Andira sedang memasak makanan untuk Diba dan Dina. Meski keadaanya belum cukup dikatakan pulih, namun ia harus memasak untuk kedua adiknya. Ia tidak mungkin keluar untuk beli makanan karena harganya yang mahal, sedangkan dirinya harus hemat untuk segala biaya yang ditanggungnya. Andira memasak makanan yang sederhana. Karena hanya ada seikat kangkung yang tersisa, ia pun membuat tumis kangkung dan nasi panas sebagai makanan yang utama. Dengan telaten ia menarikan pisau yang dipegangnya, menaruh berbagai bumbu yang biasa ia gunakan, dan yang terakhir adalah proses mencicipi supaya makanan yang dibuatnya bisa ia ketahui apakah ada kekurangan atau tidak. Merasa pas dengan rasa makanan yang telah ia cicipi, Andira menyajikannya dalam piring dan keluar dari dapur untuk memanggil kedua adiknya. Namun sebelum dirinya menyentuh engsel pintu, suara ketukan pintu terdengar keras. Ia berniat membukakan pintu orang mengetuk dengan keras. Baru saja ia berjalan satu langkah, suara pintu terbuka dengan keras. Ia takut, ditengah kondisinya yang masih belum pulih, ada orang yang berniat buruk pada dirinya dan kedua adiknya. *** "Iraaa!" Panggil Sila dengan nada yang keras. Sila tidak juga melihat keberadaan Andira. Ia dengan bar-barnya berlari ke kamar Diba dan Dina. Ia telah mengenal Andira cukup lama jadi tidak mungkin ia tidak mengetahui setiap sudut kosan sahabatnya ini. Akhirnya ia menemukan sahabatnya yang sedang memegang tembok karena linglung. Ia pun berlari menyambutnya dan membawanya ke dalam kamar Andira untuk istirahat. Tidak lama setelahnya, masuklah Angga ke dalam kamar itu dalam keadaan yang kacau balau. "Loh kok kakak kayak orang gila? Rambut kakak berantakan" Ujar Andira saat pertama kali melihat keberadaan Angga di dalam kamarnya. Angga yang diberi pertanyaan menohok dari Andira hanya membalasnya dengan memberi kode kepada Sila yang tersenyum tanpa merasa bersalah sedikitpun. "Aku habis di serang singa betina yang mau melahirkan tadi" "Singa betina? Melahirkan" Ucap Andira kebingungan. Ia melihat Angga dan Sila bergantian karena mereka berdua sama-sama saling melempar kebencian. Ia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Mereka berdua berselisih manja dan Andira lah yang memisahkan mereka. "Kok kamu gak kasi tau aku sih kalo kamu sakit. Aku kan bisa jemput kamu atau temenin kamu di rumah sakit seharian" Rajuk Sila pada Andira dan menggelendot manja padanya. Sila tidak melepaskan pelukannya barang sedetik pun pada tubuh Andira. Ia lengket dan tak mau terpisahkan bahkan sampai membuat Andira merasa sesak. "Beneran?" Tanya Andira dan menaikkan alisnya, mengartikan dirinya butuh kebenaran dan kejujuran yang pasti dari sahabatnya itu. "Iya lah" Ujar Sila penuh keyakinan. "Alah. Sejak kapan aku bisa mengganggu kamu yang sedang konser sambil memegang LightBoom kamu itu. Lagipula ini hanya demam biasa kok. Pas aku pulang kerja, Diba punya demam tinggi. Dina bilang mereka habis makan Dimsum sisa dari temennya dan Diba muntah-muntah waktu itu. Aku ingat kalo orang yang keracunan makanan pasti muntah, lemas dan demam, jadi aku dan Dina cepat-cepat membawa Diba keluar g**g perumahan. Cukup lama aku menunggu taksi lewat sampai aku berani menelepon kak Angga. Untung saja waktu itu kak Angga langsung mau menjemput kita dan bisa melarikan Dina ke rumah sakit terdekat. Jadi, kamu gak perlu khawatir lagi. Diba udah sehat, dan aku juga udah sehat. Besok aku masuk kuliah kok" Jelas Andira panjang lebar. "Ooo... Jadi kak Angga nemenin kamu dong seharian di rumah sakit?" Tanya Sila memastikan dan sedikit cemberut. "Untungnya ada kak Angga. Jika tidak, aku tidak tau lagi bagaimana nasib aku, Diba, dan Dina" Ucap Andira dan tersenyum pada Sila. Sila hanya mengangguk-anggukan kepalanya mendengar sahabatnya itu menceritakan kronologinya sampai masuk ke rumah sakit. Meski dirinya sedikit merasa kecewa dan cemburu, namun ia juga bersyukur karena menemukan sahabatnya dalam keadaan yang baik-baik saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN