bc

Sonja

book_age16+
2.9K
IKUTI
32.4K
BACA
contract marriage
family
love after marriage
independent
dare to love and hate
drama
sweet
bxg
city
like
intro-logo
Uraian

"Rasionalnya, aku tidak menemukan satu alasan pun kenapa kita tidak bersama. Ini bisnis yang menguntungkan"

Ketika simpul sepakat diikat. Siapa sangka menjerat keduanya disaat kehambaran yang membelenggu. Menuntun dua manusia serupa mempertaruhkan satu bagian yang tak sempat dikira.

Sama, keduanya berharap semoga bukan hatinya.

_Sailenndra

chap-preview
Pratinjau gratis
Ke-Satu
"Maaf bu, bapak sedang ada tamu dan tidak bisa ditemui sekarang" Lusi- wanita di balik meja sekretaris itu tampak khawatir-. Pasalnya bukan sekali ini saja tamu di depannya ini memaksa bertemu dengan bosnya disaat sang bos sedang meeting. Dengan hembusan nafas frustasi lagi-lagi dia gagal menahan sang tamu untuk tidak menghambur ke ruangan bosnya. Tak berselang lama pintu kaca general manager itu terbuka lebar. Menghentikan percakapan tiga orang laki-laki di dalam ruangan. Dengan keangkuhan yang menguar wanita tiga puluh tahun itu menyibakkan rambut panjangnya ke belakang. Sembari menatap tajam laki-laki yang duduk di kursi kebesarannya. "Aku tidak keberatan kalau pembicaraan kita dikonsumsi oleh kolega dan staffmu" Walaupun perkataan itu dilontarkan dengan senyum manis, Ibram tahu ada ancaman di baliknya. "Farhan, bisa kau antarkan Donny visit terlebih dulu" Laki-laki yang dipanggil itu segera mengangguk dan keluar bersama kolega bisnis mereka. Enggan berlama-lama untuk mendengar perdebatan yang diyakininya akan segera terjadi pada bosnya. "Tidak bisakah kau menunggu untuk bicara di rumah. Dimana sikap profesionalmu" Dengan amarah yang dibiarkan mulai menguar, Sonja melemparkan kertas ke meja Ibram. "Bisa jelaskan maksudmu ini!" Ibram jelas tahu hanya dengan melihat sekilas kertas di mejanya. Soekarno Hatta (CGK) ke Paris Charles de Gaulle Apt (CDG) Canceled. Dua baris itu cukup menjelaskan alasan kemarahan wanita di depannya. "Sudah dari awal kukatakan tidak mengijinkanmu pergi", ucapnya datar. Seolah dengan kalimat itu cukup untuk mengesahkan tindakannya- melakukan pembatalan penerbangan yang akan dilakukan wanita di depannya. Sonja mendengus kesal,"Aku tidak perlu ijinmu untuk melakukan apa yang perlu kulakukan!", teriaknya marah. Kali ini sorot mata Ibram terlihat tajam ke manik hitam kecoklatan Sonja. "Apa perlu kuingatkan apa kekuatan cincin di jarimu itu!", katanya tajam walau dengan nada yang tidak tinggi. Sonja merasakan seolah cincin di jari manis tangan kanannya semakin kuat membelit jarinya. Kedua tangannya saling menggenggam kuat. Mencoba untuk tidak terlepas dan berakhir melemparkan tumpukan map di meja ke wajah laki-laki yang enam bulan lalu mengikatnya dengan ikrar suci. Kemarahan Sonja sudah berada di puncaknya. Bagaimana tidak, pagi sekali dia sudah kalang kabut pergi ke bandara. Membawa koper-koper pakaiannya. Hanya untuk menemukan bahwa dirinya tidak bisa masuk karna telah membatalkan tiket penerbangan. Panggilannya pada laki-laki itu tidak satupun diangkat. Dan disini setelah keduanya berhadapan. Kemarahannya justru ditanggapi oleh wajah tak acuh suaminya. Seolah tindakannya hanya rengekan anak TK yang minta es potong. Dagu Sonja terangkat, enggan terintimidasi. Ditatapnya manik hitam suaminya sebelum kemudian dia berkata dingin. "Apa perlu kuingatkan pula, kita akan segera bercerai" Selepas kalimat itu terucap dari bibir penuh istrinya. Sorot mata Ibram tidak lagi datar. Dengan tatapan yang tidak teralih dia kembali membuat garis tegas. "Sampai kapanpun tidak ada perceraian!", ucapnya dengan ketegasan yang kental. Kedua orang dalam ruangan itu saling melemparkan tatapan tajam. Mencoba membuat satu sama lain untuk menyerah. Dua kepala sekeras batu dan ego setinggi langit keduanya tidak luluh barang sedikitpun. "Pulanglah" Sonja kembali menemukan sosok Ibram yang acuh, dimana laki-laki itu justru kembali duduk dan sibuk dengan leptopnya. Selalu begitu. Laki-laki itu tidak pernah menganggapnya serius. Dengan kekesalan memuncak dia meleparkan map-map di meja, menjadikannya bercecer ke lantai. Mengabaikan kepalanya yang terasa pening menghadapi kejadian buruk di paginya, Sonja mengambil sebuah buku laporan di meja dan melempar kesal ke Ibram. "f*****g bastard!", teriaknya diiringi sumpah serapah lain. Pukulan tangannya ke d**a laki-laki itu terasa menyakiti tangannya sendiri, tapi dia enggan berhenti. Hanya dengan begitu laki-laki ini akan meninggalkan meja kerjanya. "Jangan sakiti tanganmu", kata Ibram pelan sembari memegang kedua tangan istrinya untuk berhenti. Setelah beberapa saat Sonja merasakan pening di kepalanya semakin menjadi. Dan sebelum dirinya sempat melepaskan diri dari rengkuhan Ibram, pandangannya telah terlebih dulu kabur sebelum tubuhnya luruh. .. Samar, bau obat-obatan adalah hal pertama yang tercium hidungnya, sebelum kemudian sepasang matanya mengerjap terbuka. Kantung infus menggangtung di sisinya dengan selang yang menghubung ke pergelangan tangan. Rumah sakit. Kenapa dirinya ada disini? Sonja merasakan pening di kepala dan nyeri di perutnya, menghambatnya untuk bangun. Sepasang tangan besar kemudian membantunya. Disampingnya Ibram mengatur posisi tempat tidur dan menaruh bantal untuknya bersandar. Tenggorokan Sonja terasa kering ketika wanita itu mencoba berbicara. Masih dalam diam Ibram mengangsurkan segelas air mineral padanya. "Kenapa aku ada disini?", tanya Sonja sembari memberikan gelas yang telah kosong itu pada Ibram. "Tekanan darah rendah, asam lambung rendah, dehidrasi. Teruslah melakukan semaumu dan kau akan tergeletak di pinggir jalan tanpa ada yang menolong" Sonja menatap sebal mendengar nada menyalahkan laki-laki yang menyandang status sebagai suaminya itu. "Aku mau pulang!" "Berhenti merengek seperti bayi. Makanlah" Nampan berisi nasi beras merah, sup kentang, dan pisang yang disodorkan Ibram justru membuat perut Sonja bergejolak. Dia mendesah kesal pada perutnya yang tidak sehat dari dulu karena maag yang diidapnya. "Aku tidak mau makan, aku mau pulang", katanya keras kepala. Ibram baru saja akan memaksa- membuat wanita di depannya itu untuk menelan nasi-, ketika pintu ruang rawat terbuka. Menampilkan ibunya dengan raut khawatir. "Astaga, kenapa bisa begini nak? Apa kata dokter?" Kalau ada sedikit orang yang Sonja segani, mertua-ibu Ibram- adalah salah satunya. Wanita paruh baya dengan raut lembut itu selalu berhasil membuat nada suaranya turun drastis. Walaupun hubungan keduanya tidak seperti menantu-mertua pada umumnya. Lebih banyak, Sonja yang enggan terlalu mengakrabkan diri dengan keluarga suaminya. "Kecapekan bu sama maagnya kambuh lagi", jawab Ibram. Ibu Ibram mendekat pada Sonja, mengusap lembut lengan menantunya itu. Seolah mengabaikan sikap defensif Sonja dia bertanya. "Apa yang dirasakan nak? sebelah mana yang sakit?" Umur Sonja sudah tiga puluh tahun, dan tidak ada- ralat tidak pernah ada yang memanggilnya dengan sebutan 'nak' selama umurnya ini. Bahkan tidak dengan wanita yang melahirkannya sendiri. Entah sekarang sedang berada di benua mana. Dan perhatian yang diberikan ibu mertuanya barusan menimbulkan rasa sesak yang menjalar di rongga dadanya. "Minta tolong ibu jaga sebentar. Dan juga paksa dia supaya mau makan", kata Ibram beranjak keluar. "Kemana?", refleks Sonja bertanya. Enggan berdua saja dengan mertuanya dan berpotensi membuat dirinya kembali berharap memiliki sosok itu. "Menemui dokter" Ibram berjalan keluar. Mengabaikan peringatan di sorot mata istrinya yang tidak ingin ditinggalkan berdua saja. "Makan yaa, mau ibu suapin" Sonja segera beralih pada nampan yang diambil ibu. "Tidak papa, saya bisa makan sendiri", katanya pelan. Dengan nada suara yang tidak pernah digunakannya untuk berbicara pada orang lain. Dia memaksa mulutnya terbuka, mengunyah makanan yang terasa seperti nasi belum dimasak, dan meminum banyak-banyak air untuk memaksanya masuk ke lambungnya yang terasa semakin perih. ... Di luar, Ibram terus berjalan bahkan setelah berada di lantai satu. Laki-laki tiga puluh tiga tahun itu melangkahkan kakinya ke taman rumah sakit. Lebih tepatnya di sudut yang agak jauh bertulis smoking area. Dikeluarkannya kotak rokok di saku jas dalamnya lalu menyulut sebatang. Pikirannya kembali pada perkataan dokter yang memeriksa Sonja tadi. Dehidrasi, benar istrinya itu mengalami dehidrasi. Mungkin karena perjalanan dari rumah-bandara-kantornya yang sama sekali tidak singkat. Darahnya juga rendah. Dan benar wanita itu memiliki penyakit maag. Tapi, ada satu hal lagi yang disampaikan dokter padanya. Ibram menarik panjang hisapan pada rokoknya sebelum membiarkan asap mengepul di sekelilingnya. Berharap membantu pikirannya yang dipaksa menerima fakta baru yang tidak diduganya. Kalau kemarin-kemarin dia akan setidaknya memikirkan seribu kali ketika Sonja minta cerai. Kali ini dia tidak perlu untuk berpikir barang sedetikpun. Dia tidak akan pernah menceraikan istrinya. Tidak akan pernah terjadi. *

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

CEO Pengganti

read
71.2K
bc

My Boss And His Past (Indonesia)

read
236.8K
bc

Broken

read
6.5K
bc

HURTS : Ketika Hati Yang Memilih

read
115.9K
bc

TERSESAT RINDU

read
333.5K
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

His Secret : LTP S3

read
651.7K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook