Chapter 4
(Deon strugle)
●●●
Kedua kaki dengan sepasang sepatu pantofel hitam melangkah masuk ke dalam ruangan yang sangat bising. Banyak manusia menari-nari di lantai, bau alkohol menyerbak, bau rokok yang membuat pusing, dan keramaian yang cukup membuat sakit kepala.
Deon berdecak sambil mengurut pelipisnya. Walau sudah beberapa kali menginjakan kakinya di tempat ini, tetap saja kepalanya langsung pening.
Shit. Ini semua gara-gara perempuan itu. Kalau saja Deon tidak menghormati ayahnya, dia ogah melakukan hal ini.
Mata hijau jernih milik Deon menyapu seluruh ruangan, sampai matanya menyipit saat melihat perempuan berbaju merah terang yang meliuk-liukkan tubuhnya di tengah kerumunan orang.
Deon mengernyitkan alisnya.
"Perempuan itu, tidak pernah tidak membuatku susah." kaki jenjang Deon melangkah menembus keramaian, setelah dekat dengan perempuan berbaju merah itu, Deon segera menarik lengannya.
"Oh, baby, kamu datang lagi?" Perempuan yang diketahui bernama Jena itu melepaskan cekalan Deon di lengannya kemudian berganti menggelayutkannya.
Deon tidak menjawab.
"Kau terlihat semakin tampan malam ini." Jena tertawa. Telihat mabuk.
Deon tidak mau berlama-lama. Di seretnya perempuan itu sampai masuk ke mobilnya.
"Kenapa kau selalu merepotkanku?!" ucap Deon.
Jena tidak menjawab sekarang. Perempuan itu sudah tertidur pulas di kursi penumpang.
Deon bergerak mengambil jaket yang disimpan di kursi belakang, dan memakaikannya kepada Jena.
Baju Jena benar-benar baju kurang bahan.
Sebenarnya mengurusi Jena bukan hal terpenting di hidupnya. Deon lakukan dengan terpaksa karena ayah dari Jena yaitu Asking adalah orang kepercayaan Deon.
Lelaki itu bergitu berjasa dihidup Deon.
"Ugh, aku tidak mau pulang ke rumah."
Sepertinya Jena mengigau.
"Deon, aku tidak mengigau, aku sungguh-sungguh." mata Jena terbuka memandang Deon dari samping.
Walaupun Deon tetap diam dan tidak meresponnya, Jena tetap menyukainya. Deon itu lelaki sempurna di pandangannya. Mata hijau jernih, hidung lancip, benar-benar perpaduan yang sangat pas di matanya.
Sebenarnya, Jena sengaja dengan semua hal ini. Hanya untuk menarik perhatian Deon. Tetapi kenapa ya, lelaki itu bahkan tidak pernah memandangnya? Hanya memperlakukannya dengan terpaksa.
Ouh, hati Jena sakit.
"Deon, kenapa kau tidak pernah melihatku?"
Deon tetap diam.
"Kenapa kau hanya memandangku dengan alasan ayahku?"
Hening.
Jena tersenyum miris. Apa dia harus menjauh dari Deon mulai sekarang?
"Kau ingin pulang ke mana?"
Akhirnya Deon bersuara.
"Ke apartemen mu bagaimana?"
Setelah Jena mengucapkan itu, tiba-tiba mobil Deon berhenti mendadak.
Belum sempat Jena mengumpat, Deon sudah tidak lagi di sampingnya. Jena mengurungkan umpatannya saat melihat Deon sedang menghampiri seorang gadis di sebrang jalan.
What the? Deon memiliki kekasih?
Lagi-lagi Jena terkejut bahkan sampai melebarkan mulutnya saat melihat Deon merangkul pinggang gadis yang sepertinya sedang membawa plastik berisi makanan?
Lalu Jena melihat dirinya yang sedang memakai gaun ketat dan pendek warna merah menyala, lalu melihat perempuan yang dirangkul Deon dengan hanya memakai baju tidur.
What the?!
Jena tidak habis pikir, bahkan setelah usaha memancing Deon dengan gaun ketat miliknya, lelaki itu sama sekali tidak meliriknya, tetapi gadis itu? Bahkan hanya dengan baju tidur itu, Deon mau merangkulnya.
Lelucon macam apa ini.
"Hah, Deon benar-benar membingungkanku. Jika seperti ini, aku mungkin akan berusaha lebih keras." Jena terkekeh.
"Lalu nasibku bagaimana?"
"Apa aku ambil saja mobilnya?"
"Apa aku jarah mobilnya ya?"
"Ide bagus Jena. Kau sangat cerdik seperti ular."
Tring.
Suara nontifikasi pesan masuk berbunyi. Seolah menjadi jawaban atas pertanyaan asalnya.
Deon❣
Tolong aku titip mobilku. Besok akan ku ambil.
"Sial. Bagaimana aku bisa kalah dari bocah itu?"
•••
Arey melangkah bolak-balik di dalam kamarnya sambil mengigiti kuku jarinya. Sebenarnya ingin menangis, tapi tidak bisa.
Jadi Arey harus apa ya?
"Duh, apa aku harus samperin mereka ya?"
"Tapi, kalau mereka jahatin aku gimana."
"Apa, lapor polisi?"
"Tapi mereka itu ga mudah tertangkap Arey. Ayo pikir-pikir."
"Apa aku harus pergi dari rumah? Mereka mengincarku bukan?"
Arey mengepalkan tangannya. "Ya, sepertinya aku akan menyusun upayaku untuk pergi dari rumah."
Seperti cahaya lampu yang tiba-tiba menyala di dalam otaknya. Mungkin ini keputusan tepat.
"Oke Arey, sekarang kamu istirahat, besok kita akan memikirkan bagaimana cara kabur, okey?"
Saat kaki Arey yang berbalut sandal rumahan berwarna merah muda itu akan menuju kasurnya, tiba-tiba ia tersentak.
"Bukannya aku harus menemui pasukan hitam itu dulu? Agar semua keluargaku aman sejahtera. Ya, benar, aku benar."
Arey pada akhirnya tidak jadi melangkah ke arah kasur, dia berjalan menuju lemari pakaiannya dan mengambil kardigan hitam miliknya.
Kemudian beranjak turun ke lantai bawah untuk berpamitan.
Saat kakinya menapaki tangga rumahnya, dilihatnya ayah dan bundanya sedang duduk di sofa ruang tamu, terlihat seperti sedang membicarakan sesuatu hal yang serius.
Beberapa saat kemudian, terlihat bunda terisak menangis di pelukan ayah. Arey menyesal. Dia tidak tega melihat keluarganya seperti ini.
Harusnya hanya Arey yang terancam, tidak boleh keluarganya pun diancam. Arey harus memberi perhitungan kepada pasukan yang menerornya.
Kaki Arey akhirnya melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti menuju sofa di mana ada ayah dan bunda.
"A-ayah bunda, Arey izin mau ke depan ya? Mau beli martabak." wajah Arey sengaja di melas-melasin, berharap ayah dan bunda luluh akan rayuannya.
Tiba-tiba ayah bangun dan mendekati Arey dengan wajah penuh emm emosi?
"No, kamu tidak boleh ke mana-mana, keadaan sedang tidak baik untuk pergi ke luar." mata ayah menatap mata melas milik Arey. Ayah khawatir anak perempuan satu-satunya itu kenapa-kenapa.
Oh no, aku harus tetap memaksa keluar. Maafkan aku ayah karena menentangmu. Sesal Arey dalam hati.
"Tapi ayah, aku benar-benar ingin makan itu, aku tidak akan makan yang lain selain itu. Biarkan aku kelaparan."
Tidak, rayuan itu keluar otomatis dari mulutnya. Arey tidak se dramatis itu.
Ayah terlihat mengerutkan alisnya, binggung, karena tidak biasanya Arey bersikap kekanakan seperti ini.
"Bagaimana kalau ayah yang belikan? Arey di rumah saja ya bersama bunda?" sekarang ayah yang berusaha merayunya.
Kaki Arey bergerak gelisah, bisa gagal semua rencananya.
"Tidak bisa ayah, ada menu rahasia yang hanya aku dan penjual martabak itu yang mengetahuinya, jika ayah yang ke sana pasti dia tidak akan memberikan menu rahasia itu." seru Arey dengan menggebu-gebu.
Hahahahaha, sungguh konyol alasanku.
Ayah menghembuskan nafasnya berat, kemudian beranjak ke arah dapur, mengambil gunting dari sana dan memberikannya kepada Arey.
"Simpan untuk menjaga dirimu, jika ada yang mencurigakan, kau langsung telfon ayah." ayah mengelus kepala Arey lembut.
Arey menganggukan kepalanya semangat. Akhirnya.
"Aku akan kembali 30 menit kemudian ayah." Arey mengambil tangan ayahnya kemudian menciumnya dan beranjak dari dalam.
Saat sudah sampai di depan pagar, Arey menghembuskan nafasnya.
"Akhirnya, upayaku berhasil. Sungguh cerdik dirimu."
Arey sedikit bangga kepada dirinya.
"Sekarang, aku harus ke mana ya? Bahkan aku tidak tahu markas kelompok itu."
Definisi penyesalan datang di akhir. Itulah yang dialami Arey, sudah tadi saat mengecek kantung celana, ternyata Arey tidak membawa dompetnya, hanya ada pecahan koin senilai 500 perak.
"Apa aku masuk lagi ya?"
"Argh! Bodoh sekali."
Arey kemudian melangkahkan kakinya ke arah taman yang berada di dalam komplek perumahannya. Sekarang masih pukul 8 malam, seharusnya taman masih ramai dengan para penjual kaki lima dan remaja pacaran.
Langkah kaki Arey berhenti saat melihat lokasi taman kompek.
"Loh kok sepi ya? Loh loh loh, aduh..."
Arey yang tidak siap akan datangnya hujan tiba-tiba berlari untuk mencari tempat teduh. Untung saja, di dalam taman Arey melihat tenda bekas penjual yang masih terpasang.
Sial. Sial. Sial. Mungkin ini karma yang dia dapat setelah membohongi orang tuanya. Tetapi kenapa secepat ini.
Sebenarnya tempat ini cukup aman untuk berlindung, tetapi secara tiba-tiba angin bertiup ke arahnya, membuat guyuran hujan pun ikut masuk ke dalam tenda.
"AAAA! KENAPA HUJANNYA MASUK KE DALAM!" kedua tangan Arey menutupi wajahnya agar tidak terkena guyuran air hujan.
Hidupnya malam ini memang sesial itu.
Apa Arey nekat saja ya? Hujan-hujanan sampai rumah sepertinya seru. Mumpung bajunya juga sudah basah sekarang.
Saat Arey hendak mengambil ancang-ancang untuk berlari, tiba-tiba sebuah jaket kulit hadir di kepalanya, hampir menutupi bagian atas tubuhnya dari guyuran hujan.
Tiba-tiba juga hujan mereda, menjadi gerimis kecil yang meninggalkan rasa sejuk di kulit.
Arey mengambil jaket yang menutupi kepalanya itu. Kemudian melihat ke arah sampingnya.
Ada lelaki itu di sana, yang akhir-akhir ini sering mengganggunya. Deon berdiri di sana sambil tersenyum. Deon malam ini begitu tampan, dengan kemeja biru gelap dan celana jeans hitam gelap, begitu mempesona dengan rambut yang sedikit basah karena hujan.
Tangah Arey gatal untuk menyentuh rambut itu.
"Kau terpesona?"
Arey mengalihkan pandangannya. Duh, kenapa jadi ketauan gini.
"Kau bisa menghentikan hujan juga?" Arey mengalihkan pertanyaan asal Deon.
Deon mengangkat bahu. Kemudian tubuhnya terarah ke Arey. "Baju kau basah."
Arey melihat bajunya yang sudah tembus pandang. Pipinya memanas. Sialan, pasti Deon sudah melihat semuanya.
"Belum terlambat menutupi bajumu sebelum aku melihat semuanya." Deon kembali menghadapkan tubuhnya ke depan.
Arey buru-buru memakai jaket kulit besar itu ke tubuhnya, harum semerbak khas Deon tercium dihidungnya. Boleh ngga ya jaketnya tidak aku kembalikan? Hahahahaha. Arey jadi ketawa sendiri dengan pemikirannya.
"Jaketnya bisa kau kembalikan setelah bertemu denganku lagi." setelah Deon mengatakan itu, dia sudah berjalan ke arah kursi taman yang sedikit basah, tetapi tiba-tiba kering?
"Setelah bisa menghentikan hujan dan membaca pikiranku, kau juga penyihir?" Arey berjalan di belakang Deon, mengikuti langkah lelaki itu.
Benar loh, beberapa detik yang lalu, bangku itu masih basah, tetapi sekarang? Bahkan tidak ada setetes air pun di sana.
Deon duduk, lalu Arey juga menyusulnya. Walaupun pandangan Arey masih menatap Deon penuh penjelasan. Tetapi Deon masih saja diam menatap ke arah depan yang tidak ada siapa-siapa.
AH, pria ini datang tanpa sulit dipanggil. Benar bukan? Tujuan Arey keluar rumah kan mau bertemu dengan pasukan hitam itu. Dengan mudahnya kepala pasukan itu hadir di depannya.
Arey melebarkan senyumnya sambil melihat ke arah Deon penuh minat.
Deon balas menatapnya dengan binggung. Matanya seolah mengatakan 'Kenapa?'
Arey menelan ludah sebelum berbicara. "Kau-kau, apakah kau tau tentang teror yang ada di rumahku?" Arey menatap Deon dengan serius.
Deon berdeham lalu menyenderkan punggungnya ke bangku taman, lengannya bersedekap. "Tidak."
Arey menggigit bibirnya panik, kalau Deon tidak tahu lalu siapa ya? Duh.
"Kau benar-benar tidak tau?" tanya Arey lagi. Plis, Deon ku mohon, jawab iya.
Deon menggelengkan kepalanya. "Aku baru dengar."
Arey menundukan kepalanya dan meremas kedua tangannya. Siapa ya? Aduh. Kalau pelakunya Deon kan, Arey bisa bernegosiasi dengan pria itu.
Kalau Arey kabur dari rumah, apakah keluarganya tetap aman?
"Apapun yang kau pikirkan sekarang, bukan aku pelakunya. Dan pikirkan rencanamu matang-matang." Deon bangkit berdiri, lalu tangannya mengangkat merapihkan rambut Arey yang sedikit berantakan karena air hujan tadi.
Lalu Deon menghilang secara kasat mata.
Meninggalkan Arey yang sedang dilanda kekhawatiran.
•••
Sedaritadi, Arey bergerak tidak nyaman di atas kasur. Peluhnya menumpuk di dahi. Perutnya melilit.
Mata Arey terbuka lalu beranjak duduk di atas kasur, tangannya memeluk perut dengan erat sambil mengaduh. "Uh, sakit bangettt."
Arey berguling-guling di atas kasur sambil menangis. Kejadian sebulan sekali ini selalu datang disaat yang tidak tepat. Padahal kan rencananya hari ini Arey ingin menyusun rencananya untuk kabur dari rumah.
Inimah namanya Arey tidak diizinkan untuk pergi.
"Hiks, hiks, sakit. BUNDAAA," teriak Arey pelan. Tenaganya habis terkuras karena perutnya melilit.
Bunda yang dipanggil dari tadi belum juga muncul. Bunda dengar atau tidak ya? Atau bunda udah pergi kerja lagi. HUAAA!!!
Lima menit kemudian pintu kamarnya terbuka, menampilkan seorang lelaki masuk ke dalam kamar membawa nampan berisi botol dan piring.
Arey yang belum sadar akan kehadiran seorang tersebut masih tengkurep di kasur sambil menangis.
"Bunda, Arey sakit perut," isak Arey.
"Kau akan semakin sakit jika menangis terus seperti itu."
Tangisan perempuan itu berhenti. Dia bergerak mendudukan tubuhnya di atas kasur sambil meringis. "Kenapa malah kau yang datang?"
Lelaki itu menaruh nampan di atas meja belajar kemudian berjalan ke arah Arey yang masih dengan posisi memeluk perutnya. Dia duduk di samping Arey lalu memberikan botol berisi air hangat ke tangan dingin perempuan itu.
"Pakai itu di perutmu. Lima menit kemudian sakitmu akan hilang."
Arey menatap botol air hangat di tangannya kemudian menatap lelaki itu. "Kenapa kau bisa datang dari bawah, Deon?"
Deon terkekeh. "Menurut kau, apa yang tidak bisa aku lakukan, Arey?"
Arey gelagapan ditatap seperti itu. Tatapan Deon benar-benar mematikan untuk kinerja jantungnya. Buktinya, sekarang jantungnya berdegub kencang, dengan wajah sembab habis menangis, wajah tersipu Arey sedikit tertutupi. Dia bersyukur akan itu.
"K-kau jangan menatapku seperti itu."
Deon terkekeh lagi, kali ini tangannya bergerak mengarahkan tangan Arey yang memegang botol untuk ditaruh di perut perempuan itu. Kemudian tangan sebelahnya mendorong pundak Arey untuk terlentang di kasur.
"Posisi ini lebih baik untuk kenyamanan perutmu."
Tapi tidak untuk Arey, berada sedekat ini dengan Deon, dengan satu tangan menumpu pada tangannya yang memegang botol.
Oh tidak!
Bagaimana ini!
Arey benar-benar gugup.
Tolong Arey!
•••