|5|

1523 Kata
Chapter 5 (Supermarket) ●●● (Arey) Aku menatap mata hijau terang milik orang di sampingku, dengan pipiku yang masih merona dan degub jatungku yang masih berdetak kencang, bahkan aku khawatir, apakah Deon biss mendengar degub jantungku ini? Jari-jari panjang Deon memang sudah tidak lagi berada di atas tanganku, tetapi tatapan mautnya seperti menembus kepalaku. "Sepertinya sudah baikan?" Aku mengerjapkan mata, beralih memandang ke arah pintu, belum sempat aku membalas ucapannya, tiba-tiba suara teriakan bunda terdengar dari luar. Jadi bunda ada di rumah? "Arey? Sayang, kok kamu belum bangun?" suara bunda sekarang terdengar di depan pintu kamar, membuatku terkejut dilanda kepalang. "Deon, bagaimana ini? Kenapa bunda ada di rumah?" aku berujar panik sembari mencoba bangkit dari tidurku, tetapi sialnya, perutku kembali keram saat aku mencoba untuk berdiri. "Awsss," Deon tiba-tiba refleks merangkul pundakku, membuat jantungku kembali bekerja dengan cepat. "Arey? Tolong buka pintunya sayang," suara bunda semakin nyaring terdengar. Aku dengan cepat menepis tangan Deon dari pundakku lalu memandangnya. "Tolong kau pergi dari sini, kumohon, atau bundaku akan tau semuanya." Wajah Deon berubah mengeras saat tanganku bergerak menepisnya. Dia terlihat, emm, kesal? Aku akan minta maaf padanya nanti. Tapi sekarang benar-benar kondisi urgent. "Akan lebih baik jika bundamu tau bukan?" Deon tersenyum miring. Mulai lagi. Deon kembali ke mode menyebalkan. Aku menghela nafas. Menghiraukan teriakan bunda yang memanggil namaku. "Baiklah. Jika kau tidak mau pergi dari sini, aku tidak mau bertemu lagi denganmu." Yah, walau ancamanku terdengar sedikit dramatis kali ini, tetapi aku akan berusaha menebalkan muka di hadapan Deon. Kenapa Deon tetap bergeming ya? "Kau tidak takut dengan ancamanku?" Deon beranjak dari posisi bersedekapnya menuju ke arah pintu, kemudian bergerak membukanya. What the hell are you doing Deon?! Sesaat setelah umpatanku di dalam hati, tiba-tiba bunda sudah masuk ke dalam kamar sambil berlari menghampiriku. "Arey sayang, kamu kenapa sayang?" tangan bunda bergerak mengelus kepalaku dan memperhatikanku dengan raut wajah khawatirnya. Aku tersenyum, sebelah tanganku menggenggam tangan bunda yang tadi berada di kepalaku, "Aku tidak apa bunda, hanya sedikit melilit. Selebihnya aku baik-baik saja." Bunda tersenyum sambil mengangguk, kemudian pandangan bunda bergerak melihat piring berisi makanan di atas meja belajar serta botol minum berisi air hangat di sebelahnya dengan heran. "Siapa yang mengantarkannya Arey? Bunda lihat dari tadi bunda sendiri di bawah?" Otakku memutar banyak alasan, sambil gelagapan tidak jelas di hadapam bunda. "Eh, itu bun, tadi, tadi Corey mengantarkannya kepadaku." Bunda ikut duduk di sampingku, "Corey ya? Corey kebetulan sudah berangkat dari subuh karena ada keperluan mendadak di kampusnya, makanan ini juga baru bunda masak pukul 8 pagi tadi." Entah kenapa, udara di kamarku ini semakin rendah, membuat aku menggigil tetapi juga berkeringat. Ah sial. Bagaimana ini? Tiba-tiba bunda bangun, lalu mengambil makanan di atas meja belajar lalu bergerak menyuapiku. "Ah sudahlah. Yuk kita makan sayang?" Aku mengangguk sambil berusaha bangkit untuk duduk bersandar di kepala kasur. Sesaat aku melihat ke arah pintu kamarku, Deon pergi begitu saja dengan wajah datarnya. Dia itu sedang marah atau tersinggung ya? Tapi, aku jadi sedikit lebih khawatir akan ucapanku tadi. Apakah Deon menyetujuinya? Lalu bagaimana jika ada orang bertujuan jahat untuk mencuri kalung yang dipakainya. Arey mendadak sakit kepala. ••• Sore ini, aku sudah siap diatas meja belajarku dengan sebuah buku dan pulpen di atasnya. Kali ini rencanaku untuk pergi dari rumah harus berhasil. Baiklah, kita mulai dengan yang pertama. Aku berencana akan pergi pukul 4 subuh, disaat semua orang masih terlelap, lagipula banyak kendaraan umum melintas di jam segitu, jadi aku tidak perlu khawatir akan kendaraan. Kedua, aku akan kabur dari kamarku yang berada di lantai 2 menggunakan kain horden yang ada di dalam lemariku, akan kuikat dengan balkon kamarku. Aku tertawa geli di dalam hati, ternyata saat masa kecil menonton sinetron di televisi tidak buruk juga, buktinya, aku tiba-tiba mendapatkan ide dari sana. Lalu yang ketiga, aku akan membawa tas berisi sedikit baju, banyak dalaman, dan membawa perbekalan. Ohiya, untuk perbekalan, sepertinya aku akan pergi ke supermarket terdekat setelah ini, karena makanan ringan yang biasa aku simpan di dalam kamarku sudah habis, dan aku tidak bisa hidup tanpa makanan ringanku. Dan yang terakhir, betul, mengecek isi dompetku, yang ternyata masih terdapat lumayan banyak uang dari hasil menabung. "Huft, selesai. Baiklah, aku akan pergi ke supermarket sekarang." Aku melangkah ke arah lemari untuk mengambil jaket abu-abu gelap milikku, lalu turun ke bawah untuk meminta izin keluar. Berhubung langit belum terlalu gelap, pasti aku akan diizinkan untuk pergi keluar. Kakiku berjalan di jalanan aspal sambil bersenandung menyanyikan lagu everything has changed milik Taylor Swift yang merupakan lagu favoritku akhir-akhir ini. Udara sejuk dan cuaca yang cerah membuat moodku naik berkali lipat, apalagi jika sore hari seperti ini masih banyak anak-anak kecil berlarian atau bermain sepeda, serta pasangan muda-mudi yang asik bercengkrama. Tak sadar aku ternyata sudah sampai di supermarket dekat rumahku, kakiku melangkah masuk ke dalam sambil mendorong troly belanjaan. Pertama, aku akan membeli beberapa kotak minuman stroberi. Lalu aku berjalan ke deretan makanan ringan berbentuk pipih dan garing kesukaanku. Kali ini, aku akan membeli yang kecil saja, agar muat masuk ke dalam tas, lalu aku beranjak mencari beberapa permen manis dan kenyal kesukaanku juga. Saat ku rasa sudah cukup, aku melangkah ke arah kasir untuk membayar belanjaanku, dan bergerak keluar supermarket. Belum sempat aku melangkah keluar dari supermarket tiba-tiba ada yang menahan lenganku dengan kuat. Mataku terbelakak saat mengetahui orang yang menahanku adalah lelaki yang waktu itu pernah masuk ke dalam kamarku, lekaki yang masih berdiri dengan sehat walau sudah dihajar berkali-kali dengan Deon. "Aku melihatmu dari tadi. Kupikir aku salah orang, tetapi ternyata tidak." lelaki itu tersenyum, tetapi senyumannya membuatku bergidik ngeri. Aku berusaha melepaskan cekalan tangannya yang begitu kuat, tetapi bukannya terlepas, hanya ada rasa sakit yang aku rasakan. Lelaki itu benar-benar kejam. "Kau mau ikut denganku?" "Hah," aku tersenyum miris. Dia pikir dengan bermodal wajah tampan seperti itu, aku mau ikut dengan dia dengan sukarela? Tentu tidak. "Lepaskan aku, atau aku akan teriak!" tanganku kembali mecoba melepaskan cekalan itu. Tetapi bukannya lepas, malah yang ada tanganku rasanya ingin lepas. Rupanya lekaki itu kesal denganku, dengan mudahnya dia menarik tanganku membuat langkahku terseok terpaksa mengikutinya. "TOLONG! TOLONG AKU! LELAKI INI BERUSAHA MENCULIKKU!" teriakku sampai tenggorokanku sakit. Sial, kenapa tidak ada yang percaya kepadaku, mereka malah memandangku aneh. Saat aku melihat rupanya lelaki itu ingin membawaku dengan mobilnya aku melihat plastik belanjaanku yang ada di sebelah tanganku yang bebas. Aku berusaha mengiklaskan jajananku daripada berurusan dengan lelaki kejam ini. Tanganku merusaha melempar plastik belanjaanku ke arah kepalanya, dan, GOTCHA! Lelaki itu terhuyung ke depan sambil memegang arah belakang kepalanya. Tidak akan aku sia-siakan kesempatan ini. Dengan sekuat tenagaku, aku berusaha berlari ke arah rumahku dengan cepat. TIDAK! JANGAN KE RUMAH! Seolah hatiku berkata untuk tidak ke rumah karena akan membawa petaka bagi keluargaku. Aku kemudian mengubah laju lariku ke arah kantor polisi yang juga kebetulan berada di sebrang perumahanku. Aku sangat bersyukur akan hal itu. "Hos.. Hos.. Hos.. Hos.." sungguh. Capek sekali! Aku menyesal karena tidak pernah berolahraga. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti sebentar dan melihat ke arah belakang, lelaki itu sepertinya sudah tidak mengejarku. Baiklah, lebih lega sekarang. Saat aku hendak melanjutkan langkahku, tiba-tiba langit berubah menjadi gelap, tetapi tidak turun hujan. Aku menatap langit binggung. "Aneh sekali, tadi langit masih cerah padahal." "Sudah lelah rupanya?" Suara berat namun tajam itu membuatku tersentak dari istirahat sejenakku. Aku membalikkan tubuh ke belakang lalu melihat lelaki tadi. Dia tidak terlihat lelah. "Kau berpikir bagaimana aku tidak lelah ya?" Aku mengernyitkan dahi. Aneh, kemampuannya sama seperti Deon yang gemar membaca pikiran orang. "Karena aku sama seperti lelakimu." Belum sempat aku bertindak, tiba-tiba jari panjang lelaki itu menarik tanganku dan membawaku berlari. Bukan, kali ini bukan berlari seperti aku berlari tadi, ini sangat cepat! Sampai aku tidak bisa melihat apapun di sekelilingku. BUGH "ARGH!" Aku menjerit kencang saat merasakan sekujur tubuhku ngilu. Sakitnya lebih dasyat daripada kamu sedang jatuh dari lantai. Bahkan posisiku sekarang benar-benar mengenaskan, setelah tadi diajak berlari dengan sangat kencang, lalu dilempar ke dinding beton dengan kencang pula, sekarang berakhir terkapar dengan darah menetes dari hidungku. OH TIDAK! AKU MIMISAN! MIMISAN PERTAMAKU! BUNDA!!! Suara-suara di dalam kepalaku tidak berhasil aku keluarkan, karena yang sekarang aku dapat keluarkan adalah ringisan kepada seluruh tubuhku yang sakit dan kepalaku yang berdengung. "Oops, maaf. Itu balasan karena tadi kau melempar kepalaku dengan plastik berisi kotak minuman stroberi yang sialnya sangat tepat sasaran." lelaki itu terlihat berjongkok di hadapanku, lalu tangannya menyingkirkan rambut dari wajahku. Dia mencengkram daguku. "Kau tau bukan, balasan dari kesalahan yang kau perbuat?" Aku masih tidak bisa menjawab, padahal mulutku ingin sekali memakinya. Lelaki itu melepaskan cengkraman dengan kasar, kemudian bergerak menjambak rambutku sampai kepalaku menghadapnya. Aku mati-matian menahan rasa sakit. Aku tidak boleh terlihat cenggeng. "Hahahahaha, sekarangpun, kau berusaha untuk tidak menangis ya cantik?" sebelah tangannya dengan kurang ajar mengelus pipiku. Tidak. Mataku tertutup otomatis ketika merasakan nyeri di sebelah pipiku. Lelaki itu mengelus pipiku dengan tangan yang memegang cutter! Sial, lelaki gila ini. "Apakah rasanya menyenangkan?" setelah tangannya berhenti dari pipiku, dia bergerak mengambil darah yang mengalir di pipiku lalu dihirupnya. Aku merasa sakit, juga mual. "Kau harum." Itu kata terakhir sesaat sebelum dia melempar kepalaku yang akhirnya membentur lantai dengan kuat. Lalu gelap. Mungkin aku pingsan. ••• Deon menghentikan langkahnya saat kepalanya berdengung hebat. Tidak biasanya dia merasakan sakit kepala yang begitu hebat. "Kau tidak apa-apa tuan?" lelaki di depan Deon saat ini memandang ke arahnya sambil menampilkan raut khawatirnya. Deon berusaha tersenyum, walau kepalanya masih berdenyut hebat. "Aku tidak apa Asking." Asking mengangguk kemudian melanjutkan langkahnya untuk mencari buku yang dibutuhkan oleh tuannya. Tangan kiri Deon berusaha mengecek layar di hadapannya, mencari jawaban mengapa tiba-tiba kepalanya berdenyut nyeri. Sesaat, layar itu menunjukan tanda merah, yang artinya bahaya. Deon tersentak. Matanya melebar. Tanda merah, ini artinya. "s**t. Tidak, aku tidak boleh gegabah. Tidak bisa dibiarkan." tangan Deon mengepal, membiarkan rasa sakit di kepalanya. Lalu sesaat Asking datang menghampirinya, membawakan buku berisi tentang hal yang sedang dia pelajari. Tentang bagaimana caranya menjadi pemimpin yang baik, lebih tepatnya menjadi seorang raja yang baik. "Tuan, hi-hidungmu-" ucapan dari kepala penjaga perpustakaan itu terpotong ketika Deon sudah bangkit dari duduknya lalu berlari keluar sambil menahan darah yang keluar dari hidungnya. Asking terheran-heran melihatnya. Karena merasa tidak biasa dengan perubahan tuannya. Terakhir saat dia melihat Deon seperti ini yaitu saat mendiang adiknya ada. Tetapi sekarang? Asking tersenyum. Sepertinya tuannya sudah menemukan tanggung jawabnya lagi. •••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN