Chapter 6
(Uncomplete Mission)
●●●
"Ugh..."
Mata cokelat terang milik Arey terbuka lalu mengerjap menelan cahaya matahari yang menyinari fentilasi jendela.
Saat kesadarannya kembali, Arey kembali merasakan sakit di tubuhnya. Kepalanya pusing sekali, serta hidungnya perih karena mimisan, punggungnya pun masih ngilu.
Perempuan itu menyenderkan tubuhnya di dinding ruangan, dia tidak tau ada di mana sekarang, terlalu kosong dan lembab. Ruangan tempatnya sekarang ini benar-benar kosong tidak ada barang apapun, tetapi lembab karena mungkin jarang dimasuki orang.
"Kenapa dia membawaku?"
"Aw aw, aduh sakit banget, bunda..." ketika Arey hendak bangkit berdiri, tiba-tiba dia merasakan sakit di pergelangan kakinya. Apakah ini efek karena tidak pernah berolahraga ya?
Akhirnya Arey memilih duduk kembali. Pikirannya kembali ke kejadian kemarin, lelaki yang belum dia ketahui namanya itu benar-benar kejam. Bagaimana dia bisa berlaku seperti ini kepada wanita ya?
Ah, tiba-tiba Arey jadi teringat Deon, apakah lelaki itu benar-benar marah kepadanya? Tapi, kenapa dia marah? Bukannya justru senang jika tidak menggangguku lagi?
Pikiran Arey terhenti saat tubuhnya merespon reflek ketika mendengar suara langkah kaki dari luar. Jujur, Arey takut, banget. Tangannya bergetar dan berkeringat. Sakit yang kemarin saja belum sembuh, bagaimana jika lelaki itu menyakitinya lagi?
Suara kunci mengisi pendengaran Arey, membuat jantungnya berdebar. Saat pintu itu terbuka, Arey semakin menegang. Dilihatnya lelaki yang memakai kemeja putih dan celana hitam.
Lelaki ini sungguh tampan. Tetapi kenapa dia sangat kejam kepadaku. Mungkin terlihat seperti psyco.
"Aku memang tampan, girl." lelaki dengan kemeja putih itu menutup pintu secara perlahan dan melangkah ke arah Arey dengan perlahan.
Napas Arey tercekat ketika wajah lelaki itu bertepatan di depan wajahnya sambil tersenyum.
"Aku senang melihat kau ketakutan seperti ini," dia menyeringai, "seperti ada kepuasan dalam diriku, Arey."
"Kau ingin tau namaku bukan?"
Arey masih diam.
"Ah, baiklah, jika kau tidak menjawabku, satu hukuman menantimu, bagaimana?"
"Apa maumu!" teriak Arey. Dirinya sudah muak dengan lelaki di depannya ini. Sumpah. Baru kali ini Arey mengalami kejadian seperti ini. Namanya penyiksaan bukan?
Lelaki di depan Arey terkekeh, tangannya yang bebas bergerak mengelus kasar rambut Arey, lalu pandangannya beralih ke leher Arey.
Ah, Arey memutar kedua bola matanya. Tentu saja kalung itu. Kenapa dia bodoh sekali.
"Coba saja kalau kau bisa melepasnya, aku saja tidak bisa melepasnya." balas Arey mengejek.
Lelaki itu berdecih. "Kau akan mati jika aku memaksa mengambilnya Arey."
Arey terkekeh, tidak percaya dengan kata-kata lelaki monster ini.
Setelah beberapa saat, lelaki itu terdiam, seolah ada yang berbicara dengan dia, melalui telepati? Mungkin saja. Lelaki ini kan aneh.
"Baiklah. Aku akan kembali nanti. Aku sangat tidak sabar melihat kau mati di depan wajahku Arey. Perempuan congkak sepertimu pantas mati di tanganku." kata lelaki itu sambil jempolnya mengelus pipi Arey yang ada bekas lukanya.
Arey terlihat meringis, luka itu masih terbuka lebar, perih.
Lelaki itu bangkit dari berlututnya dan bergerak keluar, sampai kemudian tubuhnya berhenti. "Oh iya, namaku Albert. Cukup bagus bukan?" setelah itu pintu tertutup kasar.
Albert ya? Nama yang bagus, tetapi tidak dengan manusianya.
•••
Deon bangkit dari duduknya. Berjalan tergesa-gesa menghampiri seseorang yang baru saja keluar dari sebuah ruangan. Dia melayangkan tinjuannya.
Tepat sasaran.
"Huh, kau pikir dengan ini, kau bisa membunuhku?" Albert menyeringai, jemarinya terulur menyeka sudut bibirnya yang sedikit mengeluarkan darah. Albert akui, kekuatan lelaki di depannya ini sungguh kuat. Entah mengapa bisa begitu, padahal mereka memiliki aliran darah yang sama.
Deon menghampiri Albert yang terduduk, memcengkram depan kemeja putih Albert. "Apa yang sedang kau lakukan?"
Wahjah Deon terlihat memerah menahan emosi, sejak beberapa jam yang lalu, saat dia merasakan ada yang tidak beres dengan tubuhnya, dia sadar akan hal itu.
Sebenarnya Deon tidak begitu mengerti, mengapa reaksi tubuhnya seperti ini saat perempuan itu celaka. Tidak biasanya dia mengalami hal ini, Deon hanya binggung dengan hal ini.
Tetapi kemudian Deon berpikir, jika dirinya saja merasakan sakit yang luar biasa pada tubuhnya, apalagi perempuan itu yang hanya manusia biasa?
Hal keji macam apa yang sebenarnya dilakukan oleh adiknya ini?
"Jawab aku!" cengkraman tangan Deon menguat, mungkin hampir mencekik leher Albert.
"Kau ingin membunuhku begitu saja ya? Kakak?" Albert tersenyum miring. Tentu saja kakaknya itu tidak akan berani membunuhnya. Mungkin belum.
Deon bergerak melepas cengkraman tangannya sebelum menendang kaki Albert setelah itu berdecak pinggang, berusaha menahan emosi yang memuncak.
"Sekarang kau katakan, apa yang kau lakukan kepada wanita itu. Dia manusia, apa yang kau pikirkan hah?!"
Albert melangkahkan kakinya untuk duduk di sofa sambil meminum cairan merah di samping meja. Memandang jahil kakaknya yang masih dilanda emosi, terlihat dari wajahnya yang memerah dan tangan yang mengepal.
"Aku tau dia manusia. Apa yang salah dari hal itu?" jari Albert bergerak menyelipkan batang rokok di bibirnya, menghirupnya dalam kemudian menghembuskannya, dia melakukan hal itu berulang kali sampai puas melihat Deon yang masih menahan emosinya.
Albert sangat ingin tertawa melihat kakaknya, tetapi sakit punggung yang kemarin di lakukan kakaknya saja baru sembuh sehari kemudian.
Deon tidak menghiraukan Albert. Kakinya berjalan ke arah ruangan berpintu putih yang terletak di ujung lorong.
DUGH
Sial. Tubuh Deon terpental jauh saat hendak masuk ke dalam pintu putih itu, pasti adiknya yang sialan itu telah memberikan mantra di sekitaran ruangan itu, sehingga yang dapat melewatinya hanyalah pemilik mantra itu.
Albert tertawa keras melihat kakaknya yang tersungkur di depan kakinya. "Sudah ku katakan. Jangan melawanku. Kakak."
Deon bangkit lalu mencengram kembali leher Albert. "Hapus mantra itu. Cepat!"
Jemari panjang Albert melepas tangan Deon yang mencengram lehernya kemudian bergerak mencengkram leher Deon. "Jangan pernah main-main denganku, kalau kau tidak mau melihat perempuan itu kehilangan nyawanya."
Mungkin Deon harus diberi peringatan keras atas perbuatan kurang ajarnya kepada Albert. Walau dia tau umur dan kekuasaan Deon lebih besar dari itu, tetapi dia tidak perduli, Albert akan merebut semuanya itu dari Deon.
Tak lama, suara pintu berdecit terdengar, melepas kebisuan yang terjadi di antara Deon dan Albert. Kemudian disusul dengan seorang perempuan keluar dari kamar itu, terlihat binggung dengan kedua lelaki yang sedang bertengkar di ruangan tengah.
"Mengapa kau keluar dari sana! Sudah ku katakan jangan keluar sampai aku mengizinkannya!"
Perempuan yang baru saja keluar kamar itu tersentak ketika mendengar teriakan dari Albert. Tangannya gemetar. "A-aku hanya ingin mengambil air. Haus."
Albert menghentakan tangannya dari leher Deon, kemudian menghampiri perempuan itu dan menarik tangannya kasar, hampir terseok mengikuti langkah besar Albert.
"Minum."
"Jangan berani kau mengeluarkan sepatah kata apapun tanpa izinku, Rebel." Albert mendorong kasar lengan Rebel untuk duduk di kursi lalu memberikan gelas berisi air mineral yang entah kapan berada di genggamannya.
"Jadi, kau menyembunyikan berapa perempuan di sini, Albert?" Deon berkacak pinggang melihat pemandangan di depannya, siapa lagi perempuan yang dibawa adiknya itu?
Mata tajam Albert menatap Deon. "Jangan membicarakannya sekarang."
Deon terkekeh sambil melangkah menghampiri Albert dan seorang perempuan yang kalau tidak salah ia dengar bernama Rebel. Seperti nama yang tidak asing.
"Jadi, kau perempuan ke berapa yang dibawa olehnya ke sini?" tanya Deon kepada Rebel.
Rebel diam mematung, tangannya menggenggam erat gelas air mineral yang belum dia sentuh sama sekali, padahal tadi Rebel merasa sangat haus, entah berapa hari dia tertidur sampai rasanya tenggorokannya seperti gurun.
Tetapi, entah mengapa rasa penasaran Rebel memuncak ketika lelaki yang dia ketahui bernama Deon membicarakan tentang perempuan. Memangnya, banyak perempuan yang berhubungan dengan Albert ya?
Jemari panjang dingin milik Albert menggenggam erat tangan Rebel yang berada di atas meja, kemudian mengelusnya. "Jangan berpikir seperti itu. Semua pikiranmu salah."
Lidah Rebel kelu. Dia diam saja tidak membalas ucapan Albert.
Deon menyeringai. Sesaat dia memandangi perempuan yang sepertinya menarik perhatian adiknya, dia terlihat polos, dan mungkin baik. Sial sekali nasib perempuan itu sampai bisa bertemu dengan jelmaan monster seperti Albert.
Sejak kecil, adiknya memang sangat nakal dan tempramental. Dulu, dia sangat menyukai keributan, hampir setiap hari ada laporan kepada ayahnya mengenai Albert, entah dia membunuh kucing di jalan, memcelakai temannya sampai patah kaki, membiarkan temannya dikejar serigala, bahkan yang terparah, yah, dia pernah membunuh mantan dari kekasihnya dahulu karena cemburu.
Sifatnya memang tidak pernah lepas dari kejahatan, maka dari itu semenjak Albert beranjak dewasa, ayah tidak lagi pernah mengasihaninya, menyebabkan sifatnya semakin keras sampai kini. Ayah berkata bahwa dia sudah lelah dengan semua kenakalan dan kejahatan Albert.
Hal itu juga yang membuat Albert semakin menjauh dari ayah, dia berpikir bahwa ayah sudah tidak lagi mengasihi dan mengampuninya. Padahal kenyataan yang sebenarnya, ya, layaknya seorang ayah yang mengasihi putranya, cuman, tidak dapat menunjukannya secara langsung.
Sampai sekarang, sifatnya belum juga berubah, masih gemar bermain perempuan dan berbuat kasar kepada mereka.
Kemudian Deon mengamati perempuan itu lagi, tak sengaja matanya bertemu dengan liontin kalung yang tidak sengaja timbul keluar dari pakaiannya. Mengamati secara perlahan kemudian terkejut.
Deon tau bahwa pemilik batu itu tidak hanya satu di dunia, tetapi tidak menyangka juga akan bertemu secara singkat di sini.
"Kau juga memilili batu itu ya?" tanya Deon spontan.
Rebel terlihat terkejut dan gelagapan. Dia ingat perintah Albert atas dirinya bahwa tidak ada yang boleh mengetahui bahwa dia memiliki batu yang dicari-cari oleh kaum lain.
"Kau tidak perlu takut kepadaku." Deon tersenyum
Mata Rebel bergerak menatap Albert yang sedang menatapnya juga, kemudian ke lelaki bernama Deon di sebrang sana.
"Kenapa memangnya? Kau mau mengambilnya juga dariku?" Albert merasa jengah melihat Deon yang menyebalkan di matanya. Kenapa kakaknya itu selalu menarik di mata perempuan. Selalu.
Deon mengangkat tangannya. "Tentu tidak. Atau yah, aku tidak tau. Siapa tau perempuanmu mau memberikannya dengan sukarela kepadaku, maka aku akan siap menerimanya dengan tangan terbuka."
Kedua tangan Albert bergerak mengacak rambutnya. Merasa kesal. Tidak. Kali ini dia tidak akan membiarkan kakaknya merebut miliknya lagi. Bahkan kenangan di masa lalu belum bisa dia lupakan, sekarang kakaknya mau mengulangnya kembali? Hell! Tentu tidak akan dibiarkan.
"Rebel, kau masuklah ke dalam kamarmu, aku akan membawakan makananmu ke dalam nanti. Aku akan mengurusnya terlebih dahulu." tunjuk Albert ke Deon.
Rebel mengangguk patuh. Kakinya dengan mantap melangkah masuk kembali ke dalam kamarnya, memang alangkah baiknya sejak tadi dia tidak usah keluar kamar saja. Bertemu dengan kedua lelaki menyeramkan cukup membuatnya kembali terserang panik.
Dan Rebel juga tau cara menyembuhkan serangan paniknya itu, walau cara itu, yah, cukup berisiko.
Kembali kepada Deon dan Albert yang masih memancarkan aura permusuhannya.
"Akan aku izinkan kau bertemu dengan perempuan itu, jika kau tidak lagi mengganggu milikku." Albert berucap final.
Milikku ya? Terdengar menyenangkan. Batin Albert sambil tersenyum.
"Sebenarnya, urusannya bukan kepentinganku, tetapi tidak salahnya aku mengunjunginya untuk kemanusiaan bukan?"
Albert terkekeh mendengar ucapan sarkas Deon. Dia tau semuanya itu hanya alibi. Tidak mungkin seorang Deon mau datang menghampirinya jika bukan karena tingkah hatinya. Mustahil.
100% Albert nyatakan, bahwa sebenarnya, Deon lebih mengkhawatirkan perempuan itu.
•••