"Ini namanya Seta." Biru memperkenalkan seorang anak laki-laki bertubuh pendek dan berwajah cantik pada gengnya, ketika mereka berkumpul hari minggu pagi itu.
"Apa kabar, semuanya," sapa Seta dengan senyuman manis pada teman-teman barunya.
"Mulai hari ini, dia akan menjadi anggota Geng kita," jelas Biru.
Para sahabat Biru terdiam sembari mengamati teman baru mereka tersebut dengan saksama. Krisna mendekatkan wajahnya pada Seta dan memerhatikan pemuda itu baik-baik. Anak ini wajahnya sangat cantik, kulitnya juga putih dan bersih, tapi rambutnya pendek dan sepertinya di punya jakun di leher walaupun samar.
"Kamu cewek?" tanya Krisna sambil mengerutkan kening.
"Aku cowok," jawab Seta sambil menyeringai.
"Krisna patah hati deh!" goda Rosa.
"Enak aja!" Krisna langsung mengelak. Sementara teman-temannya yang lain tetawa dan ikut menggoda Krisna. Krisna menggerutu walaupun dalam hatinya dia memang merasa kecewa. Baru saja dia melihat makhluk yang bening, ternyata eh ternyata dia adalah berjenis kelamin sama. Sungguh kisah yang mengharukan. Patah hati dalam sepuluh detik saja.
"Ayo kita berangkat sekarang." Biru mengingatkan teman-temannya.
Seluruh anggota geng mengamini. Mereka hendak menjadikan Kebun Teh Wonosari sebagai destinasi awal dalam proyek mengelilingi kota Malang. Kebun itu letaknya cukup dekat dari sekolah mereka, yaitu sekitar delapan kilometer. Mereka hanya butuh berjalan sedikit ke jalan raya lalu naik angkot yang mengantarkan mereka menuju perkebunan. Dalam waktu dua puluh menit saja mereka sudah sampai di perkebunan teh seluas kurang lebih satu hektar tersebut.
Hamparan dedaunan warna hijau menyambut mereka begitu sampai di sana. Tujuh orang muda-muda itu terpana melihat keindahan panorama alam nan cantik yang menghibur mata. Jinggalah yang lebih dulu berlari mengampiri rimbunan daun-daun hijau itu.
"Huah! Ini keren sekali! Aku berasa seperti di film-film," kata Jingga.
Gadis itu lalu tertawa riang sambil menyenandungkan lagu film India favoritnya yang sempat booming saat era krisi moneter dua tahun yang lalu.
"Tum pas aaye... yun mus kuraye...tumne na jaane kya...sapne dikhaye. Abto meradil, jaaqena sota hai, kya karoon haye. Kuch kuch hotai!"
Krisna memicingkan mata mengawasi cewek yang alay itu. Bagaimana kalau dia pura-pura nggak kenal sama pecinta Mega Bollywood itu ya? Krisna memaki dalam hatinya kok bisa sih dia suka sama cewek model seperti itu. Sampai hari ini hal itu masih menjadi misteri bagi Krisna. Jingga tidak cantik, pintar juga rata-rata, bibirnya suka ceriwis dan ngomong sembarangan, tingkahnya kadang memalukan seperti ini. Tapi kenapa dia malah suka sama cewek seperti itu?
Kalau dipikir baik-baik, ada Rosa yang cantik dan tampak dewasa walaupun make upnya terlalu tebal. Ada juga Vio yang manis dan anggun walaupun suka ketakutakn kalau berada di sebelahnya. Kenapa dia tidak menyukai mereka saja? Kenapa harus Jingga? Benar apa kata Vina Panduwinata, "Asmara tak kenal dengan logika."
"Jingga perhatikan jalanmu, awas jatuh." Baru saja Rosa selesai memperingatkan, kaki Jingga sudah terantuk batu. Biru yang berada di belakangnya persis, ikut menjadi korban karena tidak siap. Mereka terjatuh lalu berguling-guling ke bawah bersama-sama.
Rosa dan Viola menjerit panik, sementara para lelaki segera menghampiri Biru dan Jingga dengan cemas.
"Kalian nggak apa-apa?" tanya Erwin.
Biru memegangi kepalanya yang terasa pening lalu mengangguk. "Ya, aku nggak papa." Biru lalu berpaling pada Jingga yang mengerang di sebelahnya. "Hati-hati dong, kalau jalan!" Biru menjitak pelan puncak kepala gadis itu.
"Maaf," sahut Jingga sembari menyeringai.
Viola dan Rosa mendekat. Viola terpekik ketika melihat kondisi tubuh Jingga. Gadis itu gemetaran menunjuk lengan kanan Jingga yang berdarah.
"Jingga itu nggak apa?" tanya Vio.
Mata Rosa membelalak ketika menyusuri arah pandang Vio. "Ya ampun ... itu pasti sakit."
"Apanya?" tanya Jingga masih belum sadar.
"Itu tanganmu." Seta menunjuk lengan Jingga.
Jingga menyusuri telunjuk Seta. Matanya membeliak ketika menatap kulit tangannya yang mengelulas disertai darah yang merembes dari sana. Gadis itu sekonyong-konyong berteriak kencang sembari mengaduh sehingga teman-temannya dibuat bingung.
"Kok baru teriak? Sel sarafmu lambat amat reaksinya," ejek Krisna.
"Tadi nggak sakit, setelah aku tahu, rasanya jadi sakit," keluh Jingga. Gadis itu hendak meniup lukanya, tapi bibirnya tiba-tiba ditutup oleh telapak tangan Biru yang besar.
"Jangan ditiup! Kamu mau menyebarkan bakteri di mulutmu ke sini?" tegur Biru.
"Sini, biar aku obati."
Biru membuka tasnya lalu mengeluarkan kotak P3K kecil dari dalam sana. Dengan sigap Biru membersihkan luka Jingga dengan kasa dan antiseptik lalu mengoleskan salep dari ekstrak plasenta dengan cutton bath. Jingga terpegun, debaran-debaran asing seketika muncul di relung hatinya.
Anak-anak yang lain pun melihat aksi Biru dengan decak kagum. Di saat seperti ini barulah makhluk bernama Biru itu terlihat keren.
"Peralatan P3K-mu lengkap, keren!" puji Vio.
"Ibuku yang maksa bawa ini. Buat jaga-jaga katanya. Nggak nyangka aja beneran berguna sekarang," kata Biru. Ibu Biru adalah seorang dokter Puskesmas.
"Kamu harus hati-hati. Kamu itu cewek, kalau lukamu membekas bagaimana?" tutur Biru.
Jingga terdiam sembari memandangi Biru yang masih sibuk mengobati lukanya. Itulah hari di mana Jingga jatuh cinta pada Biru. Krisna memandangi Jingga dan Biru. Entah mengapa hatinya nggak senang melihat semburat merah di pipi Jingga. Sepertinya ada yang tidak beres di sini.
"Nah, sudah," kata Biru setelah mengoleskan salep pada tangan Jingga.
"Makasih," lirih Jingga
"Jangan lupa dikasih plester!" ucap Krisna. Tahu-tahu dia sudah menempelkan plester pada luka Jingga dengan kasar. Jingga sampai menjerit lalu memaki-maki.
"Sakit tahu, Krisna!" geram Jingga.
"Cih, katanya cewek kuat, luka dikit aja nangis-nangis," olok Krisna.
"Sini aku iris tanganmu! Kita lihat kamu bakal nangis apa nggak!" tantang Jingga murka.
"Psikopat," ucap Krisna sambil geleng-geleng.
Biru mengerucutkan bibir mengamati dua orang itu berdebat. Entah kenapa dia nggak senang melihat pertengkaran mereka. Dia tidak senang melihat Jingga bertengkar dengan cowok lain. Tidak bisakah dia memonopoli gadis itu untuk dirinya sendiri saja?
***