C8 - POV Yusuf

1056 Kata
Selain bekerja, aku juga mengambil kuliah S2 di universitas swasta yang tak terlalu jauh dari perusahaan. Niatku sebenarnya adalah melanjutkan pendidikan sampai S3, namun karena abi menyuruhku untuk segera melamar perempuan bernama Harumi itu, ya mau bagaimana lagi, setelah menyelesaikan pendidikan S1, aku langsung melamar kerja di perusahaan ini, nyatanya aku diterima dengan cepat, sebagai asisten kepala bagian. Aku masih bisa memanfaatkan waktu yang kosong di sela-sela jam kerja untuk mengerjakan tugas kuliah. Kepala bagian pun tak masalah, malah mendukungku untuk belajar. Alhamdulillah. Nikmat Tuhanmu mana lagikah yang engkau dustakan? Setelah menyelesaikan semua pekerjaan, aku langsung menuruni anak tangga, membuka pintu mobil dengan cepat. Sudah tak sabar bertemu dengan pujaan hatiku, cinta sejatiku, sosok bidadari yang telah meluluhkan perasaanku, Olivia. Aku tak tau sejak kapan aku menjadi b***k cinta seperti ini. "Aku harus cepat menjemput Olivia, aku tak ingin dia menunggu lama." Dengan bismillah aku menginjak pedal gas, memulai perjalanan ke kampus tempat Olivia menuntut ilmu. 15 menit perjalanan, aku sampai di depan gerbang kampus Olivia. "Hai!" Gadis cantik dengan geraian rambut panjang itu mengetok kaca mobil, melambaikan tangannya. Olivia kini sedang menyelesaikan pendidikan S2-nya di salah satu universitas negeri di Jakarta, tahun depan dia berniat mengikuti pertukaran pelajar ke Jepang, aku cukup yakin dia akan lolos. Aku membukakan pintu mobil untuk Olivia, mempersilahkan pacarku masuk. "Terima kasih Sayang." Olivia tersenyum tipis. Memasang sabuk pengamannya. "Jadi ke bioskop sekarang?" tanyaku sedang fokus menyetir. "Jadi dong, Sayang. Aku udah lama banget pengen nonton film itu sama kamu." Suara Olivia terdengar manja, dia mencubit pipiku, tersenyum menggemaskan. "Aku lagi fokus nyetir, Sayang." "Hahaha. Maaf." Olivia membuka tasnya, mengeluarkan ponsel. Aku tetap fokus menyetir, keamanan adalah hal paling penting saat ini. "Sayang, kita udah 5 tahun pacaran ya? Gak kerasa aja ya. Padahal dulunya aku gak yakin hubungan kita bisa sampai selama ini. Bagaimana ya kira-kira kelanjutan hubungan kita? Apa sampai di pelaminan?" Olivia tersenyum tipis menatapku dengan mata yang sayu. Aku mengelus lembut rambut Olivia, untungnya sekarang kami sedang di lampu merah. "Apa yang kamu katakan, Sayang? Tuhan akan mempermudah jalan orang-orang yang saling mencintai." Aku mencoba menghibur Olivia, meyakinkannya. "Tapi Sayang-- tidak, Kak Yusuf, ada tembok besar yang menghalangi hubungan kita, membuat kita tak akan bisa untuk bersama, tembok besar itu adalah iman. Agama kita berbeda Kak, kamu tak akan berpaling dari agamamu, aku pun juga. Kiblat yang tentukan arahmu pulang, dan altarku tak akan bisa berdampingan. Kak, kita sama-sama tau, kita telah memilih jalan yang berujung luka." Olivia tersenyum tipis, menatapku dengan matanya yang menahan tangis. Aku langsung menginjak pedal gas, karena lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau. Bukan maksudku mengelakkan perkataan Olivia, hanya saja aku tidak bisa menemukan jawaban dan solusi atas perkataan Olivia, lebih tepatnya belum. Sampai di bioskop, Olivia pergi memesan tiket, sedangkan aku memesan soda dan popcorn. Kami sama-sama masuk ke ruangan bioskop, menunggu film yang akan ditayangkan 10 menit lagi. "Manusia tentu tidak bisa menentukan kapan dan kepada siapa dia jatuh cinta, tapi banyak orang tua jelas menentukan dengan siapa kita boleh menikah. Dan aku tau betul, orangtua kita tak akan mengizinkan kita karena perbedaan kepercayaan ini." "Sayang, kamu dari tadi ngomong apa sih?" Aku cemas melihat Olivia yang kini berubah tiba-tiba, dia mulai mengungkit kembali tentang perbedaan kami. Padahal sudah 4 tahun lamanya Olivia tak lagi membahas perbedaan agama dalam hubungan kami. Olivia hanya tersenyum, tidak lagi menanggapi tentang hubungan. Pacarku ini kini asik membicarakan tentang tugas-tugas dan organisasi di kampusnya. 10 menit berlalu, dan film romantis berlatar di lautan ini mulai di putar. Olivia memang penikmat film-film yang menayangkan situasi di zaman lampau, saat zaman penjajahan dulu. Dia sangat menggemari film-film, bisa dibilang maniak. Tak hanya film, Olivia juga suka baca komik. Kurang lebih 1 jam 30 menit, kami telah keluar dari bioskop. "Mau makan malam sekarang?" tanyaku sambil membukakan pintu mobil untuk Olivia. Olivia menggeleng ringan. "Tugas kuliahku masih ada, Sayang." Olivia diam sejenak, nampak ragu masuk ke dalam mobil. "Ada apa Sayang?" Aku heran melihat Olivia yang hanya memilih berdiri, belum melangkah sama sekali memasuki mobil. "Kak, lebih baik, hubungi ini kita akhiri saja. Aku tidak menemukan sedikit pun jalan untuk hubungan kita." Aku jelas tersentak kaget mendengar perkataan Olivia yang tiba-tiba. Rasanya hatiku sakit mendengar Olivia memutuskan hubungan ini secara tiba-tiba. Aku menggenggam tangan Olivia dengan lembut. Menatap wajahnya penuh harap. "Sayang, tolong... jangan memutuskan hubungan yang sudah kita jalin lama ini secara sepihak. Kamu tau bukan? Seberapa cintanya aku padamu? Kamu tau bukan? Aku rela melakukan apa saja untukmu. Aku sayang dan sangat cinta padamu--" "Tapi Kakak tak rela meninggalkan agama Kakak untuk aku bukan!?" Olivia memotong perkataanku dengan nada membentak, air mata sudah jatuh membasahi pipinya. Ternyata hatiku lebih sakit melihat dia menangis, rasanya cintaku padanya sudah terlanjur dalam. "Maaf." Hanya kata ini yang bisa aku sampaikan pada Olivia. Tidak mungkin aku akan berpaling dari agamaku, Islam. "Kak! Bilang pada Tuhanmu, aku hanya ingin mencintai umat-Nya, bukan merebut dari-Nya! Jika Tuhan menyatukan manusia dengan cinta, lantas kenapa Dia memisahkan manusia dengan perbedaan!?" Aku langsung memeluk Olivia, menyeka lembut air matanya. "Tuhan memang satu, hanya saja aku dan kamu menyebutnya dengan cara yang berbeda, Sayang. Tapi aku percaya, genggaman tanganmu dan sujudku akan bertemu di amin yang sama." Aku tersenyum tipis pada Olivia yang tangisannya sudah sedikit reda. "Kak... maaf. Sejujurnya, aku sangat mencintaimu, aku tak ingin kamu meninggalkanku, aku tak ingin hubungan ini kandas lantaran iman kita yang tak sama. Tapi, hubungan yang menggantung ini, membuatku semakin cemas Kak, aku takut jatuh cinta lebih dalam dari ini padamu. Aku takut saat kita berpisah nanti, aku tak akan bisa melupakanmu seumur hidupku!" Olivia memelukku erat. Aku tersenyum tipis, menghela nafas lega. Aku tau Olivia juga sangat mencintaiku. "Sayang, aku berjanji tak akan pernah meninggalkanmu. Apapun yang terjadi, aku akan menemukan solusi agar kita bisa bersama. 10 tahun, 100 tahun, atau mungkin 1000 tahun, aku pasti akan menemukan solusinya. Kita sama-sama berdoa saja ya! Dan satu lagi, jangan panggil aku 'kakak!' Mana panggilan sayangmu tadi." Aku mencubit hidung Olivia, gemas pada pacarku yang satu ini. Olivia tertawa kecil, nampaknya emosinya sudah lebih baik. "Jadi makan malam?" Olivia mengangguk cepat, tersenyum lebar. "Menghabiskan waktu bersama pacarku menjadi prioritas dari pada tugas kuliah. Sayang, aku mau makan mie ayam!" "Siap ratuku!" Aku dan Olivia tertawa bersama, lega hubungan kami kembali baik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN