Jam di ruang kerja sudah menunjukkan pukul 6 sore, aku segera berberes karena semua pekerjaan ditambah lembur sudah selesai.
"Harumi," panggil Kris sambil memperbaiki jilbabnya.
"Ya, kenapa?"
"Mau shalat Maghrib ke masjid yang ada di seberang belokan lampu merah?"
Aku diam sejenak, berpikir mengenai ajakan Kris. Kalau pulang sekarang, aku bisa terlambat shalat Maghrib di rumah, solusi terbaik memang shalat di masjid saja. "Baiklah."
Aku dan Kris langsung ke parkiran, menaiki motor masing-masing menuju Masjid di dekat perusahaan yang juga satu arah dengan perjalanan ke rumah kami masing-masing.
Setelah sampai di masjid, kami langsung berwudhu, ikut shalat berjamaah. Pukul 18.40 aku dan Kris keluar dari masjid, pulang.
Sampai di rumah aku menyalami ayah dan ibu, langsung masuk ke kamar. Melepas semua seragam kerja, memasang kaos, melepas sanggul rambutku, diikat kuda.
Setelah membereskan semua barang kerja, aku langsung keluar kamar, ke meja makan untuk makan malam, perutku sudah memberontak sejak di masjid tadi.
"Harumi, ayah ke masjid dulu." Ayah yang sudah rapi dengan baju kokoh, kain sarung dan peci putihnya pamit pergi ke masjid. Aku mengangguk, menyalimi tangan ayah, diikuti ibu.
Setelah ayah pergi, ibu menatapku lama, berkacak pinggang.
"Kenapa kamu sudah duduk di meja makan?" tanya ibu menyelidik.
"Mau makan malam, Bu," jawabku jujur.
Ibu menghela nafas. "Tunggu ayahmu pulang dulu, Harumi." Ibu berbalik, melangkah ke kamar mandi.
Aku ikut menghela nafas seperti ibu tadi. Perutku sudah terlanjur lapar, aku tak yakin sanggup membuat cacing-cacing di perutku ini bersabar menunggu makanan masuk.
Karena mendengar adzan telah berkumandang, aku beranjak dari meja makan, ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Lebih baik aku shalat dulu saja. Jika lapar ini dipikirkan, dan cacing-cacing di perutku ini dimanjakan, aku hanya akan menjadi semakin tersiksa karena kelaparan ini.
Selesai shalat, aku menatap jam dinding di kamar. Sepertinya ayah masih lama pulang, biasanya habis Isya ini bapak-bapak jamaah masjid rapat pengurus. Selesai shalat, aku juga sudah melupakan persoalan lapar, aku beranjak ke meja, mengambil Al-Qur'an.
Dengan bismillah, aku mulai membaca ayat-ayat yang ada di dalam kitab suci ini, Al-Qur'an. Selesai membaca Al-Qur'an, perasaanku jadi lebih tenang. Aku langsung melepas mukenah, duduk diam di kursi kamar, menunggu ayah pulang.
"Besok aku akan bertemu dengan Yusuf. Tapi parahnya aku lupa satu hal, cara mengabarinya. Aku tidak tau nomor teleponnya. Bagaimana ini!?" Aku bergumam sendiri, memikirkan ketidakpastian pertemuan besok, lebih tepatnya ketidakpastian waktu. Tak mungkin aku dengan bodohnya membuat perjanjian tapi tidak ada jam-nya. Aku tak mau harus menunggu dia dari pagi, mana tau dia datang sore.
Aku menghela nafas. "Muhammad Dzakir Nur Yusuf, Muhammad Dzakir Nur Yusuf... ah iya! Instagramnya! Kenapa aku bisa sampai lupa ada sosial media sekarang ini, aku bisa menghubunginya lewat i********:. Tapi... apa dia punya akun i********:?" Aku meraih ponselku yang ada di atas meja. Menghidupkan internet, mengetik nama Muhammad Dzakir Nur Yusuf.
Nama Muhammad Dzakir Nur Yusuf ada di pencarian teratas setelah aku ketik. Aku langsung mengklik profilnya, memastikan apa benar Muhammad Dzakir Nur Yusuf ini adalah orang yang sama dengan yang sedang aku cari, sebab foto profil akun ini hanya filter hitam, tidak ada gambar apa-apa.
Aku menghela nafas setelah membuka profilnya. Akun ini private, tidak mungkin aku bisa melihat postingannya sebelum mengikuti akun ini.
Aku juga terlampau ogah untuk mengikuti akun dia, walau aku masih tidak tau apa benar dia Muhammad Dzakir Nur Yusuf yang sedang aku cari. Mataku takjub melihat angka pengikutnya yang sampai 5.495, dengan 890 akun yang dia ikuti. Pemilik akun ini nampaknya cukup populer.
Sebelum aku menekan tombol kembali, untuk mencari akun lain dengan nama Muhammad Dzakir Nur Yusuf, aku lebih dulu membaca bio-nya.
Alumni SMA Nasional
Alumni Universitas Indonesia, ketua himpunan dakwah islam.
Hiduplah dengan apa yang kamu yakini benar. Dan ingatlah selalu Allah dalam segala urusanmu.
Tepat! Ini benar Muhammad Dzakir Nur Yusuf yang aku cari. Riwayat sekolahnya sama persis seperti apa yang dibahas saat acara lamaran lusa kemaren. Aku beruntung kakak menegurku untuk segara mendengar obrolan keluarga kami.
Mataku terfokus pada bio-nya yang bertuliskan, 'Hiduplah dengan apa yang kamu yakini benar' Pikiranku langsung teralihkan pada dia yang mau menerima perjodohan ini. Apa perjodohan kami adalah hal yang dia yakini benar sampai-sampai dia mau saja menerimanya?
Yah, itu juga bukan urusanku. Tidak! Ini urusanku juga, karena orang yang akan dia nikahi adalah aku.
Tanpa sadar aku meng-klik menu bagian tengah sebelah kanan. Penasaran dengan apa yang dia lakukan selama ini, mungkin ada teman-temannya yang memposting foto bersama dia. Aku tanpa ragu mengklik postingan yang menandai dia.
Sejauh mata memandang, secepat jempolku men-scroll layar ponsel, aku masih belum melihat postingan yang ada dianya bersama perempuan lain. Hanya akun dari laki-laki yang menandai akunnya.
Karena penasaran, atau lebih tepatnya aku heran kenapa tidak ada foto dirinya bersama perempuan lain. Dia populer, bisa dilihat dari pengikut akun i********:-nya yang sampai 5 ribu lebih, dia juga tampan, pintar, kata orang-orang dia baik dan soleh. Tapi kenapa belum ada postingan kaum hawa yang bersamanya? Walau mungkin ada kemungkinan besar kalau banyak kaum hawa yang memasukkan foto bersamanya di i********: dengan akun privat.
Jariku yang dari tadi men-scroll berhenti tepat di sebuah foto yang menampilkan dia, Muhammad Dzakir Nur Yusuf, calon suamiku bersama seorang gadis dengan seragam putih abu-abu dan rambut panjangnya yang diikat kuda, berserta 2 orang anak laki-laki dengan seragam putih abu-abu. Kedua anak laki-laki itu berserta Yusuf memegang lapor mereka, mengenakan topi hitam kelulusan, sedangkan gadis cantik dengan rambut panjang yang diikat kuda tidak memegang apa-apa.
Aku melihat deskripsi di bawah foto, ini postingan 4 tahun yang lalu.
Happy Graduation genks! Semoga kita masih bisa bersama-sama setelah lulus ini! Terima kasih atas waktunya di Osis selama ini, sudah banyak hal yang kita lalui bersama. Tak terhitung banyaknya drama selama kegiatan, dari masa orientasi siswa baru sampai acara sekolah lainnya, seperti hari guru, ulang tahun sekolah, 17 Agustus dan acara perayaan lainnya.
Dan kepada adik kelasku tercantik yang merangkap sebagai sekretaris Osis, jangan rindu sama abang-abangmu ini ya! Sukses terus di sekolah, jangan pernah ngeluh!
Aku terdiam setelah membaca deskripsi postingan, tulisan yang cukup menyentuh, setidaknya bagi mereka berempat.
Gadis dengan rambut panjang yang diikat kuda ini berdiri di kanan, sebelah kirinya adalah Yusuf, sedangkan disebelah kirinya Yusuf adalah kedua teman laki-lakinya, salah satu dari kedua anak laki-laki ini adalah pemilik akun.
Aku tidak tau kenapa, mungkin saja ini hanya perasaanku sebagai seorang perempuan, tapi... gadis yang ada di foto bersama Yusuf saling bertatapan, tersenyum dalam artian lain. Aku merasa, dalam foto ini, mereka bukan sebagai adik dengan kakak kelas, lebih sebagai pasangan.
Aku tersentak kaget karena ibu mengetuk pintu kamar dengan keras. Aku segera mematikan ponsel, keluar dari kamar terburu-buru.
"Aduh Harumi, udah dari tadi ibu mengetuk pintu sama memanggil-manggil nama kamu, sama sekali tidak ada sahutan. Ibu pikir kamu sudah tidur duluan, tapi mengingat dari tadi kamu lapar, ibu terus mengetuk pintu. Kamu kenapa tidak menyahut dari tadi?" tanya ibu dengan raut muka khawatir.
Aku tersenyum tipis, menggeleng ringan pada Ibu. "Aku tadi hanya sedang fokus dengan pekerjaan, Bu, maaf tidak mendengar panggilan ibu tadi. Ayah sudah pulang ya Bu? Ayo kita makan malam Bu!"