Sampai di rumah aku dan abi langsung bersiap-siap untuk berangkat ke masjid, shalat Maghrib berjamaah.
Jarak masjid dan rumahku tidak terlalu jauh, cukup berjalan kaki berdua dengan abi. Selama di perjalanan abi lebih sering membahas tentang pekerjaanku dari pada pernikahan. Aku menghela nafas lega, bersyukur abi tidak bertanya yang macam-macam. Aku tak mau membahas pernikahan untuk saat ini.
Selesai shalat maghrib berjamaah di masjid, abi mengikuti pengajian bersama jamaah bapak-bapak lainnya sampai isya nanti. Aku memilih mundur, duduk di pojokan karena ditarik oleh temanku, Aldi.
"Hei Yusuf, bagaimana? Bukankah tadi kamu melamar perempuan? Aku mendengarnya dari sepupumu, Salsa." Aku mengernyitkan kening, tak seharusnya Salsa, sepupuku menyebarkan soal lamaran apalagi pernikahan ini pada Aldi yang mulutnya kayak ember bocor, walau dia laki-laki, tapi dia lebih rempong dari emak-emak komplek.
"Hei kenapa keningmu jadi kayak bapak-bapak begitu? Keriput. Walau wajah gantengmu yang nyebelin itu tidak pudar, tapi tetap aja makin ngeselin!" Aldi kini bersungut-sungut, kalah saing soal ketampanan denganku.
"Kamu diam saja. Dan tolong jauh-jauh dariku, aku takut jiwa emak-emakmu yang sedang bergelora pindah padaku." Aku mendorong wajah Aldi dengan tangan agar menjauh, dia terlalu dekat denganku. Aku tidak menyukai laki-laki ini.
"Ah kenapa kamu begitu? Tega betul sama sahabatmu! Padahal kita sudah main sejak masih ngomong a a a ha ha ha yang tidak jelas itu, tapi kenapa semakin hari sepertinya kamu semakin tidak peduli padaku?" Aku langsung menepuk kening melihat tingkah Aldi yang semakin bengkok ini. Dia memasang wajah memelas, aku tak akan kasihan padanya.
"Sejak kapan aku peduli padamu?" Aku berdiri, meraih Al-Qur'an yang ada di lemari belakang.
"Ah, aku baru ingat kamu tidak pernah peduli padaku." Aku melirik Aldi yang diam setelah mengucapkan kalimat tadi, kini dia tersenyum tipis. Diam dan senyumannya ini membuatku merinding, memang lebih baik dia membacot saja.
Sebelum aku membuka Al-Qur'an, Aldi berkata lagi. "Yusuf, jangan lupa undang aku di acara pernikahanmu. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat ya? Aku sebagai sahabat terbaikmu berharap agar pernikahanmu berjalan dengan baik dan lancar, aku juga berdoa agar rumah tangga kamu dan pasanganmu nanti sakinah, mawadah dan warahmah." Aldi menepuk-nepuk bahuku, tersenyum penuh wibawa.
Dia kini berdiri, ikut mengambil Al-Qur'an yang ada di lemari belakang, mengambil jarak di sebelahku. Mulai membaca ayat suci Al-Qur'an.
Aku menghela nafas, lega dia tidak berbicara padaku lagi.
oOo
Setelah kembali dari masjid, umi dan Salsa sudah menyambut kami di meja makan, makan malam.
"Kenapa kamu ke sini?" tanyaku pada Salsa yang sibuk membantu umi menyiapkan minum.
"Hahaha, aku mau lihat calon penganten baru." Salsa tertawa riang, dia paling senang mengangguku.
"Sudah, sudah, ayo makan dulu," ujar umi melerai perdebatan yang akan datang.
Abi hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kata umi, kamu menikah 2 Minggu lagi ya Suf?" Salsa bertanya dengan mulut yang berisi makanan. Dia sibuk mengunyah.
Aku mengangguk.
"Omong-omong kamu beruntung banget Suf, calon istrimu sangat cantik. Aku saja yang perempuan jatuh hati padanya, umi tadi ngelihatin fotonya ke aku. Kata umi dia juga pintar dan sangat baik. Aduh... beruntungnya sepupuku ini." Salsa merayu, pasti ada maunya.
"Ya, dia cantik." Aku hanya menjawab singkat. Sama dengan Aldi, aku malas bercakap-cakap dengan sepupuku yang satu ini, Salsa.
Walau memang, perempuan bernama Harumi itu sangat cantik, tapi aku tidak tertarik padanya, terlebih aku sudah punya pacar.
Selesai makan malam, Salsa mengulitiku ke kamar, bersenandung ria.
"Ada apa?" Aku menghentikan langkahku sebelum membuka pintu kamar. Aku tak ingin Salsa mengacak-acak semua barang-barangku. Dia punya tangan hanya untuk merusak saja.
Salsa tertawa kecil. "Jelasin dong tentang calon istrimu. Aku sangat penasaran."
"Aku tidak tau, aku baru bertemu dengannya sore tadi. Tanya saja sama umi." Aku mendorong pintu kamar, cepat melangkah masuk sebelum Salsa mengikuti.
"Aku tau loh kamu pacaran dengan Olivia."
Langkahku langsung terhenti setelah mendengar ucapan Salsa. Aku menelan ludah, berbalik, tidak jadi menutup pintu kamar.
"Apa maksudmu? Jangan ngomong yang tidak-tidak."
"Kamu jangan bohong Suf, aku sudah lama tau kamu pacaran dengan Olivia. Lebih baik kamu putusin dia sebelum kamu resmi menikah dengan calon istrimu, Harumi." Tatapan Salsa kini menusuk dalam, dia seperti sangat yakin aku dan Olivia berpacaran.
"Aku tau kamu laki-laki yang baik Suf, tak seharusnya kamu menyakiti 2 hati perempuan sekaligus. Aku tidak akan mengatakan hal ini pada abi dan umi, aku pamit pulang dulu!"
"Tunggu Sa! Aku harus bagaimana?" Aku menyerah, putus asa dengan diriku sendiri.
Salsa berbalik, mengajakku berbicara di luar.
"Umi, Abi, Salsa balik dulu ya." Salsa menyalami umi dan abi yang sedang duduk menonton televisi di ruang tamu.
"Iya Salsa." Umi tersenyum tipis pada Salsa. Melirikku. "Nak, anterin Salsa pulang ya, hari sudah malam, tak baik perempuan berjalan sendiri."
"Baik Umi, Yusuf memang mau mengantar Salsa."
Umi dan abi tersenyum tipis mendengar jawabanku.
Salsa mengajakku berbicara di taman anak-anak yang terletak 50 meter dari rumahnya. Berbicara tentang aku dan pacarku, Olivia.
"Sejak kapan kamu tau aku dan Olivia berpacaran?" Aku bertanya dengan nada pelan pada Salsa, menunduk.
"Sejak kamu sering berduaan dengan Olivia di ruang Osis. Aku tau kamu tak pernah dekat dengan perempuan lain selain aku Suf. Tapi berbeda dengan Olivia, kamu selalu terlihat nyaman bersama Olivia, sering berduaan di ruang Osis bahkan saat tidak ada kegiatan Osis, sering istirahat makan siang bareng. Kamu yang tak pernah dekat dengan perempuan, tak mungkin akan melakukan itu, kecuali kamu dan Olivia berpacaran." Salsa menatapku dengan raut mata sayu. Mengayun-ayunkan kakinya di seluncuran anak-anak.
Aku hanya diam, menyandarkan tubuh ke tangga ayunan. Salsa benar, aku tak pernah dekat dengan perempuan mana pun di sekolah dulu, kecuali Salsa dan Olivia.
"Sampai sekarang kamu dan Olivia masih berpacaran kan? Aku juga cukup yakin kamu tidak memberitahu Olivia tentang perjodohanmu. Jadi, kamu bagaimana Yusuf? Putus hubungan dengan Olivia atau membatalkan perjodohanmu, walau aku juga cukup yakin kamu tidak akan bisa membatalkan perjodohan itu." Salsa melompat turun dari seluncuran, tersenyum tipis dengan raut matanya yang masih sayu.
"Sampai sini saja, aku bisa jalan sendiri. Kamu pikirkan lah baik-baik cara memberi penjelasan kepada Olivia. Maaf, aku tidak bisa membantumu Suf, tapi jika kamu butuh apa-apa, jangan sungkan hubungi aku. Aku akan selalu membantumu."
"Apa Aldi juga tau hubunganku dengan Olivia?"
Salsa menggeleng. "Mana mungkin si bodoh itu tau. Dah, sampai nanti!" Salsa berlari sambil melambaikan tangannya padaku.
Aku kembali menyandarkan tubuh ke tangga ayunan. Menatap bulan dan bintang.
"Bagaimana cara aku menjelaskan semua ini padamu, Olivia?"