C5 - POV Harumi

1145 Kata
"Mau kemana kamu, Nak?" Ayah tiba-tiba sudah berdiri di belakangku, aku langsung melepas tangan dari gagangan pintu. "Mau keluar sebentar, Yah." Ayah menghela nafas, menatap sayu diriku. "Harumi, ini sudah mau magrib, tidak baik keluar di jam ini. Kembali ke kamarmu, istirahat lah sebelum azan magrib berkumandang. Kamu lelah bukan?" Ayah tersenyum tipis, mengelus lembut kepalaku. Aku tidak bisa membantah ayah, bahkan tidak pernah. Mau tak mau aku harus kembali ke kamar. Aku mengangguk pelan, tersenyum tipis. "Baik Ayah, Harumi masuk ke kamar dulu." Ayah mengangguk, memberiku jalan kembali ke kamar. "Apa kamu menyukai nak Yusuf?" Aku menghentikan langkah setelah mendengar pertanyaan ayah, membalikkan tubuhku menghadap ayah, balas tersenyum. Kembali melangkah ke kamar. Selesai mengunci pintu kamar, aku melepas jilbab dan kardigan, menghempaskan tubuh ke kasur. Menghela nafas, bukan karena lelah, hanya saja kejadian ini sudah terlalu sering terjadi. Saat di mana aku ingin melangkahkan kaki keluar rumah, pasti ayah selalu melarangku dengan berbagai alasannya. Karena hal ini lah, aku tidak punya banyak teman main, hanya dikurung seperti seorang putri dalam kastilnya. Selain pergi ke sekolah, aku tidak pernah keluar dari rumah sampai lulus madrasah. Mengaji dan hal-hal lainnya, dilakukan di rumah. Hidup dalam pengawasan dan keketatan seperti ini, bukan hal yang aku inginkan, namun juga bukan hal yang aku benci. Hanya saja... aku iri melihat kakakku yang selalu diberi kebebasan, kenapa mereka memperlakukan diriku dan kakak dengan cara yang berbeda? Bukankah kami sama-sama putri mereka? Tapi kenapa? "Setelah menikah dengan Yusuf nanti, aku akan lepas dari pengawasan dan keketatan aturan ini, karena diriku akan ditanggung jawabkan oleh laki-laki itu. Lebih cepat menikah akan mempercepat aku lepas dari rantai ini, selanjutnya, kami bisa menentukan kapan akan bercerai." Aku menggepalkan erat tangan kananku ke langit-langit kamar, tersenyum lelah. Ini yang aku inginkan bukan? Aku tak akan menyesali keputusanku ini. Karena aku dan laki-laki bernama Yusuf itu, sama sekali tidak mencintai, aku yakin dia akan mudah menyetujui janji perceraian sebelum menikah. Ini akan menjadi rahasia kami berdua. Allahu Akbar Allahu Akbar "Ah, sudah adzan ya?" Aku beranjak dari kasur, menepuk kedua pipiku agar tidak melamun lama, kembali membuka pintu kamar. Langsung melangkah ke kamar mandi, mengambil wudhu. Selesai menunaikan shalat magbrib, aku meminta doa yang terbaik pada Allah, lanjut membaca ayat suci Al-Qur'an sampai azan isya datang dan kembali melanjutkan shalat. Tok tok tok "Harumiii..." Aku mendengar suara ibu memanggil saat sedang melipat sajadah. Aku langsung menggantungkan mukenah ke belakang pintu, meraih gagang pintu, menariknya. "Ya Bu?" "Ayo makan malam dulu." Ibu tersenyum tipis, nampak sangat senang. Aku mengangguk, "Tunggu sebentar Bu." "Baiklah." Ibu kembali melangkah ke meja makan, aku menatap kosong. Mempersiapkan diri untuk menerima obrolan saat makan nanti, pasti banyak hal yang akan dibicarakan oleh ibu dan ayah padaku nanti. Aku sangat tidak menyukai situasi nanti. Bismillahirrahmanirrahim. Aku melangkah ke meja makan, merasa tak enak pada ibu yang sudah paruh baya tapi masih menyiapkan sarapan, makan siang, dan makan malam untuk aku dan ayah. Sebagai seorang anak perempuan yang sudah baligh, tak seharusnya aku diam saja melihat ibu mengurus semua keperluanku dan ayah. Tapi saat hendak mau membantu, ibu malah sering melarangku dan menyuruhku bersiap ke kantor. Aku tidak tau harus bagaimana menghadapi ibu. "Harumi, kenapa bengong begitu? Ayo ambil nasinya, jangan didiemin seperti itu." Ibu mengingatkan, menyadarkanku dari lamunan. "Ah maaf Bu." Aku langsung meraih sendok nasi, menyalin nasi 2 sendok ke piringku. Ibu dan ayah hanya menatap diam, belum memulai obrolan atau bisa dibilang ceramah panjang malam ini. Selesai membaca doa makan bersama, aku langsung menyuap sendok pertamaku. Aku harus cepat menyelesaikan makan malam, menghindari ceramah panjang nanti. 2 menit sudah cukup untuk aku menghabiskan semua nasi dan sambal yang ada di piring. Aku meneguk cepat air putih, bersiap ke kamar. "Kemana Harumi?" Sebelum aku berdiri dari duduk, ibu sudah lebih dulu menegur. Aku menghela nafas, memang tidak akan ada kesempatan untuk menghindari ceramah malam ini, terlebih ayah tidak ikut shalat isya berjamaah di masjid tadi, pasti ini akan menjadi ceramah terpanjang malam ini dalam hidupku. "Mau ke kamar Bu, mengecek baterai ponsel." Aku terpaksa berbohong. Demi kebaikan. Dari pada aku ketahuan menghindari ceramah malam ini. "Nanti saja. Sekarang duduk dulu!" Ibu berseru, meneguk air minumnya. Ayah dan ibu sudah selesai makan, aku membantu ibu meletakkan piring kotor ke belakang, juga menyimpan kembali sambal yang berlebih, untuk besok dihangatkan saat mau sarapan. "Biar Harumi cuci, Bu." Ibu langsung menggeleng. "Nanti saja, sekarang kembali lagi ke meja makan." Ibu memimpin jalan, tidak memberiku kelonggaran waktu sedikitpun. Dengan malas, aku melangkah kembali ke meja makan. Duduk di posisi semula. Menghadap ayah. "2 Minggu lagi kamu akan menikah Nak, tanggung jawab dirimu akan jatuh pada suamimu. Kami sebagai orangtua hanya bisa memberikan nasehat-nasehat. Sebelum itu, Ayah ingin bertanya satu hal padamu, kamu tidak membenci perjodohan ini bukan? Perjodohan ini sudah lama dilakukan Nak, kita tidak bermaksud mengacaukan harapan dan keinginan kalian, tapi nak Yusuf adalah laki-laki yang baik Nak, dia pasti bisa membahagiakanmu." Kenapa ayah tidak bertanya seperti ini dari dulu? Kenapa baru sekarang setelah tanggal nikah ditentukan!? Ayah sebenarnya tidak mengharapkan jawaban dariku bukan? Haha. Aku tersenyum tipis pada ayah, tidak mungkin aku mengatakan kata hatiku pada ayah. Aku tak ingin menyakiti perasaan kedua orangtuaku, aku tau betul, bahwa perjodohan ini adalah hal yang sangat mereka inginkan, juga yang diinginkan kedua orangtuaku Yusuf, dan almarhum kakeknya. Ayahku dan abi Yusuf sudah lama berteman, sejak menyelamatkan kakek Yusuf, ayah dan abi Yusuf menjadi semakin dekat, bahkan sudah seperti saudara. Pastinya mereka sangat berharap perjodohan kami lancar. Karena bagaimana pun, pasti mereka ingin memiliki hubungan keluarga, benar-benar ada tali pengikat di antara mereka, karena itu lah mereka menjodohkan kami, agar mereka bisa jadi besan. Aku tersenyum tipis, mengingat ini, sama saja dengan mengingatkanku tentang posisiku yang hanya sebagai tumbal, yang dikurbankan demi ikatan mereka, ayah dan abi Yusuf. "Nak, kami hanya ingin masa depan yang baik untukmu. Kami hanya ingin kamu punya suami yang baik dan pengertian." Ibu menyambung kalimat ayah, aku hanya balas tersenyum. Semuanya hanya omong kosong! Kenapa? Bagaimana bisa mereka berpikir mencarikanku suami yang baik, padahal kami sudah dijodohkan saat masih di dalam kandungan! Apa akan ada jaminan bahwa bayi laki-laki itu dulu akan menjadi anak baik-baik!? Melihatnya saja belum pernah, atau mungkin terlahir dengan selamat saja mereka tak tau! Kenapa harus mengatakan alasan seperti ini padaku!? "Ayah, Ibu, kalian tidak perlu khawatir. Harumi sama sekali tidak membenci perjodohan ini. Harumi tau maksud kalian baik, jadi Harumi akan mengikuti apa yang terbaik untuk Harumi, karena Harumi percaya pada Ayah dan Ibu. Kalau begitu Harumi ke kamar dulu, Harumi tidak sempat istirahat tadi, besok pagi Harumi harus kembali ke kantor. Selamat malam, Ayah, Ibu." Aku langsung melangkah ke kamar, walau terpaksa beromong kosong, tapi ini lebih baik, sebab aku bisa menghentikan ceramah panjang ini. Terlebih aku tidak ingin semakin tersakiti sampai bisa membenci kedua orangtuaku, aku benar-benar tidak ingin menjadi anak durhaka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN