Part. 02

1630 Kata
Davika mondar mandir di dalam kamarnya, menggigiti kuku jarinya yang panjang dan dihiasi kutek berwarna burgundy. Sebelah tangannya menggenggam handphone, kemudian masih terus bergerak-gerak dengan frustasi. Ucapan papanya saat sarapan tadi menghantamnya bagai batu besar yang membuat hidupnya diambang kehancuran. Bagaimana bisa, papa memintanya menikah sekarang ini. Ah, bukan meminta lebih tepatnya memerintahkan dirinya untuk menikah secepatnya. "Papa akan atur semuanya, yang paling penting kamu harus dinikahkan secepatnya. Papa gak mau kalau tiba-tiba kamu hamil di luar nikah, dan membuat keluarga kita malu." "Pa, aku gak seburuk itu. Kenapa papa ambil keputusan atas hidup aku seenaknya sendiri begini?" "Karena selama ini kamu juga berbuat seenak kamu sendiri tanpa sedikitpun memikirkan apa akibat tingkah kamu bagi keluarga kita, kehormatan kita." "Tapi bukan berarti aku harus nikah secepatnya dong. Papa bisa hukum aku apapun, tapi bukan dengan menikah." "Keputusan papa sudah bulat, Dav. Itu sebuah hukuman sekaligus cara untuk membuat kamu lebih berpikir dan bertindak dewasa. Papa yang akan atur semuanya, termasuk calon suami kamu." "Aku gak mau, pa. Aku berhak memutuskan jalan hidup aku sendiri. Dan papa gak bisa memaksakan apa yang papa inginkan. Aku masih kuliah, dan aku masih punya masa depan yang panjang, bukannya berakhir jadi istri orang yang bahkan aku gak tahu seperti apa." "Terserah, tapi kali ini kamu tidak berhak untuk membantah papa." Perdebatannya dengan sang papa tadi pagi masih terus terngiang dan mengganggu benaknya. Berulang kali Davika mengecek aplikasi chat pada ponselnya. Berharap Mily sang sahabat mau membantunya keluar dari masalah ini, setelah sebelumnya Maura tidak bisa memberinya solusi apapun. Bahkan ketakutan ketika Davika meminta ijin untuk tinggal di rumahnya. Bukan karena Maura tidak mau membantu, tapi Arman sudah memperingatkan langsung pada kedua orang tua Maura untuk tidak terlibat dalam masalah ini. 'Triiiinng' Ponsel di genggamannya berbunyi, membuat Davika berhenti mondar mandir dan kemudian mengangkat panggilan tersebut. "Hallo, mil...," Ucapnya tak sabaran. "Sory, Dav, gue tadi lagi di jalan." "Oke, oke, trus gimana, Mil? Gue bisa ya numpang di tempat Lo? Bokap gue ngotot banget mau kawinin gue." "Bukannya gue gak mau bantu, Dav kali ini. Tapi gimana, bokap Lo nyeremin kalo udah begini. Lagipula bokap Lo udah telepon nyokap gue langsung untuk gak nampung Lo apapun masalahnya." Milly terdengar begitu menyesal dari seberang sana. "Aarrhh, maunya papa tuh apa, sih? Kenapa sampe begini segala, ortu Lo sama ortu Maura juga diteleponin." "Ya, kali bokap Lo kan tahu, tiap kali ada masalah Lo pasti kaburnya kalo gak ke tempat gue ya tempat Maura. Gue rasa kali ini bokap Lo gak main-main deh, Dav." Davika mendaratkan pantatnya dengan kasar ke atas spring bed. Wajahnya terlihat gusar dan kebingungan. "Trus gue mesti gimana dong, Mil?" Tanyanya dengan putus asa. "Lo ikutin aja lah mau orang tua Lo." "Enak aja, gak mau gue. Gue masih muda, ngapain gue nikah cepet-cepet, sama orang pilihan papa lagi. Hii ogah," sungutnya. "Coba aja dulu, Dav. Lagian gak mungkin om Arman pilih calon mantu sembarangan kan?" "Sekali enggak, tetep enggak, Mil. Yaudahlah, gue tutup dulu, gue pusing." Davika memencet tombol merah pada layar jernih tersebut kemudian membanting ponsel dengan logo apel tersebut ke atas tempat tidur di sampingnya. * Lama Davika termenung dan kebingungan di atas tempat tidur, hingga tak sadar dirinya akhirnya tertidur. "Dav, sayang. Bangun Dav udah sore." Suara mamanya menggema di luar kamar. Davika membuk mata perlahan, mengucek kedua matanya menggunakan punggung tangan. Matanya menyipit menatap angka yang tertera di layar ponselnya. Hampir jam empat sore. "Davika, bangun dong." Dengan malas, Davika bangun dan membuka pintu kamarnya. Mamanya tersenyum di depan pintu, kemudian merangsek masuk. Wanita paruh baya namun masih tetap cantik itu duduk di tepi ranjang, Davika mendaratkan bokongnya tepat di samping mamanya. Masih dengan mengantuk, Davika menyenderkan kepalanya pada bahu sang mama. "Sana mandi, trus siap-siap," ucap sang mama mengelus pipi Davika. "Siap-siap kemana, ma?" Davika menguap lebar. "Bentar lagi ada tamu, temennya papa bawa anaknya mau dikenalin ke kamu." "Hah?" Davika bangkit cepat, menatap tajam pada mamanya. "Maksudnya apa dikenalin-kenalin segala?" Sang mama mengedikkan bahu, "ya, seperti yang papa bilang tadi. Papa yang atur semuanya, termasuk soal siapa calon suami kamu." "Ahh, enggak enggak, Davika gak mau. Enak aja papa," pekiknya sambil beringsut mundur. "Sayangnya kamu gak bisa nolak kali ini, dan mama juga gak bisa bantu apa-apa," ucap sang mama sambil menggelengkan kepala. Rasanya kepala Davika hampir meledak mendengar apa yang baru saja mamanya katakan, dirinya sama sekali tak menyangka sang papa akan secepat ini bertindak. Davika pikir, ayahnya hanya menggertak semata. * Langit sore mulai berubah warna dari jingga dan kemudian menggelap. Davika hampir dibuat gila oleh situasi ini. Mamanya bilang, sebentar lagi teman papanya akan datang. Apa ini akan jadi akhir dari masa mudanya yang bahagia? Membayangkannya saja sudah membuat Davika frustasi. "Dav, turun yuk, itu om Surya sudah datang, papa minta kamu turun sekarang," ujar mamanya yang tanpa Davika sadari telah masuk ke dalam kamarnya. "Ck, emang harus ya, ma?" Davika berdecak sebal. "Kamu tahu jawabannya," jawab sang mama sambil mengelus rambut Davika yang terurai rapi. "Anak mama cantik," lanjut wanita paruh baya tersebut. Padahal Davika sengaja tidak memoles make up pada wajahnya. Terlihat jelek dan tidak menarik itu jauh lebih baik untuk saat ini. Pikirannya terus berkelana dengan ribuan rencana di benaknya untuk menggagalkan acara pencomblangan oleh papanya ini. Hanya mengenakan kaos longgar dengan celana ripped jeans berwarna hitam yang tidak tampak anggun sama sekali, Davika mengekori mamanya turun ke bawah. Ternyata papanya tengah duduk dengan sepasang suami istri dan seorang pemuda yang berpakaian rapi di meja makan. Masih mengekori mamanya, Davika mulai menyalami sepasang suami istri tersebut dengn senyum yang terpaksa. Dari sudut matanya Davika melirik ke arah pemuda yang duduk di samping teman papanya yang bernama om Surya tersebut. Pemuda itu tersenyum menatapnya dengan tatapan yang terasa janggal. Tubuhnya kurus dan sama sekali tidak berotot, rambutnya disisir klimis ke samping. Ah, jangan lupakan kaca mata besar yang membuatnya mirip panda. Satu kata yang bisa Davika simpulkan, culun! "Jadi ini Davika ya? Cantik sekali. Kenalan dong sama Aldo," ucap istri Surya sambil mengarahkan pandangannya pada Davika dan si pemuda culun bergantian. "Aldo," ucap pemuda bernama Aldo tersebut sambil menjulurkan tangannya ke arah Davika. "Davika," Jawab Davika menyambut uluran tangan Aldo dengan enggan. Senyum terpaksa menghiasi wajahnya. Obrolan disertai gelak tawa menggema, suasana yang terlihat hangat tapi terasa menyiksa dan membuat Davika ingin sekali segera beranjak dari tempat itu, terlebih sejak tadi Aldo menatapnya dengan tatapan aneh dan terlihat seperti menelanjanginya. Membuat Davika merasa risih, bahkan jijik. Andai saja kondisi dan suasananya tidak seperti sekarang ini, Davika berani jamin Aldo sudah habis di tangannya sejak tadi. Wajahnya itu benar-benar minta di hajar. "Davika kuliah jurusan apa?" Tanya istri Surya. "Manajemen bisnis, Tante," jawabnya canggung. Rasanya kursi yang dia duduki ditancapi ribuan paku, membuatnya bergerak-gerak tak betah. "Wah sama dong, Aldo baru aja lulus S1 manajemen bisnis di University of Australia. Tahun ini mau ambil S2-nya," ucap Surya dengan begitu bangga. Davika membuang muka sambil memutar bola matanya malas. "Davika juga sebentar lagi lulus S1, cuma agak kurang motivasi aja mungkin, jadi masih suka sering hang out sama temen-temennya. Makanya, saya pikir Davika butuh seseorang yang bisa selalu mengarahkan dan melindungi dia, apalagi dia anak perempuan saya satu-satunya," ucap sang papa penuh makna sambil melirik ke arah Davika yang terlihat begitu sebal. Davika tahu betul arti ucapan sang papa, dan karena itu dirinya semakin kesal dan ingin segera pergi dari tempat itu. "Oh, kalau gitu, Davika bisa minta bantuan apapun sama Aldo kalau ada kesulitan soal kuliah kamu itu, iya kan Al?" Istri Surya menatap Davika dan si culun bergantian. "Iya, ma, Aldo mau kok." Lagi-lagi si culun kerempeng itu mengangguk dan tersenyum dengan senyuman yang membuat Davika semakin kesal. "Gue yang ogah," batin Davika. * Selesai makan malam yang menyiksa, papa meminta Davika untuk mengajak Aldo ngobrol di luar atau sekedar duduk-duduk di halaman depan rumah mereka yang luas dan asri. Meski jelas Davika begitu sebal, tapi tentu papanya tidak akan menerima penolakan. Kini Davika tengah duduk berdampingan dengan Aldo si pemuda culun itu di bangku kayu dekat kolam air mancur. Davika duduk, dengan kedua tangan berada di masing-masing samping pahanya, mencekal bangku dengan telapak tangannya. Davika benar-benar tak berniat memulai obrolan dengan si culun tersebut, pikirannya sedari tadi masih terus heran, bisa-bisanya papanya hendak menjodohkan dirinya dengan lelaki model begini. Tiba-tiba Davika merasakan tangannya disentuh kecil. Jari kelingking Aldo menyentuh-nyentuh jari kelingking Davika, membuat gadis itu terkejut dan reflek menggeser tubuhnya. Namun si culun Aldo justru semakin ikut bergeser dan mendekat. Kali ini tangannya benar-benar menyentuh separuh dari tangan Davika. Emosi Davika terasa memuncak, namun gadis itu masih mencoba menahan mati-matian. "Ooh, si culun minta di kasih pelajaran," batin hatinya. "Oh, iya, kak Aldo haus gak? Mau aku bikinin minum gak?" Tanya Davika dengan senyum yang dibuat semanis mungkin. Aldo terkesima menatap Davika yang ternyata bersikap semanis itu terhadapnya. "Boleh deh, buat temen kita ngobrol," jawabnya tak mau melewatkan kesempatan mendekati gadis yang digadang-gadang akan menjadi calon istrinya. Davika membuang muka ke arah lain, membuat ekspresi muntah karena jijik. Tapi demi sandiwara untuk mengerjai si culun menyebalkan, Davika rela berpura-pura bersikap manis. Bergegas Davika berlari ke dapur, menuangkan segelas jus yang masih tersisa ke dalam sebuah gelas kaca tinggi. Setelahnya gadis itu berlari ke kamarnya, mencari obat pencahar yang dua Minggu lalu dibelinya dari apotik saat pencernaannya bermasalah kala itu. Tak perlu waktu lama, Davika kembali ke dapur dengan membawa satu strip kapsul obat pencahar yang baru terminum satu butir. "Mampus Lo, berani-beraninya genit ke gue. Lo gak tahu siapa Davika azura," ucapnya sambil membuka satu per satu kapsul pencahar yang masih tersisa sembilan butir tersebut. Sesekali Davika menoleh, menatap sekeliling. Bertindak secepat mungkin. Bubuk dari kapsul tersebut telah masuk sempurna ke dalam cairan pekat berwarna oranye tersebut, Davika mengaduknya dengan sendok. "Ini akibatnya kalo berani-beraninya mau deketin gue," ucapnya sambil menyeringai, kemudian membawa gelas jus tersebut dengan senyum mengembang licik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN