Empat

1325 Kata
Ketika Pian menginjakkan kaki di kediaman Alex Padmana, dia semakin yakin bahwa perhitungannya selama ini salah besar. Rumah itu terlalu besar dan mewah untuk bisa menyamakan laki-laki itu memiliki kekayaan yang sama dengan klien-klien sebelumnya. Dilihat dari sisi manapun, bisa terlihat jelas bahwa kekayaan laki-laki itu jelas sudah mengalir sejak beberapa generasi. Mereka yang sudah mencicipi kekuasaan dan kekayaan tumpah ruah dalam rentang waktu cukup lama, jelas adalah entitas paling berbahaya bagi orang seperti Pian ini. Diam-diam merasa lega karena setidaknya dia sudah mengantisipasi kemungkinan terburuk dengan mengirim sang adik pergi sejauh mungkin dari Miami. Pian menarik napas, lantas secara samar memperhatikan sekeliling rumah. Mencari celah yang bisa ia gunakan untuk setidaknya melarikan diri jika kecurigaannya benar terjadi. "Pian, kamu sudah datang?" Sambutan itu menyadarkan Pian dari lamunan, spontan mengembangkan senyum kala Alex menghampirinya dengan seulas senyum lebar. Laki-laki itu nampaknya sedang menikmati sesi afternoon tea bersama beberapa orang. 3 laki-laki itu hanya sekedar mengembangkan senyum tipis, sebelum kembali berbincang satu sama lain. Rupa mereka mengingatkan Pian akan satu potret keluarga berukuran raksasa yang menyambutnya di pintu depan tadi. Menyadari bahwa 3 laki-laki itu adalah saudara dari Alex. "Wanda nggak ikut?" tanya Alex menaikkan sebelah alisnya heran, biasanya adik dari Pian itu akan selalu datang ketika mengantarkan lukisan. Pelukis satu itu akan memberikan banyak sekali saran tentang bagaimana merawat dan memajang lukisan yang kliennya telah beli melalui mereka. Itulah kenapa ketiadaan Wanda di pertemuan kali ini, membuat Alex keheranan. "Kebetulan dia ada acara di sekolah Mas, jadi nggak bisa ikut datang." Pian dengan tenang menjawab pertanyaan itu, meski kenyataannya dia tidak bisa berhenti untuk bersikap waspada. Ia melirik ke belakang, lebih tepatnya pada pekerja rumah yang membawakan lukisan pesanan Alex. "Saya bisa bantu Mas soal instalasi dan perawatannya." Ada jeda cukup panjang, sampai Alex mengangguk kecil. "Bima akan mengantarkan kamu ke museumnya, kamu tidak keberatan melakukannya sendiri kan?" *** Ada perasaan dingin aneh yang menjalar di seluruh tubuh Pian seiring jarak menuju museum semakin mengikis. Matanya semakin bergerak awas, mencoba menemukan keanehan apapun yang mendukung kecurigaannya. Namun, sedari tadi tak terjadi apa-apa. Orang yang mendampingi dirinya ke museum hanyalah Bima, asisten pribadi Alex dan seorang pekerja rumah yang membawakan lukisan Tara Serenade menggunakan troli. Selain itu penjaga keamanan yang terlihat hanya beberapa, itupun mereka sekedar berjaga di pos masing-masing. Museum yang dimaksudkan Alex, adalah sebuah bangunan yang terpisah dari rumah utama di sisi barat. Bangunan itu bertingkat 3 dicat berwarna putih gading dengan atap berwarna hijau gelap. Sangat kontras dengan rumah utama yang didominasi warna hitam dan warna-warna turunannya. "Adelia, ini saya Bima." Cara Bima menyebutkan nama adik Alex tanpa embel-embel 'Nona' maupun 'Nyonya' sontak membuat Pian mengernyitkan dahi. Umumnya orang-orang yang memiliki kekayaan pasti ingin sekali dipanggil dengan embel-embel seperti itu, untuk menjadi pengingat bahwa strata sosialnya beberapa tingkat lebih tinggi dari para pekerjanya. Bahkan Pian ingat betul ada salah satu kliennya yang tak segan-segan menampar seorang pekerja rumah baru hanya karena dipanggil dengan sebutan "Mbak" alih-alih "Nona". Pintu jati penuh ukiran itu terbuka, menampilkan sosok Adelia yang duduk menghadap sebuah kanvas berisikan lukisan setengah jadi. Matanya mengerjap beberapa kali, sebelum tersenyum kecil. Spontan meletakkan palet dan kuas di tangan ke meja terdekat, sebelum menyambut kehadiran Pian. "Selamat sore Mas Pian, dari bandara langsung ke sini ya?" Tangan Adelia terangkat menunjukkan jemari-jemarinya yang belepotan oleh cat. "Maaf kalau terkesan nggak sopan, tapi saya nggak bisa jabat tangan Mas. Tangan saya lagi kotor." "Nggak masalah Adelia." Pian tidak bisa menahan diri untuk tidak memandangi kanvas itu penasaran. Mendadak ada perasaan mengganjal yang ia rasakan kala melihat lukisan setengah jadi itu. "Saya mau melakukan instalasi untuk lukisan yang udah dibeli Mas Alex." "Love and Sunset punya Tara Serenade kan?" tanya Adelia memastikan, ia melirik Bima dan dua pekerja rumahnya. "Biar saya saja yang mengantarkan Mas Pian." "Tapi Del-" "Mas Pian, anda tidak keberatan membawa lukisan itu sendiri kan?" Pertanyaan itu disuarakan Adelia sembari tersenyum kecil ke arah Pian. Pandangannya lantas teralih ke salah satu sisi bangunan. "Instalasi untuk koleksi keluarga ada lantai 3, dan ukuran lukisan itu jelas tidak memungkinkan untuk dibawa menggunakan tangga. Akan lebih baik kita menggunakan lift saja." Fakta bahwa ia diminta mengantarkan lukisan itu seorang diri hanya ditemani seorang wanita, jelas mengendurkan kewaspadaan Pian. Apalagi Adelia tak menunjukkan kesan misterius seperti apa yang Pian rasakan di pertemuan mereka terakhir kali. "Nggak masalah untuk saya." Adelia bergegas menuju washtafel terdekat, membersihkan tangannya dari residu-residu cat sebelum menekan sebuah tombol yang membuka pintu lift di bangunan itu. "Silahkan Mas Pian, biar saya pandu." "Mbak Adelia," panggil pekerja yang membawakan lukisan itu tadi, nampak tak yakin akan fakta pekerjaannya justru diambil alih. Ia nampak ragu untuk mengeluarkan protes sebelum akhirnya memilih menghela napas kecil. "Apa saya harus sampaikan ke dapur untuk menyiapkan beberapa kudapan?" "Boleh, tapi tolong yang ringan-ringan saja. Soalnya udah mau makan malam, Ayah akan marah kalau melihat aku makan terlalu sedikit saat itu. Terima kasih ya Mas." Tolong dan terima kasih. Dua kalimat superior yang bisa menjadi tolak ukur seberapa baik tata krama seseorang. Melihat bagaimana Adelia menggunakan dua kalimat itu untuk berinteraksi dengan para bawahannya, menandakan perempuan ini memiliki tata krama dan sopan santun yang begitu sempurna. Nada bicaranya juga selalu tenang dan tidak pernah meninggi, sehingga tidak terkesan memerintah. Membuat Pian merasa Adelia ini adalah sosok kalangan kelas atas yang cukup unik. Suasana di dalam lift itu cukup hening, hingga Adelia memecah suasana itu dengan sebuah pertanyaan yang sukses membuat Pian mengernyitkan dahi. "Mas Pian, nggak merasa kalau kita pernah ketemu?" "Kayaknya nggak?" balas Pian ragu-ragu, akan merasa sangat canggung kalau dia bilang ia sedikit merasa familiar akan rupa Adelia tanpa tau siapa sebenarnya sang puan. "Kamu sama saya pernah ketemu kah?" Tak ada jawaban, Adelia hanya tersenyum tipis. Lantas menatap lurus pintu lift, membiarkan pertanyaan itu menggantung begitu saja. Sukses membuat alarm waspada dalam diri Pian yang tadinya padam, kini kembali menyala. Mendadak tenggorokan laki-laki itu terasa kering dan jantungnya mulai berdetak lebih kencang. Seolah memberi peringatan bahwa ada marabahaya yang akan datang padanya sebentar lagi. Suara denting lift terdengar, seiring pintu itu terbuka. Adelia masih mempertahankan senyumannya, mempersilahkan Pian untuk keluar lebih dahulu dari lift. "Untuk karya Tara Serenade khusus di sisi sebelah kanan Mas Pian," ujar Adelia menunjuk sisi kanan bangunan yang dindingnya dipenuhi berbagai lukisan. "Love and Sunset bisa ditaruh di baris terujung." Pian mengangguk, berjalan lebih dulu menuju arah yang ditunjukkan Adelia. Sengaja berjalan lebih cepat, dan bicara pada dirinya sendiri untuk segera menyelesaikan proses instalasi dan t***k bengek perihal lukisan ini. Ia harus bergegas pergi dan menyusul Wanda yang saat ini entah sudah berada di mana. Membuat catatan di dalam kepala, bahwa ini akan jadi kali terakhir ia bertransaksi dengan sosok Alex Padmana. Namun, semakin jauh Pian melangkah. Ia menyadari bahwa lukisan khusus Tara Serenade dipajang secara berurutan, koleksinya amat sangat lengkap. Langkah Pian lantas terhenti menyadari bahwa 3 lukisan terakhir sebelum Love and Sunset ada sebuah lukisan yang teronggok begitu saja di lantai. Tenggorokan Pian terasa semakin kering ketika dia memberanikan diri melangkah ke posisi dimana lukisan yang ia bawa harusnya dipasang. Suara langkah kaki yang terdengar semakin mendekat, tidak bisa mengalihkan fokus Pian pada lukisan Love and Sunset yang sudah terpasang di area itu. Satu-satunya lukisan yang dipajang menggunakan pigura berwarna keemasan. "Tara Serenade memiliki kebiasaan membuat dua lukisan yang sama untuk setiap karyanya, satu karya untuk dijual sementara satu lagi untuk koleksi pribadi." Nada bicara Adelia masih terdengar teramat tenang. Tangannya terangkat mengetuk beberapa kali lapisan kaca yang melindungi lukisan Love and Sunset di depannya. "Namun, hanya Love and Sunset yang tidak dibuat replikanya. Itu berarti karyanya ini tidak pernah diperjualbelikan sebelumnya." Pian masih bisa mempertahankan ekspresi tenangnya, meski sang puan mengucapkan kalimat yang seharusnya cukup untuk membuatnya ketakutan dan panik. "Jadi bagaimana anda bisa mendapatkan karya yang bahkan tidak pernah diperjual belikan Mas Pian- ah, tidak maksudku Mas Dikta Natawirya." "Sekarang saya baru sadar kenapa wajah anda sedikit familiar." Tatapan Pian masih begitu tenang tanpa ada sekelebat takut yang terlihat karena identitasnya sudah ketahuan. "Anda adalah sosok asli Tara Serenade."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN