Seberapa lihainya Dikta menyelinap di lingkungan sosial kelas atas, ia harus akui bahwa ada beberapa bagian dari lingkungan itu yang tak bisa dirinya sentuh. Salah satunya perihal siapa keluarga Padma itu sebenarnya.
Keluarga itu memang bukan keluarga yang kerap diperbincangkan dari mulut ke mulut seperti keluarga Prasetya yang belakangan ini menjadi perbincangan karena kemarahan anak tengah mereka berhasil membuat dua keluarga besar di lingkungan sosial itu hancur tak bersisa. Membuat kejayaan yang sudah dibangun bertahun-tahun dari dua keluarga itu seolah hilang dan lenyap di muka bumi. Membuat nama besar mereka terasa seperti sebuah dongeng yang tidak pernah terjadi. Sebuah skandal besar yang mengingatkan orang-orang congkak di lingkungan itu bahwa sebaik dan selemah apapun seseorang dapat menjelma menjadi entitas paling berbahaya ketika dirinya diusik.
Seharusnya Dikta mengikuti naluri Fira, ketika sang adik merasa resah akan transaksi keempat mereka dengan pria bernama Alex ini. Berbeda dari klien mereka lainnya, informasi perihal Alex terlalu minim dan itu seharusnya menjadi alarm bagi Dikta. Mengingat semakin sedikit informasi yang ia dapatkan, itu artinya orang tersebut memiliki kuasa cukup besar untuk menutup mulut orang-orang untuk membicarakan dirinya. Andai saja Dikta mempercayai kalimatnya itu, mungkin dia tidak akan berakhir disini. Duduk di sebuah ruangan tertutup tanpa jendela maupun ventilasi, dengan Alex duduk tenang di hadapannya. Mengulangi satu pertanyaan yang sampai kapanpun takkan Dikta jawab.
"Saya tidak akan memperpanjang masalah ini." Untuk kesekian kali Alex berucap demikian. Nada bicaranya masih terdengar sama, begitu yakin dan teguh. Sehingga siapapun yang tak cermat mungkin akan terlena oleh ucapannya dan menjawab pertanyaan itu tanpa tau sebab akibat dari jawaban mereka. Dikta harus akui bahwa laki-laki di depannya ini sangat pintar dalam bermain kata-kata. "Cukup beri tau dimana Fira berada."
"Kenapa anda penasaran sekali dimana adik saya berada?" tanya Dikta setelah sedaritadi tidak mengatakan apa-apa, menatap Alex tanpa ketakutan apapun. Walau kondisinya jelas tidak bisa dikatakan aman, terduduk disebuah kursi dengan tangan dan kaki terikat. Walaupun ia dibuat tidak sadarkan diri sebelum dibawa ke tempat ini. Mudah baginya untuk tau bahwa ruangan yang ia tempati berada beberapa meter di bawah tanah. Belum lagi orang-orang bertubuh besar bersiaga di setiap sisi dinding. Fakta bahwa dirinya menguasai beberapa seni bela diri, bukan berarti dia bisa melawan semua orang itu sendirian. Melawan saat ini, sama saja perbuatan bunuh diri. "Anda bukannya punya banyak kekuasaan ya? Menemukan Fira seharusnya menjadi hal mudah untuk anda."
"Kak mending kita langsung bawa dia ke polisi aja." Arkana yang jengah juga melihat Dikta tak kunjung menjawab perihal dimana Fira, orang yang membuat lukisan-lukisan palsu itu, berucap. Sudah tak betah berlama-lama di ruangan basement yang dikhususkan untuk hukuman disipliner bagi para penjaga keamanan di kediaman mereka. "Kamu sadar kan, kita cuman buang-buang waktu nanya dia secara baik-baik begini. Kalaupun dia nyebut suatu tempat, aku nggak yakin dia akan berkata jujur."
"Kakak butuh-"
"Kenapa harus dibawa kesini sih Kak, Mas?"
Suara pintu yang berderit terbuka, disusul kemunculan sang adik bungsu membuat Arkana terkesiap. Berbanding terbalik dengan Alex yang hanya melempar tatapan datar. Tidak begitu terkejut akan fakta sang adik datang ke tempat ini seorang diri. Benar-benar seorang diri tanpa ada pekerja rumah atau si kembar menemani.
"Dek, kamu nggak seharusnya-"
"Aku mau ngobrol berdua sama Mas Dikta." Permintaan sang adik jelas membuat Arkana terkejut bukan main, begitupun Dikta yang semula mengalihkan pandang ke langit-langit ruangan kini tertuju pada sosok Adelia. "Kak Alex nggak lupa pembicaraan kita semalam kan?"
Hening. Hanya ada suara deru perlahan dari pendingin ruangan yang sudah usang namun masih bisa berfungsi dengan baik. Ada satu helaan napas panjang keluar dari bibir Alex, sebelum dia akhirnya bangkit. "Semuanya, keluar dari ruangan sekarang juga."
"Kak Alex!"
"Ruangan ini memiliki cctv, jadi jangan berbuat yang tidak-tidak pada adik saya." Peringatan itu disuarakan Alex dengan begitu tenang, yang hanya dibalas gumaman tak jelas dari Dikta. Diam-diam mencemooh peringatan Alex barusan, ketika dia melihat sendiri bagaimana seluruh tubuhnya diikat kuat-kuat pada kursi. Namun, sebelum semuanya benar-benar keluar Alex menepuk pundak salah satu pekerja keamanan. Memberi kode untuk laki-laki itu tetap berada di dalam ruangan dengan jarak yang cukup aman untuk melindungi sang adik kalau-kalau terjadi sesuatu.
Tak ada ketakutan atau perasaan mengintimidasi terlihat di mata Adelia, meski dirinya sadar bahwa ia ditinggalkan seorang diri dengan laki-laki yang bisa saja menggunakan dirinya sebagai alat untuk melarikan diri. Dirinya menarik kursi yang Alex duduki, meletakkannya teramat dekat hingga lutut keduanya jadi saling beradu ketika sang puan duduk. Jemari-jemari lentiknya bergerak mengutak-atik sesuatu dari dalam layar tablet yang dibawanya.
"Pintu di belakang Mas saat ini, terhubung dengan jalur keluar menuju jalan besar." Dahi Dikta mengernyit, tak mengerti kenapa Adelia memberitahukan hal sepenting itu padanya saat ini. Ia menoleh ke arah yang dimaksud, menemukan sebuah pintu usang dari besi yang sudah karatan di sana-sini. "Kalau Mas keluar dari sana, akan mudah buat Mas naik angkutan umum dan kabur dari sini. Sebagai seorang penipu ulung, Mas pasti mengasah kemampuan melarikan diri."
Pandangan Adelia teralih, menyadari bahwa Dikta masih terikat kuat-kuat oleh tali tambang. Ia menoleh ke arah penjaga yang ditinggalkan Alex. "Pak tolong ikatannya dilepasin aja ya."
"Tapi Mbak Adel-"
"Tenang aja, aku yang tanggung jawab. Lagian Kak Alex udah setuju sama semua perbuatan yang bakal aku lakuin disini," ujar Adelia meyakinkan tau bahwa pekerja keamanan satu itu takut bahwa dia akan dipecat karena lalai jikalau Dikta mendadak kabur. "Lepasin aja."
Setelah cukup lama terdiam, pekerja itu mengangguk. Menuruti permintaan Adelia, tanpa bertanya apa-apa lagi. Sementara itu Dikta secara terang-terangan melemparkan tatapan tidak mengerti, sebelum dia terkekeh sinis. "Ah benar, pasti kamu berbohong soal kemana pintu itu mengarah. Lagipula saya yakin pintu itu-"
"Pintu itu tidak terkunci." Tanpa disuruh Adelia secara jujur memberi tau, sadar bahwa Dikta tidak percaya dirinya bangkit. Melangkah ke pintu yang dimaksud lantas membukanya lebar-lebar. Menunjukkan sebuah lorong yang dipinggirnya berisi peralatan berkebun serta sebuah tangga menuju ke atas. Sayup-sayup terdengar suara deru kendaraan.
"Kamu mau membantu saya kabur dari sini?"
"Lebih tepatnya memberikan Mas pilihan." Adelia kembali duduk di kursi, lantas menunjukkan sebuah catatan panjang dari tabletnya. "Dari informasi yang kudapatkan latar belakang pendidikan Mas cukup mumpuni. Bahkan Mas udah lulus S2 di NUS."
"Pernah 1 tahun bekerja di perusahaan teknologi multinasional di California, dan kerja sambilan disebuah e-commerce saat menempuh S2 di NUS" lanjut Adelia membacakan rekam jejak kehidupan Dikta selama ini. "Dengan karir secemerlang ini tidak bisa dipercaya Mas justru memilih banting stir menjadi kolektor seni selama 4 tahun ini. Aku penasaran, sebelum memutuskan menjual karya-karya seni palsu apa Mas pernah jual karya yang asli?"
"Kamu mau apa dari saya?"
"Mantan suami saya berselingkuh dengan salah satu anak dari sebuah keluarga kalangan atas. Saya butuh menunjukkan kepadanya bahwa apa yang ia buang adalah hal yang diinginkan semua orang." Mata Adelia mengerjap beberapa kali. "Saya butuh menunjukkan bahwa mudah bagi saya menemukan pengganti yang lebih baik dari dia."
"Jangan bilang anda mau menyuruh saya berpura-pura jadi kekasih anda untuk dipamerkan ke acara-acara sosial memuakkan itu."
Hening, tak ada jawaban sama sekali. Dikta mendengus tak percaya, "Diselingkuhi orang yang kita cintai memang menyakitkan. Apa rasa sakit itu begitu parah sampai anda berubah jadi gila?"
"Saya serius." Adelia menunjukkan kesungguhan permintaannya. "3 tahun saya mengorbankan segala hal yang pernah saya punya. Kekayaan, karir, dan harga diri. Sekarang saya harus kembali mendapatkan itu semua dari titik awal, kehadiran mereka akan menjadi cela yang cukup untuk mencoreng nama saya ketika muncul kembali di acara sosial tersebut. Mereka jelas akan menjadikan hubungan mereka sebagai alat untuk mencemooh saya dan keluarga. Latar belakang dan karir anda bisa dibilang pantas menjadi pendamping saya saat ini, identitas anda sebagai kolektor seni? Saya dan keluarga Padma bisa membuat karir itu menjadi sangat menakjubkan."
"Biar saya ingatkan sekali lagi." Dikta memijat keningnya, entah kenapa merasa pening akan kesungguhan sang puan. "Saya ini telah menipu beberapa orang, menjual karya seni palsu kepada mereka dan saya yakin beberapa dari mereka jelas satu lingkaran sosial dengan anda. Kenapa anda memilih saya yang jelas akan lebih merugikan jika mereka tau apa yang terjadi selama ini."
"Fira hanya bisa menirukan lukisan Tara Serenade kan?"
Sahutan santai itu, membuat Dikta bungkam. "Dari jejak transaksi yang udah pernah Mas lakukan, lukisan dari pelukis selain Tara Serenade bisa dikonfirmasi keasliannya. Hanya karya Tara Serenade yang tidak, dan sebagai pelukis aslinya saya bisa tau bahwa semua lukisan itu palsu." Sebagai seseorang yang karyanya dipalsukan, Adelia menanggapi masalah itu teramat tenang dan santai. Padahal jika isu karyanya bisa dipalsukan secara sempurna hingga kebanyakan orang tidak menyadari hal itu. Nama Tara Serenade akan tercemar di lingkaran para penggiat karya seni. Membuat lukisan-lukisan sang pelukis tidak lagi bernilai tinggi. Sekarang Dikta mengerti kenapa beberapa tahun ini Alex hanya membeli lukisan Tara Serenade dari dia. Apalagi kalau bukan meminimalisir jumlah lukisan-lukisan palsu itu tersebar di keluarga kalangan atas lainnya.
"Saya sudah muak akan omong kosong ini," gumam Dikta sembari bangkit berdiri, berjalan menuju pintu yang terbuka lebar. "Maaf, tapi saya tetap nggak mau."
"Oh ya aku lupa bilang. Salah seorang temanku sudah menangkap Fira di California." Langkah Dikta terhenti, melempar tatapan tak senang pada Adelia yang balik menatapnya santai.
"Mas bisa pergi dan menolak tawaran ini, tapi sebagai gantinya Fira akan langsung diterbangkan ke Indonesia dan dialah yang akan kami seret ke pihak berwajib. Bagaimana? Semua pilihan ada di tangan Mas Dikta."
"Sialan."