Enam

1598 Kata
"Kenapa harus dia sih dek?" Arkana memijit pelipisnya kala pening mendadak melanda. Mereka sudah kembali ke kediaman utama, dan Dikta sudah diantarkan ke kamar tamu meski sorot matanya tak bisa berhenti menunjukkan tatapan waspada. Fakta bahwa sang adik keluar dari ruang disipliner dengan senyum tipis bersama Dikta yang tersenyum masam, jelas membuatnya heran bukan main. Namun, setelah dia dijelaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi perasaan heran itu bukannya mereda justru semakin menjadi-jadi. Bahkan si kembar yang biasanya bawel dan antusias dibuat terdiam. Termenung di sofa panjang dengan dahi mengkerut dalam. "Mas tau kalau keluarga kita udah menduduki posisi tertinggi, saat ini nggak ada pria yang bisa menyamai pengaruh besar keluarga kita. Kalau sudah begitu, lebih baik memilih seseorang yang tidak terikat dengan keluarga manapun bukan?" "Dia malsuin lukisan kamu loh Dek, kalau orang-orang yang beli lukisan lewat dia sadar akan hal itu. Nama keluarga kita malah-" "Lukisan palsu yang dia jual hanya lukisan milik Tara Serenade. Kalau memang nanti ketahuan, kita tinggal buat pernyataan aja kalau Tara Serenade memang menjual beberapa salinan lukisan yang awalnya hanya koleksi pribadi. Lagipula," ujar Adelia sedikit menjeda kalimatnya, bersandar pada sandaran sofa seraya melemparkan pandang pada sang kakak sulung yang sedari tadi bungkam. Berdiri menghadap jendela, memandangi hujan deras yang mengguyur kota sedaritadi. "Kak Alex udah kumpulin semua lukisan-lukisan palsu itu. Jadi kita aman." *** "Tara Serenade?" Sang puan mengangguk kecil, membiarkan jemari-jemari Juan bergerak mengusap setiap helai rambutnya. Napas keduanya masih memburu, apalagi kalau bukan karena sesi bercinta panas mereka yang baru saja selesai. Juan melirik sebuah lukisan baru yang kini menghiasi salah satu dinding kamar kekasihnya. Sebuah lukisan yang didominasi warna-warna dingin itu menunjukkan pemandangan siluet satu pasangan duduk pinggiran rooftop. Terlihat mesra dan mencintai satu sama lain, ditemani langit malam yang dihias oleh beberapa kembang api megah. "Bagus kan?" sahut Emi antusias, ikut memandangi lukisan itu dengan perasaan membuncah. "Sebulan lagi museum keluargaku mau mengadakan pameran, lukisan itu akan menjadi bintang utama yang mengundang para keluarga kalangan atas untuk datang. Ini akan jadi momen yang tepat untuk mengenalkan kamu ke mereka." "Kalangan atas?" "Iya, lingkaran sosial yang aku punya." Satu kecupan Emi berikan di pipi Juan. "Kamu harus mulai sering muncul di acara sosial yang ada. Apalagi setelah kita menikah, kamu akan ambil alih perusahaan aku." Tangan Emi turun, kini mengusap perutnya yang datar. "Tidak baik kalau aku dibebani urusan pekerjaan saat mengandung anak kamu kan?" "Aku pasti melakukan yang terbaik." Kini giliran Juan yang mengecup puncak kepala Emi. Fakta ada kehidupan baru yang tumbuh dalam diri Emi adalah pemicu utama dia yakin meninggalkan mantan istrinya itu. Lagipula untuk apa dia mempertahankan seorang perempuan yang bahkan setelah 3 tahun tidak menunjukkan tanda-tanda mengandung keturunannya. Sebuah keputusan yang tepat untuknya memutus tali hubungan mereka, sebelum ketidakberuntungan lain datang ke hidupnya. "Tapi sayang, bukannya Papa kamu masih belum setuju soal hubungan kita?" "Papa akan setuju kalau kamu bisa menjalin hubungan dengan keluarga Padma lewat acara ini." Emi berbalik, meraih dua buah kartu nama berwarna berbeda dari nakas. Walau kesan dari kartu nama itu berbanding terbalik, nyatanya logo yang tertera di dua kartu nama itu sama persis. "Kamu cukup membuat jembatan yang bisa membuat keluargaku dan keluarga Padma terhubung, terserah siapa saja." "Tapi, Papa pasti akan lebih senang kalau kamu bisa menghubungkan dia dengan Alex Padmana." *** Ketika salah seorang pekerja rumah Padma mengetuk pintu kamar tamu, Dikta belum tertidur sama sekali. Ponsel di tangan ia pegang erat-erat, semalam suntuk menunggu lusinan pesan yang ia kirim kepada sang adik mendapatkan balasan. Namun, hingga matahari menyingsing bahkan posisi matahari sudah naik begitu tinggi hingga cahayanya bisa masuk melalui sela-sela tirai tak ada balasan yang datang dan telponnya tak kunjung di angkat. Panggilan yang memintanya untuk segera datang ke ruangan pribadi Alex, setelah dirinya turun sarapan di ruang makan. Membersihkan diri secepat mungkin, dan berjalan dengan langkah-langkah lebar menuju kantor pribadi Alex di rumah itu. Nyaris membentak salah satu pekerja rumah yang bersikeras untuk dia turun lebih dulu ke ruang makan daripada mengantarkannya ke kantor Alex. "Pagi Dikta, silahkan duduk-" "Apa yang kamu lakukan ke adik saya?" Tanpa basa-basi Dikta langsung berdiri menjulang di hadapan Adelia yang sedang menikmati secangkir teh ditemani kue kecil. Tatapan penuh amarah Dikta jelas bisa mengintimidasi siapapun, hingga ke tahap Andre hendak menarik laki-laki itu mundur agar tidak berdiri terlalu dekat dari sang adik bungsu. Bagaimanapun aura laki-laki itu dikuasai oleh kemarahan besar yang siap meledak kapan saja, dan sasarannya adalah Adelia yang bersikap tidak peduli. "Kata kamu kalau saya setuju, kamu tidak akan melakukan apapun pada Fira. Kalau kamu tidak melakukan apa-apa, kenapa saya tidak bisa menghubunginya?" "Dia baik-baik saja." "Lalu kenapa saya nggak bisa menghubungi dia?!" Mata Adelia mengerjap, tidak gentar sedikitpun meski dirinya baru saja diteriaki. Dia berdecak, meraih ponsel di atas meja lantas mengetikkan sesuatu di sana. Tak butuh waktu lama hingga sebuah panggilan video kini masuk ke ponsel Adelia, ia menyodorkannya kepada Dikta. Menunjukkan Fira sedang mampir ke sebuah toko yang menjual ponsel, dengan masker dan tudung jaket terpasang di kepala. Membuat wajahnya nyaris tidak terlihat, dan jelas bisa diragukan kalau dia benar-benar sosok Fira. Sampai Dikta mendapati bekas jahitan panjang di betis Fira terlihat nyata. Sebuah tanda yang jarang diketahui oleh banyak orang, mengingat sang adik kerap menggunakan pakaian tertutup. "Dia meninggalkan hpnya di Miami, itulah kenapa cukup sulit mencari keberadaannya. Melihat bagaimana Mas Dikta sepanik ini, nampaknya Fira tidak mengatakan rencananya ini ya." Panggilan video itu diputus secara sepihak, disusul sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk ke ponsel Dikta. Berisikan alamat dan link alamat sebuah hostel yang ada di sana. Tak lupa nomor kamar. "Saya tidak akan melakukan apapun pada Fira. Selama Mas memenuhi janji yang sudah kita sepakati, orang-orang saya hanya akan memperhatikannya dari jauh." "Del-" "Bahkan saya menyembunyikan dimana Fira berada saat ini, dari saudara-saudara saya." Adelia melirik ketiga kakaknya, terlebih Alex yang jelas tak sabaran ingin tau juga dimana Fira berada saat ini. "Saya tidak main-main ketika bilang selama Mas bekerja sama, keberadaan Fira akan aman." "I see, three years runaway from this family. You still have the audacity from our family. (Aku lihat, 3 tahun kabur dari keluarga ini. Kamu masih memiliki kearoganan dari keluarga kita.)" Sahutan itu datang dari sosok pria yang duduk di sofa panjang, tepat di hadapan Adelia. Sedaritadi hanya memperhatikan keributan itu sembari melahap sepotong kue wortel yang kini hanya tersisa beberapa suapan, ia lantas melirik perempuan yang duduk di sebelahnya. Terpaku di tempat, dengan mata tertuju pada Adelia dan Dikta. Jelas sedikit merasa terintimidasi oleh aura keduanya. "Darla, sekarang kamu paham betul kenapa perempuan di keluarga ini hanya Adelia yang sempat digadang sebagai calon pewaris terkuat." "Mas Fedri-" "Jadi ini orang yang kamu ceritakan itu?" tanya Fedri mengamati penampilan Dikta dari atas kebawah seraya mengangguk kecil. "Selamat pagi Mas Dikta, saya sudah dengar cerita dari Adelia dan kesepakatan kalian. Sekarang bisa kita diskusikan bersama mengenai 'sandiwara' yang akan kalian berdua lakukan?" Dikta terdiam, menatap Adelia cukup lama yang hanya dibalas sang puan dengan seulas senyum tipis. Benar-benar tidak terintimidasi. "Mas belum sarapan kan? Kalau begitu silahkan-" "Sandiwara sebagai dua orang yang sedang dimabuk cinta, benar bukan?" gumam Dikta pelan, melirik Alex yang hanya balas menatapnya datar. Berbanding terbalik dengan ketiga adiknya yang sama-sama bersikap waspada, terlebih ketika laki-laki itu secara sengaja meletakkan kedua tangannya di sandaran lengan sofa single dan mendekatkan wajahnya teramat dekat dengan sosok Adelia. Ia tersenyum miring, lantas berbisik pelan di telinga sang puan dengan tatapan mata terkunci kearah 4 kakak Adelia. "What type of relationship do you want? (Tipe hubungan seperti apa yang kamu inginkan?)" "A cute one. (hubungan yang imut.)" Satu usapan pelan di pipi Adelia. Tangannya lantas beralih ke memainkan ujung rambut Adelia yang tergerai, lantas menghirup wangi bunga yang menguar dari sana. "A romantic one." Adelia masih tidak merubah ekspresinya. Tidak terpengaruh akan segala sentuhan yang dilakukan Dikta, sebab dia tau bahwa laki-laki itu sedang kesal. Dan kekesalannya itu ia lampiaskan dengan menggodanya di depan keempat kakaknya. Terlebih ketika tangan Dikta kini menangkup leher dan dagu Adelia. "Or do you want the erotic one- (Atau kamu mau tipe yang erotis)" "Let's talk about it later. (Mari bicarakan soal itu nanti saja.)" Setelah sedaritadi bungkam dan memperhatikan, Alex akhirnya angkat bicara. Tepat beberapa detik sebelum Dikta benar-benar menabrakkan bibirnya dengan milik Adelia. Tidak tau apa itu hanya sebuah gertakan kosong, atau laki-laki itu memang hendak menunjukkan seberapa pandai dia berakting. Namun, yang pasti keempat saudara Adelia secara insting paham maksud dari tingkah Dikta barusan. Memberi sebuah peringatan bahwa kerja sama mereka ini, di satu sisi membuat si bungsu ikut berada dalam cengkraman Dikta. Seolah memberi peringatan jika mereka berbuat nekat dan melakukan hal buruk pada Fira yang keberadaannya hanya diketahui Adelia itu, dia takkan segan-segan melakukan hal sama pada adik bungsu mereka. "Eat your breakfast- no, i mean your brunch first. (Makan sarapanmu- tidak maksudku brunchmu dulu)" perintah Alex setelah menyadari bahwa waktu saat ini tidak lagi masuk ke jam sarapan. "Maafkan ketidaksopanan saya yang tidak menyuguhkan kamu makan malam setelah pergi jauh-jauh dari Miami." Dikta mendengkus, melepaskan Adelia dari kungkungan. Ia tak mengatakan apa-apa, hanya keluar dari dalam ruangan. Meninggalkan suasana panas dan tegang yang memenuhi ruang kerja Alex. Sempat melempar tatapan sinis pada keempat bersaudara itu, bahkan Andri nyaris melayangkan pukulan kalau saja Arkana tidak cepat-cepat menahan sang adik melakukan demikian. "Wow, that's intense (Wow, itu intens)" gumam Darla akhirnya bisa menggerakan bibirnya untuk bicara. Setelah dirinya sedaritadi dibuat tertekan oleh aura intimidasi dan ketegangan yang ada. Dia melirik Adelia, yang masih bersikap tenang. Seolah dia tadi tidak hampir dicium tanpa permisi oleh Dikta. "Adelia gue rasa, lo bukan mengikat seekor anjing penurut. Tapi mengikat singa yang kelaparan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN