"Kurator seni?"
Dikta mengernyitkan dahi, membaca surat kontrak pekerjaan yang diberikan Adelia padanya. Dalam surat itu tertulis bahwa dia akan bekerja sebagai kurator ahli di salah satu galeri seni yang dimiliki keluarga Padma bernama Serenade d'Amore. Sejujurnya galeri seni itu salah satu galeri seni terkenal khususnya bagi mereka dari kalangan kelas atas. Sebuah galeri seni yang dibangun untuk mendukung kecintaan ibunda Adelia akan karya-karya seni. Selain menjadi tempat untuk memamerkan karya-karya seni koleksi keluarga besar Padma, galeri itu juga menyediakan tempat bagi para seniman untuk menyelenggarakan pameran tunggal mereka. Bahkan baru-baru ini melebarkan sayap menjadi pihak ketiga yang menghubungkan para pelukis dengan penikmat karya seni yang mampu menghargai karya-karya mereka dengan harga fantastis. Sebuah galeri seni yang bisa terbilang bagaikan pusat perhatian bagi para penggiat karya seni.
"Salah satu agenda rutin dari galeri itu adalah mengadakan pelelangan untuk acara amal ataupun pameran yang berkolaborasi dengan pekerja seni terkenal dari seluruh dunia," jelas Fedri dengan begitu tenang. Setelah sedikit keributan yang terjadi di ruangan Alex tadi, entah bagaimana keempat kakak Adelia kini tidak ikut bergabung dalam perbincangan kali ini. Hanya ada sosok Fedri, Darla dan tentu saja Adelia yang duduk tepat di samping Dikta. Menyimak segala arahan yang diberikan oleh Fedri saat ini. "Kurator seni galeri kami akan jadi latar belakang karir yang mendukung skenario kedekatan kalian saat ini."
"Memangnya apa hubungan menjadi kurator seni dengan skenario kedekatan saya dengan Adelia nanti?" tanya Dikta tidak bisa menahan diri untuk tidak bersikap skeptis. "Fakta bahwa saya dan Alex seringkali bertemu untuk jual-beli lukisan, bukannya akan menjadi titik awal paling bagus untuk kedekatan kami? Interaksi kami selama ini bisa kita bilang ke orang-orang kalau Alex sering menceritakan soal adiknya yang menghilang selama 3 tahun terakhir, dari cerita itu saya merasa tertarik. Lalu sekarang akhirnya saya bertemu dengan sosok adiknya itu dan kemudian jatuh cinta. Cukup bukan? Kenapa harus menjadikan saya kurator seni juga?"
"Semua orang tau Alex tertutup soal masalah keluarga. Sahabat-sahabatnya saja tidak tau keresahan dan kenapa adiknya melarikan diri dari rumah selama 3 tahun ini. Kamu pikir orang akan percaya kalau dia secara sukarela menceritakan hal itu ke kamu? Seorang kurator yang hanya ditemui ketika dirinya ingin membeli sebuah karya seni?" Jawaban Fedri kini terasa cukup masuk akal bagi Dikta sekarang. Jangankan Adelia, ketiga adik laki-lakinya saja tidak pernah diceritakan. "Menjadi kurator seni adalah awalan yang bagus."
"Soalnya seminggu lagi saya akan mengambil alih galeri itu."
Sahutan itu datang dari Adelia yang kini menatap Dikta begitu tenang. "Galeri seni itu akan saya ambil alih, dan saat ini Kak Alex akan menunjuk Mas untuk mendampingi saya. Mempelajari soal alur kerja dan apa saja yang harus saya pahami di dunia seni. Kasarnya, Mas Dikta juga menjadi asisten pribadi saya di Serenade d'Amore. Kebersamaan itu akan menjadi alasan paling bagus bagaimana hubungan kita dimulai."
"Tenang saja, pekerjaan Mas Dikta sebagai kurator tidak terkait dengan perjanjian Mas dengan saya. Anggap saja Mas Dikta sekarang punya pekerjaan yang lebih tetap daripada sekedar menjadi kurator freelance."
"Kamu suka sama saya?"
Pertanyaan yang dilontarkan secara tiba-tiba itu, sontak membuat semuanya terdiam. Fedri yang hendak menyeruput minumannya sampai mengurungkan hal tersebut. Memilih memandangi pasangan di depannya yang kini saling menatap. Dari sudut matanya dia menyadari bahwa Darla kini diam-diam menggigit bibir, jelas sekali menahan teriakan antusias. Sudah dapat menduga bahwa adiknya yang menggilai adegan-adegan bak novel romantis seperti ini, sedang menahan teriakan hebohnya.
"Kalau maksud Mas dalam arah romantis, nggak. Saya nggak suka sama Mas Dikta." Sudut bibir Darla terangkat membentuk senyum miring. Tangannya lantas mengetuk-ngetuk surat perjanjian yang baru saja mereka tandatangani tadi. "Kalau Mas lupa di surat perjanjian tadi ada klausa untuk kita berdua tidak saling jatuh cinta. Semua hal yang saya berikan ke Mas saat ini, hanyalah apa yang kita butuhkan untuk membentuk citra diri Mas Dikta sebagai pendamping yang pantas untuk saya. Untuk menunjukkan kepada orang-orang bahwa suami yang telah direbut dari saya, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan anda."
Ada jeda cukup panjang, sampai Dikta mengangguk kecil. "Baguslah, karena saya sempat curiga bahwa semua ini hanya akal-akalan anda untuk bisa menjalin hubungan dengan saya."
"Tenang aja, saya nggak akan jatuh cinta sama Mas." Adelia terkekeh pelan, lantas menyesap minumannya. "Tapi nggak tau kalau Mas Dikta ya."
Sudut bibir Dikta terangkat, membentuk senyuman miring yang sama dengan Adelia tadi. Seolah-olah merasa tuduhan sang puan jelas tidak berdasar.
"Tenang, saya juga tidak akan jatuh cinta dengan kamu."
***
Serenade d'amor
Satu dari beberapa galeri seni yang dikelola oleh keluarga kalangan atas. Berbeda dari galeri lain yang sudah beroperasi sejak beberapa generasi dan diturunkan turun temurun, galeri itu baru berdiri beberapa puluh tahun lalu. Usia galeri itu bahkan belum genap setengah abad selayaknya galeri lain yang bahkan sudah melewati periode itu. Sebuah galeri yang digadang-gadang dibangun karena rasa cinta mendalam seorang Heri Padmana kepada istrinya, Nuria Setianingsih, yang begitu menyukai dunia seni.
Istrinya berhasil memimpin galeri seni itu dengan menargetkan audiensi dari para penikmat seni muda. Sesuatu yang tidak umum pada jamannya, mengingat saat itu orang kerap meremehkan selera anak muda akan karya seni. Dia adalah penggerak aliran seni di Indonesia menjadi begitu beragam, sebab setiap aliran seni mendapat tempat di galerinya. Ketika orang-orang masih menilai karya seni haruslah bersikap klasik, mewah dan berkelas.
Nuria jelas memiliki nama yang cukup legendaris bagi penikmat karya seni. Tiadanya sang puan setelah melahirkan putri bungsunya, jelas menjadi duka mendalam di dunia seni khususnya di tanah air. Walaupun nilai dan pandangan Nuria terus diwariskan kepada orang-orang yang meneruskan galeri seni itu. Orang-orang harus mengakui bahwa galeri itu tidak lagi terasa sehangat saat Nuria memimpin. Pergantian kepimpinan yang terjadi berkali-kali, seolah memberi kesan bahwa galeri itu memang dijadikan alat untuk beberapa anggota besar keluarga Padma untuk mengasah kemampuan bersosialisasi dan negosiasi mereka. Galeri itu kehilangan sentuhan dari seseorang yang benar-benar mencintai dunia seni, sebesar Nuria.
"Dikta udah pergi?"
Adelia yang belakangan ini lebih banyak menghabiskan waktu dengan meminum teh di teras belakang, bergegas menoleh. Mendapati sang kakak, Andri, berdiri bersandar pada salah satu kusen pintu geser yang menghubungkan ke teras belakang. "Udah Mas, tadi dia diantar sama Pak Edi ke apartemen aku."
"Apartemen kamu yang di Kuningan itu?" tanya Andri mengingat bahwa sang adik memang memiliki sebuah unit apartemen di area Kuningan yang ia beli. Sebuah tempat yang kerap menjadi tempat singgah sang adik saat dirinya sedang lembur bekerja. Setelah kepergian Adelia selama 3 tahun terakhir, apartemen itu diambil alih oleh Arkana yang memastikan tempat itu rutin dirawat sebab mereka semua yakin bahwa suatu hari nanti sang adik akan kembali pada mereka.
"Iya Mas, kamu kok udah pulang? Bukannya kata Mas Arkana kamu sama Mas Andre ada jadwal reuni sama temen SMA?" Kehadiran Andri saat ini jelas membuat Adelia kebingungan. Ia mengingat jelas bahwa malam ini hanya dia yang ada di rumah, secara keempat kakaknya memiliki agenda masing-masing dan ayahnya sudah bertolak ke Lombok untuk mengawasi projek hotel terbaru keluarga mereka.
"Katanya malam ini mau hujan badai." Tanpa disuruh, Andri menarik sebuah kursi yang berada di dekat Adelia. "Setiap hujan, kamu nggak bisa tidur kan?"
Diam-diam Adelia tersenyum miris. Kalimat Andri tak sepenuhnya salah, sampai saat ini setiap hujan mengguyur di malam hari dirinya memang tidak bisa tidur. Tak seperti kakak-kakaknya, Adelia satu-satunya orang yang tidak pernah merasakan seberapa hangat kasih sayang sang ibu. Ibunya meninggal tepat beberapa menit setelah melahirkannya dan itu saat hujan mengguyur kota di malam hari. Mungkin secara naluri dirinya yang masih kecil itu menyadari bahwa suara percikkan air dan heningnya malam menjadi saksi bisu bagaimana dirinya kehilangan hal berharga untuk kali pertama. Namun, yang tak Andri ketahui dirinya sudah mengalami gangguan tidur sejak kembali ke rumah ini.
Ada alasan tersendiri kenapa Adelia kerap meminum teh berkali-kali lipat lebih banyak seperti apa yang dia lakukan sebelumnya. Berharap aroma lembut daun teh yang berpadu dengan buah ataupun bunga mampu membuat tubuhnya sedikit tenang. Adelia ingin sekali tidur, namun nyatanya perasaan kantuk itu tidak datang semudah dia menginginkannya.
"Seharusnya hari itu Mas ikut bersikeras untuk nggak izinin kamu nikah sama b******n itu." Kalimat penuh penyesalan itu, membuat Adelia tersentak.
Berbeda dari yang lain, Andri satu-satunya yang memberikan restu atas keinginan Adelia untuk menikah bersama Januar. Kakaknya satu itu selalu menjadi pendukung segala keputusannya paling nomor 1. Bahkan di hari dia kabur, sang kakaklah yang menyiapkan transportasi dan tidak menanyakan kepada orang yang mengantarkan kemana sang adik pergi. Selain karena Adelia cukup cerdas menyembunyikan dimana keberadaannya, alasan kenapa dirinya baru bisa ditemui setelah 3 tahun berlalu. Tak lain tak bukan karena Andri menutup rapat-rapat siapa orang yang mengantarkan adiknya pergi di kali pertama.
"Nggak ada yang perlu disesali Mas." Adelia berujar begitu tenang. "Semua yang terjadi, itu semua karena keputusan aku. Hari itu kalau Mas nggak ikut bantu aku kabur dari rumahpun, aku akan tetap cari cara buat kabur dari rumah ini. Sebuah keputusan yang bodoh ya."
Hening. Tak ada yang berbicara pada satu sama lain lagi. Sampai Andri mengusak puncak kepala Adelia sembari tersenyum bangga. "Katanya minggu depan kamu ambil alih galeri Serenade d'Amore ya? Bagus deh, Tante Rita bisa menikmati pensiunnya sekarang."
Serenade d'Amore memang sudah diatur akan Adelia ambil alih sejak beberapa bulan sebelum dirinya kabur dari rumah. Secara dari keempat saudaranya yang lain, Adelialah yang menurunkan minat dan kecintaan pada dunia seni sama seperti sang ibu. Itulah kenapa ayahnya yakin bahwa putri bungsunya adalah pilihan paling tepat untuk mengambil alih galeri seni itu. Namun, kaburnya Adelia jelas merusak semua rencana itu. Ayahnya yang terpukul membiarkan Alex menentukan masa depan dari galeri seni itu.
Alex yang yakin bahwa sang adik akan kembali, menunjuk salah satu tantenya yang sudah pensiun dari dunia bisnis. Menunjuk Tante Rita yang memang memiliki rekam jejak pendidikan di dunia seni untuk mengambil alih galeri seni itu. Memastikan galeri itu mampu bertahan hingga sang adik kembali.
"Nanti aku ngunjungin Tante Rita dulu buat ngucapin terima kasih." Piring berisikan sepotong mille crepes, Adelia berikan kepada sang kakak. "Aku tadi buat kue ini Mas, kamu aja yang makan."
"Mas lihat kamu jadi rajin masak setelah kembali ke rumah." Tanpa bisa dicegah Andri tertawa kecil. Sang adik bukan penggemar menghabiskan waktunya di dapur, namun dia tak henti menghabiskan hari memasak selama di rumah. Nampaknya 3 tahun ini, sang adik belajar banyak hal berkaitan dengan memasak. "Hobi baru?"
Adelia tak menjawab, hanya tersenyum kecil seraya memperhatikan langit malam yang terlihat semakin gelap. Tak ada yang menyadari bahwa saat itu, sang puan meremas tangannya kuat-kuat.