Delapan

1748 Kata
"Senang bertemu denganmu, Pak Dikta." Sebenci apapun Dikta akan fakta dirinya terjebak dengan keluarga Padma, dia masih cukup waras untuk tidak menunjukkan ketidaksukaan itu di depan umum. Apalagi di hari pertama dia bekerja sebagai kurator ahli di galeri seni Serenade d'Amore. Galeri itu sedang menyelenggarakan sebuah pameran dari salah satu seniman asal Jepang yang terkenal, itulah kenapa banyak sekali pengunjung yang datang. Kebanyakan dari mereka adalah pasangan-pasangan muda ataupun mahasiswa seni yang menjadikan pameran ini wadah pembelajaran mereka. Orang yang menyambut kedatangannya adalah direktur utama dari galeri ini, yang jika dilihat dari papan nama di atas meja bernama Rita Kemala. Ia diberi tau bahwa perempuan ini salah satu tante dari Adelia, namun tak ada unsur 'Padma' tersemat dalam namanya. Itu berarti perempuan ini mungkin memasuki keluarga Padma setelah menikah dengan salah satu anggota keluarga tersebut, dan bukan mewarisi darah Padma. "Selain semua orang di ruangan Alex tadi, tidak ada satupun yang tau soal skenario ini. Termasuk ayah mereka, jadi kamu harus mulai bersandiwara sejak datang ke Serenade d'Amore besok." "Senang bertemu dengan Bu Rita juga," balas Dikta tersenyum tipis seraya balas menjabat tangan perempuan paruh baya itu hangat. "Saya sudah dengar banyak soal anda dari Pak Alex." Melihat bagaimana Rita memanggil Alex dengan sebutan 'Pak'. Nampaknya keluarga besar ini menerapkan prinsip untuk bersikap profesional pada satu sama lain jika berkaitan dengan hal-hal mengenai pekerjaan. "Mohon bantuan anda." "Sebenarnya Alex jarang sekali bercerita mengenai dirinya ke saya. Pembicaraan kami selalu tentang lukisan-lukisan yang dia beli melalui saya." Dikta memasang wajah pura-pura penasaran. "Jadi saya masih cukup terkejut, ketika dia meminta saya untuk ikut mengurusi galeri seni ini." "Keponakan saya satu itu memang orang yang tertutup Pak Dikta," balas Rita sembari menghela napas. Teringat seberapa tertutup dan pendiam keponakannya satu itu. "Jarang ada yang bisa memahami dirinya, mungkin itulah kenapa Alex cenderung menutup diri. Tapi, melihat bagaimana dia menunjuk anda untuk bergabung ke galeri seni ini. Saya rasa hubungan kalian berdua cukup dekat." Pandangan Dikta lantas mengedar ke seluruh ruangan. Menyadari bagaimana ruangan direktur itu dihias dengan penuh pertimbangan. Komposisi warna cat dinding, karya seni di beberapa sudut hingga cahaya lampu seperti apa yang mengisi ruangan itu menunjukkan jelas bahwa Rita bisa dikatakan cukup mumpuni di dunia seni. Cara dirinya mengatur ruang kerja jelas menunjukkan bahwa dirinya berpengalaman di dunia seni. "Saya tidak mengerti kenapa Alex meminta saya mendampingi anda yang sepertinya lebih berpengalaman di dunia ini dibandingkan saya." Dikta diberi tau bahwa bergabungnya ia ke Serenade d'Amore atas usulan Alex. Ia diminta oleh laki-laki itu untuk mengambil bagian dalam mengurusi urusan galeri baik terkait urusan koleksi lukisan, konsep pameran yang akan diselenggarakan, hingga struktur manajemen. Jadi pernyataan Dikta barusan sengaja ia suarakan, untuk memberi tau ke orang-orang bahwa dirinya tidak tau bahwa Adelia yang akan mengambil alih galeri dalam waktu dekat. "Sebenarnya Pak Dikta, keberadaan anda disini bukan untuk mendampingi saya." Senyum Rita sekilas nampak sedih dan iba. "Seminggu lagi adik Alex akan menggantikan posisi saya. Sejak awal posisi ini memang untuk anak itu." "Adik Alex?" tanya Dikta seraya mengernyitkan dahi, berpura-pura kebingungan. Ia yakin kalau Fira melihat aktingnya saat ini, sang adik akan memujinya bagaikan seorang aktor papan atas. Dikta terlalu pintar dalam memainkan peran yang diberikan padanya. "Setau saya, ketiga adiknya sudah sibuk dengan karir yang sesuai minat mereka masing-masing. Apa akhirnya ada salah satu dari mereka yang terpaksa harus melenceng dari latar belakang keahlian mereka? Itulah kenapa Alex meminta pertolongan saya?" "Adik perempuannya Pak Dikta, yang paling bungsu." Tatapan Rita terlihat menyendu. "Beberapa tahun kebelakang keluarga Alex dibuat cemas karena adik bungsunya kabur dari rumah. Anak itu seharusnya sudah mengambil alih galeri seni ini, namun ada suatu konflik yang tidak memungkinkan dirinya untuk memimpin galeri. Saat itulah saya diminta Alex menjadi pengganti sementara, sampai adiknya kembali." "Pak Dikta orang yang akan anda dampingi bukan saya, melainkan anak itu. Sebagai tantenya, saya minta tolong bantuan anda dengan amat sangat." *** "Belanja memang hiburan penghilang stress terbaik." Adelia terkekeh kecil, kala Darla memegangi kantung-kantung belanja mereka dengan perasaan membuncah. Hari ini, keduanya memutuskan untuk berbelanja di salah satu pusat perbelanjaan terbesar di tanah air. Kata sepupunya itu, dia harus membeli beberapa potong pakaian terbaru mengingat isi walk in closetnya jelas sudah ketinggalan jaman. Belum lagi tubuh Adelia yang mengurus, membuat pakaian-pakaian itu jadi terlihat begitu besar. Mengurangi keindahan dari pakaian itu sendiri. Kebetulan sekali Adelia mendapatkan kembali kartu-kartu ATM miliknya, yang sengaja dia tinggalkan di rumah ketika kabur beberapa tahun lalu. Arkana bahkan mengatakan, kerinduan dari ayah dan para saudaranya membuat mereka sesekali mengirim sejumlah uang ke rekening itu. Sebagai bentuk pengharapan bahwa di luar sana si bungsu yang begitu dicintai itu hidup dengan sehat dan gembira. Sebuah pengharapan yang jelas membuat perasaan Adelia sedikit merasa miris. "Jadwal perawatan kita masih 2 jam lagi. Mau makan aja nggak?" tanya Darla setelah melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya itu. "Makan pho kesukaan lo nggak sih?" "Emang masih ada?" balas Adelia sembari tertawa kecil, tidak menyangka bahwa Darla masih ingat makanan favoritnya satu itu. "Ayo deh aku udah lama nggak makan itu." "Masih inget lah, kamu taukan aku sering banget ketemu sama Mas Andre gara-gara kerjaan kita masih satu kategori." Darla mulai berceloteh panjang. Seolah tak menyadari bahwa beberapa pasang mata kini melirik keduanya secara terang-terangan. Jelas tertarik, sebab bukan sebuah pemandangan lazim melihat 2 perempuan menenteng banyak sekali kantung belanja dari toko-toko yang jelas harga produknya bukan dalam hitungan ratusan ribu melainkan sudah jutaan. "Dia kadang suka ngajak gue makan kesana pas kangen sama lo." Lagi-lagi pembicaraan soal apa yang terjadi selama 3 tahun ini. Adelia bukannya tidak sadar apa yang sedang terjadi. Terlihat sekali bahwa saudara-saudaranya sedang memancing Adelia untuk bercerita mengenai kesulitannya setelah kabur dari rumah. Fakta bahwa si bungsu bercerai di hari jadi pernikahannya ke-3, sudah cukup menjadi bukti bahwa kehidupan sang puan jelas tidak berjalan baik. Mereka pasti ingin memberi hukuman yang setimpal, namun setiap ditanya Adelia memilih bungkam. Bahkan setelah disakiti sedemikian rupa, Adelia menutup rapat-rapat apa yang terjadi padanya. Langkah Adelia mendadak terhenti. Darla yang melihat itu jelas saja mengernyitkan dahi, terlebih kala menyadari sang sepupu kini membeku dengan tatapan terkunci ke satu titik. Ia ikut menoleh ke arah Adelia memandang, lantas berdecak. Menemukan sosok Januar duduk di salah satu sisi restoran. Dari sekian banyak hari dan tempat, kenapa mereka harus berpapasan dengan mantan suami b******k sepupunya itu di restoran Pho kesukaannya. Darla memang belum pernah bertemu langsung sosok Januar, namun fakta bahwa Adelia kabur dari rumah demi laki-laki itu jelas membuatnya bergegas mencari tau seperti apa rupa Januar. Itulah kenapa dia bisa tau rupa laki-laki yang sudah menyakiti sepupunya itu. "Kita makan di tempat lain aja," putus Darla bergegas mengamit lengan sang sepupu untuk pergi dari area restoran. "Maaf Del, makan phonya lain kali aja ya." "Aku ke kamar mandi dulu." Cepat-cepat Adelia melepaskan pegangan Darla dari tangannya, lantas berlari terburu-buru menuju kamar mandi terdekat. Saking cepatnya Darla yang mengenakan sepatu hak tinggi jelas tidak bisa mengejar sang puan. Darla melirik ke arah bodyguard yang diturunkan oleh Arkana untuk menjaga mereka dari jarak jauh. Memberi kode pada mereka untuk bergegas menyusul Adelia. Tanpa sadar gigi Darla bergemeletuk, menahan keinginan menyiram Januar dengan kuah panas Pho yang laki-laki itu pesan. "Darla?" Darla menoleh, mendapati seorang perempuan berambut gelombang kini memandangnya dengan tatapan tak percaya. Ia tersenyum tipis, menutupi fakta bahwa di dalam hati dirinya mengumpat. Menyalahkan keadaan karena berpapasan dengan seseorang yang beberapa hari ini terus mengajaknya bertemu. "Halo, Emi." Emilia Sukma. Putri dari keluarga Sukma yang baru muncul di lingkungan sosial kelas atas saat Adelia menghilang. Entah apa alasan keluarga Sukma menutupi keberadaan putrinya, yang jelas Darla dan sebagian besar sepupu-sepupunya tidak menyukai perempuan itu. Entah bagaimana, saat semua orang terpesona akan kecantikan dan keahlian perempuan itu dalam bersosialisasi. Ada hal-hal aneh yang membuat mereka sepakat untuk tidak menjalin hubungan pertemanan dengan perempuan itu. Masalahnya beberapa hari ini Emi mengiriminya berpuluh-puluh email ke email kantor Darla berisi sebuah undangan pameran yang diselenggarakan di galeri milik keluarga Sukma. Padahal dia sudah berkali-kali bilang kalau dia tidak bisa datang di tanggal itu, sebab harus mengikuti pagelaran busana di Paris. "Kamu kok nggak bilang lagi di Indo? Kan kita bisa makan siang bar-" Ucapan Emi terhenti, seiring dia menyadari bahwa Darla berdiri di depan restoran yang hendak ia masuki. "Eh apa kita makan bareng aja sekarang? Sekalian aku kenalin sama seseorang. "Sorry tapi gue masih punya jadwal setelah ini." Darla tersenyum tipis, bersikap sopan akan basa-basi yang diutarakan Emi saat dirinya hendak bergegas menghampiri sang sepupu. "Kalau begitu-" "Sayang, kok nggak masuk?" Rasanya seolah air dingin disiramkan ke wajah Darla. Ia menahan diri sekuat mungkin untuk tidak menunjukkan keterkejutannya kala Januar mendekat. Laki-laki itu langsung merangkul pinggang Emi dan mengecup pipi sang puan. Sebuah pemandangan yang bukan hanya mengejutkan tapi memuakkan. Jantung Darla berdetak lebih kencang, seiring kepalanya yang terasa panas terbakar oleh perasaan marah. "Iya, ini aku lagi sapa temanku." Emi tersenyum manis, lantas menoleh pada Darla. "Darla, kenalin ini pacarku. Namanya Januar." "Hai, gue Januar." Tangan yang tergantung di udara itu, hanya Darla lirik sebelum dia mendengkus. Jelas tak ingin menyentuhkan jarinya dengan tangan laki-laki itu. "Darla." Fakta bahwa uluran tangannya tidak dibalas oleh Darla, Januar hanya tersenyum seraya menurunkan kembali tangannya. Ia lantas menoleh pada Emi. "Ajak aja teman kamu buat makan-" "Gue nggak tau lo punya pacar." Nada bicara Darla entah bagaimana kini terkesan dingin, meski senyuman masih terpatri di wajah. Tatapannya hanya tertuju pada Emi. "Udah berapa lama?" Tawa kecil keluar dari mulut Emi, pipinya nampak bersemu merah seraya mengamit lengan Januar. Menunjukkan hubungan mereka dengan bangga. "Udah mau satu tahun." Celotehan Emi selanjutnya tak Darla dengar. Rasanya seolah bumi mendadak sunyi. Tenggorokan Darla terasa sakit, begitupun lidahnya terasa pahit. Mulai membayangkan kehidupan buruk seperti apa yang Adelia jalani selama ini. Lantas tak mengerti kenapa sepupunya itu bungkam akan masalah sebesar ini yang mendasari perceraiannya. Ia harus melaporkan ini secepatnya pada sang kakak sepupu, namun sekarang Darla harus bergegas menemukan Adelia. Tidak bisa membiarkan sang sepupu menjalani keterpurukannya seorang diri. Darla menarik napas dalam-dalam, seraya menyembunyikan kepalan tangannya di balik badan. Menenangkan diri sebab dia hanya akan mencoreng nama baik keluarga Padma jika menyerang dua orang tidak tau diri itu di depan umum. Harga dirinya sebagai Padma tidak membiarkan dia untuk mempermalukan nama baik keluarga hanya karena terbakar oleh amarah. "Kalau begitu saya pergi lebih dulu." Tanpa mendengar kalimat Emi berikutnya, Darla bergegas pergi. Langkahnya begitu cepat, lantas mengoper tas belanja di tangan ke para bodyguard yang kini secara lebih berani mendekatinya. "Kita antarkan Adelia pulang dulu. Setelah itu tolong antarkan saya ke kantor Kak Alex."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN