"Apa?"
Arkana dikenal sebagai pribadi yang paling tenang dan mengedepankan rasionalitas jika dibandingkan saudara-saudara lainnya. Sebuah pemandangan langka melihat dirinya menjadi orang pertama yang menunjukkan kemurkaan atas 'dugaan' mengapa pernikahan adik bungsunya berakhir. Andri dan Andre yang memiliki emosi meledak-ledak justru terduduk lemas. Kehabisan kata-kata akan apa yang disampaikan sepupu mereka, Darla.
"Emi bilang sendiri kalau mereka udah 1 tahun berhubungan," gumam Darla seraya menyugar rambutnya ke belakang. Ekspresinya terlihat sangat terganggu. "Kalau ucapannya benar, itu berarti mereka udah selingkuh dari Adelia sebelum perceraian itu terjadi."
"b******k!" umpat Arkana memukul sandaran lengan dari sofa yang ia duduki berkali-kali. Tidak bisa membayangkan apa yang dialami oleh adik bungsunya selama ini. Dia meneguk ludahnya susah payah, lantas menoleh pada sang kakak sulung yang hanya diam di kursi kebesarannya. "Mas, jaringan informasi kamu pasti lebih luas dan bebas dari apa keluarga kita punya. Kamu nggak bisa nyari tau apa yang terjadi sama dia selama ini."
"Mas, kamu pernah dengar soal organisasi 'kunci'?"
Perhatian Arkana teralih pada salah satu adik kembarnya, yaitu Andri. "Selama ini informasi soal adek selalu terputus di tengah-tengah dan yang bisa mengecoh kita cuman organisasi itu."
"Jadi maksud lo organisasi itu yang jadi alasan kita nggak bisa ngelacak Adelia selama ini?" Sahutan itu datang dari Andre yang mengernyit bingung. "Itu alasan kamu tetap nggak bisa nemuin dia?"
"Sebenarnya waktu Adelia kabur, aku bantu dia."
Pengakuan Andri yang begitu tiba-tiba, membuat ketiga saudaranya merasa kesal. "Aku nyewain sebuah mobil buat nganter Adelia ke tempat tujuan dia waktu itu. Rencananya aku bakal nanya kemana Adelia pergi setelah beberapa bulan. Setidaknya aku tau dan bisa mantau dia dari jauh." Andri mengigit bibirnya, tau bahwa dia melakukan kesalahan beberapa tahun lalu. "Tapi aku nggak tau gimana ceritanya supir itu mendadak pindah kota dan aku kehilangan jejaknya. Udah jelas cuman organisasi 'kunci' itu yang bisa menyaingi jaringan informasi keluarga kita."
"Bicara soal organisasi 'kunci', sepertinya aku tau siapa orang dibaliknya." Setelah sedari tadi memilih diam Alex akhirnya angkat bicara. "Kalian tau skandal 'Prasetya' belakangan ini kan? Kakak cari dan menemukan bahwa Wira menggunakan informasi yang diperoleh dari organisasi 'kunci' itu untuk menyeret keluarga Mahesa dan Adiyaksa menuju kehancuran. Dan semua informasi itu datang dari keluarga Wicaksana."
"Maksud Kak Alex, Fandi dibalik organisasi 'kunci' itu selama ini?" Fakta bahwa keluarga Wicaksana berada di balik organisasi 'kunci' tidak terlalu mengejutkan bagi Andri. Mengingat dia dan orang-orang dari keluarganya memang sudah mencurigai keluarga itu sejak lama. Namun, siapa yang benar-benar memimpin organisasi itu masih abu-abu.
"Fandi baru balik ke Indonesia beberapa bulan lalu." Arkana mematahkan dugaan sang adik. "Semua skandal yang terjadi dan bagaimana beberapa keluarga menggunakan informasi dari organisasi mereka. Rasanya nggak mungkin kalau dia yang lakuin."
"Berarti sisa adiknya kan? Vinka?" Darla menyahut, mulai menyambungkan tali-tali informasi yang ada di kepala. "Setau aku dia seumuran sama Aku dan Adelia. Belum lagi kita pernah ketemu, waktu salah satu kerabat jauh kita ketahuan jadi stalker di awal-awal karirnya di dunia hiburan."
Hening, kalimat Darla kini terasa masuk akal. Arkana melirik Alex yang terdiam, sebelum dirinya mengangguk. Respon itu membuat Arkana buru-buru meraih interkom memanggil Bima yang menunggu di luar ruanga.
"Tolong minta Vinka Wicaksana datang ke kantor."
***
V: Kakak-kakak kamu memintaku datang hahaha, sepertinya mereka penasaran apa yang terjadi sama kamu Adelia
Adelia menghela napas, hanya membaca pesan dari Vinka melalui bar notifikasi. Ia sudah tau, cepat atau lambat rasa penasaran saudara-saudaranya akan mengantarkan mereka untuk menemui mantan model satu itu. Hubungan pertemanan mereka yang sudah terjalin sejak kasus stalking Vinka terjadi, memang sengaja ia tutup rapat-rapat. Sebab, setelah tau Vinka adalah orang dibalik organisasi 'kunci' yang keberadaannya menggemparkan lingkungan sosial mereka selama ini.
"Mbak Adelia, anda kedatangan tamu."
Pemberitahuan itu membuat Adelia mengalihkan pandang dari gemericik air mancur kecil yang ada di taman belakang. Dia menoleh, mendapati seorang pria paruh baya dalam setelan modis berdiri di ambang pintu yang menghubungkan rumah utama dengan taman belakang. Tanpa bisa ditahan, dia tersenyum lebar. "Tante Rita."
Rita tersenyum lebar, langsung berjalan antusias menuju sang keponakan yang kini ia peluk erat-erat. Merasa haru dan senang, bahwa perempuan yang paling disayang dalam rumah ini kini kembali. Bagi Rita, Adelia bukan sekedar keponakan. Sebab jika ditarik garis pohon keluarga, hubungan tante-keponakan di antara keduanya sudah tergolong jauh. Alasan dari perhatian Rita, tak lain tak bukan karena dia bersahabat dengan ibu gadis itu. Jauh sebelum dia maupun Nuria menikah dengan anggota keluarga Padma. Itulah kenapa dia memiliki perhatian lebih untuk Adelia meski kesibukkannya membuat dia jarang bertemu dengan Adelia di masa lalu.
"Tante, bawain kamu kue keju." Sebuah kotak kertas berwarna krim, Rita berikan pada Adelia. Logo yang tertera di kotak itu berasal dari sebuah toko kue rumahan yang sudah jadi langganan Adelia sejak lama. "Bagaimana kabarmu Nak?"
"Lebih baik setelah kembali ke rumah, Tante."
Sebagai seseorang yang memiliki naluri ibu, Rita tersenyum tipis. Menyadari bahwa jawaban Adelia diwarnai oleh rasa penyesalan, Rita mengusap punggung keponakannya seolah memberi isyarat bahwa tak ada yang perlu disesali. "Nak, semua orang melakukan kesalahan. Pertanyaannya setelah melakukan kesalahan itu kamu mau terus meratapinya atau belajar dari kesalahan itu?"
Sebuah map berwarna biru muda, dan sebuah pin berbentuk teratai tiba-tiba Rita berikan pada Adelia. Ada nama Serenade d'Amore tertera jelas di atas map itu, usapan lembut kembali Adelia rasakan di puncak kepalanya. "Sekarang kembali pupuk nama baikmu itu ya Nak."
"Tante harap dengan mengurusi Serenade d'Amore, kamu bisa memahami seberapa keluarga ini menyayangimu."
***
Asisten pribadi.
Dikta diberi tahu, bahwa saat Adelia bergabung nanti dia akan didaulat sebagai asisten pribadi sang puan akan segala hal berkaitan dengan galeri. Bekerja bersisian dengan seorang perempuan bernama Elisa yang katanya akan menjadi asisten pribadi sang puan untuk segala urusannya baik pekerjaan maupun keperluan rumah. Perempuan bernama Elisa itu, cukup ahli memasang wajah tenang dan begitu sistematis. Secara dia langsung meminta jadwal temu dengan beberapa kolega yang akan menanti Adelia ketika perempuan itu resmi bergabung. Yang orang-orang tidak tau-
"Gue kaget bisa ketemu lo disini." Setelah memastikan hanya ada mereka di ruangan, Elisa akhirnya angkat bicara. Perempuan itu mengalihkan pandang dari layar laptop, lantas mengulas senyum tipis. "Apa kabar Dikta?"
Sudut bibir Dikta terangkat, tidak menyangka bahwa sang puan akhirnya menyapa. "Gue kira lo udah nggak inget sama gue."
"Ya kali gue nggak inget," balas Elisa seraya tertawa kecil, melepas kacamata yang sedari tadi bertengger di hidung. Rehat sejenak dari apa yang ia kerjakan. "Murid teladan yang mendadak menghilang di tahun akhir sekolah."
Dikta tak menjawab, memilih sibuk membaca tumpukan berkas berisi informasi galeri yang harus mulai ia hapal di luar kepala. "Ngomong-ngomong lo apa kabar? Masih sama Daniel?"
Pertanyaan itu langsung dibalas Elisa dengan memamerkan jarinya yang tersemat cincin. "Udah punya anak 2 gue sama dia." Elisa bersedekap lantas memutar kursinya agar bisa menghadap Dikta sepenuhnya. "Kok lo bisa dapat rekomendasi buat jadi kurator ahli disini sih? Bahkan jadi pendamping calon pemimpin baru galeri ini, punya koneksi darimana lo?"
Kalau bukan karena Dikta ingat Elisa aslinya ceplas-ceplos dan dipenuhi rasa penasaran. Pertanyaan itu jelas sangat menyinggung. Namun, satu sisi Dikta tidak bisa menampik bahwa kemunculannya tiba-tiba di galeri langsung ke posisi penting pula. Tak mungkin sekedar mengandalkan keahliannya sebagai kolektor seni.
"Gue kenal sama Pak Alex. Dia suka beli beberapa karya seni lewat gue," jawab Dikta seadanya, tidak ingin berbicara panjang bagaimana dia terhubung dengan keluarga Padma. Takut bahwa dia akan berbohong semakin banyak dan hal itu akan menjadi bumerang untuknya di kemudian hari. "Dia bilang butuh bantuan buat ngurus galeri seni keluarganya. Gue kira ya dampingin Bu Rita, ternyata buat dampingin adiknya yang masuk seminggu lagi."
"Berarti lo udah pernah ketemu sama si bungsu dari keluarga Padma itu ya?"
Nada bicara Elisa yang terkesan antusias, membuat Dikta mengernyitkan dahi. Heran kenapa teman sebangkunya di masa putih abu dulu, terlihat antusias saat ini. "Belum? Kan udah dibilang gue dateng ke galeri ini aja taunya buat dampingin Bu Rita."
"Gue kasih tau lo ya, Ta. Nama direktur galeri kita yang baru tuh Adelia. Lo mungkin nggak terlalu kenal, secara dia 3 tahun ini hilang gitu aja dari lingkungan sosial kalangan kelas atas." Elisa mulai bercerita dengan semangat. "Keempat kakak dan ayahnya selalu memanjakan dia sebagai anak bungsu. Tapi udah jadi rahasia umum kalau perempuan itu profesional dan bisa dibilang kuat. Kemampuannya dalam berbisnis dan menjalin relasi itu patut diacungi jempol deh."
"Lo udah pernah ketemu dia?"
"Pernah," sahut Elisa cepat-cepat. "Walaupun nggak sebesar keluarganya, keluarga gue termasuk kalangan kelas atas juga. Memang sih kalau dibandingin sama Padma nggak ada apa-apanya, tapi gue pernah sekali ketemu dia di salah satu acara sosial itu."
Elisa bersandar pada sandaran kursi, lantas bersedekap d**a. Ekspresinya terlihat seperti orang sedang terpesona. "Waktu itu, gue yang bukan pewaris utama perusahaan keluarga nggak begitu diperhatikan orang-orang. Secara buat apa ngajak ngobrol seseorang yang nggak bisa bawa keuntungan buat kita kan? Pokoknya orang-orang fokus sama kakak dan ayah gue. Tapi lo tau?"
Sepertinya Dikta harus mengutuki kemampuan bercerita Elisa yang selalu berhasil memancing rasa penasaran pendengarnya. Bertahun-tahun tak bertemu, temannya satu itu masih mampu menarik minatnya akan topik yang dibicarakan. Ia menggeser map di atas meja, lantas sepenuhnya memusatkan fokus pada Elisa. "Kenapa, dia melakukan tindakan heroik apa sampai lo terlihat berbunga-bunga gitu.
"Dia tiba-tiba datangin gue. Nggak, dia bener-bener nyapa gue dengan manggil nama Dikta." Saat ini Elisa benar-benar terlihat seperti seorang fans, dengan mata berbinar-binar menceritakan pengalamannya di masa lalu. "Lo bayangin di saat hampir satu ruangan nggak nyapa dan ngenalin siapa gue. Adelia nyapa, dan ingat kita pernah satu sekolah."
"Satu sekolah?" Oke, pernyataan Elisa barusan jelas menarik rasa penasaran Dikta. Sang pemuda mencoba mengingat lagi informasi umum Adelia yang tertulis di salah satu berkas tadi. Teringat seberapa besar perbedaan usia mereka. "Dia dua tahun dibawah kita ya? Berarti pas gue keluar dari sekolah, dia baru masuk ya? Pantas aja gue nggak kenal"
"Harusnya lo tetap kenal dia sih." Elisa mengernyitkan dahi, kini giliran dia yang menatap Dikta bingung. "Lo sekolah di yayasan kita dari kelas 4 SD kan? Adelia juga sekolah di sana dari SD, secara tuh yayasan punya keluarga Padma."
"Ya tapi nggak berarti gue bakal ngenalin-"
"Klub panahan di sekolah dulu, gabung dari jenjang SD sampai SMA kan? Harusnya lo pernah ketemu dia. Secara dia juga atlet panahan yang cukup berbakat waktu itu."