bc

Perawan KTP (When Merrie Takut Married)

book_age18+
934
IKUTI
5.8K
BACA
drama
tragedy
sweet
like
intro-logo
Uraian

Merri, wanita berusia dua puluh delapan tahun yang takut menikah. Alasan utamanya adalah karena kondisi dirinya yang sudah tidak suci lagi. Di KTP statusnya perawan, pada kenyataannya sang mantan kekasih semasa dia masih duduk di bangku perkuliahan sudah merenggut kesuciannya dengan janji akan menikahinya selepas lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan. Pada kenyataannya sang kekasih justru menghilang bak ditelan bumi. Merri didesak oleh keluarga untuk segera menikah, tapi dia selalu menolak karena takut keadaannya diketahui oleh suaminya di malam pertama dan membuatnya malu hingga mencoreng nama keluarga. Merri bertekad untuk mencari Verrel mantan kekasihnya. Namun, keluarga terus mendesak Merri untuk segera menikah hingga akhirnya dia bertemu dengan Marco, lelaki berumur tiga puluh tahun yang menawarkan pernikahan kontrak dengannya. Lalu akankah Merri menerima tawaran Marco? Ataukah tetap ingin mencari Verrel untuk meminta pertanggungjawaban?

chap-preview
Pratinjau gratis
Melarikan Diri
** "Udah aku bilang, aku nggak mau nikah, Bang!" teriak Merri sambil melempar tas kerjanya di atas sofa yang ada di dalam kamarnya. "Umurmu udah mau tiga puluh tahun, Dek. Sampai kapan kamu mau sendiri terus?" desak Marshel kakak kandung Merri, tepatnya anak tertua dari tiga bersaudara dan Merri adalah anak bungsu di rumah ini. Ke dua kakak Merri sudah menikah dan masing-masing memiliki dua orang anak. Jadi keponakan Merri sudah ada empat. "Bang, aku capek, ya! Aku baru pulang kerja, tapi abang kembali menerorku dengan pertanyaan yang sama!" desah Merri sambil melepas ke dua sepatu heelsnya bergantian lalu dia lemparkan asal-asalan. Betapa berantakannya kamar ini, sudah mirip seperti kapal pecah dibuatnya. Handuk ada di atas tempat tidur, celana dalam, bra. Astaga! Kenapa hidup anak satu-satunya di keluarga Edrick Winata begitu acak-acakan? "Cepat mandi dan ganti bajumu!" perintah Marshel tegas, tapi yang diperintah justru santai dan merebahkan dirinya di atas ranjang sambil bermain Candy Crush game warna-warni kesukaannya. "Lusiana!" teriak Marshel memanggil istrinya. "Iya, Yank." Wanita berumur tiga puluh tahun dengan dua orang anak itu langsung menyahut ketika alarm panggilan dari suaminya sampai di gendang telinganya. "Iya, Yank. Kenapa?" tanya Lusi begitu sampai di kamar adik iparnya. "Astaga, Merri! Kamarmu ini ... Iyuuuh!" Lusiana shock melihat kain segitiga, kaca mata kembar berbusa, dan ada juga handuk berantakan di mana-mana. Wanita itu menjumputi pakaian dalam adik iparnya dengan kesal lalu dia satukan dan dia masukkan ke dalam keranjang pakaian kotor. "Mbak, itu masih bersih, kenapa kamu masukkan ke keranjang?" tegur Merri sembari menegakkan badannya. "Lalu kenapa nggak kamu taruh lemari kalau nggak kotor?" tegur Lusiana dengan nada tinggi. "Memalukan ada abangmu juga masih bisa santai memperlihatkan aset pribadimu?" sungut Lusi geram dengan tingkah adik iparnya yang kelewat santai dalam segala hal. "Hahaha, abang udah biasa juga lihat punya mbak kan?" cibir Merri. "Lusi, cepet ambilin gaun buat Merri yang tadi udah kita beli!" perintah Marshel. "Iya, Yank." Lusi bergegas kembali ke kamarnya untuk melaksankan perintah dari suaminya. "Gaun? Buat apa?" Merri menaikkan satu alisnya dan menyilangkan ke dua kakinya dengan dua tangan yang tertopang di atas ranjang. "Sebentar lagi ada tamu spesial, keluarga Satria mau datang buat ngelamar kamu," jelas Marshel membuat Merri seketika meloncat dari atas tempat tidur. "What?! Bang Sat-" "Yang sopan, Merri!" tegur Marshel. "Di mana nggak sopannya? Nama dia Satria dan aku manggilnya abang, bener kan kalau aku nyebutnya Bang Sat?" protes Merri nyolot. "Tapi pengucapan kamu bukan kayak orang manggil, tapi kayak orang maki tau nggak?" debat Marshel. "Ah sudahlah! Jadi setelah kemarin Edric, Nico aku tolak terus abang mau ngejodohin aku sama Bang Sat, Bang Sat, Bang Sat gitu?" Kali ini Merri memang benar-benar bermaksud untuk memaki sahabat abangnya itu. "Cukup sekali woey! Nggak usah diulang-ulang Bang Sat-nya!" geram Marshel. "Nggak bisa, Bang. Aku nggak mau nikah sama perjaka lapuk kayak Bang Sat!" tolak Merri mentah-mentah. "Hello?! Lalu kamu apaan? Ingat usiamu mau tembus kepala tiga," cibir Marshel membuat Merri menelan ludah kasar. Sialan! Bener juga, Ya. Pikirnya kalah telak. "Ini gaun yang harus kamu pakai, Mer!" Lusi datang dengan membawa satu kotak besar kardus berisi gaun yang akan digunakan oleh adik iparnya. Gaun rancangan designer ternama yang khusus dipilihkannya untuk hari Merri. "Aku nggak mau! Aku nggak mau nikah, aku takut nikah!" teriak Merri sambil menghentak-hentakkan kakinya. "Harus! Kali ini kamu harus nurut apa kata kita! Lagian Nenek juga udah setuju apalagi papa sama mama, mereka antusias banget dapat calon menantu kayak Satria," paksa Marshel. Merri mengerucutkan bibirnya ke depan. Sudah berapa kali dia menolak menikah, tapi tetap saja terus dipaksa. "Lihat! Bajunya bagus banget kan, Mer?" tanya Lusiana sambil mengeluarkan gaun itu dari dalam tempatnya. Iya, gaun berwarna gold panjang dengan belahan yang tinggi hingga ke paha. Tali lengannya sangat kecil dan tipis mungkin sekali gunting akan terlepas dan yang membuat Merri menjulurkan lidahnya adalah bagian belakangnya yang sangat terbuka dan pasti punggung putih Merri akan terekspos dengan sangat jelas. "Aku nggak mau! No way!" tolak Merri. "Harus! Atau Nenek yang akan turun tangan buat maksa kamu!" ancam Marshel. "Satu jam lagi Satria datang, jadi kamu harus udah siap dan dandan secantik mungkin! Lusi yang bakalan bantu kamu buat siap-siap," jelas Marshel kemudian melenggang pergi meninggalkan kamar adiknya. Hanya tinggal adik ipar dan kakak iparnya yang tidak pernah akur yang ada di dalam kamar. Mereka berdiri berhadap-hadapan dan saling melempar tatapan. "Mbak .... " Merri tersenyum, mendadak dia memiliki ide yang cemerlang untuk menyogok kakak iparnya. "Hm ...," sahut Lusi singkat. "Ayo cepat masuk kamar mandi!" perintahnya. "Mbak, aku mau shoping online lho. Mbak Lusi mau nitip nggak? Aku beliin, dech. Mau apa? Tenang aku yang bayar!" Merri mulai melancarkan aksinya. "Aku mau tas, sepatu, baju, banyak dech yang aku mau. Ayo cepat mandi! Nggak usah banyak omong, Merri!" sentak Lusi galak. "Astaga! Demi dewa, galak banget ini perempuan!" cibir Merri sambil berjalan dengan langkah gontai masuk ke dalam kamar mandi. Ah, keseringan nonton India jadi begitu otaknya Si Merri. Setengah jam berlalu. "Mer, ayo keluar! Lama banget mandinya," teriak Lusi. "Tunggu, Mbak! Sakit perut ini." Merri mencari-cari alasan untuk mengulur waktu. "Merri! Cepat keluar! Nenek sudah tidak sabar ingin melihatmu berdandan yang cantik menyambut calon suami," teriak Nenek Syan membuat Merri tidak bisa lagi berkutik. "I-Iya, Nek. Sebentar lagi Merri keluar," sahut Merri. "Astaga! Aku nggak bisa lari lagi sekarang," desah Merri kemudian menepuk keningnya. Beberapa detik kemudian, Merri keluar dari dalam kamar mandi mengenakan jubah mandi dengan handuk yang melilit rambutnya yang basah. "Tidak berdandan saja cucu nenek sudah cantik apalagi bila berdandan seperti putri raja," puji Nenek sambil menangkup ke dua pipi cucu kesayangannya. "Hm .... " Merri hanya menyunggingkan senyum simpul. Tapi aku belum mau menikah, Nenek. Aku takut kalau .... Merri bergumam dalam batin. Hanya bisa dalam batin, karena rasanya percuma mau menolak dengan cara apapun pasti keluarganya akan terus memaksanya. "Lusi, cepat sulap adikmu menjadi cantik, ya!" Nenek memerintah cucu menantunya kemudian pergi meninggalkan kamar Merri. Wajah Merri berubah tegang. Selalu seperti ini ketika dia dipertemukan dengan seorang lelaki yang hendak dijodohkan dengannya. Apakah kali ini dia berhasil menolak perjodohan ini lagi seperti yang sebelum-sebelumnya? Mengingat calon suami yang dipilihkan oleh keluarganya adalah Satria, sahabat Marshel kakak kandungnya, yang sudah sangat dekat dengan keluarganya dan juga dengan dirinya. "Duduk!" perintah Lusi sambil menepuk kursi yang ada di depan meja rias Merri. Dengan malas-malasan Merri meletakkan pantatnya di tempat yang sudah ditentukan oleh kakak iparnya. Tamat riwayatku! Pekiknya dalam batin. Dia melihat pantulan dirinya di cermin. Wajahnya memang ayu, di usianya yang sudah hampir tembus kepala tiga, tapi dia masih terlihat seperti remaja. Merri sangat merawat tubuhnya, bahkan dia gemar sekali berolah raga. Lusi mengambil alat pengering rambut lalu dia nyalakan hingga suaranya terdengar bising. Rambut Merri yang tadi terbungkus handuk selepas keramas, kini sudah ada di tangan kakak iparnya yang memiliki lima buah salon kecantikan yang menyebar di kota mereka. "Pasti ada alasan yang kamu sembunyiin dari kami kenapa kamu takut menikah?" tanya Lusi dengan tangan yang terus bermain lincah di rambut adiknya. Suara Lusi tertelan oleh suara hairdryer sehingga Merri lamat-lamat mendengarnya. "Mbak Lus bilang apa?" tanya Merri dengan suara yang sedikit berteriak agar kakaknya bisa mendengar dengan jelas. Lusi mematikan mesin pengering rambut yang mengeluarkan uap panas tersebut agar bisa bicara tanpa terganggu, lagian rambut Merri juga sudah kering. "Apa alasan kamu takut banget buat nikah?" Merri mengulang pertanyaan dengan susunan kata yang berbeda. "A-Alasan?" Merri mengerutkan keningnya. Nggak mungkin aku jujur, itu namanya bunuh diri. Desah Merri. "Belum siap aja, Mbak," jawab Merri ngasal. Alasan basic yang sangat klise. "Mau sampai kapan? Sampai jadi nenek-nenek?" Lusi melempar pertanyaan lagi. "Udah dech, Mbak! Nggak usah ketularan orang-orang jadi bawel banget gitu!" protes Merri kesal. ** Satria datang bersama dengan keluarganya tepat di jam yang sudah mereka sepakati bersama. Dua keluarga ini sudah sering bertemu, sudah sama-sama saling mengerti satu sama lain karena bukan hanya Marshel dan Satria yang bersahabat, tapi juga orang tua mereka. Edrick, ayah kandung Merri adalah sahabat baik dari Wili, ayah kandung dari Satria. Jadi malam ini mereka bersosialisi dengan sangat akrab, saling melempar canda tanpa sungkan dan topik obrolan mereka selalu nyambung karena satu pemahaman. Begitu pun dengan Marshel dan Satria yang juga sibuk dengan obrolan mereka sendiri. Sedangkan Merri masih ada di dalam kamarnya karena belum selesai untuk dimake up. "Tante berharap kamu dan Merri berjodoh, Satria," kata Anna, ibu kandung Merri. "Amin, doakan saja, Tante!" sahut Satria dengan senyum yang tersungging di bibirnya serta lesung pipi yang membuat lelaki berumur tiga puluh dua tahun tersebut menjadi semakin tampan. Sebenarnya, sudah dari dulu Satria memendam rasa pada Merri, tapi hanya karena dia tidak ingin membuat hubungan mereka berjarak karena pernyataan cintanya, oleh karena itu Satria memilih untuk tidak mengutarakan perasaannya pada Merri. Dan ketika keluarga memintanya untuk melamar wanita itu, Satria amatlah sangat bahagia. Meski dia takut kalau Merri akan menolaknya. Sepuluh menit kemudian, Merri turun bersama dengan Lusiana dan Mela, kakak iparnya. Penampilan Merri sungguh sangat mempesona, terlebih Satria yang sampai tidak berkedip memperhatikan calon istrinya yang bak bidadari yang turun dari khayangan. "Mingkem lu!" cibir Marshel sambil membungkam mulut sahabatnya yang ternganga. "Sial! Adik lu cantik banget emang," kata Satria setelah menepis tangan Marshel dari mulutnya. "Siapa dulu kakaknya?" Hm ... Marshel membanggakan dirinya. "Ya ampun, calon mantuku cantik banget, ya," puji Sarah, ibu kandung Satria. "Makasih, Tante," kata Merri dengan malu-malu. Sialan! Kenapa aku deg-degan gini sih? Biasanya juga nggak kenapa-kenapa tiap ketemu Bang Sat. Batin Merri sambil menundukkan kepala karena menghalau tatapan Satria yang serasa menghujam jantungnya. "Ayo kita makan malam dulu!" ajak Edrick. Dua keluarga ini pun berbondong-bondong menuju ke meja makan untuk menyantap jamuan spesial yang sudah dipersiapkan. ** Merri tidak bisa tertidur pulas malam ini. Pengakuan cinta Satria padanya membuat dia serasa seperti dibuat mabuk kepayang. Tidak menyangka, lelaki yang sudah akrab seperti kakak kandungnya sendiri itu ternyata diam-diam mencintainya. Bahkan, lelaki itu sampai menjadi perjaka tua karena dirinya. "Busyeeet! Ini terus aku kudu gimana sie?" Merri duduk di atas ranjang lalu mengacak-acak rambutnya dengan kesal. "Seorang pengusaha travel yang sukses jatuh cinta sama aku sampai rela nggak nikah demi aku, tapi aku .... aku takut banget buat nikah, Sumpah! Nggak ada yang aku takutin selain nikah. Bahkan, sama ratu iblis pun aku nggak takuut. Kalau sampai aku nikah, aku rasa akan jadi malapetaka kalau sampai suamiku tahu kalau aku .... hm ... ya sudahlah! Mau bagaimana lagi? Toh aku udah setuju buat dinikahin sama Bang Sat," gerundel Merri. Merri merebahkan dirinya di tempat tidur dengan sorot mata yang menatap langit-langit kamar. Beberapa saat kemudian wanita itu memejamkan matanya. "Tapi aku berharap kamu yang datang buat ngelamar aku. Kenapa kamu pergi sebelum kamu tepatin janji kamu sama aku, tanpa ngomong sepatah kata pun ... padahal aku udah korbanin harta berharga yang aku punya sebagai seorang wanita buat kamu. Andai kamu tahu, kamulah penghalangku satu-satunya buat aku ngejalanin masa depanku." ** "Pergi kamu dari rumahku! Aku nggak sudi punya istri yang nggak bener kayak kamu! Malam ini aku ceraiin kamu sekarang juga!" sentak Satria sambil menyeret Merri dari dalam kamar. "Bang, maafin aku, Bang!" Merri memohon dan bersimpuh di kaki suaminya yang baru tadi pagi menikahinya. "Nggak ada maaf buat wanita muurahan seperti kamu! Pergi!" Satria tidak menggubris air mata Merri. Dia kembali menyeret Merri dan memintanya untuk pergi dari rumah. ** "Nggak mauuuu! Akuuu nggaaak mau!" teriak Merri kemudian segera membuka matanya lebar-lebar. "Hah hah hah!" Napas Merri tersengal seperti habis lari maraton sepuluh kali putaran lapangan bola. Wanita itu meraba-raba wajahnya, terasa keningnya basah akibat keringat yang mengucur deras, beberapa kali Merri juga menepuk-nepuk pipinya. "Jadi aku cuma mimpi. Ya Tuhan, mimpi yang sangat menakutkan," desah Merri. Bagaimana tidak menakutkan kalau dia harus diusir oleh suaminya di malam pertama akibat keadaannya yang mengecewakan? Merri mengambil gelas berisi air putih yang selalu tersedia di atas meja yang ada di dekat ranjangnya dengan tangan gemetaran. Wanita itu segera meneguk isinya hingga habis tanpa sisa. "Oke, calm down, Merri!" Merri meletakkan gelas yang sudah kosong itu kembali di atas meja. ** Skiip beberapa bulan kemudian. Esok hari adalah hari pernikahan Merri dan Satria. Ijab kabul akan dilaksanakan di hotel bintang lima yang ada di kota mereka. Merri dan keluarga sudah bertolak ke hotel tersebut siang harinya untuk memeriksa segala persiapan akad dan resepsi yang ditangani oleh Wedding Organizer yang sudah mereka sewa. Sepanjang perjalanan Merri hanya sibuk melamun. Dia teringat dengan mimpi menakutkan yang pernah mampir dalam tidurnya. Diusir oleh Satria di malam pertama mereka. Wanita itu gamang, niat hati ingin sekali membatalkan pernikahan ini, tapi kenapa mulutnya seperti enggan untuk mengucapkan kata 'Batal'. "Ini adalah kamar pengantin untuk malam pertama Mbak Merri dan Mas Satria," kata Violla, petugas wo yang menunjukkan sebuah kamar presidential suite yang sudah dihias seindah dan senyaman mungkin untuk Merri dan Satria. Malam pertama? Sekujur tubuh Merri dibuat merinding ketika mendengar dua kata keramat itu. Tekad hati ingin terlepas dari pernikahan ini pun semakin menjadi-jadi. "Aku cuma mau nikah sama kamu, Ver," gumam Merri secara spontan. Wanita itu melamun dan sama sekali tidak menyimak apa yang dikatakan oleh Violla tentang fasilitas yang ada di kamar pengantinnya ini. "Mbak? Mbak Merri kenapa?" tanya Violla membuyarkan lamunan Merri. Dia sempat mendengar gumaman Merri, tapi tidak berani bertanya secara spesifik siapa 'Ver' yang ingin dia nikahi. Itu privasi Merri, dia hanya tidak ingin Merri tidak menggubris perkataannya. "Hm ... aku ... aku nggak kenapa-napa. Makasih, ya. Aku mau balik ke kamarku dulu," sahut Merri sambil menarik senyuman simpul di ke dua sudut bibirnya. Iya, senyuman yang tidak bisa mengcover perasaannya yang sedang gundah gulana. Harusnya wanita itu sangat antusias menyambut pernikahannya. Karena menikah adalah impian setiap wanita, apalagi memiliki calon suami yang tampan dan mapan seperti Satria. Merri Fransisca Winata, lebih memilih untuk dicibir menjadi perawan tua ketimbang harus menikah dengan lelaki yang bukan dia ... iya, dia yang meninggalkan Merri dengan segala rasa sesal. ** Merri terjebak dengan ketakutan dan pikirannya sendiri ketika semua anggota keluarga sangat antusias mempersiapkan pesta pernikahannya. Bahkan, sepuluh panggilan dari Satria, calon suaminya pun terabaikan. "Kenapa sama Merri? Aku pikir dia memang belum siap buat nikah," ucap Satria yang dibuat gamang untuk melangkah meniti masa depannya yang baru. Merri tidak bisa berlama-lama tercekam dalam imajinasinya yang berantakan. Pokoknya dia tidak mau menikah, titik! Itulah tekadnya. Hingga ide gila pun muncul. Di tengah malam, tepat jarum jam bertumpuk di angka dua belas. Wanita itu diam-diam memutuskan pergi dari kamar hotelnya. Syukurlah, tidak ada pengawasan sama sekali dari pihak keluarganya membuat pergerakan Merri untuk kabur semakin dipermudah. "Lebih baik aku kabur dari pada aku jadi janda di malam pertama," gumam Merri sambil mempercepat langkah menyusuri lorong hotel yang sepi karena setiap tamu sedang terlelap di kamar mereka masing-masing. ** "Maami ... Maaami ...!" teriakan Zeiden membuat Agnes, ibunya seketika berlari menghampiri si anak. "Zei, ada apa, Sayang?" tanya Agnes kebingungan. "Mi, lihat! Aunty Mer tidur di kursi teras kita," jawab anak lelaki berumur empat tahun tersebut sambil menunjuk ke arah Merri yang tertidur pulas sambil mendekap tas ranselnya. "Ya ampuuun ... Merri!" Agnes adalah sahabat Merri, dia adalah tempat Merri mencurahkan segala yang dia rasa baik itu suka maupun duka. Mereka sahabat yang saling melengkapi sejak di bangku Sekolah Menengah Atas hingga sekarang. "Mer, bangun!" Agnes menghampiri Merri dan mengguncang-guncangkan tubuh sahabatnya itu agar Merri mau membuka mata. "Mer, harusnya kamu nikah pagi ini kenapa kamu malah di sini? Mer, bangun!" Agnes memperkuat guncangan di tubuh Merri. Merri menggeliat kemudian membuka matanya perlahan-lahan. "Udah pagi, ya?" tanyanya. Wanita itu menegakkan badannya lalu celingak-celinguk seperti orang ketakutan. "Nes, ayo ajak aku masuk ke rumah kamu!" pinta Merri sambil memegang tangan sahabatnya. Tanpa menunggu Agnes menjawab, Merri main tarik tangan Agnes dengan paksa. "Deeer!" Merri menutup pintu rumah Agnes dengan sangat kuat. "Mer, kamu itu kenapa sie?" tanya Agnes kebingungan. "Nes, bantuin aku! Aku nggak mau nikah," keluh Merri dengan bercucuran air mata. Dia memeluk Agnes dengan erat. "Kalau kamu nggak mau nikah kenapa dulu kamu bilang mau? Mer, kamu nggak kasian sama orang tua kamu? Sama nenek, keluarga calon suami kamu, mereka pasti malu banget," ujar Agnes sambil melepas pelukan Merri. "Aunty Mer nangis? Aunty mau permen?" Zeiden yang masih polos menawarkan sesuatu yang biasa digunakan oleh mami untuk merayunya ketika ia menangis. "No, Zei. Aunty nggak mau permen. Oke, Zei tunggu mami di taman belakang! Mami mau bicara dulu sama Aunty Mer, ya!" kata Agnes menjelaskan pada anaknya. Agnes mengajak Merri untuk bicara di kamarnya. Suami Agnes adalah seorang angkatan laut dan jarang sekali ada di rumah karena harus menjalankan tugas. "Ceritain sama aku! Sebenarnya ada apa sama kamu?" tanya Agnes. "Nes, aku malu buat cerita," aku Merri. "Please, jangan angkat telepon dari keluargaku!" pinta Merri ketika mendengar ponsel Agnes berbunyi. Untuk mengantisipasi Merri sudah menonaktifkan handphonenya. "Oke, aku nggak akan angkat. Ini Bang Median yang nelpon aku, tapi kamu harus janji kamu jujur sama aku ada apa? Kenapa kamu takut banget sama pernikahan? Perasaan juga nggak ada trauma masa lalu, rumah tangga orang tuamu harmonis dan bahagia banget. Jawab, Mer! Ada apa?" desak Agnes mencoba berbicara dari hati ke hati dengan sahabatnya tersebut. Median adalah kakak kandung Merri yang nomor dua. Dia terus berusaha menghubungi kawan-kawan Merri yang lain.a "Aku nggak ngerti mau mulai dari mana, pokoknya aku cuma mau nikah sama Verrel, Nes," ungkap Merri kemudian kembali menangis terisak-isak. "Jadi karena kamu belum bisa move on dari Verrel jadinya kamu kayak gini?" Agnes menepuk keningnya. "Mer, udah lima tahun kalian putus. Verrel pun nggak tahu sekarang ada di mana. "Bukan hanya masalah belum move on, tapi aku juga butuh pertanggungjawaban dari dia, Nes," jelas Merri. "Pertanggungjawaban apa maksud kamu? Kamu nggak mungkin hamil kan? Udah tujuh tahun gini kalian nggak ketemu, aturan anakmu udah seusia Zeiden kalau kamu hamil." "Aku nggak hamil, Nes. Tapi ...." ** "Merri, di mana kamu, Nak?" Nenek Syan meraung-raung sejak tadi memanggil-manggil nama cucunya. Keadaan di hotel sangat genting. Setiap anggota keluarga kebingungan mencari keberadaan Merri terlebih mereka berpikir bagaimana caranya mereka menyelamatkan nama baik keluarga akibat ulah Merri yang kabur di hari pernikahannya. "Gimana, Bang?" Median meminta pendapat pada Marshel setelah panggilannya diabaikan oleh Agnes karena permintaan Merri. "Aku juga pusing, Med," desah Marshel yang sampai detik ini belum berani memberitahu Satria tentang perginya sang calon istri.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.7K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.2K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.5K
bc

TERNODA

read
198.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.7K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
56.0K
bc

My Secret Little Wife

read
132.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook