Sedih bukan kepalang. Gundah yang mendalam menghujam jantung, hingga nyawa ini terasa meregang. Selain kecewa akan sikap k*****t Mas Irysad yang lebih memilih Clara, penyesalan karena telah ingkar janji kepada Adiva terus mengalir membasahi relung jiwa. Aku, bagaikan kapal yang terombang-ambing di lautan ganas. Tersapu badai dan hampir karam ke dasar yang gelap.
“Adiva, maafkan Mama. Hari ini Mama gagal menjadi ibu yang baik untukmu.” Tangis penuh lara mengalir deras. Menganak sungai hingga jatuh ke lantai yang dingin. Sedingin perasaan yang dipenuhi oleh luka. Tak lagi tersentuh oleh bara cinta yang dulu pernah ada.
Pipi dan bibir yang berdarah dampak dari tamparan keras, d**a yang nyeri akibat tendangan, serta kepala yang pening gara-gara mengahantam ubin saat terjengkang, membuat keadaanku sempurna mengenaskan. Aku tiba-tiba sangat membenci akan fisik lemah yang tak kuasa melawan si b*****t Irsyad. Kenapa tenagaku tak sanggup untuk memecahkan kepala atau mencopot bola matanya? Sial, hari ini kekalahan begitu kental berteman denganku.
Rasa lemah dan terpuruk, tiba-tiba menguap sirna kala aku mengingat sosok Adiva dan Raina yang terkunci di kamar mereka. Entah kekuatan dari mana, ragaku sanggup untuk bangkit. Walau tertatih, kaki kupaksa untuk melangkah menuju kedua putri tercinta.
“Mama!” Adiva berteriak histeris. Matanya sembab dan merah.
“Maaaa!” Raina tak kalah melengking teriakannya. Bocah dua tahun itu menangis hingga sesegukan.
“Kalian kenapa nangis?” Aku memaksakan diri untuk tersenyum. Perih. Luka di sudut bibir rasanya nyeri saat berbicara.
“Mama kenapa lama? Bajunya koyak. Mulutnya ada darah. Mama!” Adiva memeluk erat. Dadaku terasa nyeri. Sesak.
“Ma, acit, ya?” Raina mendekat, ikut memeluk dan mencium pipiku.
Tangis tak dapat terelak lagi. Kami bertiga berlekapan dengan membagi sedan yang sama. Tergugu dalam bahasa pilu yang tak terungkap lewat aksara. Namun, Tuhan tahu betul bahwa kami sedang berselimut duka.
“Ma, tante Clara yang pukul-pukul?” Adiva menyentuh luka di bibirku. Dia mengusapnya pelan dengan telunjuk. Langsung saja jemari mungilnya kuciumi dengan lembut.
“Bukan. Mama jatuh. Terpeleset.” Aku tidak boleh membiarkan Adiva membenci siapa pun, karena ini bukan masalahnya. Ini murni masalah kami bertiga, tidak ada sangkut paut dengan anak-anak.
“Kakak dengar,kok, Mama teriak. Papa juga teriak. Mama sama Papa bertengkar lagi. Tuhan marah, Ma.” Adiva semakin sesegukan. Raina memeluk tubuhnya dan berusaha menghapus tangis sang kakak. Dua beradik itu semakin membuat hatiku tersayat pilu.
“Hanya bertengkar kecil. Ada salah paham. Ini urusan orang dewasa. Kakak sama Adek nggak boleh ikut sedih. Mama dan Papa oke, kok.” Aku membuat simbol dengan membulatkan jempol dan telunjuk hingga tiga jari lainnya berdiri.
Adiva menggeleng. Ternyata dia tak semudah itu untuk ditipu. “Nggak. Mama dan Papa bertengkar. Kakak nggak percaya. Mama bohong!” Adiva berteriak nyaring. Tangisnya semakin pecah.
Aku terhenyak. Luka ini semakin dalam. Pertengkaran kami telah mematahkan hati Adiva dan Raina. Tiba-tiba aku sangat ketakutan, jika semua ini akan terus terekam di otak kedua buah hati. Trauma akan prahara rumah tangga, pasti bakal menghantui kehidupan mereka hingga dewasa. Tidak, semuanya tidak boleh terjadi.
***
Pagi itu aku bangun dengan jiwa yang nelangsa. Rumah terasa sunyi dan lengang. Adiva dan Raina seperti biasa belum terbangun dari tidur, apalagi tadi malam mereka sangat rewel dan tak hentinya menangis hingga larut.
Suara denting jam dinding membuat suasana semakin terasa sunyi. Aku benci seperti ini. Mengingatkan dengan pilunya masa kecil yang suram. Tepatnya saat Bunda pergi menghadap Illahi, lalu Ayah pergi ke negeri entah dan tak pernah kembali hingga kini. Sosok Nini yang menemani hingga aku lulus sarjana, tiba-tiba berkelebat memenuhi kepala.
Dialah Nini, seorang nenek dari pihak Bunda. Merawat dan mengasuh sang cucu sejak anak bungsunya meninggal dunia karena gagal ginjal akut. Di akhir, aku mulai tahu bahwa penyakit Bunda dilatarbelakangi oleh kebiasaannya minum jamu pelangsing. Hal tersebut dilakukan karena protes dari Ayah yang selalu bilang kalau Bunda lemu dan seperti kentung.
Aku masih ingat betul sosok Ayah. Kasar, penjudi, senang main tangan, dan jarang memberi uang. Bunda kerja keras banting tulang menjadi buruh di pabrik rokok. Sialnya, saat itu aku masih terlalu kecil untuk sekedar mengerti kondisi rumah tangga mereka. Jika saja aku sudah besar pada waktu itu, Ayah pasti sudah keok memakan sumpah serapah serta pukulan dariku. Namun, kepercayaan diri tentang angan-angan tadi segera menciut. Bagaimana bisa aku memukul Ayah yang tinggi dan suka berkelahi. Melawan Mas Irsyad saja buktinya aku tak mampu.
Napas berat kuhela. Ah, apakah ini hukum karma perbuatan Ayah di masa lampau? Mungkin saja, sudah banyak wanita yang dia sakiti tanpa rasa bersalah. Dan sekarang, inilah saatnya aku mendapatkan balasan dari dosa yang penah diperbuat lelaki pecundang tersebut.
Aku menangis pilu. Mengapa hidupku di kelilingi oleh laki-laki tak beradab? Mulai dari bapak kandung hingga suami sendiri. Semuanya begitu kasar dan mematahkan semangat hidup ini. Tuhan, sampai kapan aku harus menanggung rasa sakit? Apakah Engkau tak sudi mengirimkan seorang malaikat untuk menghias hari-hari sepi?
Kupandangi wajah Adiva dan Raina yang sedang tertidur lelap. Dalam hati, doa mengalir untuk keduanya. Tuhan, jagalah mereka selamanya. Berikan jodoh terbaik bagi Adiva dan Raina. Jangan biarkan mereka jatuh ke tangan pria yang salah. Cukup aku saja yang menderita dan berurusan dengan lelaki sakit jiwa.
***
Sejak kejadian semalam, praktis Mas Irsyad tak pulang seharian. Entah kemana perginya lelaki panci penyok itu. Mungkin sedang berasyik-masyuk dengan wanita idaman, Clara.
Aku sudah tak peduli lagi. Biar saja. Mereka mau menikah hari ini pun, silakan. Jika perlu, besok surat cerai akan kuurus. Najis tralala kalau sampai Mas Irsyad masuk ke daftar tanggungan gajiku nanti. Tak sudi!
Saat aku menemani Adiva dan Raina bermain di ruang tengah, bel berbunyi dua kali. Aku langsung bangkit, pamit pada anak-anak untuk membukakan pintu.
Kaget. Itulah yang kurasakan saat melihat sosok Mas Irsyad muncul. Dia membawa dua buah bungkusan besar. Dengan santai, lelaki itu tersenyum manis.
“Selamat malam, Vana. Maaf aku nggak pulang kemarin. Aku ingin menenangkan diri.” Lembut sekali lisannya. Seolah sedang membawakan puisi cinta pada sang kekasih.
Rasa mual seakan menonjok ulu hatiku. Eneg. Mau muntah.
“Masih mau pulang?” Aku bertanya dengan sinis. Menahan pintu agar dia tak kembali masuk.
“Vana, hentikan pertikaian di antara kita. Kamu hanya salah paham. Biarkan aku menjelaskan semuanya.” Mas Irsyad melepaskan bungkusan yang dibawanya. Kedua tangan besar berbulunya mencengkeram lenganku.
Jantungku berdebar laju. Rasa trauma dipukul dan ditendang seperti kemarin malam masih terngiang jelas dalam otak. Tak ingin lagi mendapat perlakuan yang sama.
“Kalau kamu mukul aku lagi, aku akan teriak biar semua tetangga datang. Kita selesaikan ke kantor polisi jika perlu!” Aku mengancam. Nada suara mulai meninggi.
Mas Irsyad cepat-cepat melepaskan pegangannya. Lalu mendesah. Terlihat resah.
“Oke. Biarkan aku masuk sebentar Vana. Please.” Wajah Mas Irsyad memelas. Memohon dengan penuh iba.
Akhirnya aku mengalah. Kubiarkan lelaki itu masuk dan duduk di sofa. Dia minta waktu untuk bicara berdua. Sedang anak-anak, tak tahu jika papanya telah pulang dan berada di ruang tamu.
“Vana, maafkan kejadian kemarin, tapi kamu betul-betul keterlaluan. Clara tidak semestinya mendapat tudingan dan pukulan seperti itu. Dia itu aset berharga!” Wajah Mas Irsyad terlihat kesal. Seolah masih menggugat dan marah dengan perilakuku semalam.
“Aset? Maksudmu?” Mataku membelalak. Tak percaya dengan apa yang dikatakan lelaki kardus ini.
“Van, kamu tahu, jika cicilan rumah ini berapa per bulan? Dua juta kan? Lalu, gajiku sisa berapa? Tiga juta! Sementara anak dua, butuh s**u, belum lagi bayar listrik, wifi, air, dan cicilan elektronik lain. Gajiku sama sekali tak cukup! Bahkan minus. Ini semua gara-garamu! Memaksa mengambil rumah, padaha gaji suam tidak cukup! Mana cicilannya masih sepuluh tahun lagi.” Muka Mas Irsyad memerah. Penuh amarah.
Aku begitu syok sekaligus geram. Jadi? Semua permasalahan ekonomi ini dijadikan alasan bagi Mas Irsyad untuk menghalalkan perselingkuhannya? Benar-benar siniting!
“Selama ini Clara-lah yang membantu keuanganku. Saat aku tak memiliki sepeser pun uang, dia yang memberi. Termasuk untuk bayar listrik dan makan sehari-harimu itu!”
Tercengang aku mendengarnya. Bagai tersetrum aliran listrik seribu voltase. Gila. Tidak masuk di akal sehatku. Lelaki ini sudah menjadi p*****r demi uang.
“Mas—”
“Van, coba kamu mengerti dengan posisiku sekarang. Yang kamu lakukan hanya marah saja. Melawan tiada henti. Kamu nggak pernah nanya sama aku masalah apa yang sedang terjadi dalam rumah tangga ini. Cuma kelahi dengan tetangga atau keluargaku saja yang kamu bisa.” Mas Irsyad seolah puas menunjuk-nunjuk wajahku. Menekan dan terus menyalahkan. Itulah yang bisa dilakukannya.
“Jujur saja, kamu itu istri yang menyusahkan, Van. Membuat seret rejeki suami. Jadi, bukan salahku jika berpaling pada Clara. Ini semua demi masa depan kita juga.” Enteng Mas Irsyad berucap. Seperti tak ada beban di dirinya.
Rasa tangis kutahan sekuat mungkin. No, air mata ini tidak boleh tumpah lagi hanya untuk seorang lelaki murahan seperti Mas Irsyad. Tidak sama sekali.
“Oke. Kalau begitu, aku akan mundur. Nikahi saja Clara. Agar kehidupan kalian senantiasa bahagia dan sejahtera.” Aku bangkit dan berniat pergi menghampiri Adiva dan Raina.
Mas Irsyad ikut berdiri. Langkahnya cepat menyusul dan menarik tanganku.
“Tidak akan. Kita tidak akan pernah bercerai sampai kapan pun. Karena sekarang kamu adalah aset yang sama menjanjikannya dengan Clara. Kalian berdua tetap bersamaku untuk selamanya.” Mas Irsyad menyeringai buas. Selintas, wajahnya menjelma bak serigala lapar yang menemukan kambing gemuk. Siap menerkam bulat-bulat hingga tuntas.
“Jangan harap! Besok aku akan ke Pengadilan Agama!”
“Boleh saja. Asalkan kamu ikhlas tidak dapat berjumpa dengan Adiva dan Raina. Entah itu karena kematianmu, atau kematian kedua anak kita.”
Darahku seakan berhenti mengalir. Hawa sejuk khas kutub Utara menyerang hingga menusuk tulang. Aku diam, kaku dan kelu. Tak sanggup lari atau sekedar berdehem pelan. Duniaku seakan berhenti berputar. Kiamat seperti sedang berlangsung saat ini.