7

868 Kata
Bayangan akan kematian dan kehilangan, seakan mengungkung segenap jiwa raga. Mas Irsyad kini telah menjelma monster jahat yang siap menerkam kami kapan pun. Rasa gentar yang dulunya luput, kini merajai hatiku. Sial, mengapa jadi seperti ini? Ke mana perginya sosok Livana yang dulu selalu berani dan mampu melawan siapa pun? Hilangkah dia termakan ancaman mengerikan dari lelaki b*****h itu? “Andai saja kamu bilang dari awal, aku pasti akan bekerja untukmu, mencarikan banyak uang agar semua kebutuhan hidupmu terpenuhi. Bukan malah mendengarkan kata-katamu dulu yang terhasut Mama supaya istri itu harus di rumah. Mengurus anak dan suami saja. Tidak boleh kerja karena hanya bikin masalah dan bisa berakhir pada perselingkuhan. Namun, kenapa akhirnya malah seperti ini? Kebutuhan ekonomi kita sekeluarga kamu jadikan alasan untuk melacurkan diri. Lalu sekarang dengan mudahnya mengancamku. Mas, kamu ini kenapa? Sudah gila atau kerasukan setan?” Aku mengumpulkan sisa-sisa keberanian. Mengeluarkan suara, bertanya maksud dari kelakuan si lelaki tak berguna khas sempak bolong. Mas Irsyad hanya mendengus kesal. Menggeram, lalu mengepalkan tangan. Lagaknya sudah seperti anjing jalanan yang marah saat dilempari batu oleh anak kecil. “Vana, inilah kelemahanmu. Selalu merasa sok bisa dan sanggup melakukan apa pun. Nyatanya? Omong kosong! Apa kamu lupa, semua masalah ini berawal darimu! Setiap hari bertengkar dengan Mama saat kita masih menumpang dulu. Padahal, kau kan tahu kalau rumah itu akan diwariskan pada kita. Namun, apa? Kamu malah tidak pandai mengambil hati orangtua. Membuat kecewa dan minta dibelikan rumah. Inilah akhirnya, Van!  Setelah rumah terbeli, keuangan kita ternyata sangat pas-pasan bahkan minus. Belum untuk bayar llistrik, makan, transport. Mana cukup gajiku? Kalau aku tak memberikan uang, apa kamu mau terima? Halah, sudah dapat kupastikan, mulutmu akan panjang lebar mengomel ini dan itu. Sudah kubilang, kamu itu istri yang banyak mau. Tidak pengertian. Mending kalau ngundang rejeki. Asal tahu saja, sejak kita menikah, rejekiku malah jauh. Itu akibat sial yang kamu bawa! Hubungan dengan Mama malah kacau. Ancaman tidak dapat warisan pun sampai harus menghantuiku setiap malamnya. Jadi, inilah konsekuensi dari perbuatan egoismu! Clara adalah penyelamat. Apa salahnya jika aku membagi cinta dengan gadis yang selalu sepi dan merana itu? Jelas saja dia lebih menguntungkan daripada perempuan sial sepertimu!” Seakan baru saja ditabrak oleh kereta listrik berkecepatan tinggi, mentalku terpental ribuan kilometer jauhnya. Lumat bagai kaca yang menjadi bubuk saat dilindas ban slender yang keras. “Ingat, Van. Ini harga yang harus kamu bayar. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Begitu juga dengan pengorbanan yang telah kulakukan. Jangan harap ada perceraian di antara kita. Kalau tidak, sungguh mati, aku tidak akan main-main. Adiva dan Raina lah taruhannya.” Mas Irsyad menunjuk wajahku. Rautnya penuh kekejaman. Seolah seorang pegulat sangar yang menantang lawan. Penuh percaya diri dan beringas. Aku terduduk lemas di lantai. Bagai meletus balon hijau, hatiku sangat kacau. Keberanian untuk menentang dan mempertahankan diri, seketika menciut bagai pipi lansia yang termakan zaman. Damn! Seketika pikiranku blank. Rasa muak untuk hidup seakan mencekik leher. Membuat sesak. Sulit untuk bernapas. Aku bingung. Menggeleng, lalu menggelepar seolah ikan yang diangkat ke darat. Terjengap-jengap, kekurangan oksigen. “Argh!” Seluruh kekuatan kukerahkan untuk berteriak. Tenggorokan ini sampai serak kehilangan suara. Nyeri. “Vana! Bangun, Van! Kamu kenapa?” Terdengar sebuah suara yang familiar bagiku, berteriak tepat di dekat telinga. Mataku terbuka. Aku bangkit dan membuka mata. Peluh membasahi kepala, hingga rasanya seperti baru saja keramas. Napasku tersengal. Seperti orang yang baru saja maraton sepuluh kilometer. Jantung ini berdegub tak karuan. Rasa takut, bingung, dan sedih campur jadi satu. Ada apa ini? “Van, kamu kenapa? Badanmu sampai meronta dan menggelinjang. Mimpi buruk?” Sosok lelaki yang baru saja marah-marah dan memakiku, bertanya dengan wajah keheranan. “Menjauh! Kamu jahat, Mas! Kamu biadab. Tukang selingkuh!” Aku berteriak. Berdiri lalu menjauh dari Mas Irsyad yang mengenakan piyama warna putih garis biru. Sangat berbeda dengan penampilannya ketika mengancamku. “Van, kamu bicara apa? Kamu sudah bermimpi buruk. Astaga, kenapa sikapmu jadi aneh seperti ini?” Mas Irsyad bangkit dari ranjang, lalu berjalan mendekatiku yang berdiri di sudut kamar. Lelaki itu semakin mendekat. Aku gemetar hebat. Takut jika pukulan atau tamparan menyerang secara tiba-tiba. Namun, lelaki itu memelukku. Mencium kening dan pipiku lama. “Van, sepertinya kamu kelelehan dan stres memikirkan karena sebentar lagi akan kerja. Kamu takut ya, kehilangan waktu berharga untuk anak-anak?” Kata-kata Mas Irsyad lembut. Tangannya membelai kepalaku berkali-kali. Aku tercenung. Kuperhatikan sekujur tubuhku. Tak ada sedikit pun luka. Lalu, kuraba perut yang tadi terasa ngilu dan nyeri akibat pukulan. Sungguh, tak ada rasa sakit sedikit pun. “Sebentar, Mas.” Aku melepas tubuh Mas Irsyad. Tergesa menghampiri cermin di meja rias. Kaget luar biasa. Tak ada satu pun goresan, luka, atau lebam di wajah mulusku. Semua seperti biasa. Dadaku berdesir. Antara heran dan lega. Apakah aku baru saja bermimpi? Namun, mengapa semua seakan nyata? Itu artinya, Mama tak pernah bertengkar denganku. Mas Irsyad tak pernah menampar dan pulang larut dalam keadaan mabuk. Dan Clara ... bukan selingkuhan Mas Irsyad. “Mas, sepertinya aku kurang piknik.” Aku mendekat ke arah Mas Irsyad yang terpaku di sudut kamar. Dia hanya menggeleng. Tersenyum lalu mengacak-acak rambutku. “Oke, kalau begitu. Bagaimana kalau kita liburan ke pantai? Perlu aku ajak Mama dan adik-adikku sekalian?” Aku menggigit bibir. Apakah mimpi tadi adalah sebuah pertanda? “Tidak, Mas. Aku ingin berempat saja.” Aku tersenyum manis. Memeluk Mas Irsyad dan tak ingin lepas. Jika perlu untuk selama-lamanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN