8

1703 Kata
Rasa berbunga-bunga itu merasuki jiwa. Membelai hangat pori-pori kulit. Membuat rona bahagia di pipi. Ah, Mas Irsyad. Kamu ternyata tak berubah menjadi monster seperti dalam mimpi burukku barusan. Namun, saat aku hendak mengecup mesra bibir Mas Irsyad, sesuatu yang dingin seperti mengguyur wajah. Aku terjengap. Ada air masuk ke dalam lubang hiduk. Tersedak. Rasanya panas dan perih di pangkal hidung. “Vana, bangun!” Sebuah tepukan di wajah terasa. Agak kasar. Lebih tepatnya seperti tabokan. Aku kaget. Membuka mata lalu bangkit. Sekujur tubuh rasanya ngilu. Nyeri dan pegal-pegal. Seperti habis bekerja keras. “Mama!” Adiva dan Raina menghambur. Keduanya menangis kencang. Tergugu seperti tercekik oleh haru. Bingung. Untuk kedua kalinya aku merasa di dunia yang asing. Apa yang barusan terjadi? Semuanya baik-baik saja, kan? Kutatap ke depan. Mas Irsyad sedang memegang gelas yang berisi setengah air putih. Wajahnya seperti kesal. Geliginya sesekali gemerutuk. Seakan menahan amarah. “Mas?” Aku berkata lirih. Au, bibirku perih lagi rasanya. “Kamu tadi pingsan.” Hanya itu yang keluar dari bibir Mas Irsyad. Wajah acuh tak acuhnya yang semakin dingin, berpaling. Tubuh besar lelaki itu bangkit dari jongkok. Lalu pergi meninggalkan kami bertiga yang masih berpelukan di ruang tamu. “Mama kenapa? Tadi nggak bangun-bangun, sampai diguyur air sama Papa. Mama sakit?” Adiva bertanya dengan penuh perhatian. Tangan mungilnya menjelajah pada wajah sang mama. “Acit, Ma?” Raina ikut memberi perhatian. Gadis dua tahun itu mencium pipiku dengan lembut. Akhirnya kesadaranku seratus persen kembali. Mimpi di dalam mimpi. Ya, tentang bayangan Mas Irsyad membangunkanku dari tidur dan memeluk mesra tadi..., ternyata hanya mimpi dalam pingsanku. Sungguh, aku masih bingung. Kenapa bisa aku tiba-tiba pingsan dan mendapat mimpi barusan? Apakah karena tubuh ini terlalu lelah dan kurang tidur dalam beberapa hari ke belakang? Atau, jangan-jangan aku sudah mulai gila akibat kejadian buruk yang menimpa? Ya Tuhan, beri aku jawaban atas kegamangan ini. *** Mas Irsyad masih membeku dalam sikap diamnya. Entah siapa yang salah di rumah ini. Seharusnya, akulah yang bersikap demikian. Mengingat hinanya penghianatan dan kekejaman yang telah dia perbuat atasku. Adiva dan Raina telah berjanji untuk tidur dengan tenang di kamar mereka. Jadi, kini tinggalah aku dan Mas Irsyad di dalam kamar yang sangat terasa asing bagiku. Tak ada kehangatan dan cinta lagi di dalamnya. “Mas, tentang Cla—” “Apalagi, Van? Belum cukup puas pembahasan tadi? Aku capek. Pengen tidur.” Mas Irsyad membalik tubuhnya. Sambil memeluk guling, dia terlihat memejamkan mata. “Mas, sebaiknya kalian menikah saja. Aku nggak mau kamu berzina.” Aku terus berucap meski Mas Irsyad ogah mendengar. “Kami udah nikah siri sebulan yang lalu. Puas?” Mas Irsyad bangkit dari tidurnya. Dia duduk dan menatapku kesal. Saat ini aku berharap semua hanya mimpi, lalu aku kembali terbangun dalam keadaan yang baik-baik saja. Diam-diam, tangan kananku mencubit lengan kiri dengan kuat. Sakit. Ya, semua ini adalah realita pahit yang harus kulewati. Entah sampai kapan. “Oh.” Satu kata itulah yang mampu meluncur dari bibir. Aku lalu kembali berbaring. Membalik tubuh dan berusaha untuk memejamkan mata. Namun, rasa sesak mendesak d**a. Bulir bening terasa mengalir dari sudut mata. Dengan mudahnya, Mas Irsyad bilang bahwa dia telah menikah siri bulan lalu. Betapa hal yang sepele bagi seorang Irsyad Lazuardi. Bagaikan hal tersebut hanya seperti perkara beli permen yang tak ada pengaruhnya sama sekali. “Vana, belajarlah untuk hidup dalam keihlasan dan sabar. Jiwa meledak-ledak itu sudah membuat dirimu hancur. Sekarang sadar kan, kalau kamu itu tidak ada hebatnya sama sekali?” Suara Mas Irsyad terdengar. Namun, aku tak sudi untuk membalikkan tubuh dan menatap wajah bengisnya. “Berbuat baiklah pada Clara mulai sekarang. Dia akan membelikanku mobil minggu depan. Supaya mudah pergi kemana-mana bawa anak-anak. Nggak perlu naik taksol atau panas-panas motoran.” Aku menelan ludah. Benar-benar lelaki gila. Demi harta benda, dia nekat menggadaikan cinta pada perempuan lain. Kukira hanya perempuan yang sudi melacurkan diri demi materi. Ternyata lelaki pun bisa. Aku lagi-lagi hanya diam. Tak kuasa bersuara karena tubuh ini sudah letih untuk berdebat dan berkelahi. Biar saja, Tuhan tidak pernah tidur dan diam atas kezaliman di muka bumi. Dalam diam dan mata terpejam, aku menyusun siasat tepat. Rencana kali ini harus tersusun rapi dan terlaksana dengan sukses. Jangan sampai rusak dan berantakan seperti kemarin. Benar kata Mas Irsyad. Jiwa meledak-ledak sungguh telah membuat diriku sendiri hancur. Kali ini, Livana harus benar-benar menjadi orang yang sabar menanti waktu giliran. *** Semakin hari, kelakuan Mas Irsyad semakin menjadi. Tidak pulang berhari-hari kini menjadi sebuah hobi. Dalam seminggu, kadang dia hanya bertahan sehari dua hari saja di sini. Selebihnya hilang. Jangan tanya ke mana. Sudah pasti ke rumah madunya. Apakah aku marah? Sudah tidak. Diam adalah kebiasaan baru bagiku. Awalnya memang sulit, tapi sekali lagi aku harus bersabar. Tak boleh mudah tersulut amarah dan memancing pertikaian dengan lelaki biadab itu. Masalah mobil yang tempo lalu dibahas Mas Irsyad, benar saja. Clara betul-betul melaksanakan janjinya. Sebuah SUV mewah berwarna hitam keluaran terbaru, nangkring di garasi. Tetangga mulai berbisik-bisik. Katanya sudah pasti kami kredit untuk membelinya. Saat itu, di dalam hati aku tertawa. Kredit mungkin lebih mulia dibanding menjual diri. Hei para tetangga, kalian tidak tahu ya, kalau Mas Irsyad sudah menjual tubuh Dan hatinya pada seorang wanita demi memiliki mobil mewah mentereng? “Pakai saja buat ngantar Adiva sekolah. Aku lebih sering pakai mobil Clara. Dia lebih senang disetirkan olehku.” Begitu ujar Mas Irsyad Kala meninggalkan rumah tiga hari yang lalu. Kunci remot digeletakkan begitu saja di atas meja makan. Saat itu aku tengah mengemaskan piring untuk dicuci. “Ya.” “Kapan kamu bagi SK?” sebelum pergi, sempat-sempatnya Mas Irsyad bertanya. “Senin depan.” “Pendaftaran daycare untuk Adiva dan Raina sudah, kan?” Mas Irsyad masih lanjut bertanya. Namun, wajahnya saat itu sudah terlihat begitu tak sabaran. Mungkin Clara sudah dekat menuju sini. “Sudah semua. Mulai lusa aku antar mereka. Kalau Adiva, setelah pulang TK langsung ke daycare. Kan Cuma berseberangan jalan. Aku udah ngomong ke gurunya minta tolong diantar ke sana tiap pulang sekolah.” Rasanya aku sudah muak bercakap dengan Mas Irsyad. Pergilah kau secepatnya, b******n! “Oke. Aku pergi dulu. Clara sudah di depan. Senin depan aku pulang.” Mas Irsyad berlalu sembari terpaku dengan layar ponselnya. Aku hanya memperhatikan punggung lelaki tersebut yang semakin menjauh lalu hilang. Hidup ini sungguh seperti sinetron. Entah ending seperti apa yang akan kudapatkan nantinya. *** Hari pembagian Surat Keputusan atau SK telah tiba. Ratusan orang berkumpul di sebuah ballroom hotel bintang tiga yang dipesan untuk penyelenggaraan acara besar ini. Acara berlangsung selama kurang lebih tiga jam. Kata sambutan dari walikota lumayan panjang dan membuat ngantuk. Jujur saja aku tak tertarik untuk mendengarkannya secara serius. Setelah pembukaan, acara serah terima SK secara simbolis oleh walikota di lakukan. Tepuk tangan meriah membahana memenuhi ruangan. Blitz kamera menyala sana sini seperti kilat di tengah hari bolong. Selanjutnya, tibalah penyerah SK ke pada masing-masing CPNS secara berurutan absen. Namaku dipanggil agak lama. Urutan delapan puluh sembilan. Sampai bosan aku menunggu. Setelah semua rangkaian kegiatan selesai, kami berfoto bersama walikota dan jajaran stafnya. Acara foto-foto selsesai, artinya kami sudah boleh pulang. Jam menunjukkan pukul 13.00 siang. Rasanya perutku lapar, karena di dalam hanya disediakan makanan ringan. Sudah tak sabar ingin menjemput Adiva dan Raina, lalu mengajak keduanya makan di luar. Saat akan mengambil mobil milik Mas Irsyad di parkiran—karena si pecundang itu tak kunjung pulang hingga pagi tadi dan masih meninggalkan mobil, jadi kuputuskan untuk memakainya saja agar Adiva dan Raina tidak kepanasan—aku kaget setengah mati. Ban depan mobil tersebut gembos. Setelah kucek, ada paku besar yang menancap. Perasaan, saat berangkat dan memarkirnya tadi, semua baik-baik saja. Tidak ada gembos sedikit pun. Kok bisa sih, jadi seperti ini? Apa ada yang sengaja? Aku bingung. Pusing tujuh keliling. Jongkok memperhatikan ban yang sempurna menggelambir menyentuh semen. “Aduh, gimana ini? Mana bengkel jauh. Apa telepon montir aja, ya?” Mataku nelangsa melihat keadaan. “Maaf, Mbak. Bannya bocor?” Sebuah suara dari arah belakang mengagetkanku. Buru-buru aku bangkit. Lalu membalik badan dan melihat ke asal suara. Sesosok lelaki muda, dengan wajah yang terlihat tampan, berseragam putih hitam sama sepertiku, tersenyum begitu manis. Kulit putih dan wajahnya yang bersih tanpa bulu dan noda, membuat lelaki tersebut terkesan imut. Seperti baru saja lulus SMA. Apalagi perawakannya sedang dan tak terlalu tinggi. Mungkin hanya 167 senti saja. Sesaat aku terpana. Entah, seperti tersihir oleh pesona lelaki tersebut. Saat menyadari bahwa aku telah terdiam dan terpaku di hadapannya, cepat-cepat aku membuang muka. “Oh, ini. Ban saya ngelindes paku. Kayanya bocor sampai dalam. Punya kontak montir yang bisa dipanggil nggak ya, Mas?” Aku bertanya pada lelaki tersebut. Tanpa banyak bicara, dia langsung mendekat ke arah mobil, kemudian jongkok dan memeriksa kondisi ban. “Punya dongkrak, Mbak?” Lelaki berhidung bangir itu bertanya. Mata coklat terangnya sangat memukau. Membuatku lagi-lagi terdiam sesaat. “Eh, sebentar. Saya cek dulu.” Aku buru-buru membuka bagasi belakang. Mencari sesuatu bernama dongkrak. Untung saja, benda tersebut sudah disiapkan dengan rapi. “Ini.” Aku memberikan pads lelaki tersebut. Lagi-lagi, tanpa banyak omong, dengan cepat dia bergerak. Melepas ban dengan dongkrak, kemudian menggantinya dengan ban serep yang tertempel di pintu belakang. Walau badannya tak sebesar Mas Irsyad, lelaki ini betul-betul memiliki tenaga yang kuat dan gerakan yang cekatan. Tak sampai sejam, dia sukses menggantikan ban gembosku. “Mbak, sudah selesai.” Lelaki itu menepuk-nepuk kedua tangannya yang berlepotan noda hitam. Sigap, aku mengeluarkan tissue basah dan memberikan padanya. “Maaf, Mas. Tangan dan baju putihnya jadi kena noda.” Lelaki itu hanya mengangguk dan tersenyum manis. Geligi rapi putihnya terpampang mempesona. Aku mengeluarkan selembar uang pecahan seratus ribu, lalu menyerahkan pada lelaki tak bernama itu. “Mas, ini. Buat beli rokok.” Aku basa-basi. Lelaki itu diam. Lalu menatap ke arahku dengan tatapan yang teduh. “Saya nggak merokok, Mbak. Uangnya disimpen aja. Saya ikhlas.” Lelaki itu mengangguk. Gerak-geriknya sangat sopan. Saat dia akan pergi berlalu, aku buru-buru mengejarnya. “Mas, kenalkan. Nama saya Livana. Saya keterima di SD negeri tiga daerah Sekar Wangi.” “Saya Lian. Guru olahraga. Keterima di SD negeri tiga Sekar Wangi juga. Salam kenal.” Lian menjabat tanganku erat. Tatapannya tepat ke netraku. Membuat jantung ini seketika berdegub kencang tanpa ada alasan yang jelas. “Salam kenal juga. Kita satu sekolahan.” Aku tersenyum. Entah mengapa perasaan ini seperti girang bukan kepalang. “Saya permisi dulu ya, Mbak. Hati-hati di jalan. Semoga tidak ketusuk paku lagi bannya.” Lian mengangguk dengan santun. Lalu pergi berlalu dan berjalan ke arah parkiran motor di seberang. Mataku tak henti memperhatikannya, hingga lelaki muda itu naik ke atas vespa hijau lumutnya. “Lian ....” Tanpa kusadari, bibirku menyebut namanya. Aku menggeleng cepat. Buru-buru masuk mobil dan tancap gas untuk menjemput Adiva dan Raina.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN